Veny meronta, tali yang mengikat pergelangan tangannya terasa semakin menjerat kulitnya. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun di tengah udara lembap dan pengap dari gudang tua itu. Bau anyir darah yang menempel di bajunya bercampur dengan bau lembap kayu yang lapuk. Matanya mencari Samy, mencari sedikit saja belas kasih, namun yang ditemuinya hanyalah tatapan dingin yang menusuk.
"Samy... kumohon... lepaskan aku..." suaranya hampir tak terdengar, serak oleh keputusasaan. Namun Samy tetap berdiri kaku, tangannya mengepal, wajahnya menyiratkan kemarahan yang tak terkendali. "Aku membencimu, Veny. Kalau bukan karena dijebak... aku tak akan pernah menikahimu seumur hidupku." Kalimat itu keluar dari bibirnya dengan penuh racun. Veny tersentak, tubuhnya gemetar. Kata-kata Samy menghancurkan hatinya, lebih menyakitkan daripada luka apa pun yang mungkin ditinggalkan oleh tali di pergelangannya. Dijebak? pikirnya. Apakah dia selalu berpikir begitu? Kilas balik melintas di kepalanya. Hari ketika mereka pertama kali bertemu. Samy adalah pria yang hangat, tersenyum penuh cinta saat mereka berbicara untuk pertama kalinya. Mereka menikah dengan impian besar, atau begitulah yang dipikirkan Veny. Tapi sekarang, semua itu tampak seperti kebohongan. Kepulangan Moza kekasih masa kecil Samy menghapus sosok Veny di mata Samy, lelaki itu bahkan tak pernah menganggap Veny sebagai istrinya. Baginya Veny adalah kesialan dalam hidupnya. Suaranya patah saat ia kembali berkata, "Aku tidak meracuni Moza... aku tidak bersalah." Namun Samy tidak mendengarkan. Dia menatap Veny dengan kebencian yang begitu mendalam, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong. Di tengah rasa sakit dan keputusasaan itu, sesuatu berubah dalam diri Veny. Sebuah kesadaran baru mulai tumbuh, bahwa cinta yang diidamkannya tidak akan pernah ia dapatkan. Tidak dari Samy. Aku harus pergi dari sini, pikir Veny. Aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang sudah mati. Veny menatap Samy dengan mata yang penuh luka. "Kalau kamu memang tidak menginginkanku... lebih baik lepaskan saja aku," suaranya bergetar, tapi ada keteguhan yang merasuk dalam nadanya. Dia sudah lelah memohon, lelah berharap. Samy terdiam sejenak kemudian tertawa. Tawa yang konyol, dingin dan tanpa rasa. "Dia berjalan mendekati Veny, tatapannya liar penuh dengan kebencian yang tak terungkapkan. "Melepaskanmu?" gumamnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Veny. "Kamu pikir semudah itu?" Dengan gerakan cepat Samy mencengkeram dagu Veny dengan kasar, mencubit kulit halusnya sampai terasa sakit. Jari-jarinya begitu kuat hingga membuat kepala Veny terpaksa menoleh ke atas, memaksanya menatap mata Samy yang menyala dengan kemarahan. "Jangan mimpi!" bisiknya dengan nada dingin. "kamu akan tetap di sini sampai aku memutuskan hukuman apa yang akan kuberikan padamu." Veny meringis, rasa sakit menjalari wajahnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan pahit bahwa pria yang pernah dia cintai ini telah berubah menjadi musuhnya. Sekarang dia tau di dalam hati Samy tidak akan pernah ada cinta untuknya selain hanya kebencian. Setelah Samy melepaskan cengkeramannya dengan kasar, dia melangkah mundur menatap Veny dengan kebencian yang seolah tak berujung. "Aku akan meninggalkanmu di sini untuk berpikir," katanya dengan sinis sebelum berbalik dan meninggalkan gudang. Pintu kayu itu berderak keras saat ditutup, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Veny terdiam sejenak, terisak dalam keheningan. Dia merasa tubuhnya lelah dan hancur, tetapi pikirannya mulai bekerja. Aku harus keluar dari sini. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Matanya mencari-cari sesuatu apa saja yang bisa membantunya keluar dari ikatan ini. Dalam kegelapan gudang, dia melihat sebuah pecahan kaca kecil di lantai, sisa dari botol yang mungkin telah lama pecah. Meski tangannya terasa sakit oleh tali yang begitu ketat, Veny memaksakan diri bergerak, merangkak perlahan ke arah pecahan kaca itu. Setiap gerakan terasa menyakitkan, tetapi tekadnya semakin kuat. Dengan susah payah, Veny berhasil meraih pecahan kaca tersebut dan mulai menggesekkan ujung tajamnya ke tali di pergelangan tangannya. Keringat mengalir di wajahnya, jantungnya berdetak cepat karena takut Samy akan kembali sebelum dia berhasil. Butuh beberapa menit, namun tali itu akhirnya mulai mengendur. Dengan sekali tarik, Veny membebaskan tangannya, napasnya terengah-engah. Tanpa membuang waktu, dia melepaskan ikatan di kakinya dan berdiri. Tubuhnya gemetar, tapi dia tahu dia harus bergerak cepat. Matahari sudah terbenam, dan malam mulai menyelimuti area perumahan. Veny mengintip dari celah pintu gudang, memastikan tidak ada yang berjaga. Saat kesempatan itu datang, dia membuka pintu dengan perlahan dan menyelinap keluar, menyatu dengan bayang-bayang malam. Dengan pakaian penuh darah dan tubuh yang lemah, Veny melarikan diri dari tempat yang dulu dia sebut rumah menuju ketidakpastian, tetapi dengan satu hal yang pasti di hatinya, dia harus bertahan hidup, dan pergi sejauh mungkin dari kota ini dan tidak akan bertemu lagi dengan Samy. Veny terus berlari, kakinya yang telanjang menapak keras di atas tanah berbatu. Setiap langkah terasa perih, tetapi ia tak peduli. Rasa sakit itu tidak sebanding dengan kepedihan yang menggerogoti hatinya. Pakaian kotor dan darah yang mengering di tubuhnya membuat orang-orang yang berpapasan dengannya menatap penuh keheranan. Beberapa berbisik sementara yang lain hanya terpaku, tapi Veny tidak memedulikannya. Satu hal yang memenuhi pikirannya. Pergi, selamatkan diri. Dia semakin mempercepat langkah sampai tiba-tiba kakinya menyentuh aspal keras. Nafasnya terengah-engah saat dia menyadari bahwa ia sudah sampai di jalan raya. Belum sempat berpikir lebih jauh, lampu terang dari sebuah mobil menyilaukan matanya. Suara deru mesin mobil Range Rover terdengar kencang, namun segalanya terasa begitu cepat. Dalam sekejab mobil itu menghantam tubuh Veny. Tubuhnya terlempar ke udara sebelum jatuh keras ke atas aspal keras. Rasa sakit yang luar biasa menjalar cepat ke seluruh tubuhnya, namun kesadaran segera memudar sebelum dia sempat merasakan semuanya. Pengendara mobil seorang pria muda dengan wajah panik segera turun dari kendaraannya. "Tolong! ada yang terluka, panggil ambulan!" teriaknya dengan nada cemas, tangannya gemetar saat dia berlutut di samping tubuh Veny yang tergeletak tak sadarkan diri. Orang-orang yang tadinya hanya menatap kini mulai berkerumun, ponsel mereka sibuk merekam dan beberapa mulai menelpon emergency. Di tengah keramaian itu hanya satu hal yang tetap sepi, yaitu kesadaran Veny yang perlahan memudar ke dalam kegelapan yang tak terjangkau. Veny tengah diperiksa oleh dokter di dalam ruangan rumah sakit, di mana kondisinya terlihat cukup memprihatinkan. Lukanya yang paling serius berada di bagian mata dan dagu, dengan luka yang cukup besar dan pendarahan yang sulit dihentikan. Dokter yang memeriksanya berbicara serius kepada tim medis, menyarankan agar segera dilakukan tindakan operasi. Mereka khawatir jika tidak ditangani secepat mungkin, kerusakan di mata dan dagunya akan semakin parah dan sulit dipulihkan.Di luar ruangan, pria yang menabrak Veny berdiri gelisah, wajahnya tampak pucat dan cemas. Dia terus melirik ke arah pintu kamar tempat Veny dirawat, seolah-olah berharap melihat dokter keluar dengan berita baik. Sambil menunggu, dia berbicara melalui telepon dengan suara rendah dan terbata-bata, berusaha menyampaikan situasi yang mendesak."Aku baru saja menabrak seorang wanita. Dia sedang dalam perawatan sekarang, dan aku tidak bisa pulang malam ini," katanya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. "Aku harus memastikan
Felix menarik napas dalam, menyadari bahwa Veny berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia akan menjelaskannya dengan hati-hati, seolah ingin menenangkan wanita yang masih terbaring lemah itu. “Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya,” katanya dengan suara tenang. “Malam itu, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku harus mengejar penerbangan untuk kembali ke Philadelphia, kotaku. Namun, ketika aku sedang menyetir, tiba-tiba kamu muncul di tengah jalan. Aku tidak sempat menghindar. Mobilku menabrakmu. Itu kecelakaan, dan aku benar-benar tidak melihatmu datang.” Felix berhenti sejenak, mencoba membaca reaksi Veny, meskipun matanya masih tertutup oleh perban. Dia melanjutkan dengan nada penuh penyesalan, “Setelah kecelakaan itu, aku segera membawamu ke rumah sakit ini. Kamu dibawa langsung ke ruang operasi karena cedera di wajahmu sangat serius. Aku merasa bersalah, dan aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan tetap di sini sampai kamu sembuh.” Veny mendengarkan
Veny kini menjalani hidup baru di Philadelphia, dengan identitas barunya sebagai Diandra. Ia tinggal di rumah Felix dan istrinya, Tania, yang sangat menyukainya. Transplantasi mata telah berhasil membuat penglihatannya kembali. Perubahan wajahnya semakin kentara karena mata yang semula berwarna abu-abu kini berganti amber, ditambah dagu yang telah lancip membuat wajah Veny terlihat lebih cantik dan semakin memikat, tatapannya pun tidak sendu lagi, kini berubah lebih berani. Sehingga mungkin orang yang dulu bersamanya tidak akan mengenalinya sebagai Veny. Felix dan Tania merawat Veny dengan penuh perhatian, bahkan hingga Veny melahirkan seorang putra. Kehadiran anaknya menjadi pelipur lara di tengah kenangan masa lalunya. Namun, setiap kali Veny menatap mata hitam pekat anaknya, bayangan Samy selalu terlintas di benaknya. Meskipun ia telah jauh dari masa lalu, kenangan tentang Samy tetap tak terhapuskan, terutama saat melihat bayangan pria itu dalam bola mata anaknya.Sambil mengg
Damian menyambut Samy dengan hangat, senyumnya lebar, lalu mengarahkan Samy untuk berhadapan langsung dengan Veny. “Ini Dokter Diandra, yang baru saja kita bicarakan,” katanya, memperkenalkan mereka dengan nada ceria. Samy menatap Veny dengan tatapan yang membuatnya merasa cemas, tetapi kemudian menyapa, “Selamat malam, Dokter Diandra.” Veny merasa sedikit lega karena Samy tidak mengenali dirinya, setidaknya untuk saat ini. Namun, Damian melanjutkan, “Samy ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Mungkin kalian bisa mencari tempat yang lebih tenang.” Veny menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Awalnya, ia ragu untuk berbicara dengan Samy. Ia tidak ingin terjebak dalam drama emosional yang telah lama ditinggalkannya. Namun, suasana di sekelilingnya mendadak riuh ketika seorang dokter wanita berteriak, “Wow, kamu beruntung diundang bicara oleh Samy!” Teriakan itu membuat Veny merasa tertekan. Semua orang menatapnya, dan ia merasakan tekanan untuk menjawab. Den
Di sebuah ruang pertemuan mewah di salah satu hotel San Diego, Samy menatap Veny yang kini dikenal sebagai Dokter Diandra, dengan ekspresi tegang. Ran, asisten kepercayaannya, baru saja memberikan saran agar Veny menerima tawaran Samy untuk merawat seseorang yang penting baginya. Namun ketegangan di antara mereka mulai terasa saat Veny menyuarakan ketidaknyamanannya."Kenapa orang itu tidak dibawa saja ke rumah sakit, seperti pasien lainnya?" Veny bertanya dengan suara tenang namun tegas, tatapannya menantang. Meskipun dia mencoba menutupi rasa cemasnya, di dalam hati Veny merasakan gejolak emosional. Samy, yang dia kira tak akan pernah dia temui lagi, kini berada di hadapannya membawa bayangan masa lalu yang menyakitkan.Samy yang sejak tadi menahan emosi tiba-tiba mengeraskan nada suaranya. "Itu bukan urusanmu, Dokter Diandra," katanya dingin, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. "Kamu hanya perlu melakukan apa yang kuminta. Tidak lebih, tidak kurang."Veny terkejut deng
Veny mulai memeriksa kaki Moza dengan alat seadanya. Sambil memegang pergelangan kaki yang terlihat normal, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Namun tanpa peralatan medis yang lengkap Veny tidak berani memberikan diagnosa pasti."Kamu harus ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata Veny hati-hati.Moza langsung menggeleng, ekspresi wajahnya berubah ketakutan. "Aku trauma dengan rumah sakit. Aku nggak bisa ke sana."Veny menghela napas panjang, merasa dilematis. "Kalau begitu, aku tidak bisa mengobatimu. Aku butuh hasil yang lebih jelas untuk bisa membantumu."Moza terdiam, kebingungan antara ketakutan lamanya seolah ada yang ia sembunyikan.Veny merasakan keganjilan dalam pernyataan Moza, tetapi dia tetap berusaha menjaga ketenangannya. "Baiklah, kalau itu keputusanmu," katanya dengan tenang sambil membereskan peralatan seadanya.Moza tersenyum samar seolah menikmati situasi, dan berkata, "Aku tidak akan memaksamu. Lebih baik aku tidak diobati daripada harus ke rumah s
Veny melangkah keluar dengan cepat, berusaha menghindari drama murahan yang dimainkan Moza di dalam. Hatinya bergolak, namun dia tak ingin terseret lebih dalam. Begitu sampai di luar, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya tertuju pada pintu kamar di sebelah kamar yang dulu pernah ia tempati.Tatapannya tertahan pada pintu itu. Ada sesuatu yang memanggilnya kembali, seolah-olah pintu itu menyimpan kenangan yang selama ini berusaha dia kubur. Veny merasakan keinginan kuat untuk membukanya, meski tahu di baliknya tersimpan begitu banyak kenangan, baik yang indah maupun yang penuh luka.Di dalam kamar itu, dia pernah merasakan kebahagiaan sederhana bersama Sam. Momen-momen yang kini hanya terasa seperti bayangan samar dari masa lalu. Namun, kamar itu juga menjadi saksi bisu ketika segalanya runtuh, ketika cinta yang pernah ia yakini ternyata hanyalah ilusi.Veny menggenggam gagang pintu sejenak, mencoba melawan doronga
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Samy, dan Veny merasa tenang. Dia tidak pernah lagi berurusan dengan pria itu, dan kehidupannya kembali normal. Dia mampu bekerja dengan baik di rumah sakit, fokus pada pasien-pasiennya, dan menjalani rutinitas yang lebih damai.Hari ini, saat melihat Nick bermain di ruang tamu, Veny merasa kerinduan yang mendalam akan tempat masa kecilnya. Kenangan akan rumah orang tuanya muncul kembali, membawa senyum di wajahnya. Ia ingin menunjukkan kepada Nick tempat di mana ia tumbuh besar, memberi anaknya kesempatan untuk merasakan suasana yang sama seperti yang pernah dia alami.Veny pun mengambil keputusan untuk mengajak Nick jalan-jalan ke rumah orang tuanya. “Nick, bagaimana kalau kita pergi mengunjungi nenek dan kakek hari ini?” tanyanya sambil berjongkok di depan anaknya.Nick menatapnya dengan mata bersinar penuh semangat. “Nenek? kita akan bertemu Nenek yang sering Mom ceritaka" jawabnya ceria, bola matanya berbinar.Veny merasa