Damian menyambut Samy dengan hangat, senyumnya lebar, lalu mengarahkan Samy untuk berhadapan langsung dengan Veny. “Ini Dokter Diandra, yang baru saja kita bicarakan,” katanya, memperkenalkan mereka dengan nada ceria.
Samy menatap Veny dengan tatapan yang membuatnya merasa cemas, tetapi kemudian menyapa, “Selamat malam, Dokter Diandra.” Veny merasa sedikit lega karena Samy tidak mengenali dirinya, setidaknya untuk saat ini. Namun, Damian melanjutkan, “Samy ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Mungkin kalian bisa mencari tempat yang lebih tenang.” Veny menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Awalnya, ia ragu untuk berbicara dengan Samy. Ia tidak ingin terjebak dalam drama emosional yang telah lama ditinggalkannya. Namun, suasana di sekelilingnya mendadak riuh ketika seorang dokter wanita berteriak, “Wow, kamu beruntung diundang bicara oleh Samy!” Teriakan itu membuat Veny merasa tertekan. Semua orang menatapnya, dan ia merasakan tekanan untuk menjawab. Dengan napas dalam-dalam, Veny akhirnya mengangguk pelan, meskipun hati kecilnya merasa takut akan apa yang mungkin diungkapkan Samy dan yang lebih menakutkan jika Samy bisa mengenali dirinya dari suaranya. “Baiklah,” ujarnya pelan. “Mari kita bicara.” Di dalam ruangan yang sepi, gelagat Veny jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Samy yang memperhatikan mengira bahwa Veny merasa takut. “Dokter Diandra,” katanya, mencoba menenangkan suasana. “Aku adalah pria yang beristri.” Pernyataan itu menghantam Veny, membuatnya langsung teringat pada Mouza, kekasih Samy. Dia sudah menikah dengan Mouza. Rasa pahit menggerogoti hatinya, mengingat semua pengkhianatan yang telah dia alami. Namun, di tengah emosinya sebuah pemikiran tiba-tiba muncul—Nick. Veny menatap Samy lebih dalam, dan seketika, ia merasakan kejutan. Wajah Samy dengan fitur dan ekspresi tertentu sangat mirip dengan Nick. Jantungnya berdebar keras saat kesadaran itu menghantamnya. Dalam kebingungan, Veny berusaha menahan emosinya. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terjerat dalam suasana yang rumit ini. Tapi, saat dia menatap Samy, dia merasakan benang merah yang tak terelakkan antara mereka, terutama ketika memikirkan putranya. “Jadi, kamu sudah menikah,” jawab Veny, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Apa yang ingin kamu bicarakan?” Samy mengangguk menjelaskan, “Aku menikah delapan tahun yang lalu.” Mendengar itu Veny tertegun. Delapan tahun? Itu adalah waktu yang sama ketika ia dan Samy menikah. Dan satu tahun bersama ia melarikan diri dari tuduhan Samy terhadapnya. Dalam benaknya, pikiran-pikiran liar mulai bermunculan. "Cukup lama," ucap Veny berusaha menyimpan semua emosi yang mengaduk di dalam dirinya. Samy tampak tidak menyadari pergolakan di hati Veny. “Ya, aku bertemu dengan istriku setelah beberapa tahun. Kami membangun hidup bersama.” Veny merasa jantungnya berdebar kencang. Apakah mungkin Samy juga menikahi Mouza di saat yang berdekatan? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menambah rasa sakit yang sudah ada. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi suara hatinya menahan, takut akan jawaban yang akan diterimanya. “Dan bagaimana dengan anda? aku dengar Dokter Diandra seorang single?" tanya Samy, memperhatikan ekspresi wajah Veny. Veny berusaha mengalihkan perhatian dari kebingungan yang melanda. “I- iya, aku sudah pernah bercerai” jawabnya, tanpa menyebut telah memiliki anak. Dia tahu bahwa untuk bisa melanjutkan hidup, ia perlu menghadapi masa lalu, tetapi Veny tidak siap untuk semua itu? Samy mengubah arah pembicaraan, menyampaikan dengan serius, “Aku ingin kamu merawat orang terdekatku yang tidak bisa berjalan. Aku sudah mendengar tentang kehebatanmu dalam merawat pasien dan berhasil membawa mereka sampai sembuh.” Veny terkejut dengan permintaan itu. “Tuan, aku… aku sama seperti dokter lainnya. Banyak dokter yang lebih berpengalaman dalam kasus seperti itu,” jawabnya berusaha merendah meskipun merasa terhormat. “Tidak, Dokter Diandra. Aku tahu siapa yang aku maksud. Aku percaya padamu,” kata Samy, menatapnya dengan intens. “Dia butuh perhatian khusus, dan aku yakin hanya anda yang bisa membantunya.” Veny merasa terombang-ambing antara keengganan dan rasa tanggung jawab. Di satu sisi, ia merasa terikat oleh permintaan itu, namun di sisi lain, bayangan masa lalu yang menyakitkan sulit untuk diabaikan. “Apa Tuan yakin ini keputusan yang tepat?” Veny bertanya, berusaha memahami keadaan Samy. Samy mengangguk. “Aku tidak akan meminta ini jika aku tidak percaya pada Dokter Diandra." Kata-kata Samy menggugah rasa ingin tahunya, tetapi juga menambah beban di hatinya. Veny tidak bisa memutuskannya malam ini. Samy terlihat tersinggung dengan keengganan Veny untuk menjawab. Ia yang dikenal kurang sabar mengeluarkan sebuah kartu dari saku jasnya. Dengan nada yang tegas, ia berkata, “Jika Dokter bersedia merawat keluargaku, uang di dalam kartu ini bernilai jutaan dolar. Itu akan menjadi milik anda.” Veny terkejut, matanya membelalak saat melihat kartu itu. “Tuan, aku tidak bisa menerima ini,” ujarnya merasa tidak nyaman dengan tawaran yang terkesan membeli bantuan profesional. “Ini bukan hanya soal uang, Dokter.” Samy menjawab, namun nada suaranya menunjukkan tekanan. “Keluargaku benar-benar membutuhkan bantuan. Aku ingin memastikan dia mendapat perawatan terbaik, dan aku tahu hanya dokter yang bisa mengobatinya hingga sembuh.” Veny merasa berkonflik. Di satu sisi tawaran itu menggoda dan bisa membantunya. Dengan uang itu juga dia akan bisa membeli rumah impian untuknya dan Nick agar mereka tidak lagi membebani Felix dan Tania. Akan tetapi di sisi lain, dia tidak ingin terjebak dalam urusan yang lebih rumit dan sering bertemu dengan Samy. “Tuan, aku tidak ingin terlibat dalam hal-hal seperti ini,” katanya, berusaha menjaga sikap profesional. Namun di dalam hatinya, dia merasakan dorongan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Apakah ini bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki segala sesuatunya, baik untuk karier maupun kehidupannya dengan Nick putranya? Samy merasakan bahwa Veny, atau Dokter Diandra, terlalu sombong dan jual mahal. Rasa frustrasinya semakin meningkat, dan setelah beberapa saat diam, ia akhirnya memutuskan untuk tidak memaksa Veny lagi. “Baiklah, jika itu keputusan anda,” ujarnya, suaranya terdengar lebih dingin. “Aku akan mencari cara lain untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan keluargaku.” Veny merasakan suasana di antara mereka menjadi tegang. “Tuan, itu bukan tentang merasa sombong. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik dalam pekerjaan ini,” Veny mencoba menjelaskan, tetapi Samy sudah terlihat berbalik, menjauh dari diskusi yang tidak memuaskan bagi keduanya. Ketika Samy pergi, Veny merasakan campuran lega dan kesedihan. Meskipun ia tahu keputusan untuk tidak terlibat dalam masalahnya adalah langkah yang tepat, rasa sakit dan ketegangan antara mereka tetap membekas. Dia kembali menatap ruang di sekelilingnya, berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Keesokan harinya, Veny sudah mulai bekerja dengan semangat, berusaha mengalihkan pikirannya dari pertemuan dengan Samy. Namun, saat pulang menuju rumah, tiba-tiba segalanya berubah. Dia merasa ada yang mengawasi, dan sebelum sempat berbuat apa-apa, sekelompok orang menculiknya, membawanya ke tempat yang tidak dikenal. Ketika Veny akhirnya dibawa ke hadapan Samy, rasa takut dan kebingungan melanda. Samy menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, menciptakan ketegangan di udara. “Selamat sore Dokter Diandra!” katanya dengan nada tegas, “aku tidak akan membiarkanmu menolak permintaanku” Veny berusaha tetap tenang, meskipun detak jantungnya semakin cepat. “Apa yang kamu lakukan? Ini tidak benar, Tuan!” dia berusaha berargumentasi, mencari cara untuk memahami situasi yang kini berada di luar kendalinya. “Ini tentang keluargaku,” Samy menjawab, bersikeras. “Aku butuh dokter, dan aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.” Veny merasa terjebak, baik secara fisik maupun emosional. Dia masih ingat bagaimana kejamnya Samy dulu padanya. Apakah sekarang Samy juga akan menyiksanya hanya demi seseorang yang sakit? Di sebuah ruang pertemuan mewah di salah satu hotel San Diego, Samy menatap Veny yang kini dikenal sebagai Dokter Diandra, dengan ekspresi tegang. Ran, asisten kepercayaannya, baru saja memberikan saran agar Veny menerima tawaran Samy untuk merawat seseorang yang penting baginya. Namun ketegangan di antara mereka mulai terasa saat Veny menyuarakan ketidaknyamanannya."Kenapa orang itu tidak dibawa saja ke rumah sakit, seperti pasien lainnya?" Veny bertanya dengan suara tenang namun tegas, tatapannya menantang. Meskipun dia mencoba menutupi rasa cemasnya, di dalam hati Veny merasakan gejolak emosional. Samy, yang dia kira tak akan pernah dia temui lagi, kini berada di hadapannya membawa bayangan masa lalu yang menyakitkan.Samy yang sejak tadi menahan emosi tiba-tiba mengeraskan nada suaranya. "Itu bukan urusanmu, Dokter Diandra," katanya dingin, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. "Kamu hanya perlu melakukan apa yang kuminta. Tidak lebih, tidak kurang."Veny terkejut deng
Veny mulai memeriksa kaki Moza dengan alat seadanya. Sambil memegang pergelangan kaki yang terlihat normal, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Namun tanpa peralatan medis yang lengkap Veny tidak berani memberikan diagnosa pasti."Kamu harus ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata Veny hati-hati.Moza langsung menggeleng, ekspresi wajahnya berubah ketakutan. "Aku trauma dengan rumah sakit. Aku nggak bisa ke sana."Veny menghela napas panjang, merasa dilematis. "Kalau begitu, aku tidak bisa mengobatimu. Aku butuh hasil yang lebih jelas untuk bisa membantumu."Moza terdiam, kebingungan antara ketakutan lamanya seolah ada yang ia sembunyikan.Veny merasakan keganjilan dalam pernyataan Moza, tetapi dia tetap berusaha menjaga ketenangannya. "Baiklah, kalau itu keputusanmu," katanya dengan tenang sambil membereskan peralatan seadanya.Moza tersenyum samar seolah menikmati situasi, dan berkata, "Aku tidak akan memaksamu. Lebih baik aku tidak diobati daripada harus ke rumah s
Veny melangkah keluar dengan cepat, berusaha menghindari drama murahan yang dimainkan Moza di dalam. Hatinya bergolak, namun dia tak ingin terseret lebih dalam. Begitu sampai di luar, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya tertuju pada pintu kamar di sebelah kamar yang dulu pernah ia tempati.Tatapannya tertahan pada pintu itu. Ada sesuatu yang memanggilnya kembali, seolah-olah pintu itu menyimpan kenangan yang selama ini berusaha dia kubur. Veny merasakan keinginan kuat untuk membukanya, meski tahu di baliknya tersimpan begitu banyak kenangan, baik yang indah maupun yang penuh luka.Di dalam kamar itu, dia pernah merasakan kebahagiaan sederhana bersama Sam. Momen-momen yang kini hanya terasa seperti bayangan samar dari masa lalu. Namun, kamar itu juga menjadi saksi bisu ketika segalanya runtuh, ketika cinta yang pernah ia yakini ternyata hanyalah ilusi.Veny menggenggam gagang pintu sejenak, mencoba melawan doronga
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Samy, dan Veny merasa tenang. Dia tidak pernah lagi berurusan dengan pria itu, dan kehidupannya kembali normal. Dia mampu bekerja dengan baik di rumah sakit, fokus pada pasien-pasiennya, dan menjalani rutinitas yang lebih damai.Hari ini, saat melihat Nick bermain di ruang tamu, Veny merasa kerinduan yang mendalam akan tempat masa kecilnya. Kenangan akan rumah orang tuanya muncul kembali, membawa senyum di wajahnya. Ia ingin menunjukkan kepada Nick tempat di mana ia tumbuh besar, memberi anaknya kesempatan untuk merasakan suasana yang sama seperti yang pernah dia alami.Veny pun mengambil keputusan untuk mengajak Nick jalan-jalan ke rumah orang tuanya. “Nick, bagaimana kalau kita pergi mengunjungi nenek dan kakek hari ini?” tanyanya sambil berjongkok di depan anaknya.Nick menatapnya dengan mata bersinar penuh semangat. “Nenek? kita akan bertemu Nenek yang sering Mom ceritaka" jawabnya ceria, bola matanya berbinar.Veny merasa
Veny dengan nama alias Dokter Diandra, membawa berkas rekam medis Moza dan masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Moza sudah duduk di kursi roda, ditemani oleh seorang perawat. Setelah melihat Veny masuk, Moza mengangkat tangannya sedikit."Bisakah kau tinggalkan kami sebentar?" tanya Moza pada sang perawat.Perawat itu terlihat ragu sejenak, lalu menoleh pada Veny yang mengangguk tanda setuju. Setelah perawat meninggalkan ruangan. Veny mendekat dan bersiap untuk memulai pemeriksaan."Baiklah, Nyonya Moza. Kita akan mulai dengan pemeriksaan dasar dulu. Saya akan mengecek kondisi fisik Anda sebelum masuk ke tahap lanjut."Kepalanya sedikit menggeleng, "Tidak perlu pemeriksaan."Veny terkejut, "Tidak perlu? Nyonya, ini penting untuk kesehatan Anda. Kami butuh memeriksa kondisi Anda sebelum menentukan langkah pengobatan selanjutnya."Moza Menatap Veny tajam, "Aku tahu apa yang ku butuhkan. Dan itu bukan pemeriksaan medis, Dokter Diandra."Veny berhenti sejenak, berusaha menenangkan dirinya.
Samy menatap Moza dengan ekspresi dingin, lalu dengan nada agak kesal bertanya, "Kenapa kau mempermainkan pemeriksaan ini? Kau tahu kan ini penting."Moza yang duduk di hadapannya dengan santai, tersenyum tipis. "Samy, tenang saja. Aku hanya bertanya, tapi dokter itu langsung menghentikan pemeriksaan. Padahal kau bilang dokter Diandra itu bukan sembarang dokter."Samy memicingkan matanya, tak suka dengan sikap Moza yang terlihat tak serius. "Kita tidak punya waktu untuk main-main, Moza. Kau sadar ini bisa memperburuk keadaanmu, kan? Dan kenapa kau tiba-tiba membahas Veny di hadapan dokter Diandra? Apa maksudmu?"Moza mengangkat bahunya, seolah tak peduli dengan kemarahan Samy. "Aku mendengar suara Veny di Dokter Diandra. Lagipula, aku pikir kau sudah melupakan masa lalumu dengan Veny. Kenapa kau begitu tegang setiap kali dia disebutkan?"Samy mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya di depan Moza. "Veny sudah tidak ada hubungannya dengan ini. Jangan bawa dia ke
"Nick, kau tidak apa-apa?" tanya Isla dengan nada penuh kekhawatiran, langsung memeriksa anak yang diasuhnya setelah kejadian hampir celaka itu.Nick, masih sedikit gemetar, menggeleng pelan. "Aku hanya terkejut," jawabnya dengan suara kecil, matanya masih memandang jalanan. "Bagaimana dengan bibi? Apakah bibi baik-baik saja?" tanyanya balik, nada suaranya penuh perhatian meski dia baru saja hampir celaka.Isla tersenyum tipis, meski wajahnya masih diliputi kekhawatiran. "Aku baik-baik saja, sayang. Yang penting kau selamat." Dia kemudian memeluk Nick erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil memastikan anak itu tidak terlalu terguncang. "Mari kita kembali ke rumah. Ini hari yang berat," kata Isla sambil memandang ke arah mobil yang hampir menabrak mereka, merasa lega bahwa semuanya masih bisa diatasi.Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada, tapi perasaan gelisah Isla tak sepenuhnya hilang.Veny berlari dengan panik menuju mobilnya, telinganya masih dipenuhi s
"Dulu kau berjanji akan membuat Moza bahagia," kata Nyonya Alma dengan suara bergetar, air matanya mengalir deras. "Aku sangat kecewa, Sam. Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Aku akan membawa Moza pergi dari sini."Kata-kata itu menusuk Samy seperti pedang. Ia merasa semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang tak tertahankan. Tatapan penuh kepedihan dari Nyonya Alma dan keputusasaan Moza membuatnya tersadar bahwa segala upaya yang telah ia lakukan selama ini mungkin tidak pernah cukup."Bibi... tolong beri aku waktu," ucap Samy dengan suara parau, mencoba menahan emosinya. "Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu aku telah mengecewakan kalian berdua, tapi membiarkan Moza pergi seperti ini hanya akan membuat keadaan semakin buruk."Nyonya Alma menggeleng dengan sedih. "Kau sudah punya tujuh tahun, Sam. Moza pantas mendapatkan yang lebih baik... seseorang yang benar-benar mencintainya, yang mau ada di sampingnya, bukan hanya karena kewajiban."Samy terdiam, merasa kehilangan kata