Share

KITC-04

Veny kini menjalani hidup baru di Philadelphia, dengan identitas barunya sebagai Diandra. Ia tinggal di rumah Felix dan istrinya, Tania, yang sangat menyukainya. Transplantasi mata telah berhasil membuat penglihatannya kembali.

Perubahan wajahnya semakin kentara karena mata yang semula berwarna abu-abu kini berganti amber, ditambah dagu yang telah lancip membuat wajah Veny terlihat lebih cantik dan semakin memikat, tatapannya pun tidak sendu lagi, kini berubah lebih berani. Sehingga mungkin orang yang dulu bersamanya tidak akan mengenalinya sebagai Veny.

Felix dan Tania merawat Veny dengan penuh perhatian, bahkan hingga Veny melahirkan seorang putra. Kehadiran anaknya menjadi pelipur lara di tengah kenangan masa lalunya. Namun, setiap kali Veny menatap mata hitam pekat anaknya, bayangan Samy selalu terlintas di benaknya. Meskipun ia telah jauh dari masa lalu, kenangan tentang Samy tetap tak terhapuskan, terutama saat melihat bayangan pria itu dalam bola mata anaknya.

Sambil menggendong bayinya Veny menghampiri Felix dan Tania. "Felix, Tania... aku harus segera bekerja untuk menghidupi anakku. Aku tidak bisa terus bergantung pada kalian. Kalian sudah banyak membantuku."

Istri dari Felix itu menatapnya lembut. "Veny, kami tidak pernah keberatan dengan keberadaanmu dan Nick."

"Kenapa tidak kuliah saja? usiamu masih muda dan aku rasa kuliah lebih baik dari pada langsung bekerja." Felix ikut menimpali.

Veny Tampak ragu. "Tapi… kuliah butuh waktu dan biaya, sementara aku perlu segera bekerja. Aku tidak ingin terus menjadi beban bagi kalian."

Tania menepuk tangan Veny dengan lembut. "Kau bukan beban, Veny. Anggap ini sebagai investasi untuk masa depanmu dan anakmu. Lagi pula kami sudah menganggapmu keluarga dan lagi Nick juga sudah seperti anakku sendiri."

Veny begitu terharu mendengar ketulusan dari sepasang suami istri itu. Padahal mereka sudah sangat bertanggung jawab membuatnya sembuh.

"Kalau kau mau, aku bisa bantu carikan jurusan yang cocok," kata Felix.

"Sebenarnya aku sempat mengambil jurusan kedokteran, tapi berhenti saat aku menikah dengan suamiku," kata Veny mengingat masalalunya.

"Kau bisa mengulangnya, aku akan mengurus segalanya untukmu, tentang identitas kau mau pakai yang mana?" Felix dan Tania sama mendukungnya.

Veny tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca "Terima kasih... aku benar-benar bersyukur punya kalian. Kalau begitu, aku akan menerima tawaran ini. Aku akan kuliah, dan aku akan ambil jurusan kedokteran dengan nama baruku, Diandra."

Tersenyum penuh kebanggaan. "Itu baru keputusan yang tepat. Kami selalu ada untukmu, Veny."

Tujuh tahun telah berlalu.

Veny kini menjalani kehidupan barunya sebagai dokter di Philadelphia. Namun, hari ini ada yang berbeda. Saat Veny pulang ke rumah, wajahnya tampak murung, penuh dengan beban pikiran. Tania yang sedang bermain dengan Nick, putra Veny segera menyadari suasana hati sahabatnya yang berbeda.

Tania dengan nada khawatir bertanya, "Ada apa, Diandra? Kamu kelihatan tidak seperti biasanya. Ada yang mengganggumu di tempat kerja?"

Veny menghela napas panjang, menatap Tania dengan raut wajah berat. "Aku baru saja diberitahu… Aku dipindahkan ke rumah sakit di San Diego."

Tania terkejut, ekspresi herannya jelas terlihat. “San Diego? Tapi itu jauh sekali dan juga..., kapan mereka memberitahumu?”

“Baru saja,” jawab Veny pelan. “Aku tidak punya pilihan. Itu promosi, tapi… aku tidak tahu apakah aku siap untuk meninggalkan semuanya di sini.”

Tania terdiam sejenak, lalu memegang tangan Veny dengan lembut. “Apakah kamu akan pergi?”

Veny tidak langsung menjawab, pikirannya penuh pertanyaan yang belum terjawab. Pergi ke San Diego berarti meninggalkan Tania, Felix, dan tentu saja Nick, anaknya yang mulai tumbuh besar. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan besar untuk kariernya. Namun, kenangan akan masa lalunya di San diego dan juga bayangan Samy tetap menghantui pikirannya.

Tania melihat keraguan di wajah Veny, ia berusaha memberi semangat. “Dengar Diandra. Suamimu tidak akan mengenalimu dengan identitas baru dan wajahmu yang sekarang. Ini kesempatanmu untuk mengembangkan karier tanpa masa lalu yang menghantuimu.”

Nick mendekati Veny dengan tatapan polos, mengubah suasana hati yang tegang. “Mom, apa itu San Diego?” tanyanya dengan penasaran.

Tania tersenyum dan menjelaskan, “San Diego adalah tempat kerja baru mommy. Itu jauh dari sini, di pantai.”

Mendengar penjelasan itu, Nick tampak bingung. “Apa kita akan pindah ke sana?” tanyanya lagi, harapan dan ketidakpastian bercampur di wajahnya.

“Tidak sayang,” jawab Veny lembut. “Hanya mom yang akan pergi. Nick tetap di sini bersama Bibi Tania dan Paman Felix. Mom janji akan tetap datang ke sini menjengukmu.”

Mendengar jawaban itu Nick cemberut dan berkata, “Mom, aku tidak mau berpisah darimu!” Suaranya terdengar sedih, dan raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.

Veny merasa hatinya hancur mendengar pernyataan anaknya. Ia ingin melindungi Nick dari rasa sakit, tetapi juga menyadari betapa sulitnya menjelaskan situasi ini kepada seorang anak. “Nick, mom akan selalu ada untukmu. Ini hanya sementara,” ujarnya, berusaha menenangkan putranya, meskipun di dalam hatinya, ia pun merasakan kesedihan yang sama.

Veny dipindahkan hanya tiga bulan lamanya, dia merasa tak perlu membawa Nick bersamanya, selain itu dia juga memiliki rasa takut jika sewaktu-waktu mereka bertemu dengan Samy. Namun Nick terus merengek minta untuk di ikutkan.

Veny akhirnya memutuskan untuk membawa Nick ke San Diego. Dengan hati yang berat, mereka berpisah dari Felix dan Tania di bandara, yang memberikan dukungan penuh meskipun mereka semua merasa sedih. Tania memeluk Veny erat, berjanji untuk selalu menjaga komunikasi.

Setelah melewati pemeriksaan keamanan, Veny dan Nick menaiki pesawat dengan perasaan campur aduk. Saat pesawat mendarat di San Diego, Veny merasakan degup jantungnya semakin cepat. Mobil jemputan yang sudah disiapkan menunggu mereka di luar bandara. Dengan suasana kota tempat dia berasal, kota yang pernah menjadi tempat luka di hatinya, Veny berusaha menghilangkan rasa cemas di dalam hatinya.

Sesampainya di apartemen, Veny berkeliling, memperhatikan semua detail. Ini adalah tempat yang akan menjadi rumah barunya. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari pertemuan yang akan dilakukannya malam ini dengan kepala rumah sakit di sebuah hotel ternama. Dia tahu itu adalah langkah besar untuk kariernya, tetapi rasa takut akan masa lalu dan potensi pertemuan dengan Samy selalu menghantuinya.

“Mom, apa kita akan tinggal di sini selamanya?” tanya Nick, menatap Veny dengan penuh harapan.

Veny tersenyum lembut, berusaha memberikan rasa aman. “Kita akan tinggal di sini untuk sementara waktu, sayang. Kita akan menjelajahi tempat ini bersama-sama.”

Setelah menyiapkan beberapa barang dan memberi Nick waktu untuk beradaptasi, Veny bersiap-siap untuk pertemuan malam itu. Dia mengenakan pakaian profesional dan berdiri di depan cermin, berusaha menenangkan diri. Aku bisa melakukannya. Ini awal yang baru.

Setelah memberikan arahan kepada pengasuh baru untuk Nick, Veny merasa sedikit lega. Dia berharap pengasuh itu bisa menjaga Nick dengan baik selama ia menjalani tugasnya. Dengan perasaan campur aduk, Veny berangkat menggunakan mobil yang telah disiapkan pihak rumah sakit.

Sesampainya di restoran hotel, Veny disambut oleh suasana yang ramai. Banyak dokter dan staf rumah sakit lainnya sudah hadir, berbincang-bincang dengan akrab. Veny menatap sekeliling, merasakan ketegangan dan harapan bersamaan. Ini adalah kesempatan untuk memulai karier baru, tetapi rasa cemas tetap menghantuinya.

Saat ia mempertimbangkan untuk bergabung dengan para tamu, tiba-tiba, dokter Damian, seorang rekan yang mengenalnya, mendekat dengan senyum hangat. “Diandra! Senang melihatmu di sini,” sapanya dengan ramah.

Veny merasa sedikit lebih tenang mendengar suara hangatnya. “Terima kasih, Damian. Senang bisa berada di sini,” jawabnya, berusaha menyembunyikan kecemasan yang menggerogoti pikirannya.

“Semua orang sudah menantikan kehadiranmu. Kami tahu betapa berharganya kehadiranmu di sini,” kata Damian, membimbingnya menuju kelompok dokter lainnya. Veny merasa sedikit terhibur, meskipun bayangan masa lalu masih menggantung di benaknya.

Dengan keberanian baru, Veny melangkah maju, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi di malam itu.

Veny mulai merasa nyaman saat memperkenalkan diri kepada para dokter lainnya. Suasana menjadi hangat dan akrab, mereka terlibat dalam perbincangan menarik tentang ilmu kedokteran. Ia mulai melupakan kecemasannya dan merasakan semangat baru.

Namun, saat momen itu tiba, suara yang sangat familiar dan tidak diinginkan tiba-tiba memecah konsentrasi. “Selamat malam,” suara itu menyapa, mengalir dengan nada yang membuat jantung Veny berdegup kencang.

Dia menoleh, dan pandangannya bertemu dengan Samy. Dalam sekejap, semua perasaan tenang yang baru saja dirasakannya lenyap, digantikan oleh rasa cemas dan ketidakpastian. Samy berdiri di sana, dengan tatapan yang sulit dibaca, seolah ingin menjelaskan atau mengungkapkan sesuatu.

Veny merasa terjebak antara ingin melarikan diri dan keinginan untuk berhadapan langsung dengan pria yang telah melukainya. Sekelilingnya tiba-tiba terasa lebih ramai, namun hanya suara Samy yang terdengar dalam kepalanya.

​​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status