"Dulu kau berjanji akan membuat Moza bahagia," kata Nyonya Alma dengan suara bergetar, air matanya mengalir deras. "Aku sangat kecewa, Sam. Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Aku akan membawa Moza pergi dari sini."Kata-kata itu menusuk Samy seperti pedang. Ia merasa semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang tak tertahankan. Tatapan penuh kepedihan dari Nyonya Alma dan keputusasaan Moza membuatnya tersadar bahwa segala upaya yang telah ia lakukan selama ini mungkin tidak pernah cukup."Bibi... tolong beri aku waktu," ucap Samy dengan suara parau, mencoba menahan emosinya. "Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu aku telah mengecewakan kalian berdua, tapi membiarkan Moza pergi seperti ini hanya akan membuat keadaan semakin buruk."Nyonya Alma menggeleng dengan sedih. "Kau sudah punya tujuh tahun, Sam. Moza pantas mendapatkan yang lebih baik... seseorang yang benar-benar mencintainya, yang mau ada di sampingnya, bukan hanya karena kewajiban."Samy terdiam, merasa kehilangan kata
Nyonya Alma tak kuasa menahan air matanya, terus menangis dan meratapi nasib putrinya. "Anakku yang malang," isaknya, suaranya terputus-putus. Setiap desah tangisnya semakin menyayat hati, menggambarkan kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Dia merasa kehilangan dan tidak berdaya, seakan semua harapan untuk Moza hancur berkeping-keping. Sementara itu, Samy berdiri di samping Nyonya Alma, hatinya juga dipenuhi kecemasan. Ia merasakan setiap isak tangis yang keluar dari bibir wanita tua itu. Ia ingin menghibur, tetapi kata-katanya terasa hampa. Samy hanya bisa menunggu, berdoa di dalam hati agar dokter segera keluar dengan kabar baik.Beberapa saat kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar, mengenakan wajah serius. Nyonya Alma langsung menoleh, dan saat pandangannya bertemu dengan dokter, semua tangisnya berhenti sejenak. "Dokter! Bagaimana dengan putri saya?" tanyanya, suaranya penuh harap.Dokter menghela napas, menatap Nyonya Alma dengan simpati. "Moza
“Nick sayang, kau baik-baik saja?” Veny bertanya, suaranya bergetar penuh kekhawatiran. Dia mengelus lembut kepala anaknya, memeriksa setiap inci tubuhnya seolah mencari tanda-tanda yang mungkin terluka.“Aku baik-baik saja!” Nick menjawab dengan senyuman cerah, meskipun dia masih belum mengerti sepenuhnya betapa besar rasa cemas yang dirasakan ibunya."Mobil itu melaju dengan sangat kencang, kami hampir saja tertabrak, tapi anehnya pengemudinya tidak meminta maaf pada kami," kata Isla yang baru saja datang dari dapur, nada suaranya masih sedikit gemetar. Tangannya menggenggam erat gelas air yang dipegangnya, seakan mencoba menenangkan dirinya dari kejadian barusan. "Kupikir kami akan celaka..."“Syukurlah kalian selamat. Lain kali lebih hati-hati,” kata Veny dengan tegas, lalu beralih menatap Nick. “Dan Nick, setiap kali ingin menyeberang, tunggu Bibi Isla. Mengerti?”Nick menunduk dan mengangguk pelan.Veny menarik napas panjang, berusaha meredakan kekhawatirannya. Meskipun lega mer
Samy tersenyum sinis, memperhatikan punggung Dokter Diandra saat dia melangkah menjauh setelah keluar dari mobil. Di dalam benaknya, Samy merasakan campuran rasa kesal dan penasaran. Veny, di sisi lain, berpikir bahwa Samy telah pergi, sehingga dia memutuskan untuk menghentikan taksi dan menuju ke apartemennya.Namun, Samy tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja. Dia mengepalkan tangan, merasa marah dan bingung. "Sialan, dia berbohong padaku," gumamnya, menyadari bahwa apartemen yang ada di depannya bukanlah tempat tinggal dokter berkacamata yang dia cari.Rasa curiga dan kesal membanjiri pikirannya. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari tahu lebih lanjut tentang kehidupan Dokter yang baru datang dari Philadelphia itu. Samy tahu dia harus menemukan jawabannya.Run tiba di rumah Samy dengan langkah cepat, langsung menuju ruang tamu di mana Samy sudah menunggu dengan ekspresi serius. Setelah menyapa, Run melaporkan, “Tuan, saya tidak bisa mendapatkan informasi
Samy duduk santai di salah satu sofa di sudut ruangan, menunggu pesanannya datang. Matanya perlahan menyapu sekeliling tempat hiburan yang riuh dengan lampu neon dan suara musik yang menghentak. Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada Demian, temannya, yang sedang menari penuh semangat di lantai dansa.Tersenyum tipis, Samy memperhatikan Demian sejenak, tetapi kemudian matanya tertarik pada sosok wanita di sebelahnya. Ada sesuatu yang familier tentangnya. Samy menyipitkan mata, berusaha menajamkan penglihatannya di tengah lampu yang berkedip-kedip.Wajah itu… sepertinya dia mengenalnya.Saat wanita itu berbalik, Samy langsung tertegun. “Dokter Diandra?” gumamnya pelan, hatinya berdegup kencang. Samy merasa seperti ada sesuatu yang mulai terhubung di kepalanya, seolah ada teka-teki yang perlahan terbuka.Dia memperhatikan lebih seksama, tubuhnya menegang. Wanita yang dia kenal sebagai Dokter Diandra itu bukan sekadar dokter asing baginya. Ada sesuatu tentangnya yang lebih dalam, sesua
Sam, Samy! Demian mengguncang tubuh Samy yang sudah bersadar di sofa, "sudah tau tidak kuat minum, sekarang jadi begini kan?" Demian terus mengoceh.Veny menyahut, "Tidak kuat minum?"Demian menoleh ke arah Veny. "Iya, Samy ini tidak pernah kuat kalau sudah urusan minum. Biasanya satu gelas saja sudah cukup untuknya, sekarang dia sudah menghabiskan satu botol," jawabnya sambil menghela napas. Veny menatap Samy yang kini tertidur lelap di sofa dengan wajah merah. Perasaan campur aduk berkecamuk di dalam dirinya."Kalau begitu, kenapa dia tetap minum?" Veny bertanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan emosinya.Demian tersenyum tipis, "Entahlah sepertinya dia banyak masalah, kau tau sendirikan pebisnis seperti dia."Veny hanya mengangguk, berpikir sejenak. Samy yang dulu dia kenal mungkin tidak banyak berubah, namun ada perbedaan yang mencolok dalam cara pria itu membawa dirinya sekarang.Demian pun memanggil pelayan untuk membantunya membawa tubuh Samy ke dalam mobil, Veny mengik
Pelayan yang sudah berdiri di pintu berhenti di ambang, tidak jadi masuk saat melihat adegan di depannya. Tuan Samy dan wanita bernama Diandra terjebak dalam posisi yang intim di atas ranjang. Meski ragu, dia memilih mundur perlahan, memberi mereka ruang dan menunggu di luar.Tidak berapa lama Veny keluar dari kamar dengan wajah tegang, mengusap bibirnya dengan kasar seolah mencoba menghapus jejak kejadian yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk, malu, marah, dan terkejut. Tanpa sepatah kata kepada pelayan, ia berjalan cepat menuju pintu depan dan segera memanggil taksi untuk pulang.Di perjalanan, suasana sunyi terasa begitu menyesakkan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir perlahan di pipinya. Kenangan masa lalu dengan Samy, pria yang pernah ia cintai begitu dalam, kini menyerbu pikirannya tanpa ampun. Sentuhan Samy tadi membangkitkan memori-memori yang pernah ia kubur dalam kenangan indah, namun juga pahit.Veny menyeka air matanya, merasa tersesat antara mas
"Nona Moza, saya melihatnya sendiri. Tuan Samy membawa buket bunga kepada Dokter Diandra, lalu mereka berada di ruangan berdua," kata perawat yang menguping tadi, suaranya bergetar saat memberitahukan berita tersebut.Moza merasakan hatinya memanas. Rasa cemburu dan marah menggelora dalam dirinya. "Apa lagi yang kau tahu?" tanyanya tajam pada perawat itu, menuntut informasi lebih lanjut. "Apa mereka terlihat dekat? Atau apa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa?"Perawat itu terlihat gugup, tetapi ia tahu tidak ada gunanya menyembunyikan kebenaran. "Mereka tampak berbicara dengan serius. Saya tidak bisa mendengar semuanya, tetapi ada ketegangan di antara mereka. Tuan Samy tampak sangat perhatian," jawabnya, berusaha menjelaskan situasi tanpa menambah masalah.Moza mengerutkan alisnya, merasa api cemburu berkobar di dalam dirinya. "Jadi mereka benar-benar saling bicara dan menghabiskan waktu bersama? Apa dia benar-benar memperhatikannya?" keluhnya, menyadari bahwa kehadir
"Jika kau terus bersama Alex, kau akan menyesal. Jauhkan dirimu darinya, atau keluargamu yang akan menderita."Pesan itu membuat Diandra gemetar. Celia mungkin sudah kalah secara resmi, tetapi ancamannya tampaknya belum selesai.Diandra membaca pesan itu berulang kali, seakan memastikan ia tidak salah lihat. Napasnya tersengal, pikirannya penuh kekhawatiran. Siapa pun yang mengirim pesan itu pasti tahu tentang hubungannya dengan Alex, meskipun hubungan itu belum sepenuhnya jelas.Dia mencoba menenangkan diri. “Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ancaman seperti ini mengontrol hidupku,” gumamnya. Namun, bayangan keluarganya muncul di benaknya—Nick, Felix, Tania—semua orang yang ia cintai. Jika mereka menjadi sasaran, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Sementara itu, Alex tiba di rumah setelah perjalanan panjang dari New York. Meski lelah, kemenangannya atas Celia tidak memberikan rasa lega yang utuh. Ia terus memikirkan Diandra, berharap bisa mendengar kabar darinya.Namun, saa
"Alex," ucapnya lembut.Alex menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Diandra. "Ada apa?""Terima kasih," kata Diandra, senyumnya tulus. "Untuk segalanya."Alex tersenyum tipis, lalu menjawab, "Aku akan selalu melindungimu, Diandra. Apa pun yang terjadi."Diandra merasakan sesuatu yang hangat di hatinya. Kini ia tahu, Alex bukan hanya sekadar teman, tetapi seseorang yang tulus ingin memperjuangkannya. Diandra mulai menyadari bahwa mungkin, ia juga memiliki perasaan yang sama.Setelah konferensi pers itu, Alex memutuskan untuk tinggal di San Diego lebih lama. Ia merasa ada banyak hal yang belum selesai, terutama terkait Celia dan Rod yang masih menjadi ancaman. Namun, di sisi lain, Alex juga sadar bahwa alasan sebenarnya ia ingin tetap di kota itu adalah Diandra.Diandra mulai merasa kebersamaan mereka semakin intens. Setiap kali Alex berada di sekitar, ia merasa nyaman, meskipun ia mencoba menyangkal perasaan itu.Suatu sore, Alex mengundang Diandra untuk berjalan-jalan di taman dekat
Beberapa minggu setelah makan malam itu, Alex semakin sering datang ke San Diego. Tidak hanya untuk bertemu Diandra, tetapi juga menjalin hubungan baik dengan Nick, Veny, dan bahkan Samy. Diandra yang awalnya ragu mulai menyadari bahwa Alex tidak main-main.Suatu sore, Diandra sedang duduk di taman belakang rumah sambil membaca buku. Alex tiba-tiba muncul dengan membawa sekotak besar kue."Hei, aku tidak tahu kau suka membaca buku filsafat," kata Alex sambil duduk di samping Diandra.Diandra menutup bukunya dan menatap Alex. "Aku hanya mencoba memahami hidup ini lebih baik."Alex tertawa kecil. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita memulai dengan memahami rasa kue ini?"Diandra tertawa, lalu membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat berbagai jenis kue yang tampak lezat."Kenapa kau selalu membawa sesuatu setiap kali datang?" tanya Diandra sambil mengambil sepotong kue."Karena aku ingin kau tahu bahwa aku serius. Dan, aku ingin kau bahagia," jawab Alex, menatap Diandra dengan mata penuh k
Diandra menunduk, merasa jantungnya berdebar kencang. Selama ini, ia juga merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Alex, tapi ia tidak berani mengakui bahkan pada dirinya sendiri."Alex," akhirnya ia berbicara. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai kejujuranmu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkan ini."Alex mengangguk dengan senyum pahit. "Tentu. Aku tidak ingin memaksamu. Ambillah waktu sebanyak yang kau butuhkan."Diandra mengangguk kecil, dan suasana di antara mereka menjadi sunyi. Namun, meski tanpa kata, ada sesuatu yang terasa lebih dalam di udara, seperti awal dari sesuatu yang baru.Saat Alex pergi meninggalkan rumah, ia merasa lega telah mengungkapkan perasaannya, meskipun tidak tahu bagaimana tanggapan Diandra selanjutnya. Sementara itu, Diandra berdiri di depan pintu, memikirkan kata-kata Alex dan mencoba memahami perasaannya sendiri.Hari-hari berlalu sejak pengakuan Alex, dan hubungan antara Alex dan Diandra menjadi lebih canggung namun penuh arti. Diandra se
Alex menatap Samy dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangannya kembali ke Diandra. "Seseorang yang pernah membantuku melewati masa sulit. Aku rasa tidak ada salahnya menunjukkan rasa terima kasih."Nick berdiri dari tempat duduknya, berusaha mengalihkan perhatian. "Kenapa tidak kita bicara di luar, Alex? Ada beberapa tempat bagus yang ingin kutunjukkan padamu."Alex tersenyum mengangguk, tetapi sebelum berdiri, ia berkata, "Tentu. Tapi sebelum itu, aku ingin mengatakan sesuatu pada Diandra."Semua mata langsung tertuju pada gadis itu. Diandra yang merasa pusat perhatian, semakin salah tingkah. "Ya... ada apa, Alex?"Alex mengambil napas sejenak, lalu berkata, "Aku tahu kau pernah mengalami banyak hal yang sulit, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat mengagumi keteguhanmu. Kau adalah seseorang yang spesial, Diandra. Itu sebabnya aku ingin memastikan bahwa kau bahagia."Ruangan itu hening. Diandra menatap Alex dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. Nick tampak tidak senang
Beberapa minggu kemudian, pengadilan memutuskan bahwa Celia dan Rod bersalah atas pencemaran nama baik serta penyalahgunaan wewenang selama menjabat di perusahaan. Mereka dijatuhi hukuman yang membuat mereka kehilangan hak untuk terlibat dalam dunia bisnis.Di kantor EC, Alex berdiri di depan seluruh karyawan, memberikan pidato kemenangannya.“Hari ini bukan hanya kemenangan bagi saya, tapi juga bagi kita semua. Perusahaan ini adalah warisan ayah saya, dan saya berjanji akan menjaga kepercayaannya dengan bekerja bersama kalian untuk membuat EC semakin besar.”Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Diandra dan Nick tersenyum bangga di belakang ruangan, menyadari bahwa perjalanan mereka bersama Alex baru saja dimulai.Kini, Alex tidak hanya membuktikan dirinya sebagai pewaris sah, tetapi juga pemimpin yang layak untuk memimpin EC ke masa depan yang lebih cerah.Setelah semua kekacauan selesai, Nick dan Diandra memutuskan untuk kembali ke San Diego. Mereka merasa tugas mereka di New York su
Salah satu anggota dewan, Tuan Harry, angkat bicara. "Bukti ini sangat jelas. Saya setuju bahwa tindakan hukum harus diambil. Kita tidak bisa membiarkan perusahaan ini jatuh ke tangan yang salah."Celia mencoba membela diri. "Ini semua tidak benar! Ini hanya rekayasa Alex untuk menjatuhkan kami!"Namun, Alex tetap tenang. "Jika Anda merasa ini rekayasa, Nyonya Celia, Anda bisa membuktikannya di pengadilan."Dewan direksi akhirnya memutuskan untuk memecat Celia dan Rod dari semua posisi mereka di perusahaan dan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang.Setelah pertemuan itu, Alex berdiri di balkon kantornya, memandang langit malam. Nick dan Diandra mendekatinya."Kau melakukannya, Lex," kata Nick sambil tersenyum bangga.Alex mengangguk pelan. "Ini semua bukan hanya untukku, tapi juga untuk ayah dan semua orang yang telah bekerja keras membangun perusahaan ini."Diandra tersenyum. "Sekarang apa rencanamu, Alex?"Alex menoleh ke mereka berdua. "Mulai sekarang, aku akan membawa
Ruangan itu dipenuhi dengan bisik-bisik kaget dan tatapan tidak percaya. Beberapa tamu berdiri dari kursi mereka, ingin memastikan bahwa apa yang mereka dengar benar.Alex tetap tenang di atas panggung, menatap tamu-tamu yang mulai berbisik lebih keras."Selama ini, saya memilih untuk tidak muncul karena ingin melihat siapa saja yang benar-benar peduli pada perusahaan ini, siapa yang tulus bekerja, dan siapa yang hanya memanfaatkan nama besar EC," lanjut Alex.Nick dan Diandra yang berdiri di sudut ruangan tersenyum penuh kebanggaan. Felix dan Tania juga tampak lega melihat Alex akhirnya mengungkapkan kebenaran."Seperti yang kalian ketahui, perusahaan ini adalah hasil kerja keras ayah saya, Evanders. Dan sebagai pewaris sah, saya memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan perusahaan ini tetap berada di jalur yang benar," tambah Alex dengan nada tegas.Sementara itu, di luar ruangan, Celia yang baru siuman terlihat sangat panik. "Rod, kita harus melakukan sesuatu! Kalau tidak, hab
Waktu yang dinantikan pun tiba. Ulang tahun perusahaan yang ke empat puluh. Selain staff yang tergabung dalam pengembangan juga di undang beberapa pengusaha sukses lain terutama yang bermitra dengan perusahaan EC yang di dirikan oleh Evanders, ayah Alex.Tak terkecuali Nick dan Diandra. Kini mereka tengah bersiap di hotel sebelum menuju gedung tempat berlangsungnya acara.Di kamar lain Felix dan Tania juga tengah mempersiapkan diri. Alex meminta mereka secara khusus untuk datang."Kau sudah siap, Lex?" Patra temannya yang setia bertanya."Siap," jawab Alex singkat."Kita berangkat sekarang," ajak Patra yang semobil dengan Alex.Gedung megah tempat berlangsungnya acara ulang tahun ke-40 perusahaan EC telah dipersiapkan dengan sangat apik. Lampu-lampu kristal memancarkan kemewahan, sementara karpet merah menyambut para tamu yang hadir, dari karyawan hingga pengusaha sukses yang bermitra dengan EC.Nick dan Diandra tiba lebih dulu, keduanya mengenakan pakaian formal elegan yang mencermin