Share

KITC-05

Damian menyambut Samy dengan hangat, senyumnya lebar, lalu mengarahkan Samy untuk berhadapan langsung dengan Veny. “Ini Dokter Diandra, yang baru saja kita bicarakan,” katanya, memperkenalkan mereka dengan nada ceria.

Samy menatap Veny dengan tatapan yang membuatnya merasa cemas, tetapi kemudian menyapa, “Selamat malam, Dokter Diandra.” Veny merasa sedikit lega karena Samy tidak mengenali dirinya, setidaknya untuk saat ini.

Namun, Damian melanjutkan, “Samy ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Mungkin kalian bisa mencari tempat yang lebih tenang.”

Veny menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Awalnya, ia ragu untuk berbicara dengan Samy. Ia tidak ingin terjebak dalam drama emosional yang telah lama ditinggalkannya. Namun, suasana di sekelilingnya mendadak riuh ketika seorang dokter wanita berteriak, “Wow, kamu beruntung diundang bicara oleh Samy!”

Teriakan itu membuat Veny merasa tertekan. Semua orang menatapnya, dan ia merasakan tekanan untuk menjawab. Dengan napas dalam-dalam, Veny akhirnya mengangguk pelan, meskipun hati kecilnya merasa takut akan apa yang mungkin diungkapkan Samy dan yang lebih menakutkan jika Samy bisa mengenali dirinya dari suaranya.

“Baiklah,” ujarnya pelan. “Mari kita bicara.”

Di dalam ruangan yang sepi, gelagat Veny jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Samy yang memperhatikan mengira bahwa Veny merasa takut. “Dokter Diandra,” katanya, mencoba menenangkan suasana. “Aku adalah pria yang beristri.”

Pernyataan itu menghantam Veny, membuatnya langsung teringat pada Mouza, kekasih Samy. Dia sudah menikah dengan Mouza. Rasa pahit menggerogoti hatinya, mengingat semua pengkhianatan yang telah dia alami. Namun, di tengah emosinya sebuah pemikiran tiba-tiba muncul—Nick.

Veny menatap Samy lebih dalam, dan seketika, ia merasakan kejutan. Wajah Samy dengan fitur dan ekspresi tertentu sangat mirip dengan Nick. Jantungnya berdebar keras saat kesadaran itu menghantamnya.

Dalam kebingungan, Veny berusaha menahan emosinya. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terjerat dalam suasana yang rumit ini. Tapi, saat dia menatap Samy, dia merasakan benang merah yang tak terelakkan antara mereka, terutama ketika memikirkan putranya.

“Jadi, kamu sudah menikah,” jawab Veny, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Samy mengangguk menjelaskan, “Aku menikah delapan tahun yang lalu.” Mendengar itu Veny tertegun. Delapan tahun? Itu adalah waktu yang sama ketika ia dan Samy menikah. Dan satu tahun bersama ia melarikan diri dari tuduhan Samy terhadapnya. Dalam benaknya, pikiran-pikiran liar mulai bermunculan.

"Cukup lama," ucap Veny berusaha menyimpan semua emosi yang mengaduk di dalam dirinya.

Samy tampak tidak menyadari pergolakan di hati Veny. “Ya, aku bertemu dengan istriku setelah beberapa tahun. Kami membangun hidup bersama.”

Veny merasa jantungnya berdebar kencang. Apakah mungkin Samy juga menikahi Mouza di saat yang berdekatan? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menambah rasa sakit yang sudah ada. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi suara hatinya menahan, takut akan jawaban yang akan diterimanya.

“Dan bagaimana dengan anda? aku dengar Dokter Diandra seorang single?" tanya Samy, memperhatikan ekspresi wajah Veny.

Veny berusaha mengalihkan perhatian dari kebingungan yang melanda. “I- iya, aku sudah pernah bercerai” jawabnya, tanpa menyebut telah memiliki anak. Dia tahu bahwa untuk bisa melanjutkan hidup, ia perlu menghadapi masa lalu, tetapi Veny tidak siap untuk semua itu?

Samy mengubah arah pembicaraan, menyampaikan dengan serius, “Aku ingin kamu merawat orang terdekatku yang tidak bisa berjalan. Aku sudah mendengar tentang kehebatanmu dalam merawat pasien dan berhasil membawa mereka sampai sembuh.”

Veny terkejut dengan permintaan itu. “Tuan, aku… aku sama seperti dokter lainnya. Banyak dokter yang lebih berpengalaman dalam kasus seperti itu,” jawabnya berusaha merendah meskipun merasa terhormat.

“Tidak, Dokter Diandra. Aku tahu siapa yang aku maksud. Aku percaya padamu,” kata Samy, menatapnya dengan intens. “Dia butuh perhatian khusus, dan aku yakin hanya anda yang bisa membantunya.”

Veny merasa terombang-ambing antara keengganan dan rasa tanggung jawab. Di satu sisi, ia merasa terikat oleh permintaan itu, namun di sisi lain, bayangan masa lalu yang menyakitkan sulit untuk diabaikan.

“Apa Tuan yakin ini keputusan yang tepat?” Veny bertanya, berusaha memahami keadaan Samy.

Samy mengangguk. “Aku tidak akan meminta ini jika aku tidak percaya pada Dokter Diandra."

Kata-kata Samy menggugah rasa ingin tahunya, tetapi juga menambah beban di hatinya. Veny tidak bisa memutuskannya malam ini.

Samy terlihat tersinggung dengan keengganan Veny untuk menjawab. Ia yang dikenal kurang sabar mengeluarkan sebuah kartu dari saku jasnya. Dengan nada yang tegas, ia berkata, “Jika Dokter bersedia merawat keluargaku, uang di dalam kartu ini bernilai jutaan dolar. Itu akan menjadi milik anda.”

Veny terkejut, matanya membelalak saat melihat kartu itu. “Tuan, aku tidak bisa menerima ini,” ujarnya merasa tidak nyaman dengan tawaran yang terkesan membeli bantuan profesional.

“Ini bukan hanya soal uang, Dokter.” Samy menjawab, namun nada suaranya menunjukkan tekanan. “Keluargaku benar-benar membutuhkan bantuan. Aku ingin memastikan dia mendapat perawatan terbaik, dan aku tahu hanya dokter yang bisa mengobatinya hingga sembuh.”

Veny merasa berkonflik. Di satu sisi tawaran itu menggoda dan bisa membantunya. Dengan uang itu juga dia akan bisa membeli rumah impian untuknya dan Nick agar mereka tidak lagi membebani Felix dan Tania. Akan tetapi di sisi lain, dia tidak ingin terjebak dalam urusan yang lebih rumit dan sering bertemu dengan Samy. “Tuan, aku tidak ingin terlibat dalam hal-hal seperti ini,” katanya, berusaha menjaga sikap profesional.

Namun di dalam hatinya, dia merasakan dorongan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Apakah ini bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki segala sesuatunya, baik untuk karier maupun kehidupannya dengan Nick putranya?

Samy merasakan bahwa Veny, atau Dokter Diandra, terlalu sombong dan jual mahal. Rasa frustrasinya semakin meningkat, dan setelah beberapa saat diam, ia akhirnya memutuskan untuk tidak memaksa Veny lagi.

“Baiklah, jika itu keputusan anda,” ujarnya, suaranya terdengar lebih dingin. “Aku akan mencari cara lain untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan keluargaku.”

Veny merasakan suasana di antara mereka menjadi tegang. “Tuan, itu bukan tentang merasa sombong. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik dalam pekerjaan ini,” Veny mencoba menjelaskan, tetapi Samy sudah terlihat berbalik, menjauh dari diskusi yang tidak memuaskan bagi keduanya.

Ketika Samy pergi, Veny merasakan campuran lega dan kesedihan. Meskipun ia tahu keputusan untuk tidak terlibat dalam masalahnya adalah langkah yang tepat, rasa sakit dan ketegangan antara mereka tetap membekas. Dia kembali menatap ruang di sekelilingnya, berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Keesokan harinya, Veny sudah mulai bekerja dengan semangat, berusaha mengalihkan pikirannya dari pertemuan dengan Samy. Namun, saat pulang menuju rumah, tiba-tiba segalanya berubah. Dia merasa ada yang mengawasi, dan sebelum sempat berbuat apa-apa, sekelompok orang menculiknya, membawanya ke tempat yang tidak dikenal.

Ketika Veny akhirnya dibawa ke hadapan Samy, rasa takut dan kebingungan melanda. Samy menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, menciptakan ketegangan di udara.

“Selamat sore Dokter Diandra!” katanya dengan nada tegas, “aku tidak akan membiarkanmu menolak permintaanku”

Veny berusaha tetap tenang, meskipun detak jantungnya semakin cepat. “Apa yang kamu lakukan? Ini tidak benar, Tuan!” dia berusaha berargumentasi, mencari cara untuk memahami situasi yang kini berada di luar kendalinya.

“Ini tentang keluargaku,” Samy menjawab, bersikeras. “Aku butuh dokter, dan aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”

Veny merasa terjebak, baik secara fisik maupun emosional. Dia masih ingat bagaimana kejamnya Samy dulu padanya. Apakah sekarang Samy juga akan menyiksanya hanya demi seseorang yang sakit?

​​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status