"Nick, kau tidak apa-apa?" tanya Isla dengan nada penuh kekhawatiran, langsung memeriksa anak yang diasuhnya setelah kejadian hampir celaka itu.Nick, masih sedikit gemetar, menggeleng pelan. "Aku hanya terkejut," jawabnya dengan suara kecil, matanya masih memandang jalanan. "Bagaimana dengan bibi? Apakah bibi baik-baik saja?" tanyanya balik, nada suaranya penuh perhatian meski dia baru saja hampir celaka.Isla tersenyum tipis, meski wajahnya masih diliputi kekhawatiran. "Aku baik-baik saja, sayang. Yang penting kau selamat." Dia kemudian memeluk Nick erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil memastikan anak itu tidak terlalu terguncang. "Mari kita kembali ke rumah. Ini hari yang berat," kata Isla sambil memandang ke arah mobil yang hampir menabrak mereka, merasa lega bahwa semuanya masih bisa diatasi.Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada, tapi perasaan gelisah Isla tak sepenuhnya hilang.Veny berlari dengan panik menuju mobilnya, telinganya masih dipenuhi s
"Dulu kau berjanji akan membuat Moza bahagia," kata Nyonya Alma dengan suara bergetar, air matanya mengalir deras. "Aku sangat kecewa, Sam. Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Aku akan membawa Moza pergi dari sini."Kata-kata itu menusuk Samy seperti pedang. Ia merasa semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang tak tertahankan. Tatapan penuh kepedihan dari Nyonya Alma dan keputusasaan Moza membuatnya tersadar bahwa segala upaya yang telah ia lakukan selama ini mungkin tidak pernah cukup."Bibi... tolong beri aku waktu," ucap Samy dengan suara parau, mencoba menahan emosinya. "Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu aku telah mengecewakan kalian berdua, tapi membiarkan Moza pergi seperti ini hanya akan membuat keadaan semakin buruk."Nyonya Alma menggeleng dengan sedih. "Kau sudah punya tujuh tahun, Sam. Moza pantas mendapatkan yang lebih baik... seseorang yang benar-benar mencintainya, yang mau ada di sampingnya, bukan hanya karena kewajiban."Samy terdiam, merasa kehilangan kata
Nyonya Alma tak kuasa menahan air matanya, terus menangis dan meratapi nasib putrinya. "Anakku yang malang," isaknya, suaranya terputus-putus. Setiap desah tangisnya semakin menyayat hati, menggambarkan kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Dia merasa kehilangan dan tidak berdaya, seakan semua harapan untuk Moza hancur berkeping-keping. Sementara itu, Samy berdiri di samping Nyonya Alma, hatinya juga dipenuhi kecemasan. Ia merasakan setiap isak tangis yang keluar dari bibir wanita tua itu. Ia ingin menghibur, tetapi kata-katanya terasa hampa. Samy hanya bisa menunggu, berdoa di dalam hati agar dokter segera keluar dengan kabar baik.Beberapa saat kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar, mengenakan wajah serius. Nyonya Alma langsung menoleh, dan saat pandangannya bertemu dengan dokter, semua tangisnya berhenti sejenak. "Dokter! Bagaimana dengan putri saya?" tanyanya, suaranya penuh harap.Dokter menghela napas, menatap Nyonya Alma dengan simpati. "Moza
“Nick sayang, kau baik-baik saja?” Veny bertanya, suaranya bergetar penuh kekhawatiran. Dia mengelus lembut kepala anaknya, memeriksa setiap inci tubuhnya seolah mencari tanda-tanda yang mungkin terluka.“Aku baik-baik saja!” Nick menjawab dengan senyuman cerah, meskipun dia masih belum mengerti sepenuhnya betapa besar rasa cemas yang dirasakan ibunya."Mobil itu melaju dengan sangat kencang, kami hampir saja tertabrak, tapi anehnya pengemudinya tidak meminta maaf pada kami," kata Isla yang baru saja datang dari dapur, nada suaranya masih sedikit gemetar. Tangannya menggenggam erat gelas air yang dipegangnya, seakan mencoba menenangkan dirinya dari kejadian barusan. "Kupikir kami akan celaka..."“Syukurlah kalian selamat. Lain kali lebih hati-hati,” kata Veny dengan tegas, lalu beralih menatap Nick. “Dan Nick, setiap kali ingin menyeberang, tunggu Bibi Isla. Mengerti?”Nick menunduk dan mengangguk pelan.Veny menarik napas panjang, berusaha meredakan kekhawatirannya. Meskipun lega mer
Samy tersenyum sinis, memperhatikan punggung Dokter Diandra saat dia melangkah menjauh setelah keluar dari mobil. Di dalam benaknya, Samy merasakan campuran rasa kesal dan penasaran. Veny, di sisi lain, berpikir bahwa Samy telah pergi, sehingga dia memutuskan untuk menghentikan taksi dan menuju ke apartemennya.Namun, Samy tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja. Dia mengepalkan tangan, merasa marah dan bingung. "Sialan, dia berbohong padaku," gumamnya, menyadari bahwa apartemen yang ada di depannya bukanlah tempat tinggal dokter berkacamata yang dia cari.Rasa curiga dan kesal membanjiri pikirannya. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari tahu lebih lanjut tentang kehidupan Dokter yang baru datang dari Philadelphia itu. Samy tahu dia harus menemukan jawabannya.Run tiba di rumah Samy dengan langkah cepat, langsung menuju ruang tamu di mana Samy sudah menunggu dengan ekspresi serius. Setelah menyapa, Run melaporkan, “Tuan, saya tidak bisa mendapatkan informasi
Samy duduk santai di salah satu sofa di sudut ruangan, menunggu pesanannya datang. Matanya perlahan menyapu sekeliling tempat hiburan yang riuh dengan lampu neon dan suara musik yang menghentak. Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada Demian, temannya, yang sedang menari penuh semangat di lantai dansa.Tersenyum tipis, Samy memperhatikan Demian sejenak, tetapi kemudian matanya tertarik pada sosok wanita di sebelahnya. Ada sesuatu yang familier tentangnya. Samy menyipitkan mata, berusaha menajamkan penglihatannya di tengah lampu yang berkedip-kedip.Wajah itu… sepertinya dia mengenalnya.Saat wanita itu berbalik, Samy langsung tertegun. “Dokter Diandra?” gumamnya pelan, hatinya berdegup kencang. Samy merasa seperti ada sesuatu yang mulai terhubung di kepalanya, seolah ada teka-teki yang perlahan terbuka.Dia memperhatikan lebih seksama, tubuhnya menegang. Wanita yang dia kenal sebagai Dokter Diandra itu bukan sekadar dokter asing baginya. Ada sesuatu tentangnya yang lebih dalam, sesua
Sam, Samy! Demian mengguncang tubuh Samy yang sudah bersadar di sofa, "sudah tau tidak kuat minum, sekarang jadi begini kan?" Demian terus mengoceh.Veny menyahut, "Tidak kuat minum?"Demian menoleh ke arah Veny. "Iya, Samy ini tidak pernah kuat kalau sudah urusan minum. Biasanya satu gelas saja sudah cukup untuknya, sekarang dia sudah menghabiskan satu botol," jawabnya sambil menghela napas. Veny menatap Samy yang kini tertidur lelap di sofa dengan wajah merah. Perasaan campur aduk berkecamuk di dalam dirinya."Kalau begitu, kenapa dia tetap minum?" Veny bertanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan emosinya.Demian tersenyum tipis, "Entahlah sepertinya dia banyak masalah, kau tau sendirikan pebisnis seperti dia."Veny hanya mengangguk, berpikir sejenak. Samy yang dulu dia kenal mungkin tidak banyak berubah, namun ada perbedaan yang mencolok dalam cara pria itu membawa dirinya sekarang.Demian pun memanggil pelayan untuk membantunya membawa tubuh Samy ke dalam mobil, Veny mengik
Pelayan yang sudah berdiri di pintu berhenti di ambang, tidak jadi masuk saat melihat adegan di depannya. Tuan Samy dan wanita bernama Diandra terjebak dalam posisi yang intim di atas ranjang. Meski ragu, dia memilih mundur perlahan, memberi mereka ruang dan menunggu di luar.Tidak berapa lama Veny keluar dari kamar dengan wajah tegang, mengusap bibirnya dengan kasar seolah mencoba menghapus jejak kejadian yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk, malu, marah, dan terkejut. Tanpa sepatah kata kepada pelayan, ia berjalan cepat menuju pintu depan dan segera memanggil taksi untuk pulang.Di perjalanan, suasana sunyi terasa begitu menyesakkan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir perlahan di pipinya. Kenangan masa lalu dengan Samy, pria yang pernah ia cintai begitu dalam, kini menyerbu pikirannya tanpa ampun. Sentuhan Samy tadi membangkitkan memori-memori yang pernah ia kubur dalam kenangan indah, namun juga pahit.Veny menyeka air matanya, merasa tersesat antara mas