“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.
“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.“Sejak nikah gendutan, Lu?”“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terja“Wisang … Wisang …!!” Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.“Auuww …!!”“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.“Kaki aku ga muat, Sayang!”“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.Wisang membuka pintu itu dan ber
Bagai petir di siang bolong. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Taka, dan bukan suaminya membuat Wisang benar-benar dilanda dilema. Wisang hanya wanita yang membutuhkan kata-kata seperti itu. Merasa dibutuhkan? Siapa yang tidak seperti itu? Tapi kenapa harus Taka yang mengatakannya?Kenapa bukan suaminya sendiri? Wisang benar-benar muak terhadap kisah cintanya yang kandas. Jika pun Taka menganggap dia hanya pelarian?“Kau bukan pelarian,” ucap Taka seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Wisang.“Benarkah?” balas Wisang dengan suara pasrahnya. “Mungkinkah aku akan terluka untuk kali kedua?” Taka menatap jauh ke dalam mata bulat milik Wisang. Dia mencoba mencari alasan mengapa Dimas memperlakukan Wisang sedemikian rupa? Salah apa wanita ini sampai Dimas sama sekali tidak berhasrat padanya. Wisang menurut pandangan Taka seratus delapan puluh derajat berbeda.“Sampai saat ini … aku tidak ada alasan untuk melukaimu! Jangan bertanya masa depan padaku, karena yang aku tahu saat
Desah dan lenguh terus terdengar silih berganti, membuat kamar luas yang berada di lantai atas rumah mewah bergaya minimalis ini mendadak terasa panas.Suhu AC yang menunjukkan angka 20°C nyatanya terasa panas untuk kedua insan yang kini tengah dimabuk gelora membara ini.Mereka tak juga berhenti saling memuaskan dahaga yang seakan baru saja menemukan pemiliknya."Tidak Mas, aku lelah." Wisang menahan tubuh kekar yang kini sedang menindihnya itu dengan kedua tangannya saat si pemilik tubuh hendak kembali mencumbunya."Maafkan aku, sayang." Taka pun mengubah cumbuannya menjadi kecupan lembut pada kening Wisang.Setelahnya, Taka kemudian melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelah Wisang."Kemarilah," ucap Taka sambil merentangkan tangan kanannya dan membawa Wisang berbaring di atasnya.Keduanya berpelukan dengan tenang, sementara kedua tangan mereka masih saling menggenggam."Tidurlah.""Kau mau tidur disini?""Ya, tentu saja." Taka menjawab sambil mengusap lembut kepala Wisan
Wisang merasa terpukul dengan tuntutan Dimas yang begitu tiba-tiba. Dia merasa seperti semua yang dia bangun selama ini runtuh dalam sekejap. Namun, di balik keputusasaan, ada api keberanian yang mulai berkobar di dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Dengan gemetar, tapi dengan tekad yang bulat, Wisang menolak untuk menandatangani surat cerai itu."Dimas, aku tidak akan menandatangani ini. Aku akan melawanmu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku," ucap Wisang dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad.Dimas terkekeh sinis, tetapi juga bisa merasakan bahwa Wisang tidak lagi menjadi wanita yang mudah ditekan seperti sebelumnya. Dia menyadari bahwa perlawanan dari Wisang tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja."Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Dan video itu... aku akan menghadapinya dengan kepala tegak. Aku tidak akan mem
Dengan wajah merah padam dan penuh amarah, Dimas berdiri dan menampar Wisang keras-keras. Wisang terhuyung ke belakang, merasakan panas di pipinya. Sandra hanya tertawa kecil di sudut ruangan, menikmati tontonan di depannya.“Kau akan menyesal sudah melawan aku, Wisang!” teriak Dimas sambil mengusap kopi dari wajahnya. Wisang merasa sakit hati, marah, dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari apartemen. Air mata bercucuran di pipinya saat dia menuju mobilnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi yang pasti dia harus menjauh dari Dimas dan Sandra.Dengan tangan gemetar, Wisang menghidupkan mesin mobilnya dan melaju kencang di jalanan kota yang ramai. Pikirannya kacau, penuh dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Saat itu, dia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin, untuk mencari perlindungan.Namun, nasib berkata lain. Di sebuah persimpangan jalan, dalam kondisi emosional yang tidak stabil, Wisang tidak melihat sebuah truk besar
Satu pekan kemudian. Dimas murka dan langsung berdiri, berjalan cepat menghampiri Wisang dengan mata yang penuh amarah. Dia meraih pergelangan tangan Wisang dengan kasar, mencengkeramnya erat hingga Wisang meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan, hah? Kau pikir bisa melawanku begitu saja?" Dimas menggeram, wajahnya merah padam. "Aku sudah muak denganmu. Kau tidak akan pernah menang, Wisang. Kau mendengar itu?" Wisang menatap Dimas dengan penuh keberanian, meski hatinya berdebar kencang. "Aku tidak akan pernah tunduk padamu lagi, Dimas. Kau bisa mengancamku, memindahkan Kakek, atau bahkan mencoba memanfaatkan Taka. Tapi aku tidak akan pernah menyerah." Dimas tertawa sinis, mendorong Wisang hingga terjatuh ke lantai. "Kau wanita bodoh, Wisang. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi." Sebelum Dimas bisa berkata lebih banyak, pintu apartemen terbuka dengan keras. Taka berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh determinasi dan kemarahan. "Dimas, lepaskan dia sekarang!" Taka mengan
Setelah beberapa jam perjalanan, Taka dan Wisang akhirnya tiba di alamat yang diberikan. Rumah tua di pinggir kota itu terlihat sepi dan terabaikan. Taka memeriksa sekeliling sebelum mereka berdua perlahan-lahan mendekati pintu depan. “Ini tempatnya,” bisik Taka. “Kita harus berhati-hati.” Wisang mengangguk, hatinya berdebar keras. Mereka membuka pintu dengan hati-hati, langkah mereka pelan namun tegas. Ketika mereka masuk, aroma debu dan kelembaban menyambut mereka. Dengan cepat, mereka menyusuri lorong menuju kamar di ujung. Di dalam kamar, Kakek Radez terkejut melihat cucunya dan Taka. Matanya berbinar melihat mereka, meski tubuhnya terlihat lemah. Wisang berlari mendekat, memeluk kakeknya dengan erat. “Kakek, kami datang untuk menyelamatkanmu,” kata Wisang dengan suara yang terisak. Kakek Radez mengangguk lemah. “Aku tahu kau akan datang, Wisang. Kau selalu kuat.” Taka berjaga-jaga di dekat pintu, memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Dimas. “Kita harus segera per
Beberapa hari kemudian, Taka menghadiri sebuah konferensi bisnis internasional di hotel mewah di pusat kota. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai pebisnis dan investor terkenal dari seluruh dunia. Taka berjalan memasuki aula utama dengan percaya diri, meski pikirannya masih dipenuhi oleh ancaman Dimas.Saat dia sedang berbicara dengan beberapa kolega, Taka melihat Dimas memasuki ruangan. Dimas tidak sendirian; dia datang bersama seorang pria muda berambut pirang, berdarah Jerman, yang dikenal sebagai Ethan. Ethan adalah seorang pebisnis asing yang sangat terkenal dengan keberaniannya dalam berinvestasi besar-besaran. Taka merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu bahwa kedatangan Dimas bersama Ethan bukanlah kebetulan.Dimas tersenyum sinis saat pandangan mereka bertemu. Tanpa basa-basi, dia mendekati Taka dengan Ethan di sisinya. "Taka, perkenalkan, ini Ethan," kata Dimas dengan nada yang penuh dengan kepura-puraan ramah. "Ethan, ini Taka, pria yang sering kali membuat bis
Pagi itu, Taka duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Gema suara Larissa masih terngiang di telinganya, menegaskan satu hal yang tak bisa ia abaikan—Larissa masih hidup.Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredam gejolak di dadanya. Tapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin ingatan tentang wanita itu kembali menghantuinya."Jangan percaya siapa pun, bahkan orang-orang terdekatmu."Kata-kata itu meresap dalam pikirannya. Jika Larissa benar, maka siapa yang selama ini ia percayai tapi ternyata adalah ancaman?Di tengah pikirannya yang kacau, suara ketukan pintu terdengar. Wisang masuk dengan ekspresi lembut, membawa secangkir kopi ke meja suaminya."Kau tidak tidur semalaman?" Wisang bertanya, nada suaranya mengandung kekhawatiran.Taka menatap istrinya sejenak sebelum mengalihkan pandangan. "Aku punya banyak pekerjaan."Wisang menghela napas pelan. "Atau kau masih memikirkan Larissa?"Taka terdiam. Kalimat itu menohok tepat di hatinya. Ia tidak bisa menyangkal. Se
Taka masih terpaku di tempatnya. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna kejadian barusan. Larissa datang dan pergi begitu cepat, meninggalkannya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.“Pak Taka?”Suara Rania membuyarkan lamunannya. Wanita itu menatapnya dengan bingung, mungkin heran melihat ekspresi terkejut yang masih terpampang jelas di wajahnya.“Aku… aku akan menyusul,” ucapnya akhirnya, berusaha menenangkan diri.Rania mengangguk, menutup pintu kantor dan pergi. Tapi Taka tetap diam di tempatnya. Tangannya masih terasa hangat, seolah jejak Larissa masih tersisa di sana.Mereka tidak akan berhenti, Taka. Aku kembali hanya untuk memperingatkanmu. Jangan percaya siapa pun. Bahkan orang-orang terdekatmu.Kata-kata Larissa menggema di kepalanya.Siapa yang ia maksud? Siapa yang selama ini kupercayai, tetapi ternyata adalah ancaman?Taka berjalan ke meja kerjanya, menyalakan laptopnya kembali. Ia membuka kembali rekaman CCTV yang tadi ia temukan. Matanya tertuju pada pria be
Satria menatapnya dalam-dalam. "Kami tidak bisa menyimpulkan pasti tanpa bukti lebih lanjut. Tapi, jika benar ada seseorang yang ingin Larissa menghilang saat itu, orang itu bisa saja masih ada di sekitar kalian sekarang."Sebuah kesadaran mengerikan menghantam Wisang dan Taka bersamaan."Dan kalau mereka belum selesai…" Wisang menelan ludah. "Mereka akan kembali untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai."Dalam perjalanan pulang, pikiran Taka dipenuhi oleh semua informasi yang baru saja mereka terima. Ia merasa ada sesuatu yang terlewat, sesuatu yang harus diingatnya.Sesampainya di rumah, Wisang menidurkan Ghenta yang masih terlihat lelah setelah semalaman dilanda ketakutan.Taka duduk di ruang tamu, menyalakan laptopnya dan mulai mencari dokumen lama yang pernah ia simpan.Saat sedang membuka folder-folder lama, matanya tiba-tiba menangkap sebuah file rekaman CCTV yang pernah ia simpan bertahun-tahun lalu. Rekaman dari kamera di depan rumah mereka, tepat beberapa hari sebelum kecel
Pagi yang dingin terasa lebih mencekam daripada biasanya. Setelah malam yang panjang dengan berbagai ancaman, Wisang dan Taka tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal diam lagi. Sesuatu sedang mengincar mereka—mengincar Ghenta.Wisang menatap wajah anak itu yang masih terpekur di tempat tidur. Ghenta belum benar-benar pulih dari ketakutannya. Ia hanya memeluk lututnya erat-erat, menolak berbicara lebih banyak tentang apa yang ia lihat semalam.Taka duduk di sampingnya, tangannya mengusap punggung anak itu dengan lembut. “Sayang, tidak ada yang bisa menyakitimu. Papa dan Tante Wisang akan melindungimu,” katanya pelan.Ghenta mengangguk, tapi matanya tetap terarah ke jendela, seakan takut sesuatu akan muncul lagi.Wisang menarik napas dalam, lalu berbalik menatap Taka. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Aku akan mencari tahu lebih jauh tentang kecelakaan Larissa dulu.”Taka mengangguk. “Aku akan menemui beberapa orang yang mungkin bisa membantu kita. Kita harus tahu siapa yang mengirim a
Pagi yang dingin menyelimuti rumah mereka. Wisang terbangun lebih awal dari biasanya, pikirannya masih dihantui oleh sosok berbaju hitam yang ia lihat semalam. Ia duduk di tepi ranjang, matanya menatap lurus ke jendela, mencoba mencari tanda-tanda aneh di luar sana.Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Taka muncul di ambang pintu, wajahnya masih tampak letih setelah malam yang panjang."Aku tidak bisa tidur," kata Taka lirih.Wisang menepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan agar Taka duduk. "Aku juga," balasnya.Taka menghela napas berat. "Aku tidak habis pikir. Larissa muncul tiba-tiba, menuntut hak asuh Ghenta, lalu ancaman itu… Semuanya terjadi begitu cepat."Wisang menatapnya dengan serius. "Aku merasa ini bukan kebetulan, Tak. Semalam, aku melihat seseorang berdiri di luar. Sosok berbaju hitam. Dia hanya diam menatap ke arah rumah ini, lalu menghilang."Taka menegang. "Sosok berbaju hitam?"Wisang mengangguk. "Sama seperti yang Ghenta lihat dalam mimpinya."Taka
Malam semakin menekan, seakan udara di dalam rumah pun terasa lebih berat dari sebelumnya. Wisang masih berdiri di dekat ranjang Ghenta, matanya menatap wajah polos anak itu yang terlelap. Tapi pikirannya jauh dari tenang. Kata-kata yang Ghenta ucapkan tadi masih bergema dalam kepalanya."Dia bilang… dia sudah dekat."Taka duduk di kursi kecil di samping tempat tidur Ghenta, menatap Wisang dengan ekspresi penuh kecemasan. "Kita tidak bisa menganggap ini hanya kebetulan, Wisang. Ghenta terus memimpikan sosok berbaju hitam itu, dan sekarang seseorang benar-benar meninggalkan pesan ancaman di depan rumah kita. Ini terlalu nyata untuk sekadar kebetulan."Wisang mengangguk pelan. "Aku tahu.""Apa kau pikir Dimas yang mengirim pesan itu?" Taka bertanya, meskipun dalam hatinya ia ragu.Wisang menggeleng. "Aku tidak yakin. Ini bukan gaya Dimas. Jika dia ingin mengancam, dia pasti akan melakukannya secara terang-terangan, bukan dengan permainan seperti ini."Taka terdiam, lalu berbisik dengan
Malam semakin larut, tetapi Wisang tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya penuh dengan pertanyaan—siapa orang berbaju hitam itu? Apakah ini hanya kebetulan, atau ada seseorang yang benar-benar mengincar mereka?Di kamar, Taka sudah kembali setelah memastikan Ghenta tidur dengan tenang. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Wisang yang masih berdiri di dekat jendela, pikirannya terlihat jauh."Sudah hampir jam dua pagi," ucap Taka pelan. "Kau belum mau tidur?"Wisang menggeleng. "Aku merasa ada yang tidak beres."Taka menghela napas. Ia tahu suaminya bukan tipe orang yang mudah panik, jadi jika Wisang merasa ada sesuatu yang salah, kemungkinan besar itu memang benar."Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan Dimas?" tanya Taka akhirnya.Wisang diam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak tahu. Tapi kalau memang dia ingin berbuat sesuatu, kenapa harus dengan cara seperti ini?"Taka mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Wisang. "Besok kita tingkatkan keamanan rumah. Aku akan meminta beberap
Wisang menarik napas dalam, menekan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Dimas. Saat ini, yang terpenting bukanlah siapa yang membenci mereka atau siapa yang mengancam, melainkan Ghenta—anak tirinya dari Taka."Kau boleh bicara sesukamu, Dimas," ucap Wisang akhirnya, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Tapi bagiku, yang paling penting sekarang adalah kesehatan mental Ghenta. Jika keberadaanmu membantunya, maka aku tidak keberatan."Taka menoleh, ekspresinya sulit ditebak. Dia tahu bahwa Wisang bukan orang yang mudah menerima kehadiran Dimas, apalagi setelah semua yang terjadi di antara mereka. Namun, demi Ghenta, Wisang rela mengesampingkan perasaan pribadinya.Dimas menaikkan alisnya, tampak sedikit terkejut. "Aku tidak menyangka kau akan mengatakan itu, Wisang. Kukira kau akan langsung menyuruhku pergi.""Aku ingin menyuruhmu pergi," Wisang mengakui, melipat tangannya di dada. "Tapi Ghenta butuh stabilitas, bukan pertengkaran orang dewasa yang egois."Dimas menatap Wisa
Setelah hari yang penuh ketegangan, Wisang memutuskan untuk membuat sesuatu yang istimewa untuk Taka. Dimas boleh saja terus mengusik mereka, tetapi malam ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan pria yang dicintainya.Di dapur apartemen kecil mereka, Wisang berdiri dengan celemek terikat di pinggang. Taka duduk di kursi bar, mengamati dengan senyum miring. "Aku tak pernah tahu kalau kau bisa memasak," katanya, menyandarkan dagunya di tangan.Wisang tertawa pelan sambil membalik steak di atas panggangan. "Kau pikir aku hanya bisa bekerja dan bertengkar dengan Dimas?" ia melirik ke belakang dengan senyum menggoda.Taka mengangkat bahu. "Yah, jujur saja, aku selalu melihatmu sebagai orang yang lebih suka makan di luar daripada repot-repot memasak sendiri."Wisang mengangguk sambil menuangkan saus ke atas steak yang sudah matang. "Itu benar. Tapi untuk orang yang kucintai, aku rela melakukan apa pun. Termasuk belajar memasak."Taka menatapnya, matanya melembut. Wisang memang buka