Veny adalah seorang wanita yang menjalani kehidupan penuh pengkhianatan. Setelah dituduh meracuni Moza, mantan kekasih suaminya, Samy, Veny disekap di gudang dalam kondisi mengenaskan. Suaminya sendiri, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menuduh dan membencinya, mengaku hanya menikahi Veny karena terpaksa. Ketika Veny menyadari bahwa cintanya kepada Samy tidak pernah berbalas, dia melarikan diri dengan membawa rahasia besar kehamilannya. Tujuh tahun kemudian, Veny muncul kembali dengan identitas baru sebagai Diandra, seorang dokter sukses yang kini tinggal di Philadelphia bersama putranya, Nick. Kehidupannya yang baru membawa kedamaian, terutama berkat bantuan Felix dan Tania, pasangan yang telah merawatnya setelah pelariannya. Namun, takdir membawanya kembali ke San Diego, tempat di mana semua luka masa lalunya bermula. Saat Veny kembali bertemu Samy dalam sebuah pertemuan profesional, Samy tak mengenalinya. Namun, tanpa disadari oleh Veny, Samy mulai merasa ada sesuatu yang berbeda pada Diandra, wanita yang kini tampak anggun dengan bola mata amber yang memikat. Perasaan lama muncul kembali saat Samy meminta bantuannya untuk merawat seseorang yang sangat penting baginya. Di tengah ketegangan emosional dan ancaman yang tak pernah benar-benar pergi, Veny harus menghadapi masa lalunya. Rahasia yang dia simpan tentang Nick bisa menghancurkan dunianya yang baru, namun dia harus memutuskan apakah akan tetap bersembunyi atau menghadapi Samy dan kebenaran yang selama ini terkubur. Tema: Cinta, pengkhianatan, identitas, pembalasan Genre: Drama Romantis, Thriller
Lihat lebih banyakVeny meronta, tali yang mengikat pergelangan tangannya terasa semakin menjerat kulitnya. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun di tengah udara lembap dan pengap dari gudang tua itu. Bau anyir darah yang menempel di bajunya bercampur dengan bau lembap kayu yang lapuk. Matanya mencari Samy, mencari sedikit saja belas kasih, namun yang ditemuinya hanyalah tatapan dingin yang menusuk.
"Samy... kumohon... lepaskan aku..." suaranya hampir tak terdengar, serak oleh keputusasaan. Namun Samy tetap berdiri kaku, tangannya mengepal, wajahnya menyiratkan kemarahan yang tak terkendali. "Aku membencimu, Veny. Kalau bukan karena dijebak... aku tak akan pernah menikahimu seumur hidupku." Kalimat itu keluar dari bibirnya dengan penuh racun. Veny tersentak, tubuhnya gemetar. Kata-kata Samy menghancurkan hatinya, lebih menyakitkan daripada luka apa pun yang mungkin ditinggalkan oleh tali di pergelangannya. Dijebak? pikirnya. Apakah dia selalu berpikir begitu? Kilas balik melintas di kepalanya. Hari ketika mereka pertama kali bertemu. Samy adalah pria yang hangat, tersenyum penuh cinta saat mereka berbicara untuk pertama kalinya. Mereka menikah dengan impian besar, atau begitulah yang dipikirkan Veny. Tapi sekarang, semua itu tampak seperti kebohongan. Kepulangan Moza kekasih masa kecil Samy menghapus sosok Veny di mata Samy, lelaki itu bahkan tak pernah menganggap Veny sebagai istrinya. Baginya Veny adalah kesialan dalam hidupnya. Suaranya patah saat ia kembali berkata, "Aku tidak meracuni Moza... aku tidak bersalah." Namun Samy tidak mendengarkan. Dia menatap Veny dengan kebencian yang begitu mendalam, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong. Di tengah rasa sakit dan keputusasaan itu, sesuatu berubah dalam diri Veny. Sebuah kesadaran baru mulai tumbuh, bahwa cinta yang diidamkannya tidak akan pernah ia dapatkan. Tidak dari Samy. Aku harus pergi dari sini, pikir Veny. Aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang sudah mati. Veny menatap Samy dengan mata yang penuh luka. "Kalau kamu memang tidak menginginkanku... lebih baik lepaskan saja aku," suaranya bergetar, tapi ada keteguhan yang merasuk dalam nadanya. Dia sudah lelah memohon, lelah berharap. Samy terdiam sejenak kemudian tertawa. Tawa yang konyol, dingin dan tanpa rasa. "Dia berjalan mendekati Veny, tatapannya liar penuh dengan kebencian yang tak terungkapkan. "Melepaskanmu?" gumamnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Veny. "Kamu pikir semudah itu?" Dengan gerakan cepat Samy mencengkeram dagu Veny dengan kasar, mencubit kulit halusnya sampai terasa sakit. Jari-jarinya begitu kuat hingga membuat kepala Veny terpaksa menoleh ke atas, memaksanya menatap mata Samy yang menyala dengan kemarahan. "Jangan mimpi!" bisiknya dengan nada dingin. "kamu akan tetap di sini sampai aku memutuskan hukuman apa yang akan kuberikan padamu." Veny meringis, rasa sakit menjalari wajahnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan pahit bahwa pria yang pernah dia cintai ini telah berubah menjadi musuhnya. Sekarang dia tau di dalam hati Samy tidak akan pernah ada cinta untuknya selain hanya kebencian. Setelah Samy melepaskan cengkeramannya dengan kasar, dia melangkah mundur menatap Veny dengan kebencian yang seolah tak berujung. "Aku akan meninggalkanmu di sini untuk berpikir," katanya dengan sinis sebelum berbalik dan meninggalkan gudang. Pintu kayu itu berderak keras saat ditutup, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Veny terdiam sejenak, terisak dalam keheningan. Dia merasa tubuhnya lelah dan hancur, tetapi pikirannya mulai bekerja. Aku harus keluar dari sini. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Matanya mencari-cari sesuatu apa saja yang bisa membantunya keluar dari ikatan ini. Dalam kegelapan gudang, dia melihat sebuah pecahan kaca kecil di lantai, sisa dari botol yang mungkin telah lama pecah. Meski tangannya terasa sakit oleh tali yang begitu ketat, Veny memaksakan diri bergerak, merangkak perlahan ke arah pecahan kaca itu. Setiap gerakan terasa menyakitkan, tetapi tekadnya semakin kuat. Dengan susah payah, Veny berhasil meraih pecahan kaca tersebut dan mulai menggesekkan ujung tajamnya ke tali di pergelangan tangannya. Keringat mengalir di wajahnya, jantungnya berdetak cepat karena takut Samy akan kembali sebelum dia berhasil. Butuh beberapa menit, namun tali itu akhirnya mulai mengendur. Dengan sekali tarik, Veny membebaskan tangannya, napasnya terengah-engah. Tanpa membuang waktu, dia melepaskan ikatan di kakinya dan berdiri. Tubuhnya gemetar, tapi dia tahu dia harus bergerak cepat. Matahari sudah terbenam, dan malam mulai menyelimuti area perumahan. Veny mengintip dari celah pintu gudang, memastikan tidak ada yang berjaga. Saat kesempatan itu datang, dia membuka pintu dengan perlahan dan menyelinap keluar, menyatu dengan bayang-bayang malam. Dengan pakaian penuh darah dan tubuh yang lemah, Veny melarikan diri dari tempat yang dulu dia sebut rumah menuju ketidakpastian, tetapi dengan satu hal yang pasti di hatinya, dia harus bertahan hidup, dan pergi sejauh mungkin dari kota ini dan tidak akan bertemu lagi dengan Samy. Veny terus berlari, kakinya yang telanjang menapak keras di atas tanah berbatu. Setiap langkah terasa perih, tetapi ia tak peduli. Rasa sakit itu tidak sebanding dengan kepedihan yang menggerogoti hatinya. Pakaian kotor dan darah yang mengering di tubuhnya membuat orang-orang yang berpapasan dengannya menatap penuh keheranan. Beberapa berbisik sementara yang lain hanya terpaku, tapi Veny tidak memedulikannya. Satu hal yang memenuhi pikirannya. Pergi, selamatkan diri. Dia semakin mempercepat langkah sampai tiba-tiba kakinya menyentuh aspal keras. Nafasnya terengah-engah saat dia menyadari bahwa ia sudah sampai di jalan raya. Belum sempat berpikir lebih jauh, lampu terang dari sebuah mobil menyilaukan matanya. Suara deru mesin mobil Range Rover terdengar kencang, namun segalanya terasa begitu cepat. Dalam sekejab mobil itu menghantam tubuh Veny. Tubuhnya terlempar ke udara sebelum jatuh keras ke atas aspal keras. Rasa sakit yang luar biasa menjalar cepat ke seluruh tubuhnya, namun kesadaran segera memudar sebelum dia sempat merasakan semuanya. Pengendara mobil seorang pria muda dengan wajah panik segera turun dari kendaraannya. "Tolong! ada yang terluka, panggil ambulan!" teriaknya dengan nada cemas, tangannya gemetar saat dia berlutut di samping tubuh Veny yang tergeletak tak sadarkan diri. Orang-orang yang tadinya hanya menatap kini mulai berkerumun, ponsel mereka sibuk merekam dan beberapa mulai menelpon emergency. Di tengah keramaian itu hanya satu hal yang tetap sepi, yaitu kesadaran Veny yang perlahan memudar ke dalam kegelapan yang tak terjangkau. Air mata menggenang di mata Diandra. Dia mengerti betapa dalam cinta Alex untuknya, dan itu membuat hatinya terasa penuh. Dia mengangkat wajahnya untuk menatap Alex, tersenyum lembut sambil menyeka air mata yang hampir jatuh. "Aku janji, Alex. Aku akan menjadi ibu yang baik untuk Aurora, istri yang setia untukmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau dan Aurora adalah dunia bagiku." Alex menunduk, mencium keningnya dengan lembut. "Itu saja yang kubutuhkan, Dee. Kau adalah segalanya untukku." Malam itu, di bawah sinar bulan, mereka berdua berdiri dalam pelukan, menguatkan janji mereka untuk saling menjaga, mencintai, dan bersama membangun kehidupan penuh kebahagiaan. Kehidupan keluarga kecil itu semakin bahagia setelah janji-janji malam itu. Hari-hari mereka diisi dengan cinta dan perhatian, terutama untuk Aurora yang kini menjadi pusat dunia mereka. Alex mulai meluangkan lebih banyak waktu di rumah, memastikan dia tidak melewatkan momen berharga bersama Diandra dan bayi m
Di sela-sela pesta, Alex mendekati Diandra yang sedang duduk di sofa. "Kau baik-baik saja? Tidak terlalu lelah?" tanyanya penuh perhatian.Diandra tersenyum lembut. "Aku baik-baik saja, Alex. Terima kasih sudah membuat hari ini begitu istimewa."Alex mencium puncak kepalanya. "Kau yang istimewa, Dee. Aurora adalah hadiah terbaik yang pernah kubayangkan."Pesta berlangsung meriah namun tetap hangat dan intim. Saat malam tiba, Alex mengangkat gelasnya untuk memberi toast terakhir."Untuk Aurora, cahaya baru dalam hidup kita. Semoga dia selalu dikelilingi cinta dan kebahagiaan," ucapnya.Semua tamu bersorak, memberikan doa dan harapan terbaik untuk bayi mungil itu. Hari itu menjadi momen penuh kebahagiaan dan cinta yang akan selalu dikenang oleh keluarga Evanders.Setelah pesta berakhir, rumah keluarga Evanders kembali hening. Diandra sedang menyusui Aurora di kamar bayi yang telah dihias dengan warna pastel lembut. Lampu gantung berbentuk bintang memancarkan cahaya hangat, menciptakan s
Diandra merasa energinya semakin bertambah. Perutnya sudah membuncit, dan hal itu membuat Alex semakin perhatian. Setiap malam, Alex dengan sabar mengoleskan minyak khusus ke perut Diandra untuk mencegah stretch mark.“Alex, kau tidak harus melakukannya setiap malam,” ujar Diandra sambil terkikik.“Tapi aku mau,” balas Alex dengan senyum lebar. “Ini seperti ritual bonding dengan bayi kita. Dan tentu saja, aku ingin kau tetap merasa cantik.”Diandra hanya bisa menggeleng pelan sambil tersenyum, hatinya penuh rasa syukur.“Aku merasa sangat beruntung,” kata Alex sambil menatap Diandra.“Kenapa?” tanya Diandra, bersandar di bahunya.“Karena aku punya istri yang luar biasa, keluarga yang mendukung, dan sekarang, kita akan punya bayi. Hidupku terasa sempurna.”Diandra meremas tangan Alex dengan lembut. “Aku juga merasa begitu, Alex. Aku tidak sabar melihat bayi kita tumbuh, menciptakan lebih banyak kenangan indah bersama.”Malam itu, mereka menikmati kebersamaan dalam diam, hanya ditemani
Melihat kondisi itu, Alex menghela napas panjang. Hatinya hancur melihat Diandra seperti ini, tetapi ia tidak ingin menyerah. Ia bangkit, berjalan ke dapur, dan memutuskan untuk mencoba memasak sendiri. Sup hangat yang ringan, pikirnya.Ketika Alex kembali ke kamar dengan semangkuk sup, Diandra masih terbaring di posisi yang sama. "Aku tidak ahli memasak, tapi aku sudah berusaha. Tolong coba satu sendok, ya, Dee?"Diandra membuka matanya perlahan, menatap Alex yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh harapan. Dengan enggan, ia mengangguk. Alex membantu menyendokkan sup ke bibirnya.Rasa hangat sup itu sedikit mengurangi mual Diandra, dan ia berhasil menelan beberapa suap. "Rasanya… lumayan," gumamnya dengan lemah, mencoba tersenyum.Alex tertawa kecil, merasa lega. "Lumayan sudah cukup baik untukku. Besok aku akan coba membuat hal lain yang lebih enak."Hari-hari berlalu dengan Alex yang terus merawat Diandra sepenuh hati. Ia memastikan Diandra mendapatkan asupan nutrisi yang
Diandra memanggil salah satu pelayan untuk membuatkan salad siang itu. Setelah memastikan pesanannya disampaikan, ia berjalan perlahan menuju kamar di lantai atas. Namun, saat mulai menaiki tangga, rasa pusing yang mengganggu sejak pagi semakin menjadi-jadi.Tangannya bergetar saat meraih sisi pegangan tangga, tubuhnya terasa semakin lemah. Pandangannya kabur, dan suara detak jantungnya berdentam keras di telinganya."Aku harus sampai ke kamar," gumamnya pelan, mencoba melangkah lagi. Namun tubuhnya terasa seperti kehilangan kendali. Mata Diandra mulai terpejam, tubuhnya lunglai, dan gravitasi perlahan menariknya ke bawah.Di saat kritis itu, suara langkah cepat terdengar di belakangnya. Alex, yang kebetulan baru pulang lebih awal dari kantor, menyadari sesuatu yang tidak beres."Diandra!" seru Alex panik. Dia berlari ke arah istrinya dan berhasil menangkap tubuhnya tepat sebelum Diandra jatuh ke lantai."Dee! Buka matamu!" Alex mengguncang tubuhnya pelan, suaranya bergetar dengan kek
Kata-kata Diandra menghangatkan hati Alex. Dia meremas tangan istrinya, berterima kasih atas kehadirannya. "Terima kasih, Dee. Aku hanya… ada banyak hal yang harus kuurus. Tapi aku janji, semuanya akan baik-baik saja."Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, pintu suite mereka diketuk. Alex berjalan ke pintu, membuka dengan hati-hati."Pak Evanders, ini paket untuk Anda," ucap seorang pelayan hotel sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hitam.Alex mengucapkan terima kasih, lalu menutup pintu. Dia membawa kotak itu ke meja, membuka perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah amplop putih dan flash drive kecil."Apa itu?" tanya Diandra penasaran.Alex membuka amplop tersebut. Di dalamnya hanya ada satu kalimat, ditulis dengan huruf cetak tebal:"Kebenaran selalu memiliki cara untuk muncul ke permukaan."Alex memandang flash drive itu dengan cemas. Diandra memperhatikan ekspresinya yang tegang. "Alex, apa kau ingin memeriksanya?"Alex mengangguk. "Aku harus tahu apa ini."Mereka m
Ruangan itu hening. Nick melompat kecil sambil berbisik, "Mommy, bilang iya!"Diandra tertawa kecil, lalu mengangguk sambil menahan air matanya. "Ya, Alex. Aku mau menikah denganmu."Sorak-sorai kecil dari Nick dan tepuk tangan dari Veny serta Samy memenuhi ruangan. Alex bangkit dan memeluk Diandra erat-erat.Setelah lamaran itu, persiapan pernikahan dimulai. Alex memastikan setiap detailnya sempurna. Lokasi pernikahan mereka dipilih di taman bunga mewah di New York, tempat yang indah dengan pemandangan kota yang menakjubkan.Diandra merasa gugup tapi juga bahagia. Dengan dukungan penuh dari keluarga dan Alex yang selalu ada di sisinya, dia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru mereka.Dan di hari pernikahan mereka nanti, Alex berencana memberikan satu kejutan terakhir yang akan membuat hari itu semakin tak terlupakan.Matahari pagi bersinar lembut di New York, menandai dimulainya hari yang istimewa. Di sebuah suite hotel mewah, Diandra tengah bersiap dengan bantuan perias p
Saat malam tiba, Alex dan Diandra duduk di sebuah restoran kecil dekat pantai, menikmati makanan laut yang sederhana. Mereka berbicara tentang masa depan mereka, tentang bagaimana mereka akan mendukung satu sama lain.Alex merasa bahwa Diandra bukan hanya seseorang yang ia sukai. Dia adalah rumah, tempat di mana ia merasa damai dan diterima apa adanya.Bagi Diandra, Alex bukan hanya pria yang membuatnya tertawa. Dia adalah seseorang yang memberinya harapan, seseorang yang meyakinkannya bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang tidak terduga.Ketika mereka kembali ke rumah Samy, Veny menatap mereka dengan tatapan penasaran. "Kalian kelihatannya sangat menikmati waktu bersama," katanya dengan senyum menggoda.Diandra mencoba menyangkal, tapi Alex dengan santai menjawab, "Tentu saja, Mommy. Aku sedang memastikan putrimu bahagia."Samy, yang sedang membaca koran di ruang tamu, hanya melirik mereka sambil berkata, "Kau harus lebih dari sekadar memastikan, Alex. Jika kau serius, tunjukkan."
"Dee, aku ingin bertanya sesuatu," ucap Alex sambil menatapnya dalam-dalam."Apa itu, Alex?""Jika aku meminta kau menjadi bagian dari hidupku, apa kau bersedia?"Diandra terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia melihat ketulusan di mata Alex dan tahu bahwa pria itu benar-benar serius."Aku..." Diandra menghela napas, lalu tersenyum lembut. "Aku ingin waktu untuk memikirkannya, Alex.""Aku akan menunggu, seberapa pun lama waktu yang kau butuhkan," jawab Alex.Beberapa minggu kemudian, Diandra akhirnya membuat keputusan.Saat mereka duduk bersama di taman kecil dekat rumah, Diandra menatap Alex dengan mata penuh keyakinan. "Alex, aku juga menyukaimu. Aku ingin mencoba menjalani hubungan ini denganmu."Alex tersenyum lebar, dan tanpa ragu, dia menggenggam tangan Diandra. "Aku janji, aku akan selalu menjagamu, Dee."Hubungan mereka resmi dimulai, membawa harapan baru untuk masa depan.Malam itu terasa tenang, hanya ditemani suara jangkrik dan gemerisik angin yang menggerakkan dedaunan. Dia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen