Taka kemudian mengajak Wisang ke sebuah restoran yang terlihat tidak terlalu ramai.
Kebetulan sekali tempat itu menyediakan menu yang cukup recommended sehingga Wisang pun menyetujuinya.
“Sebenarnya aku tidak peduli kamu mau mengajakku makan apa,” ucap Wisang sambil tetap membuang pandangannya ke arah luar mobil.
Taka tahu jika saat ini suasana hati Wisang pasti sangat-sangat buruk. Baru saja Taka menepikan mobilnya di parkiran, sebuah panggilan telepon dari putranya masuk.
“Oh begitu ya, baiklah … Tidak masalah. Lagi pula besok kan kau libur panjang. Jadi kau bisa berangkat bersama Nenek dengan tenang. Bye, ayah akan menjemputmu nanti,” ucap Taka kepada sang putra
“Putraku akan bepergian dengan ibu. Entah apa yang sedang direncanakan oleh ibuku itu dia selalu saja memiliki kesibukan,” ucap Taka sambil melangkah turun dari mobilnya.
Wisang kemudian mengikuti dan mereka berjalan beriringan menuju bagian dalam restoran.
“Kau mau pesan menu apa?” tanya Taka.
“Hatiku sedang tidak nyaman, aku rasa menggorengnya akan jauh lebih nikmat. Benar begitu?” ucap Wisang sambil menunjuk menu sambal goreng hati pedas di buku menunya.
Taka terkekeh.
“Jika kau pikir itu akan membuatmu senang, lakukanlah.” Kali ini Taka sependapat dengan Wisang sehingga dia pun memilih menu sambal goreng hati yang sangat pedas untuk makan siangnya.
“Tunggu, aku juga butuh tulang yang kuat. Mungkin dengan begitu suatu saat aku bisa menghajar dia yang sudah menyia-nyiakanku dan mengabaikanku. Jadi aku memilih ini ya Mba, sepertinya sop tulang kaki akan membuat aku jauh lebih kuat nantinya,” ucap Wisang dengan logat serius mengatakannya justru membuat Taka semakin tergelak menanggapinya.
Sementara si pramusaji yang sedari tadi berusaha menahan senyumnya berkat ulah kocak Wisang yang sedari tadi terlalu mendramatisir setiap menu yang ada di dalam buku menu restoran mereka terus menahan senyumannya.
“Maafkan dia,” ucap Taka yang menyadari hal tersebut kepada si pramusaji.
“Mbak, jangan menahan diri jika ingin tertawa, kau akan cepat tua nantinya.” Kali ini Wisang mengatakannya sambil tersenyum dan menatap penuh goda kepada sang pramusaji yang menjadi semakin tak enakan karenanya.
“Baiklah, semua sudah dipesan. Mohon menunggu,” ucap pramusaji tersebut dengan sangat terburu-buru.
“Ayo taruhan, dia akan langsung ke pintu keluar!”” ucap Wisang.
“Tidak, dia akan meletakkan catatan pesanan dan menuju dapur untuk menyelesaikan tawanya,” ucap Taka.
“Siapa yang menang dia boleh meminta satu permintaan yang tidak boleh ditolak ya, setuju!” ucap Wisang sambil terus memperhatikan pramusaji tersebut.
“Setuju!” sahut Taka.
“Ayo berbelok keluar,” ucap Wisang ketika pramusaji itu tiba di dekat pintu samping.
Tapi pramusaji tersebut terus menjauh dan benar saja tebakan Taka sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pramusaji tersebut yang langsung masuk ke dalam dapur setelah menyimpan catatan pesanan miliknya di meja
“Untuk hari ini, gurauanmu itu cukup keterlaluan,” ucap Taka sambil menunjukan rasa senangnya.
Wisang pun hanya tergelak. Dia tengah berusaha mencari rasa damai di dalam dirinya sendiri dan siapa yang menyangka jika usahanya itu justru membuat orang lain pun ikut terlibat di dalamnya.
“Aku menang, jadi permintaan tak terelakkan itu adalah milikku, benar begitu?” ucap Taka.
Wisang pun mengangguk mengiyakannya.
“Syukurlah, kau baik-baik saja,” ucap Taka sambil menggenggam erat tangannya Wisang.
Kecemasan Taka jika Wisang akan terpuruk mengetahui kenyataan perselingkuhan Dimas dengan Sandra sepertinya salah. Karena di depannya kini Wisang masih sanggup untuk tersenyum sangat manis kepadanya.
Tak berselang lama, mereka pun larut menikmati makan siang mereka dan siapa yang menduga jika makan siang ini menjadi awal dari liburan panjang mereka.
“Masih suasana Imlek-kan, aku juga masih punya cuti yang belum diambil. Lagi pula satu-satunya muridmu juga tengah berlibur, itu artinya kau free bukan?” tanya Taka membuat Wisang melebarkan bola matanya.
“Tentu, bisa dibilang aku selalu free sebenarnya,” ucap Wisang sambil terus menyendokkan es krim ke mulutnya.
“Ayolah Wisang, kau makan seperti itu seperti anak kecil saja,” celetuk Taka sambil menyeka sudut bibir Wisang yang belepotan oleh lelehan es krim.
“Dan kau, sangat perhatian, terima kasih,” ucap Wisang yang sekarang ini mulai tidak malu-malu mengatakan apapun untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Taka.
Selesai makan, Wisang masih asik dengan es krim Sundae yang dipesannya ini dan hal tersebut memberikan celah bagi Taka untuk menyiapkan sesuatu bagi mereka.
Jemari lincahnya mulai memesan sebuah unit bungalow di luar kota yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk liburan melepaskan penat dan juga melepaskan kejenuhan setelah lelah bekerja.
“Andai kau tidak pulang malam ini, apa Dimas akan memarahimu?” tanya Taka kembali membuat Wisang nyaris saja menumpahkan satu sendok es krimnya di meja.
“Entahlah, aku belum pernah menginap di luar,” ucap Wisang sambil kembali menyendokkan es krim ke mulutnya.
Tak ingin membuat masalah, Taka kemudian berinisiatif untuk bertanya kepada Dimas melalui sebuah pesan singkat. Taka menanyakan kepada Dimas jika dia berencana untuk mampir ke rumahnya Dimas malam nanti.
Dan jawaban yang didapatkan oleh Taka sangat mencengangkan karena Dimas baru saja mengatakan jika dia tidak akan pulang.
“Baiklah, ayo kita pergi. Aku rasa kau tidak perlu pulang malam ini, kita akan menikmati siang ini sampai sore dan juga sampai malam. Kalau perlu hingga beberapa hari. Apa kau setuju?” ucap Taka sambil menggenggam kedua tangan Wisang sementara wanita itu sendiri masih melongo menatapnya.
“Kita mau ke mana? Aku tidak membawa baju jika harus menginap. Ah,, tidak … aku takut. Bagaimana dengan ibumu dan muridku? Tidak … tidak! Jangan macam-macam, sebaiknya kita segera pulang!” ucap Wisang yang terlihat menjadi sangat ragu tapi tangan berurat kekar milik Taka semakin erat menggenggamnya.
Pria ini kemudian memanggil pramusaji dan meminta bill untuk dibayarnya.
Selesai pembayaran, tanpa menunda waktu dia benar-benar berangkat membawa Wisang ke luar kota.
“Apalagi? Kenapa menatapku seperti itu, dasar omes!” ucap Wisang saat menyadari jika Taka terus memperhatikan tubuhnya.
Meski sebenarnya ada rasa bahagia di dalam hatinya dengan tatapan nakal lelaki itu yang sedari tadi terus menggila, tapi Wisang cukup tahu diri untuk tidak memulainya lebih dulu.
“Bisa bantu aku melepaskan dasi ini? Rasanya sesak sekali,” ucap Taka sambil menarik lengan kanan Wisang dan meletakkannya di ceruk lehernya.
Sambil sedikit mendelik, Wisang kemudian menggeserkan duduknya menghadap ke arah Taka. Tangannya kemudian bergerak cepat membukakan dasi pria itu.
“Buka juga beberapa buah kancingnya, aku merasa sesak,” ucap Taka lagi.
Wisang pun mencubit kecil pinggang pria tersebut sebelum membuka satu persatu kancing bagian atas kemejanya. Tatapan Wisang kemudian terhenti pada area dada bidang Taka yang terlihat begitu memikatnya.
“Kenapa melihatku seperti itu? Kau mau?” tanya Taka sambil terus fokus mengemudi.
Tentu saja kalimat tersebut sukses membuat wajah Wisang merona merah.
Satu jam perjalanan pun menyuguhkan keduanya dengan desiran hebat yang semakin mendebarkan.
Jarak yang semakin jauh mengurung keduanya dalam suasana yang semakin hangat.
Mobil kemudian berbelok ke arah perkebunan di mana deretan teh menghampar luas dan langit yang terang pun tak lagi terasa teriknya.
Sejuk dan juga sunyi, perlahan jalanan yang mereka lalui menjadi semakin jauh dari kebisingan.
Taka kemudian menghentikan mobilnya ke arah bahu jalan di mana terdapat sebuah pohon yang cukup tinggi untuk berteduh.
Sementara hamparan perkebunan teh yang berbukit-bukit menjadi pemandangan yang sangat asri dan juga menyegarkan di sejauh mata memandang.
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.
“So, kita makan lagi atau kamu mau istirahat dulu,” ucap Taka sambil meraih wanita itu ke dalam pelukannya.“Aku lapar lagi, makan dulu yu sebelum perutku bernyanyi panjang,” ucap wanita bernama Wisang itu kepada Taka dengan manjanya.“Okay, just of to you, honey,” bisik Taka sangat lembut.“Mulai deh, gombal,” ucap Wisang sambil mencubit kecil pinggang pria tersebut.Mereka kemudian berjalan ke arah restoran yang berada tidak jauh dari hotel tersebut. Dengan menggunakan sebuah koridor penghubung, mereka bisa mengakses restoran berkelas itu dengan sangat mudah.Pilihan Wisang pun berakhir pada sebuah restoran Sunda yang menyuguhkan berbagai suguhan khas bumi Parahyangan ini.“Aku suka nasi liwet komplitnya, bagaimana?” ucap Wisang kepada Taka meminta persetujuan pria tersebut.“Terserah, aku ikut saja,” jawab Taka seperti biasa.“Ah, dan dua porsi sundae ice cream untuk penutupnya ya,” ucap Wisang dengan tanpa segan memesankan menu makan siang mereka kali ini.Sambil menunggu pesanan
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.Wisang yang mulai mencium bau hormon berkembang sejak masuk ke kamar bungalow ini tidak bisa lagi menampik tatapan sendu Taka.“Keringat maksudku!” ujar Taka sambil menyentil dahi Wisang untuk kesekian kalinya.“Awww … seneng banget nyentil jidat orang sih? Sakit, tau!” balas Wisang dengan bibir yang sudah manyun. Membuat Taka semakin gemas pada istri orang ini.Wisang tersenyum, jeda berikutnya dia justru memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Taka. Dia mencondongkan tubuhnya hingga membuat Taka harus memundurkan tubuh untuk memberikan Wisang ruang.“Cium aku lagi,” ucap Wisang yang entah mendapatkan keberanian dari mana melakukannya.Wanita itu terus menatap Taka dengan intens, membiarkan gairah kembali menyapa mereka berdua kali ini.“Ayo Taka, aku menginginkannya,” ucap Wisang dengan semakin menghimpit pria itu.Dua buntalan kembar Wisang yang berada di balik kemeja berkancing wanita itu kini sem
“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.“Sejak nikah gendutan, Lu?”“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terja
“Wisang … Wisang …!!” Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.“Auuww …!!”“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.“Kaki aku ga muat, Sayang!”“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.Wisang membuka pintu itu dan ber
Bagai petir di siang bolong. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Taka, dan bukan suaminya membuat Wisang benar-benar dilanda dilema. Wisang hanya wanita yang membutuhkan kata-kata seperti itu. Merasa dibutuhkan? Siapa yang tidak seperti itu? Tapi kenapa harus Taka yang mengatakannya?Kenapa bukan suaminya sendiri? Wisang benar-benar muak terhadap kisah cintanya yang kandas. Jika pun Taka menganggap dia hanya pelarian?“Kau bukan pelarian,” ucap Taka seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Wisang.“Benarkah?” balas Wisang dengan suara pasrahnya. “Mungkinkah aku akan terluka untuk kali kedua?” Taka menatap jauh ke dalam mata bulat milik Wisang. Dia mencoba mencari alasan mengapa Dimas memperlakukan Wisang sedemikian rupa? Salah apa wanita ini sampai Dimas sama sekali tidak berhasrat padanya. Wisang menurut pandangan Taka seratus delapan puluh derajat berbeda.“Sampai saat ini … aku tidak ada alasan untuk melukaimu! Jangan bertanya masa depan padaku, karena yang aku tahu saat
Desah dan lenguh terus terdengar silih berganti, membuat kamar luas yang berada di lantai atas rumah mewah bergaya minimalis ini mendadak terasa panas.Suhu AC yang menunjukkan angka 20°C nyatanya terasa panas untuk kedua insan yang kini tengah dimabuk gelora membara ini.Mereka tak juga berhenti saling memuaskan dahaga yang seakan baru saja menemukan pemiliknya."Tidak Mas, aku lelah." Wisang menahan tubuh kekar yang kini sedang menindihnya itu dengan kedua tangannya saat si pemilik tubuh hendak kembali mencumbunya."Maafkan aku, sayang." Taka pun mengubah cumbuannya menjadi kecupan lembut pada kening Wisang.Setelahnya, Taka kemudian melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelah Wisang."Kemarilah," ucap Taka sambil merentangkan tangan kanannya dan membawa Wisang berbaring di atasnya.Keduanya berpelukan dengan tenang, sementara kedua tangan mereka masih saling menggenggam."Tidurlah.""Kau mau tidur disini?""Ya, tentu saja." Taka menjawab sambil mengusap lembut kepala Wisan
Wisang merasa terpukul dengan tuntutan Dimas yang begitu tiba-tiba. Dia merasa seperti semua yang dia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Namun, di balik keputusasaan, ada api keberanian yang mulai berkobar di dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Dengan gemetar, tapi dengan tekad yang bulat, Wisang menolak untuk menandatangani surat cerai itu."Dimas, aku tidak akan menandatangani ini. Aku akan melawanmu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku," ucap Wisang dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad.Dimas terkekeh sinis, tetapi juga bisa merasakan bahwa Wisang tidak lagi menjadi wanita yang mudah ditekan seperti sebelumnya. Dia menyadari bahwa perlawanan dari Wisang tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja."Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Dan video itu... aku akan menghadapinya dengan kepala tegak. Aku tidak akan mem
Dengan wajah merah padam dan penuh amarah, Dimas berdiri dan menampar Wisang keras-keras. Wisang terhuyung ke belakang, merasakan panas di pipinya. Sandra hanya tertawa kecil di sudut ruangan, menikmati tontonan di depannya.“Kau akan menyesal sudah melawan aku, Wisang!” teriak Dimas sambil mengusap kopi dari wajahnya. Wisang merasa sakit hati, marah, dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari apartemen. Air mata bercucuran di pipinya saat dia menuju mobilnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi yang pasti dia harus menjauh dari Dimas dan Sandra.Dengan tangan gemetar, Wisang menghidupkan mesin mobilnya dan melaju kencang di jalanan kota yang ramai. Pikirannya kacau, penuh dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Saat itu, dia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin, untuk mencari perlindungan.Namun, nasib berkata lain. Di sebuah persimpangan jalan, dalam kondisi emosional yang tidak stabil, Wisang tidak melihat sebuah truk besar
Setelah hari yang penuh ketegangan, Wisang memutuskan untuk membuat sesuatu yang istimewa untuk Taka. Dimas boleh saja terus mengusik mereka, tetapi malam ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan pria yang dicintainya.Di dapur apartemen kecil mereka, Wisang berdiri dengan celemek terikat di pinggang. Taka duduk di kursi bar, mengamati dengan senyum miring. "Aku tak pernah tahu kalau kau bisa memasak," katanya, menyandarkan dagunya di tangan.Wisang tertawa pelan sambil membalik steak di atas panggangan. "Kau pikir aku hanya bisa bekerja dan bertengkar dengan Dimas?" ia melirik ke belakang dengan senyum menggoda.Taka mengangkat bahu. "Yah, jujur saja, aku selalu melihatmu sebagai orang yang lebih suka makan di luar daripada repot-repot memasak sendiri."Wisang mengangguk sambil menuangkan saus ke atas steak yang sudah matang. "Itu benar. Tapi untuk orang yang kucintai, aku rela melakukan apa pun. Termasuk belajar memasak."Taka menatapnya, matanya melembut. Wisang memang buka
Setelah Dimas pergi, Wisang menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke bahu Taka. "Aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan menyerah atau hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali mengacau," gumamnya lirih.Taka membelai lembut rambut Wisang, menenangkan perempuan yang ia cintai. "Yang penting sekarang, kita tetap berdiri bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya, Wisang."Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dua hari kemudian, Wisang menerima sebuah panggilan telepon dari kantor lamanya."Wisang, kami baru saja mendapat surat dari pengacara. Dimas mengajukan tuntutan."Jantung Wisang berdegup kencang. "Tuntutan apa?" tanyanya dengan suara tertahan."Dia menuntut karena dugaan penyalahgunaan informasi internal saat kamu masih bekerja di sini. Dia mengklaim ada kebocoran data yang merugikan perusahaan. Kami tahu ini mungkin hanya alasan, tapi... ini bisa menjadi masalah besar."Wisang hampir tidak bisa bernapas. Dimas benar-benar tidak akan membiarkan
Keesokan harinya, setelah kembali dari perjalanan mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk duduk bersama di ruang tamu mereka yang tenang. Meskipun mereka baru saja menikmati ketenangan Eropa yang indah, kenyataan kembali menghantui mereka, dan ketegangan yang mengalir dari Dimas semakin terasa.Wisang menggenggam tangan Taka dengan erat. "Aku rasa kita sudah cukup jauh dari Dimas, tapi dia tetap mengawasi kita," katanya, suara penuh kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. "Aku tidak ingin dia menghancurkan apa yang sudah kita bangun."Taka menatapnya dengan penuh perhatian, meyakinkan Wisang dengan tatapan yang dalam. "Kita harus ingat satu hal, Wisang," kata Taka lembut. "Kita sudah berjalan sejauh ini bersama. Tidak ada yang bisa mengubah itu, tidak peduli berapa banyak dia berusaha mengontrol kita. Kita akan melalui ini bersama, apapun yang terjadi."Wisang mengangguk, meskipun di dalam hatinya, keraguan itu tetap ada. Dimas bukan orang yang mudah dihadapi, dan dia tahu betul apa
"Dimas tidak akan pernah menyerah, padahal dia yang terus menyakitiku sebelumnya," lirih Wisang."Bagaimana jika kita pergi ke Eropa?" Taka yang mendengar kalimat lirih sang istri pun bertanya kepada Wisang.Wisang meliriknya dengan sedikit kebingungan. "Eropa? Serius? Bukankah kita lebih baik tetap di sini?"Taka tersenyum, meletakkan cangkir kopi di mejanya. "Justru karena kita sibuk mengawasi segalanya, kita perlu jeda. Aku bisa menyelesaikan semuanya dari sana, dan kita bisa sejenak meninggalkan segala tekanan ini. Pikirkan ini sebagai kesempatan untuk menyegarkan diri."Wisang terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. Dia tahu, ini bukan hanya tentang liburan biasa. Taka tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting, dan kesempatan ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk keluar dari rutinitas penuh stres yang mereka jalani."Tapi, Eropa... itu jauh sekali. Dan kita masih begitu berisiko."Taka mengangguk memahami kekhawatiran Wisang. "Aku tahu, tapi ini bukan hanya soal peke
Taka terdiam sejenak, menatap jauh ke luar jendela ruang kerjanya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam yang menggema di dinding. Wisang, yang selama ini menjadi pendamping setianya, melangkah mendekat.“Wisang…” Taka memulai, suaranya berat. “Kau tahu apa yang membuatku tidak pernah mundur dalam menghadapi Dimas?”Wisang menatapnya penuh perhatian, mencoba membaca pikiran pria di depannya. “Karena kau tahu dia akan terus menjadi ancaman bagi semua yang kau bangun, Taka. Aku mengerti itu.”Taka tersenyum pahit. “Sebagian benar. Tapi lebih dari itu, aku melihat pantulan diriku di dalam dirinya. Kita berdua bukan orang baik, Wisang. Kita hanya mencoba bertahan di dunia yang tidak pernah adil sejak awal.”Wisang tertegun, lalu mendekatkan diri lebih dekat. Dengan ragu, ia merentangkan tangannya dan memeluk Taka. “Taka, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mungkin… mungkin Dimas tidak akan seperti ini jika saja dulu kalian tidak pernah bertemu. Jika dia ti
Malam berikutnya, Taka dan timnya mengadakan pertemuan tertutup di vila terpencil miliknya. Wisang, Sofia, dan beberapa anggota kunci hadir untuk merancang langkah berikutnya."Informasi yang kita terima menunjukkan bahwa Dimas sedang merencanakan serangan besar," ujar Sofia sambil memproyeksikan data ke layar besar. "Dia sedang menghubungi beberapa pengusaha besar untuk mendukung kampanye negatif terhadap Anda, Taka."Taka menyimak dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangan ke Wisang. "Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar berpengaruh?"Wisang membuka catatan di laptopnya. "Dari sepuluh nama yang terlibat, tiga di antaranya punya koneksi kuat dengan media dan pemerintah. Sisanya hanya pengikut Dimas yang mencari keuntungan.""Kalau begitu, fokuskan perhatian kita pada tiga orang itu," perintah Taka. "Cari celah mereka. Semua orang punya kelemahan."Sofia tersenyum tipis. "Aku sudah mulai menyelidiki salah satu dari mereka. Dia memiliki masalah pajak yang belum terselesai
Keesokan harinya, media penuh dengan spekulasi dan analisis tentang pertemuan Taka dan Dimas. Foto-foto mereka menjadi headline di berbagai portal berita, dengan tajuk seperti “Dua Raksasa Bisnis Bertemu: Konflik atau Kerjasama?” hingga “Ketegangan di Pameran Seni: Apa yang Sebenarnya Terjadi Antara Taka dan Dimas?”.Wisang, yang menyadari betapa besarnya dampak pemberitaan ini, masuk ke ruang kerja Taka sambil membawa tablet yang menampilkan beberapa berita terbaru."Ini semakin membesar, Taka. Media tidak hanya fokus pada pameran, mereka membuat narasi bahwa ini adalah perang kekuasaan," kata Wisang sambil menyodorkan tablet itu.Taka menatap layar tanpa banyak ekspresi, lalu mengembalikan tablet itu ke meja. "Itu yang Dimas inginkan. Dia tahu cara menggunakan media untuk memancingku," ujarnya dengan nada datar.Wisang mengangguk. "Tapi ini juga kesempatan, Taka. Kita bisa membalikkan narasi ini menjadi keuntungan kita. Mungkin...""Jangan pikirkan strategi yang terlalu mencolok," p
Di sebuah pameran seni yang diselenggarakan di pusat kota, seluruh kota seakan terfokus pada acara tersebut. Pameran itu menarik perhatian banyak tokoh penting dan masyarakat luas, namun yang paling menyita perhatian adalah dua sosok yang hadir: Taka dan Dimas. Meskipun mereka berada di belahan dunia yang berbeda, pertemuan mereka di acara itu menjadi titik balik yang sangat diantisipasi.Taka hadir sebagai seorang pengusaha sukses dengan citra kuat dan penuh percaya diri. Ia berjalan melalui pameran dengan langkah mantap, tampak elegan dalam balutan setelan hitam yang mengesankan. Di sampingnya, Wisang dan beberapa anggota tim pengamanan mengikuti dengan hati-hati, memastikan segala sesuatunya berjalan lancar.Sementara itu, Dimas juga hadir, namun dengan penampilan yang lebih sederhana dibandingkan Taka. Ia tidak secerah Taka, namun ada ketegangan di wajahnya yang menunjukkan bahwa pertemuan ini adalah sebuah kesempatan besar baginya. Dimas datang bersama beberapa orang kepercayaann
Keadaan semakin tegang seiring berjalannya waktu. Meskipun Taka sudah memperkuat pengamanan di rumah baru, ia tahu ancaman Dimas tidak akan berhenti hanya karena mereka pindah tempat. Taka merasa bahwa mereka harus bergerak lebih cepat dan lebih cermat, mengambil langkah hukum yang lebih besar untuk menekan Dimas sekaligus melindungi Ghenta.Di pagi hari, Taka memutuskan untuk mengunjungi pengacara mereka, menanyakan kemungkinan untuk mempercepat proses gugatan terhadap Dimas. Dengan penuh tekad, Taka memasuki kantor pengacara, disertai Wisang yang selalu mendukung langkah-langkahnya. Begitu mereka duduk di ruang rapat pengacara, Taka langsung berbicara."Bagaimana perkembangannya? Aku tidak punya banyak waktu. Dimas sudah pasti merencanakan sesuatu."Pengacara itu menatap mereka dengan serius. "Kami sudah mendapatkan dokumen-dokumen yang bisa memperkuat gugatan kita. Namun, untuk memastikan agar Dimas tidak lolos, kita harus melakukan dua hal: pertama, kita harus memastikan bahwa sem