Veny tengah diperiksa oleh dokter di dalam ruangan rumah sakit, di mana kondisinya terlihat cukup memprihatinkan. Lukanya yang paling serius berada di bagian mata dan dagu, dengan luka yang cukup besar dan pendarahan yang sulit dihentikan. Dokter yang memeriksanya berbicara serius kepada tim medis, menyarankan agar segera dilakukan tindakan operasi. Mereka khawatir jika tidak ditangani secepat mungkin, kerusakan di mata dan dagunya akan semakin parah dan sulit dipulihkan.
Di luar ruangan, pria yang menabrak Veny berdiri gelisah, wajahnya tampak pucat dan cemas. Dia terus melirik ke arah pintu kamar tempat Veny dirawat, seolah-olah berharap melihat dokter keluar dengan berita baik. Sambil menunggu, dia berbicara melalui telepon dengan suara rendah dan terbata-bata, berusaha menyampaikan situasi yang mendesak. "Aku baru saja menabrak seorang wanita. Dia sedang dalam perawatan sekarang, dan aku tidak bisa pulang malam ini," katanya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. "Aku harus memastikan dia baik-baik saja. Ini semua salahku." Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun rasa cemas dan penyesalan terus menggerogoti hatinya. Setiap detik terasa sangat lama, dan bayangan wajah Veny yang tergeletak di jalan aspal membuatnya semakin tidak nyaman. "Aku tidak tahu bagaimana keadaan dia... Tapi aku harus bertanggung jawab," lanjutnya, sebelum menutup telepon dengan wajah yang semakin tampak putus asa. Dia kembali menatap pintu ruangan, berharap ada kabar baik tentang wanita yang tak dikenalnya itu. Sementara pria yang menabrak Veny menunggu dengan gelisah, seorang perawat keluar dari ruangan dan menghampirinya. Dengan nada profesional, perawat itu bertanya, "Maaf, bisa saya tahu nama pasien korban kecelakaan ini?" Felix, yang masih diliputi kecemasan dan tidak tahu nama asli Veny, merasa terdesak. Dalam sekejap, dia memutuskan untuk memberikan nama baru agar Veny segera di atasi oleh dokter "Diandra," jawabnya cepat, berharap nama itu tidak menarik perhatian lebih lanjut. Perawat itu mencatat nama tersebut dengan sigap." Apa anda walinya?" "Ya, saya Felix, yang akan bertanggung jawab terhadap pasien," jawabnya cepat. "Terima kasih," kata sang perawat, lalu kembali ke dalam ruangan untuk melanjutkan perawatan. Felix merasa sedikit lega, tetapi kekhawatiran akan kondisi Veny tetap membayangi pikirannya. Nama baru itu bisa memberi Veny sedikit ruang untuk bernafas, tetapi dia tahu dia harus segera mengatasi situasi ini. Dia merutuki diri sendiri karena terlibat dalam kecelakaan ini, sambil berharap Veny bisa segera pulih. Meskipun dia tidak mengenalnya, ada perasaan tanggung jawab yang mendalam dalam dirinya untuk memastikan bahwa wanita itu mendapatkan perawatan yang terbaik Dokter keluar dari ruangan dengan ekspresi serius. Felix segera berdiri, berharap untuk mendengar kabar baik. Namun saat dokter mulai berbicara, wajahnya langsung berubah. “Maaf, saya harus memberitahu Anda bahwa kondisi pasien sangat parah,” kata dokter, suaranya tegas namun penuh empati. “Dia terancam kehilangan penglihatannya. Selain itu, tulang dagunya juga retak dan harus segera dioperasi.” Felix merasa seluruh dunianya runtuh mendengar berita itu. Rasa syok melanda dirinya, dan hatinya terasa berat. “Apa? Tidak… itu tidak mungkin,” gumamnya, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Setelah beberapa detik, meskipun rasa bersalah menggerogoti hatinya dia berusaha mengumpulkan diri. “Tolong, lakukan yang terbaik untuknya,” jawabnya tegas, walaupun dalam hatinya rasa bersalah terus menghimpit. “Ini semua salahku… Aku tidak seharusnya terburu-buru.” Dokter mengangguk, memahami perasaan Felix. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Namun operasi ini sangat krusial. Mohon berdoa untuk kesembuhannya.” Setelah dokter pergi, Felix berdiri terpaku, teringat kembali pada detik-detik sebelum kecelakaan. Rasa penyesalan dan rasa bersalah semakin dalam. Dia tahu bahwa hidup Veny kini berada di tangannya. Felix, masih dalam keadaan shock, segera mengambil ponselnya dan menghubungi seorang temannya yang tinggal di kota ini. Dengan nada mendesak, dia menjelaskan situasi yang sedang terjadi. "Aku butuh bantuanmu. Ada sesuatu yang besar yang terjadi, dan aku butuh agar berita ini tidak menyebar," katanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. "Seorang wanita yang aku tabrak sedang dalam kondisi kritis di rumah sakit. Jika berita ini bocor, bisa sangat buruk bagi kami berdua." Temannya di sisi telepon mengangguk, meskipun tidak bisa terlihat, Felix bisa merasakan perhatian di suaranya. "Tentu, aku akan coba meredam kabar ini. Beri aku sedikit waktu untuk mengurusnya, tapi seperti yang kau tau, ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit." "Bagiku uang bukanlah masalah," tutup Felix merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa jika berita ini menyebar, akan ada banyak spekulasi dan masalah yang muncul, tidak hanya bagi Veny tetapi juga bagi dirinya sendiri. Dia ingin memastikan Veny mendapatkan perawatan yang terbaik tanpa tambahan tekanan dari luar. Setelah operasi yang berlangsung selama berjam-jam, Veny akhirnya dipindahkan ke ruang VIP. Di ruangan yang sunyi dan nyaman itu, Felix duduk di samping tempat tidurnya, menunggu dengan cemas. Dia merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi, dan meskipun lelah, dia tidak bisa meninggalkan Veny. Sepanjang malam, dia terus berjaga, memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Pagi harinya, Veny perlahan mulai terbangun. Dia merasa pusing dan lemah, namun yang paling membuatnya cemas adalah dia tidak bisa membuka matanya. Panik mulai melanda, dan tangannya meraba wajahnya. Sentuhan itu terasa aneh, ada perban yang melilit di sekitar matanya. "Di mana aku?" pikirnya, hatinya mulai dipenuhi kebingungan dan rasa takut. Felix, yang memperhatikan Veny mulai bergerak, segera mendekat. "Kau sudah sadar," katanya lembut, mencoba memberikan ketenangan. Dia duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan gerakan Veny yang masih bingung. Veny berhenti meraba dan mencoba memahami situasi. Suara Felix asing baginya, namun ada kehangatan dalam nada suaranya. "Apa yang terjadi? Kenapa mataku tertutup?" tanyanya dengan suara pelan, penuh ketakutan. Felix menarik napas panjang sebelum menjawab, "Kau mengalami kecelakaan... Aku yang menabrakmu. Dokter harus melakukan operasi darurat untuk menyelamatkan penglihatanmu dan memperbaiki dagumu yang retak." Veny terdiam, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, rasa takut akan kehilangan penglihatannya menguasai pikirannya. "Apakah aku... bisa melihat lagi?" tanyanya, suara gemetar. Felix menatapnya dengan penuh rasa bersalah, "Dokter bilang mereka melakukan yang terbaik, tapi kita harus menunggu dan melihat hasilnya setelah perban dilepas." Veny, masih terbaring lemah, mencoba mencerna kata-kata Felix. Namun, pikirannya terasa kosong, tidak bisa mengingat apa pun tentang kecelakaan yang disebutkan. "Kecelakaan?" dia bertanya, suaranya mulai bergetar. "Dan mataku... mataku tak bisa melihat?" Kebingungan dan ketakutan semakin merasuki dirinya. Napasnya mulai tidak teratur, dan suaranya berubah menjadi lebih panik. "Aku tidak bisa melihat! Kenapa aku tidak bisa melihat?" Veny mulai sedikit histeris, tangannya mencoba meraba lagi di sekitar perban yang menutupi matanya, tetapi Felix dengan lembut menahan tangannya. "Tenang, tolong tenang," kata Felix dengan suara penuh ketenangan, meskipun di dalam hatinya, dia juga merasa terguncang. "Ini hanya sementara. Dokter mengatakan kau harus menunggu. Mereka melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan matamu. Percayalah, kau masih punya harapan." Namun, Veny masih sulit untuk menenangkan diri. Kegelapan yang menyelimuti matanya semakin membuatnya takut, dan ketidakmampuan untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi hanya membuatnya semakin bingung. "Aku tidak ingat... Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan lemah, meski kepanikan masih jelas terdengar dalam suaranya. Felix menarik napas dalam, menyadari bahwa Veny berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia akan menjelaskannya dengan hati-hati, seolah ingin menenangkan wanita yang masih terbaring lemah itu. “Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya,” katanya dengan suara tenang. “Malam itu, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku harus mengejar penerbangan untuk kembali ke Philadelphia, kotaku. Namun, ketika aku sedang menyetir, tiba-tiba kamu muncul di tengah jalan. Aku tidak sempat menghindar. Mobilku menabrakmu. Itu kecelakaan, dan aku benar-benar tidak melihatmu datang.” Felix berhenti sejenak, mencoba membaca reaksi Veny, meskipun matanya masih tertutup oleh perban. Dia melanjutkan dengan nada penuh penyesalan, “Setelah kecelakaan itu, aku segera membawamu ke rumah sakit ini. Kamu dibawa langsung ke ruang operasi karena cedera di wajahmu sangat serius. Aku merasa bersalah, dan aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan tetap di sini sampai kamu sembuh.” Veny mendengarkan
Veny kini menjalani hidup baru di Philadelphia, dengan identitas barunya sebagai Diandra. Ia tinggal di rumah Felix dan istrinya, Tania, yang sangat menyukainya. Transplantasi mata telah berhasil membuat penglihatannya kembali. Perubahan wajahnya semakin kentara karena mata yang semula berwarna abu-abu kini berganti amber, ditambah dagu yang telah lancip membuat wajah Veny terlihat lebih cantik dan semakin memikat, tatapannya pun tidak sendu lagi, kini berubah lebih berani. Sehingga mungkin orang yang dulu bersamanya tidak akan mengenalinya sebagai Veny. Felix dan Tania merawat Veny dengan penuh perhatian, bahkan hingga Veny melahirkan seorang putra. Kehadiran anaknya menjadi pelipur lara di tengah kenangan masa lalunya. Namun, setiap kali Veny menatap mata hitam pekat anaknya, bayangan Samy selalu terlintas di benaknya. Meskipun ia telah jauh dari masa lalu, kenangan tentang Samy tetap tak terhapuskan, terutama saat melihat bayangan pria itu dalam bola mata anaknya.Sambil mengg
Damian menyambut Samy dengan hangat, senyumnya lebar, lalu mengarahkan Samy untuk berhadapan langsung dengan Veny. “Ini Dokter Diandra, yang baru saja kita bicarakan,” katanya, memperkenalkan mereka dengan nada ceria. Samy menatap Veny dengan tatapan yang membuatnya merasa cemas, tetapi kemudian menyapa, “Selamat malam, Dokter Diandra.” Veny merasa sedikit lega karena Samy tidak mengenali dirinya, setidaknya untuk saat ini. Namun, Damian melanjutkan, “Samy ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Mungkin kalian bisa mencari tempat yang lebih tenang.” Veny menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Awalnya, ia ragu untuk berbicara dengan Samy. Ia tidak ingin terjebak dalam drama emosional yang telah lama ditinggalkannya. Namun, suasana di sekelilingnya mendadak riuh ketika seorang dokter wanita berteriak, “Wow, kamu beruntung diundang bicara oleh Samy!” Teriakan itu membuat Veny merasa tertekan. Semua orang menatapnya, dan ia merasakan tekanan untuk menjawab. Den
Di sebuah ruang pertemuan mewah di salah satu hotel San Diego, Samy menatap Veny yang kini dikenal sebagai Dokter Diandra, dengan ekspresi tegang. Ran, asisten kepercayaannya, baru saja memberikan saran agar Veny menerima tawaran Samy untuk merawat seseorang yang penting baginya. Namun ketegangan di antara mereka mulai terasa saat Veny menyuarakan ketidaknyamanannya."Kenapa orang itu tidak dibawa saja ke rumah sakit, seperti pasien lainnya?" Veny bertanya dengan suara tenang namun tegas, tatapannya menantang. Meskipun dia mencoba menutupi rasa cemasnya, di dalam hati Veny merasakan gejolak emosional. Samy, yang dia kira tak akan pernah dia temui lagi, kini berada di hadapannya membawa bayangan masa lalu yang menyakitkan.Samy yang sejak tadi menahan emosi tiba-tiba mengeraskan nada suaranya. "Itu bukan urusanmu, Dokter Diandra," katanya dingin, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. "Kamu hanya perlu melakukan apa yang kuminta. Tidak lebih, tidak kurang."Veny terkejut deng
Veny mulai memeriksa kaki Moza dengan alat seadanya. Sambil memegang pergelangan kaki yang terlihat normal, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Namun tanpa peralatan medis yang lengkap Veny tidak berani memberikan diagnosa pasti."Kamu harus ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata Veny hati-hati.Moza langsung menggeleng, ekspresi wajahnya berubah ketakutan. "Aku trauma dengan rumah sakit. Aku nggak bisa ke sana."Veny menghela napas panjang, merasa dilematis. "Kalau begitu, aku tidak bisa mengobatimu. Aku butuh hasil yang lebih jelas untuk bisa membantumu."Moza terdiam, kebingungan antara ketakutan lamanya seolah ada yang ia sembunyikan.Veny merasakan keganjilan dalam pernyataan Moza, tetapi dia tetap berusaha menjaga ketenangannya. "Baiklah, kalau itu keputusanmu," katanya dengan tenang sambil membereskan peralatan seadanya.Moza tersenyum samar seolah menikmati situasi, dan berkata, "Aku tidak akan memaksamu. Lebih baik aku tidak diobati daripada harus ke rumah s
Veny melangkah keluar dengan cepat, berusaha menghindari drama murahan yang dimainkan Moza di dalam. Hatinya bergolak, namun dia tak ingin terseret lebih dalam. Begitu sampai di luar, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya tertuju pada pintu kamar di sebelah kamar yang dulu pernah ia tempati.Tatapannya tertahan pada pintu itu. Ada sesuatu yang memanggilnya kembali, seolah-olah pintu itu menyimpan kenangan yang selama ini berusaha dia kubur. Veny merasakan keinginan kuat untuk membukanya, meski tahu di baliknya tersimpan begitu banyak kenangan, baik yang indah maupun yang penuh luka.Di dalam kamar itu, dia pernah merasakan kebahagiaan sederhana bersama Sam. Momen-momen yang kini hanya terasa seperti bayangan samar dari masa lalu. Namun, kamar itu juga menjadi saksi bisu ketika segalanya runtuh, ketika cinta yang pernah ia yakini ternyata hanyalah ilusi.Veny menggenggam gagang pintu sejenak, mencoba melawan doronga
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Samy, dan Veny merasa tenang. Dia tidak pernah lagi berurusan dengan pria itu, dan kehidupannya kembali normal. Dia mampu bekerja dengan baik di rumah sakit, fokus pada pasien-pasiennya, dan menjalani rutinitas yang lebih damai.Hari ini, saat melihat Nick bermain di ruang tamu, Veny merasa kerinduan yang mendalam akan tempat masa kecilnya. Kenangan akan rumah orang tuanya muncul kembali, membawa senyum di wajahnya. Ia ingin menunjukkan kepada Nick tempat di mana ia tumbuh besar, memberi anaknya kesempatan untuk merasakan suasana yang sama seperti yang pernah dia alami.Veny pun mengambil keputusan untuk mengajak Nick jalan-jalan ke rumah orang tuanya. “Nick, bagaimana kalau kita pergi mengunjungi nenek dan kakek hari ini?” tanyanya sambil berjongkok di depan anaknya.Nick menatapnya dengan mata bersinar penuh semangat. “Nenek? kita akan bertemu Nenek yang sering Mom ceritaka" jawabnya ceria, bola matanya berbinar.Veny merasa
Veny dengan nama alias Dokter Diandra, membawa berkas rekam medis Moza dan masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Moza sudah duduk di kursi roda, ditemani oleh seorang perawat. Setelah melihat Veny masuk, Moza mengangkat tangannya sedikit."Bisakah kau tinggalkan kami sebentar?" tanya Moza pada sang perawat.Perawat itu terlihat ragu sejenak, lalu menoleh pada Veny yang mengangguk tanda setuju. Setelah perawat meninggalkan ruangan. Veny mendekat dan bersiap untuk memulai pemeriksaan."Baiklah, Nyonya Moza. Kita akan mulai dengan pemeriksaan dasar dulu. Saya akan mengecek kondisi fisik Anda sebelum masuk ke tahap lanjut."Kepalanya sedikit menggeleng, "Tidak perlu pemeriksaan."Veny terkejut, "Tidak perlu? Nyonya, ini penting untuk kesehatan Anda. Kami butuh memeriksa kondisi Anda sebelum menentukan langkah pengobatan selanjutnya."Moza Menatap Veny tajam, "Aku tahu apa yang ku butuhkan. Dan itu bukan pemeriksaan medis, Dokter Diandra."Veny berhenti sejenak, berusaha menenangkan dirinya.