Samy duduk santai di salah satu sofa di sudut ruangan, menunggu pesanannya datang. Matanya perlahan menyapu sekeliling tempat hiburan yang riuh dengan lampu neon dan suara musik yang menghentak. Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada Demian, temannya, yang sedang menari penuh semangat di lantai dansa.Tersenyum tipis, Samy memperhatikan Demian sejenak, tetapi kemudian matanya tertarik pada sosok wanita di sebelahnya. Ada sesuatu yang familier tentangnya. Samy menyipitkan mata, berusaha menajamkan penglihatannya di tengah lampu yang berkedip-kedip.Wajah itu… sepertinya dia mengenalnya.Saat wanita itu berbalik, Samy langsung tertegun. “Dokter Diandra?” gumamnya pelan, hatinya berdegup kencang. Samy merasa seperti ada sesuatu yang mulai terhubung di kepalanya, seolah ada teka-teki yang perlahan terbuka.Dia memperhatikan lebih seksama, tubuhnya menegang. Wanita yang dia kenal sebagai Dokter Diandra itu bukan sekadar dokter asing baginya. Ada sesuatu tentangnya yang lebih dalam, sesua
Sam, Samy! Demian mengguncang tubuh Samy yang sudah bersadar di sofa, "sudah tau tidak kuat minum, sekarang jadi begini kan?" Demian terus mengoceh.Veny menyahut, "Tidak kuat minum?"Demian menoleh ke arah Veny. "Iya, Samy ini tidak pernah kuat kalau sudah urusan minum. Biasanya satu gelas saja sudah cukup untuknya, sekarang dia sudah menghabiskan satu botol," jawabnya sambil menghela napas. Veny menatap Samy yang kini tertidur lelap di sofa dengan wajah merah. Perasaan campur aduk berkecamuk di dalam dirinya."Kalau begitu, kenapa dia tetap minum?" Veny bertanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan emosinya.Demian tersenyum tipis, "Entahlah sepertinya dia banyak masalah, kau tau sendirikan pebisnis seperti dia."Veny hanya mengangguk, berpikir sejenak. Samy yang dulu dia kenal mungkin tidak banyak berubah, namun ada perbedaan yang mencolok dalam cara pria itu membawa dirinya sekarang.Demian pun memanggil pelayan untuk membantunya membawa tubuh Samy ke dalam mobil, Veny mengik
Pelayan yang sudah berdiri di pintu berhenti di ambang, tidak jadi masuk saat melihat adegan di depannya. Tuan Samy dan wanita bernama Diandra terjebak dalam posisi yang intim di atas ranjang. Meski ragu, dia memilih mundur perlahan, memberi mereka ruang dan menunggu di luar.Tidak berapa lama Veny keluar dari kamar dengan wajah tegang, mengusap bibirnya dengan kasar seolah mencoba menghapus jejak kejadian yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk, malu, marah, dan terkejut. Tanpa sepatah kata kepada pelayan, ia berjalan cepat menuju pintu depan dan segera memanggil taksi untuk pulang.Di perjalanan, suasana sunyi terasa begitu menyesakkan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir perlahan di pipinya. Kenangan masa lalu dengan Samy, pria yang pernah ia cintai begitu dalam, kini menyerbu pikirannya tanpa ampun. Sentuhan Samy tadi membangkitkan memori-memori yang pernah ia kubur dalam kenangan indah, namun juga pahit.Veny menyeka air matanya, merasa tersesat antara mas
"Nona Moza, saya melihatnya sendiri. Tuan Samy membawa buket bunga kepada Dokter Diandra, lalu mereka berada di ruangan berdua," kata perawat yang menguping tadi, suaranya bergetar saat memberitahukan berita tersebut.Moza merasakan hatinya memanas. Rasa cemburu dan marah menggelora dalam dirinya. "Apa lagi yang kau tahu?" tanyanya tajam pada perawat itu, menuntut informasi lebih lanjut. "Apa mereka terlihat dekat? Atau apa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa?"Perawat itu terlihat gugup, tetapi ia tahu tidak ada gunanya menyembunyikan kebenaran. "Mereka tampak berbicara dengan serius. Saya tidak bisa mendengar semuanya, tetapi ada ketegangan di antara mereka. Tuan Samy tampak sangat perhatian," jawabnya, berusaha menjelaskan situasi tanpa menambah masalah.Moza mengerutkan alisnya, merasa api cemburu berkobar di dalam dirinya. "Jadi mereka benar-benar saling bicara dan menghabiskan waktu bersama? Apa dia benar-benar memperhatikannya?" keluhnya, menyadari bahwa kehadir
Pagi-pagi sekali saat Veny tiba di rumah sakit, ia merasakan tatapan aneh dari para staf yang berlalu-lalang. Beberapa dari mereka berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Veny cukup heran, merasa ada yang tidak beres. Apakah ada berita buruk yang beredar?Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu. Veny memutuskan untuk mencari Suster Nuela, yang selalu bisa diandalkan untuk memberikan informasi."Nuela!" panggil Veny ketika melihat suster itu sedang merapikan berkas di meja resepsionis.Nuela menoleh dan tersenyum lebar. "Dokter Diandra! Selamat pagi!" sapanya, lalu melangkah mendekat."Selamat pagi. Kenapa semua orang menatapku seperti itu? Apakah ada yang terjadi?" Veny bertanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun rasa ingin tahunya membara.Nuela mengangguk wajahnya serius. "Sebenarnya, ada berita yang menyebar tentang kamu dan Tuan Samy. Kalian terlihat berdua di rumah sakit kemarin, dan sekarang banyak yang mengira ada hubun
Tempat acara pertunangan sudah penuh sesak dengan tamu undangan. Di antara keramaian, Dokter Diandra hadir dengan anggun, mengenakan gaun elegan dan mata ambernya terlihat lebih jelas karena ia tidak memakai kacamata seperti biasanya. Demian, yang datang bersamanya memperhatikan kehadiran Samy yang berdiri tak jauh dari mereka.Samy terlihat terkejut saat melihat Dokter Diandra. Matanya terpaku lama pada sosok wanita itu, tak bisa mengalihkan pandangan. Ada sesuatu dalam tatapan Samy yang membuat suasana menjadi berbeda, seolah-olah dia mencoba memahami atau mengingat sesuatu yang terlewat.Demian yang menyadari keanehan itu, dengan ringan menyenggol lengan Diandra. "Lihat," bisiknya sambil tersenyum, "Samy terus menatapmu. Aku curiga dia menyukaimu."Veny hanya tersenyum kecil, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Jangan konyol," balasnya, meski ia sendiri bisa merasakan bahwa tatapan Samy kali ini berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang lebih dalam di sa
Saat tamu-tamu semakin berkurang dan suasana pesta mulai mereda, Veny menyadari bahwa sosok Demian tidak terlihat lagi di mana-mana. Ia mulai merasa bingung, mengingat Demian yang seharusnya mengantarnya pulang.Tak lama kemudian, Samy menghampirinya. "Demian dihubungi oleh keluarganya dan terpaksa pergi lebih awal," katanya dengan nada tenang. "Dia minta maaf karena tidak bisa mengantarmu, Dokter Diandra."Veny menghela napas perlahan, merasa sedikit kecewa namun tak mau menunjukkannya. "Tidak masalah," jawabnya, "aku bisa pulang dengan taksi."Namun, sebelum ia sempat bergerak mencari kendaraan, Samy tiba-tiba menawarkan diri. "Biar aku saja yang mengantarmu pulang."Veny sedikit terkejut mendengar tawaran itu. Mereka saling bertukar pandang sejenak.Samy tersenyum tipis, lalu mempersilakannya berjalan menuju mobil.Awalnya, Veny ingin menolak tawaran Samy. Terlalu banyak kenangan dan perasaan yang membebaninya, dan dia tidak ingin membuat situasi semakin rumit. Namun, ketika pandan
Veny menatap Samy, suaranya tenang namun tegas, "Jika kau mencintai istrimu, kenapa dia bisa menghilang?"Samy terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang gelap di balik tatapan kosongnya. "Itu... bukan soal cinta. Ada hal-hal yang terjadi di luar kendaliku.""Dia sering melakukan kesalahan, dan yang paling fatal adalah dia meracuni Moza, orang yang sangat berarti untukku. Aku hanya menghukumnya agar dia menyadari kesalahannya, namun malam itu ia berhasil kabur dari gudang dan tidak pernah kembali sampai hari ini," kata Samy.Veny merasa tenggorokannya tercekat mendengar kata-kata Samy. Ia mencoba menjaga wajahnya tetap tenang, meski dalam hati ia bergejolak. "Kau mengurungnya di gudang... karena dia meracuni Moza?" tanya Veny, nadanya datar tapi penuh tekanan.Samy mengangguk pelan, seolah menegaskan apa yang baru saja diucapkannya. "Ya, dia membuat kesalahan besar. Moza hampir mati karena ulahnya. Aku hanya ingin dia menyadari apa yang dia lakukan, tapi malam itu
Veny merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ia tidak mencurigai Samy sedikitpun di luar sana, selama ini yang menjadi penghalang untuknya hanyalah Moza.Tapi tidak dengan Nick, ia merasa hubungan mommy dan daddynya yang belum harmonis semakin terancam, oleh karena itu ia ingin memastikannya sendiri."Paman Peto, apa kau tidak memiliki pekerjaan?" Nick menghampiri sopir di rumah besar itu."Oh, Tuan muda, paman ingin mencuci mobil ini." Peto memang terlihat sudah mengganti bajunya dengan yang lebih ringan."Paman, bagaimana kalau ditunda?"Peto tersenyum. "Sayang sekali ini harus segera dicuci, karena mobil ini akan dipakai oleh Daddy, malam nanti.""Tapi aku ingin bantuanmu Paman," kata Nick.Peto mengeryitkan keningnya. "Apa yang kau inginkan anak tampan?"Mendengar itu, Nick segera mendekat, ia meminta Paman Peto menurunkan tubuhnya agar ia bisa berbisik di telinganya."Baiklah, Paman Peto siap mengantarmu."Nick mengangguk penuh arti, memperlihatkan di kepalanya sedang tersusun
"Kau memberikan semua hartamu padaku dan Nick, apa kau masih waras?"Tak cukup hanya di jalan bahkan di rumah pun Samy mendapat pertanyaan dari Veny."Aku memang gila jika kau tidak menerimaku sebagai suamimu," jawab Samy."Memangnya kapan aku menolakmu." Veny melipat tangannya di dada."Kau bilang apa? Jadi kau menerimaku?" Mata Samy berbinar terang.Veny jadi salah tingkah. "A-aku tidak bilang begitu." Wajahnya memerah malu.Dan Samy menikmati itu.Samy tersenyum lebar, senyuman yang jarang Veny lihat selama ini. Dia mendekatkan wajahnya pada Veny, membuat wanita itu mundur selangkah dengan gugup."Jadi, kau benar-benar tidak menolakku?" goda Samy, matanya bersinar penuh harapan.Veny mengalihkan pandangannya, pura-pura sibuk merapikan hiasan di meja. "Aku hanya bilang... aku tidak bilang menolak. Itu saja."Samy tertawa kecil, suara tawanya terdengar ringan namun penuh kebahagiaan. "Veny, kau tidak tahu betapa kalimat itu membuatku merasa seperti memenangkan dunia."Veny memutar bo
Sesuai dengan janji mereka, Mary mengunjungi putrinya ke apartemen. Dia dan suaminya mengajak Veny bicara."Apa yang membuatmu belum menerima Samy? Bukankah semua masalahnya sudah selesai?" Mary menggenggam tangan putrinya."Ayah berpikir untuk kebaikanmu, apa lagi Nick sebentar lagi akan punya adik. Pasti lebih mudah jika membesarkannya bersama suami."Veny terdiam merenung."Ibu berharap kalian akur dan membangun keluarga yang bahagia, kau putri kami satu-satunya, ibu ingin kau ada yang menjaganya.""Aku masih memikirkannya Bu.""Tidak mudah memang melupakan kejadian tujuh tahun yang lalu, ayah bisa memahami perasaanmu, tapi bukan berarti tidak bisa, Nak."Veny nampak menghela napasnya. Ia pun tidak memahami apa keinginan hatinya saat ini.Mary menggenggam tangan Veny dengan lembut, matanya menatap penuh kasih. "Ibu tahu kau merasa ragu, tapi lihatlah situasi ini dari sisi lain. Bukankah Samy sudah berusaha keras untuk menebus kesalahannya?"Darius, yang duduk di sofa di samping mer
Prok prok prokSamy muncul tanpa diduga."Kau ingin mengkambinghitamkan Tuan Hong demi ambisimu?"Moza terdiam, seluruh tubuhnya mendadak kaku, ia menelan salivanya kasar. Bagaimana mungkin Samy muncul?"Tuan Brown, tolong, aku tidak bersalah, aku hanya mengerjakan perintah." Tuan Hong mengatupkan tangannya ketakutan.Samy menahannya dengan mengangkat kelima jarinya, Ran yang ada di sana meminta agar Tuan Hong diam.Samy maju semakin dekat pada Moza."Kenapa kau lakukan ini Moza? Apa yang salah pada dirimu? Dulu kau begitu baik padaku dan penuh perhatian sampai aku selalu memaafkan setiap kesalahanmu."Moza menatap Samy dengan mata yang memancarkan campuran ketakutan dan kebencian. Dia mundur selangkah, namun Samy tetap mendekat, suaranya rendah dan tajam seperti pisau yang menusuk ke dalam hati."Jawab aku, Moza," tuntut Samy. "Kenapa kau begitu terobsesi menghancurkan hidupku? Hidup Veny? Apa kau tidak pernah merasa puas dengan apa yang kau miliki?"Moza menghela napas panjang, beru
"Kenapa begitu sulit untuk kita?" tanya Veny.Mereka berdua sedang jalan pagi, Samy sengaja datang ingin membicarakan tentang masalah mereka."Ini kesalahanku, aku terlalu percaya pada Moza hingga mengorbankan perasaanmu." Samy mengakui kebodohannya dulu."Pada akhirnya kau membiarkan dia lolos?""Kesalahannya kali ini tak cukup fatal, polisi tidak menahannya, sedangkan kasusmu dulu, sudah terlalu lama dan tidak ada bukti.""Jika aku mengatakan sesuatu apa kau mau mempercayaiku?""Tentu, katakan apa itu?""Moza yang menculik Nick waktu itu.""A-apa?""Buktiku tidak akurat, jika kau sungguh-sungguh ingin membuatnya di penjara, cari buktinya dan aku akan memikirkan untuk kembali denganmu."Samy terdiam mendengar ucapan Veny. Wajahnya tampak tegang, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu, apa yang dikatakan Veny bukanlah tuduhan tanpa dasar. Moza memang selalu memiliki cara untuk menimbulkan kekacauan dalam hidup mereka."Moza menculik Nick?" Samy mengulang, seolah mema
Adolfo mengangguk. "Baik, saya akan segera menyiapkan dokumen resmi dan melaporkannya ke pihak berwenang. Tapi saya perlu bertanya, apakah Anda sudah siap menghadapi kemungkinan tekanan balik dari pihak Moza?"Samy menatap Adolfo tajam. "Tekanan apa pun yang dia coba berikan tidak akan mengubah keputusanku. Lakukan apa yang harus kau lakukan, Adolfo."---Di sisi lain, MozaMoza sedang menikmati teh paginya ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Itu dari Alma, ibunya."Moza, ada kabar buruk," kata Alma panik."Apa maksud Ibu?" Moza mengerutkan kening, tidak suka mendengar nada suara ibunya."Samy mengajukan laporan hukum terhadapmu. Aku baru mendengar ini dari seorang kenalan di pengadilan."Cangkir teh di tangan Moza hampir jatuh. Wajahnya memucat. "Apa? Samy berani melakukannya?""Iya, dia sepertinya punya bukti kuat. Moza, kau harus segera bertindak! Ini bisa menghancurkanmu."Moza menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Tidak mungkin aku kalah semudah itu, B
Semua kembali seperti dulu, Veny merasa dejavu. Walau bagaimanapun Samy menginginkannya, tapi dia tidak pernah bisa tegas terhadap Moza.Jujur, Veny kecewa, ia mengusap perutnya yang sedikit menonjol. Nasibnya sama dengan Nick, tanpa didampingi oleh Samy."Nyonya, Tuan sepertinya sangat terpukul dengan kepergian kita." Isla menghampiri Veny.Dia baru saja menidurkan Nick. Mereka kembali ke apartemen.Segelas teh hangat di atas meja belum disentuh sama sekali, bohong jika Veny baik-baik saja."Faktanya dia tidak bisa bertindak tegas. Lagi pula Moza hamil, lebih baik aku pergi dari sana.""Apa Nyonya yakin itu anak Tuan Samy? Mendengar kelicikan Nona Moza selama ini, aku rasa itu tidak mungkin." Isla sedikit membela Samy. Sebagai orang asing ia melihat ketulusan Samy pada Veny dan Nick.Mendengar itu Veny menerawang ke depan. Tak dipungkiri apa yang dikatakan oleh Isla cukup masuk akal. Sebagaimana dulu Moza tega memfitnahnya."Kasihan Tuan Samy, dia tidak berdaya karena Moza adalah ora
"Buka saja aku tidak akan marah," kata Veny. Dia melihat keraguan di mata Samy saat menatap kotak pemberian Moza."Aku rasa ini tidak penting," ucap Samy."Kau yakin? Bagaimana jika itu benda berbahaya?" sahut Veny, dia lebih penasaran dari pada Samy."Segala sesuatu tentang dia sudah berakhir. Aku hanya fokus padamu dan Nick juga calon bayi kita." Samy mengenyampingkan kotak itu. Ia menyentuh tangan Veny seolah meyakinkan wanita itu."Kenapa aku ingin melihatnya?" Veny bertanya lebih ke dirinya sendiri. Bukan karena apa, tapi Veny tau berapa liciknya Moza. Bisa saja kotak itu berisi benda berbahaya.Samy menarik napas panjang, mengerti keraguan yang terlihat di wajah Veny. Ia meraih kotak kecil itu kembali dan menatapnya lekat-lekat, seolah memastikan bahwa benda tersebut tidak memiliki niat buruk."Baiklah," kata Samy akhirnya. "Jika itu membuatmu tenang, aku akan membukanya."Samy mengambil gunting dari meja terdekat dan dengan hati-hati membuka pita yang melilit kotak kecil terse
Sebulan telah berlalu, Samy tidak lagi sama seperti waktu itu. Kini pria itu lebih banyak diam seolah merasa bersalah pada Veny.Sungguh dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri."Samy, apa kau sibuk hari ini?" Veny baru saja mengetuk pintu kamarnya."Mmm, aku...""Apa aku boleh masuk?" Veny ingin masuk ke dalam."Mmm, i-iya, masuklah."Samy sepertinya tidak leluasa membuat Veny ingin sekali bertanya.Veny membuka pintu dan melangkah masuk ke kamar Samy. Ia mendapati pria itu duduk di tepi ranjang, dengan wajah yang tampak letih dan penuh beban. Tidak seperti biasanya, Samy terlihat lebih lesu dan sulit untuk menatap langsung ke arah Veny.“Kau baik-baik saja?” tanya Veny dengan nada lembut namun tetap penuh kekhawatiran.Samy hanya mengangguk pelan, tetapi sorot matanya mengatakan sebaliknya. Ia menghindari kontak mata, membuat suasana di kamar terasa semakin canggung.“Kau tidak seperti biasanya, Samy. Ada yang mengganggumu?” desak Veny, memberanikan diri untuk mendekat.Samy menghe