Share

KITC-02

Veny tengah diperiksa oleh dokter di dalam ruangan rumah sakit, di mana kondisinya terlihat cukup memprihatinkan. Lukanya yang paling serius berada di bagian mata dan dagu, dengan luka yang cukup besar dan pendarahan yang sulit dihentikan. Dokter yang memeriksanya berbicara serius kepada tim medis, menyarankan agar segera dilakukan tindakan operasi. Mereka khawatir jika tidak ditangani secepat mungkin, kerusakan di mata dan dagunya akan semakin parah dan sulit dipulihkan.

Di luar ruangan, pria yang menabrak Veny berdiri gelisah, wajahnya tampak pucat dan cemas. Dia terus melirik ke arah pintu kamar tempat Veny dirawat, seolah-olah berharap melihat dokter keluar dengan berita baik. Sambil menunggu, dia berbicara melalui telepon dengan suara rendah dan terbata-bata, berusaha menyampaikan situasi yang mendesak.

"Aku baru saja menabrak seorang wanita. Dia sedang dalam perawatan sekarang, dan aku tidak bisa pulang malam ini," katanya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. "Aku harus memastikan dia baik-baik saja. Ini semua salahku."

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun rasa cemas dan penyesalan terus menggerogoti hatinya. Setiap detik terasa sangat lama, dan bayangan wajah Veny yang tergeletak di jalan aspal membuatnya semakin tidak nyaman.

"Aku tidak tahu bagaimana keadaan dia... Tapi aku harus bertanggung jawab," lanjutnya, sebelum menutup telepon dengan wajah yang semakin tampak putus asa. Dia kembali menatap pintu ruangan, berharap ada kabar baik tentang wanita yang tak dikenalnya itu.

Sementara pria yang menabrak Veny menunggu dengan gelisah, seorang perawat keluar dari ruangan dan menghampirinya. Dengan nada profesional, perawat itu bertanya, "Maaf, bisa saya tahu nama pasien korban kecelakaan ini?"

Felix, yang masih diliputi kecemasan dan tidak tahu nama asli Veny, merasa terdesak. Dalam sekejap, dia memutuskan untuk memberikan nama baru agar Veny segera di atasi oleh dokter "Diandra," jawabnya cepat, berharap nama itu tidak menarik perhatian lebih lanjut.

Perawat itu mencatat nama tersebut dengan sigap." Apa anda walinya?"

"Ya, saya Felix, yang akan bertanggung jawab terhadap pasien," jawabnya cepat.

"Terima kasih," kata sang perawat, lalu kembali ke dalam ruangan untuk melanjutkan perawatan. Felix merasa sedikit lega, tetapi kekhawatiran akan kondisi Veny tetap membayangi pikirannya. Nama baru itu bisa memberi Veny sedikit ruang untuk bernafas, tetapi dia tahu dia harus segera mengatasi situasi ini.

Dia merutuki diri sendiri karena terlibat dalam kecelakaan ini, sambil berharap Veny bisa segera pulih. Meskipun dia tidak mengenalnya, ada perasaan tanggung jawab yang mendalam dalam dirinya untuk memastikan bahwa wanita itu mendapatkan perawatan yang terbaik

Dokter keluar dari ruangan dengan ekspresi serius. Felix segera berdiri, berharap untuk mendengar kabar baik. Namun saat dokter mulai berbicara, wajahnya langsung berubah.

“Maaf, saya harus memberitahu Anda bahwa kondisi pasien sangat parah,” kata dokter, suaranya tegas namun penuh empati. “Dia terancam kehilangan penglihatannya. Selain itu, tulang dagunya juga retak dan harus segera dioperasi.”

Felix merasa seluruh dunianya runtuh mendengar berita itu. Rasa syok melanda dirinya, dan hatinya terasa berat. “Apa? Tidak… itu tidak mungkin,” gumamnya, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima.

Setelah beberapa detik, meskipun rasa bersalah menggerogoti hatinya dia berusaha mengumpulkan diri. “Tolong, lakukan yang terbaik untuknya,” jawabnya tegas, walaupun dalam hatinya rasa bersalah terus menghimpit. “Ini semua salahku… Aku tidak seharusnya terburu-buru.”

Dokter mengangguk, memahami perasaan Felix. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Namun operasi ini sangat krusial. Mohon berdoa untuk kesembuhannya.”

Setelah dokter pergi, Felix berdiri terpaku, teringat kembali pada detik-detik sebelum kecelakaan. Rasa penyesalan dan rasa bersalah semakin dalam. Dia tahu bahwa hidup Veny kini berada di tangannya.

Felix, masih dalam keadaan shock, segera mengambil ponselnya dan menghubungi seorang temannya yang tinggal di kota ini. Dengan nada mendesak, dia menjelaskan situasi yang sedang terjadi.

"Aku butuh bantuanmu. Ada sesuatu yang besar yang terjadi, dan aku butuh agar berita ini tidak menyebar," katanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. "Seorang wanita yang aku tabrak sedang dalam kondisi kritis di rumah sakit. Jika berita ini bocor, bisa sangat buruk bagi kami berdua."

Temannya di sisi telepon mengangguk, meskipun tidak bisa terlihat, Felix bisa merasakan perhatian di suaranya. "Tentu, aku akan coba meredam kabar ini. Beri aku sedikit waktu untuk mengurusnya, tapi seperti yang kau tau, ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit."

"Bagiku uang bukanlah masalah," tutup Felix merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa jika berita ini menyebar, akan ada banyak spekulasi dan masalah yang muncul, tidak hanya bagi Veny tetapi juga bagi dirinya sendiri. Dia ingin memastikan Veny mendapatkan perawatan yang terbaik tanpa tambahan tekanan dari luar.

Setelah operasi yang berlangsung selama berjam-jam, Veny akhirnya dipindahkan ke ruang VIP. Di ruangan yang sunyi dan nyaman itu, Felix duduk di samping tempat tidurnya, menunggu dengan cemas. Dia merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi, dan meskipun lelah, dia tidak bisa meninggalkan Veny. Sepanjang malam, dia terus berjaga, memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Pagi harinya, Veny perlahan mulai terbangun. Dia merasa pusing dan lemah, namun yang paling membuatnya cemas adalah dia tidak bisa membuka matanya. Panik mulai melanda, dan tangannya meraba wajahnya. Sentuhan itu terasa aneh, ada perban yang melilit di sekitar matanya.

"Di mana aku?" pikirnya, hatinya mulai dipenuhi kebingungan dan rasa takut.

Felix, yang memperhatikan Veny mulai bergerak, segera mendekat. "Kau sudah sadar," katanya lembut, mencoba memberikan ketenangan. Dia duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan gerakan Veny yang masih bingung.

Veny berhenti meraba dan mencoba memahami situasi. Suara Felix asing baginya, namun ada kehangatan dalam nada suaranya. "Apa yang terjadi? Kenapa mataku tertutup?" tanyanya dengan suara pelan, penuh ketakutan.

Felix menarik napas panjang sebelum menjawab, "Kau mengalami kecelakaan... Aku yang menabrakmu. Dokter harus melakukan operasi darurat untuk menyelamatkan penglihatanmu dan memperbaiki dagumu yang retak."

Veny terdiam, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, rasa takut akan kehilangan penglihatannya menguasai pikirannya. "Apakah aku... bisa melihat lagi?" tanyanya, suara gemetar.

Felix menatapnya dengan penuh rasa bersalah, "Dokter bilang mereka melakukan yang terbaik, tapi kita harus menunggu dan melihat hasilnya setelah perban dilepas."

Veny, masih terbaring lemah, mencoba mencerna kata-kata Felix. Namun, pikirannya terasa kosong, tidak bisa mengingat apa pun tentang kecelakaan yang disebutkan. "Kecelakaan?" dia bertanya, suaranya mulai bergetar. "Dan mataku... mataku tak bisa melihat?"

Kebingungan dan ketakutan semakin merasuki dirinya. Napasnya mulai tidak teratur, dan suaranya berubah menjadi lebih panik. "Aku tidak bisa melihat! Kenapa aku tidak bisa melihat?" Veny mulai sedikit histeris, tangannya mencoba meraba lagi di sekitar perban yang menutupi matanya, tetapi Felix dengan lembut menahan tangannya.

"Tenang, tolong tenang," kata Felix dengan suara penuh ketenangan, meskipun di dalam hatinya, dia juga merasa terguncang. "Ini hanya sementara. Dokter mengatakan kau harus menunggu. Mereka melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan matamu. Percayalah, kau masih punya harapan."

Namun, Veny masih sulit untuk menenangkan diri. Kegelapan yang menyelimuti matanya semakin membuatnya takut, dan ketidakmampuan untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi hanya membuatnya semakin bingung. "Aku tidak ingat... Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan lemah, meski kepanikan masih jelas terdengar dalam suaranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status