Tempat acara pertunangan sudah penuh sesak dengan tamu undangan. Di antara keramaian, Dokter Diandra hadir dengan anggun, mengenakan gaun elegan dan mata ambernya terlihat lebih jelas karena ia tidak memakai kacamata seperti biasanya. Demian, yang datang bersamanya memperhatikan kehadiran Samy yang berdiri tak jauh dari mereka.Samy terlihat terkejut saat melihat Dokter Diandra. Matanya terpaku lama pada sosok wanita itu, tak bisa mengalihkan pandangan. Ada sesuatu dalam tatapan Samy yang membuat suasana menjadi berbeda, seolah-olah dia mencoba memahami atau mengingat sesuatu yang terlewat.Demian yang menyadari keanehan itu, dengan ringan menyenggol lengan Diandra. "Lihat," bisiknya sambil tersenyum, "Samy terus menatapmu. Aku curiga dia menyukaimu."Veny hanya tersenyum kecil, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Jangan konyol," balasnya, meski ia sendiri bisa merasakan bahwa tatapan Samy kali ini berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang lebih dalam di sa
Saat tamu-tamu semakin berkurang dan suasana pesta mulai mereda, Veny menyadari bahwa sosok Demian tidak terlihat lagi di mana-mana. Ia mulai merasa bingung, mengingat Demian yang seharusnya mengantarnya pulang.Tak lama kemudian, Samy menghampirinya. "Demian dihubungi oleh keluarganya dan terpaksa pergi lebih awal," katanya dengan nada tenang. "Dia minta maaf karena tidak bisa mengantarmu, Dokter Diandra."Veny menghela napas perlahan, merasa sedikit kecewa namun tak mau menunjukkannya. "Tidak masalah," jawabnya, "aku bisa pulang dengan taksi."Namun, sebelum ia sempat bergerak mencari kendaraan, Samy tiba-tiba menawarkan diri. "Biar aku saja yang mengantarmu pulang."Veny sedikit terkejut mendengar tawaran itu. Mereka saling bertukar pandang sejenak.Samy tersenyum tipis, lalu mempersilakannya berjalan menuju mobil.Awalnya, Veny ingin menolak tawaran Samy. Terlalu banyak kenangan dan perasaan yang membebaninya, dan dia tidak ingin membuat situasi semakin rumit. Namun, ketika pandan
Veny menatap Samy, suaranya tenang namun tegas, "Jika kau mencintai istrimu, kenapa dia bisa menghilang?"Samy terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang gelap di balik tatapan kosongnya. "Itu... bukan soal cinta. Ada hal-hal yang terjadi di luar kendaliku.""Dia sering melakukan kesalahan, dan yang paling fatal adalah dia meracuni Moza, orang yang sangat berarti untukku. Aku hanya menghukumnya agar dia menyadari kesalahannya, namun malam itu ia berhasil kabur dari gudang dan tidak pernah kembali sampai hari ini," kata Samy.Veny merasa tenggorokannya tercekat mendengar kata-kata Samy. Ia mencoba menjaga wajahnya tetap tenang, meski dalam hati ia bergejolak. "Kau mengurungnya di gudang... karena dia meracuni Moza?" tanya Veny, nadanya datar tapi penuh tekanan.Samy mengangguk pelan, seolah menegaskan apa yang baru saja diucapkannya. "Ya, dia membuat kesalahan besar. Moza hampir mati karena ulahnya. Aku hanya ingin dia menyadari apa yang dia lakukan, tapi malam itu
Samy duduk di kursi besi yang disediakan di ruang jenguk penjara, ia menatap Moza yang datang dengan kursi roda, wajahnya pucat. Dia merasa campur aduk, di satu sisi, Moza adalah tunangannya, tetapi di sisi lain tindakan Moza nyaris merusak reputasi orang yang tidak bersalah."Moza," panggil Samy dengan nada berat, "aku sudah mendengar tentang apa yang terjadi. Apa yang kamu pikirkan saat melakukan semua ini?"Moza menatap Samy dengan mata yang tampak penuh penyesalan, tetapi dia juga menunjukkan sisi defensif. "Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita, Samy. Dia datang dan merusak semuanya! Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."Samy menggelengkan kepala, kesal. "Dengan cara seperti ini? Ini bukan hanya tentang kamu dan aku. Kamu mau menghancurkan karier seorang dokter yang bekerja keras. Dia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu."Moza menatap Samy seolah menegaskan hanya dirinya yang pantas untuk pria itu. "Tapi Samy, aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tahu dia meny
Veny menatap Samy dengan tajam, menahan rasa kesal yang mulai membuncah. "Anda mempermainkan tenaga medis seperti kami," katanya dengan nada dingin. "Banyak pasien yang benar-benar membutuhkan pertolongan di luar sana, tapi Anda datang hanya untuk berbicara omong kosong."Samy tampak sedikit tersentak dengan nada tegas Veny, tapi dia tetap tenang. "Aku tidak bermaksud seperti itu, Diandra. Ini bukan sekadar omong kosong.""Tentu saja. Setiap kali kita bertemu, itu selalu soal drama pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Jika Anda benar-benar peduli dengan keadaan Moza atau diri Anda sendiri, maka carilah bantuan profesional yang tepat, bukan aku." Veny menambahkan, tangannya melipat di dada, matanya menatap Samy dengan tegas.Samy menarik pinggang Veny untuk lebih dekat padanya hingga nyaris bibir mereka bersentuhan, Veny berang, ia memukul dada Samy agar segera melepaskannya."Lepaskan aku, bodoh!" Veny tak peduli lagi dengan panggilannya pada Samy."Sebentar saja, ak
Dunia memang ujian bagi mereka yang berhati baik.Veny terperangah ketika berjalan masuk ke apartemen, mendapati suasana yang sangat tidak beres. Ruangan terlihat berantakan, barang-barang berserakan di lantai. Jantungnya berdetak kencang, seolah firasat buruk mulai memenuhi pikirannya. Dengan cemas, ia melangkah ke kamar Nick, kosong. Kamar Isla pun sama, tak ada siapa pun. Kegelisahannya semakin menjadi.Dia berjalan ke dapur dengan harapan tipis, namun tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Hingga pandangannya tertumbuk pada sebuah kertas yang menempel di pintu lemari pendingin. Veny merasakan tubuhnya menegang. Dengan tangan gemetar, ia meraih kertas itu dan membacanya:"Kami sudah membawa Nick dan Isla. Jangan coba lapor polisi jika ingin mereka selamat. Tunggu instruksi lebih lanjut."Kertas itu jatuh dari tangannya. Tubuh Veny seakan membeku, sementara pikirannya kalut. Semua terjadi begitu cepat, tanpa peringatan. Nick, putra yang telah ia jaga dan lindungi dengan segenap hati
Suara bel pintu yang terus berbunyi berhasil menyadarkan Diandra dari keterpurukannya. Dengan tubuh yang lemah dan lesu akibat dua hari tidak makan, ia hampir terjatuh saat berusaha membuka pintu. Setelah beberapa detik berusaha menstabilkan diri, ia memberanikan diri untuk membuka pintu.Namun, saat pintu terbuka, pandangan Diandra seakan gelap. Di hadapannya, berdiri Damian, Ashley, dan Samy, tapi semuanya tampak samar. Pikiran yang penuh kecemasan dan air mata membuatnya tidak bisa fokus. Tak lama setelah itu, tubuhnya limbung dan ia kehilangan kesadaran.Damian yang paling dekat dengan pintu segera meraih tubuh Diandra sebelum ia jatuh. "Diandra!" serunya panik, dan Ashley segera membantu menahan tubuhnya. Samy merasa hatinya berdegup kencang melihat keadaan Diandra yang sangat lemah.“Dia tidak dalam kondisi baik,” ucap Damian, berusaha menenangkan situasi. “Kita harus membawanya ke dalam dan mencari tahu apa yang terjadi.”Mereka bertiga bergegas membawa Diandra ke sofa, sementa
Setelah Damian keluar, Diandra mencoba mengatur napasnya dan berbisik pelan, “Kau pergi saja, aku bisa sendiri.” Suaranya terdengar lemah namun tegas, mencerminkan ketidaknyamanan yang ia rasakan berada sendirian dengan Samy.Samy menatapnya, tampak tidak terpengaruh oleh permintaannya. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dalam kondisi seperti ini, Diandra,” jawabnya dengan tenang, tetapi dengan nada yang tidak memberi ruang untuk perdebatan.Diandra mengalihkan pandangannya, merasa perasaan tak nyaman semakin kuat. Ia tidak mengerti mengapa Samy begitu bersikeras berada di sisinya. “Aku baik-baik saja,” desaknya lagi, berharap bisa menyingkirkan kehadirannya. “Aku hanya ingin sendiri sekarang.”Samy tetap diam sejenak, memperhatikan ekspresi wajahnya. “Aku mengerti kau butuh ruang,” katanya akhirnya, “tapi aku juga tahu, dalam situasi seperti ini, kadang kau tidak menyadari seberapa besar kau butuh seseorang.”Diandra menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berd