“Kau? Sedang apa disini?” tanya Taka dengan mata melebar menatap seorang wanita berbalut dress formal dengan balutan cardigan denim yang memberi kesan lebih kasual yang tengah berdiri di hadapannya.
“Papa sudah pulang?” sahut seorang anak remaja bernama Ghenta itu menyahutnya.“Ya, dan kalian sedang apa?” tanya Taka kembali mengulang tanyanya.“Papa, ini Mrs Dini yang menjadi Guru Pengajarku. Papa sudah menyetujuinya kan dan kami sudah dua pekan mulai belajar. Jangan katakan Papa melupakannya,” ucap Ghenta panjang lebar.”Oh, begitu ya. Maaf sayang, Papa bukannya lupa hanya kaget karena Mrs Dini yang kamu katakan ini adalah Tante Wisang istrinya sahabat Papa. Kau ingat Om Dimas?” jawab Taka sambil menyodorkan tangannya kepada Wisang.“Really? Mrs Dini adalah istri Om Dimas?” ucap Ghenta sangat terkejut mengetahuinya.Dan wanita yang disebut keduanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.“Waah, asyik dong,” seru Ghenta yang memang merasa nyaman belajar dengan Wisang menjadi sangat antusias.“Baiklah, tapi bukankah sekarang kau seharusnya sudah berangkat berenang?” ucap Taka lagi.“Papa,” keluh Ghenta sambil menuruti pria itu dan pamit pergi setelahnya.Sementara itu Wisang masih berada di halaman depan bersama Taka. Mereka menunggu taksi yang dipesan Wisang. Namun sampai jeda cukup lama, nyatanya taksi pesanan Wisang tak kunjung sampai.“Sudah hampir malam, biar aku antarkan saja,” ucap Taka mengambil inisiatif.“Tidak perlu, aku bisa pulang naik ojek. Jangan merepotkan,” ucap Wisang merasa tidak enakan.“Tidak masalah, justru aku yang tidak enakan karena aku dengar kau sering pulang dari sini sampai cukup malam mengajari Ghenta. Andai aku tahu lebih awal, mungkin aku akan meminta mundur jadwalnya lebih sore. Maaf ya, aku tidak mau Dimas memprotes nantinya,” ucap Taka sambil membukakan pintu mobil untuk Wisang.“Terima kasih, tenang saja karena Dimas tidak akan peduli,” ucap Wisang sambil melangkah masuk ke dalam mobil.Hujan deras mendadak turun mengguyur kota ini. Mereka baru saja meninggalkan halaman rumah dan hujan turun langsung sangat lebat disertai gemuruh petir yang menggelegar.“Taka, maaf … Bisakah berhenti dulu di sana, aku harus membeli sesuatu,” ucap Wisang sambil menunjuk sebuah kedai makan yang berada di depan mereka.“Tentu,” jawab Taka sambil menepikan mobil setelahnya.Pria itu diam-diam memperhatikan Wisang, wanita itu melangkah keluar dengan menggunakan sebuah payung yang diberikan oleh Taka.Tak berselang lama, Wisang kembali dengan satu porsi makanan di tangannya.Tidak ada perbincangan di sepanjang perjalanan ini setelahnya.“Lampu rumahmu mati?” tanya Taka ketika menyadari jika lampu di rumah Dimas itu gelap sementara di kanan dan kiri rumah tersebut menyala terang benderang.“Tidak ada orang di rumah, jadi belum ada yang menyalakan saklarnya. Oh ya, terima kasih ya sudah mengantarkanku pulang,” ucap Wisang sebelum bergegas turun dari mobilnya Taka.Kini tanda tanya besar memenuhi benak Taka. Ingatannya kembali kepada sore tadi dimana dia menelepon Dimas untuk sebuah urusan. Taka mendengar sangat jelas jika saat dia menelponnya itu Dimas mengatakan dirinya sedang berada di rumah. Bukan itu saja, Taka bahkan mendengar suara perempuan di dekat Dimas.“Apa yang terjadi?” gumam Taka sambil memutar balik mobilnya meninggalkan halaman rumah sahabatnya itu.Keesokan harinya, di jam yang sama seperti kemarin.Taka baru sampai di rumah, dan dia melihat Wisang tengah bersama dengan Ghenta di ruangan tamu dengan setumpuk buku pelajaran anaknya itu.Ingin meyakinkan sesuatu, Taka kemudian meraih ponselnya dan berjalan menjauh dari ruangan tamu karena tidak ingin pembicaraannya itu didengar oleh Wisang dan juga Ghenta.Taka : “Hallo, Dim, Lo dimana?”.Dimas : “Hai Brother, aku baru balik nih. (Iya sayang sebentar ya, aku mandi dulu).” Terdengar suara di belakang Dimas.Taka : “Seriusan Lo dirumah?”Dimas : “Ya iyalah, masa di mana? Lagian ada apa sih Bro?”Taka : Enggak, aku cuma mau nanya. Istri Lu masih open jasa tutor gak sih? Aku butuh tutor untuk Ghenta.Dimas : “ Oh, itu aku gak tahu. Tar aku tanyain ya. (Siapa sih sayang?)”Suara wanita itu kembali terdengar dengan sangat jelasTaka : “Nah, itu ada Wisang kan? Tanyain deh.”“Tut … Tut … Tut… “Telepon justru terputus membuat Taka yang sedari tadi melihat Wisang tengah mengajari Ghenta di ruang tamu menjadi merasa gemetar penuh rasa kesal mencerna apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga sahabatnya itu.Pukul enam sore.“Aku antar kamu pulang ya,” ucap Taka kembali menawarkan diri untuk mengantar Wisang.“Tidak perlu, tuh taksi sudah datang,” jawab Wisang.Namun pria ini justru membayar taksi itu dan membatalkan orderan Wisang tersebut.“Naiklah, aku ingin mentraktirmu makan,” ucap Taka yang entah memiliki keberanian dari mana untuk melakukan semua ini yaitu melibatkan diri dalam persoalan rumah tangga sahabatnya.Setengah jam berlalu, mereka kini sudah duduk berhadapan pada meja makan sebuah restoran.“Apa kalian ada masalah?” tanya Taka dengan begitu saja.Wisang menggelengkan kepalanya perlahan.“Syukurlah, bisa kau telponkan Dimas? Ponselku mati sementara ada urusan penting yang ingin aku tanyakan,” ucap Taka sambil menyodorkan ponselnya yang memang mati karena sebelumnya sudah di off-.kan.Terlihat raut wajah Wisang menjadi gusar. Wanita itu meneguk salivanya berulang kali karena bingung.Sementara Taka, dia semakin meyakini sesuatu.“Aku … “ ucap Wisang tergagap.“Kau tidak punya nomor Dimas kan?” ucap Taka menebak.Seketika itu juga air mata Wisang mengalir deras dengan tanpa suara. Wanita itu tak bisa mengendalikan emosinya saat menyadari jika sampai saat ini setelah dua tahun pernikahannya dengan Dimas dia bahkan tidak pernah tahu nomor ponsel suaminya itu.Taka menggenggam erat tangan Wisang untuk mencoba menenangkan wanita itu.“Maaf, tidak seharusnya aku mengatakan semua ini kepadamu. Terlebih, kalian bersahabat. AKu sungguh minta maaf,” ucap Wisang ketika mereka berada di perjalanan pulang.“Ciit!”Taka menepikan mobilnya di tepian jalan yang cukup lengang. Pria ini memutar tubuhnya menghadap ke arah Wisang.“Jangan pura-pura kuat! Kau tidak sehebat itu menyembunyikannya! Itulah kenapa kau tidak keberatan saat Ghenta menghabiskan waktu malam mu dengan tugas-tugasnya dan itulah alasan kalimatmu yang mengatakan jika ‘dia tidak akan peduli?” ucap Taka sambil meraih Wisang ke dalam pelukannya.“Tidak Taka, aku baik-baik saja,” ucap Wisang tapi kembali dengan tangisan yang mengalir deras dari kedua sudut matanya.Taka tak bisa mengerti apa yang mengendalikan dirinya saat ini. Tapi dia tak sanggup melihat Wisang menanggung beban ini sendirian.Dia meraih wajah wanita itu dan mengusap lembut setiap sudut matanya Wisang dengan desiran aneh yang Taka sendiri tidak bisa memahaminya.Dua bola mata beradu cukup lama. Desiran hebat tak hanya menyentuh relung hatinya Taka, tapi juga Wisang.Mata wanita itu memejam perlahan saat deru nafas Taka semakin menyapu hangat kulit wajahnya.Taka menyentuh bibir itu sangat lembut dengan menggunakan kedua bibirnya, seperti tengah menyentuh bunga mawar tanpa ingin menghancurkan kelopaknya.Sentuhan lembut itu begitu singkat, tapi sanggup membuat Wisang begitu mendesir hebat.Rangkulan pun dilepaskan, tubuh keduanya merenggang dan Taka kembali melajukan mobilnya ke arah rumah Dimas.Mengantarkan Wisang hingga ke pintu gerbang rumahnya.Rasanya sedikit aneh tidak mendengar suara Wisang beberapa hari ini di rumahnya. Taka bertanya pada Genta, tetapi anaknya pun tidak tahu alasan di balik ketidakhadiran gurunya tersebut.“Pak, Tuan Dimas meminta bertemu!” ucap Magda di line telepon. Magda seorang sekretaris Taka yang cantik dan menaruh hati pada pria tampan keturunan Jepang itu.‘Suatu kebetulan yang bagus, aku bisa sekalian bertanya kepada Dimas mengenai kabarnya Wisang,’ ucap Taka di dalam hatinya sambil berjalan keluar dari ruangannya.Di ruangan tamu kantornya, Taka melihat Dimas tengah duduk bersama seseorang. Seperti biasa, wanita itu adalah sekretarisnya yang sudah cukup dikenal juga oleh Taka karena selalu mengekori kemanapun Dimas melangkah. “Hai Bro, apa kabarmu?” tanya Dimas langsung menyambut kedatangan Taka yang menghampiri mejanya.Kedua pria itu pun berangkulan saling memberi salam.“Hai, aku Sandra,” ucap wanita itu sambil menyodorkan tangannya. Namun Taka mengabaikannya.“Bagaimana kabarmu? Oh ya
Taka kemudian mengajak Wisang ke sebuah restoran yang terlihat tidak terlalu ramai.Kebetulan sekali tempat itu menyediakan menu yang cukup recommended sehingga Wisang pun menyetujuinya. “Sebenarnya aku tidak peduli kamu mau mengajakku makan apa,” ucap Wisang sambil tetap membuang pandangannya ke arah luar mobil. Taka tahu jika saat ini suasana hati Wisang pasti sangat-sangat buruk. Baru saja Taka menepikan mobilnya di parkiran, sebuah panggilan telepon dari putranya masuk. “Oh begitu ya, baiklah … Tidak masalah. Lagi pula besok kan kau libur panjang. Jadi kau bisa berangkat bersama Nenek dengan tenang. Bye, ayah akan menjemputmu nanti,” ucap Taka kepada sang putra“Putraku akan bepergian dengan ibu. Entah apa yang sedang direncanakan oleh ibuku itu dia selalu saja memiliki kesibukan,” ucap Taka sambil melangkah turun dari mobilnya. Wisang kemudian mengikuti dan mereka berjalan beriringan menuju bagian dalam restoran. “Kau mau pesan menu apa?” tanya Taka. “Hatiku sedang tidak ny
“So, kita makan lagi atau kamu mau istirahat dulu,” ucap Taka sambil meraih wanita itu ke dalam pelukannya.“Aku lapar lagi, makan dulu yu sebelum perutku bernyanyi panjang,” ucap wanita bernama Wisang itu kepada Taka dengan manjanya.“Okay, just of to you, honey,” bisik Taka sangat lembut.“Mulai deh, gombal,” ucap Wisang sambil mencubit kecil pinggang pria tersebut.Mereka kemudian berjalan ke arah restoran yang berada tidak jauh dari hotel tersebut. Dengan menggunakan sebuah koridor penghubung, mereka bisa mengakses restoran berkelas itu dengan sangat mudah.Pilihan Wisang pun berakhir pada sebuah restoran Sunda yang menyuguhkan berbagai suguhan khas bumi Parahyangan ini.“Aku suka nasi liwet komplitnya, bagaimana?” ucap Wisang kepada Taka meminta persetujuan pria tersebut.“Terserah, aku ikut saja,” jawab Taka seperti biasa.“Ah, dan dua porsi sundae ice cream untuk penutupnya ya,” ucap Wisang dengan tanpa segan memesankan menu makan siang mereka kali ini.Sambil menunggu pesanan
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.Wisang yang mulai mencium bau hormon berkembang sejak masuk ke kamar bungalow ini tidak bisa lagi menampik tatapan sendu Taka.“Keringat maksudku!” ujar Taka sambil menyentil dahi Wisang untuk kesekian kalinya.“Awww … seneng banget nyentil jidat orang sih? Sakit, tau!” balas Wisang dengan bibir yang sudah manyun. Membuat Taka semakin gemas pada istri orang ini.Wisang tersenyum, jeda berikutnya dia justru memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Taka. Dia mencondongkan tubuhnya hingga membuat Taka harus memundurkan tubuh untuk memberikan Wisang ruang.“Cium aku lagi,” ucap Wisang yang entah mendapatkan keberanian dari mana melakukannya.Wanita itu terus menatap Taka dengan intens, membiarkan gairah kembali menyapa mereka berdua kali ini.“Ayo Taka, aku menginginkannya,” ucap Wisang dengan semakin menghimpit pria itu.Dua buntalan kembar Wisang yang berada di balik kemeja berkancing wanita itu kini sem
“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.“Sejak nikah gendutan, Lu?”“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terja
“Wisang … Wisang …!!” Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.“Auuww …!!”“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.“Kaki aku ga muat, Sayang!”“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.Wisang membuka pintu itu dan ber
Bagai petir di siang bolong. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Taka, dan bukan suaminya membuat Wisang benar-benar dilanda dilema. Wisang hanya wanita yang membutuhkan kata-kata seperti itu. Merasa dibutuhkan? Siapa yang tidak seperti itu? Tapi kenapa harus Taka yang mengatakannya?Kenapa bukan suaminya sendiri? Wisang benar-benar muak terhadap kisah cintanya yang kandas. Jika pun Taka menganggap dia hanya pelarian?“Kau bukan pelarian,” ucap Taka seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Wisang.“Benarkah?” balas Wisang dengan suara pasrahnya. “Mungkinkah aku akan terluka untuk kali kedua?” Taka menatap jauh ke dalam mata bulat milik Wisang. Dia mencoba mencari alasan mengapa Dimas memperlakukan Wisang sedemikian rupa? Salah apa wanita ini sampai Dimas sama sekali tidak berhasrat padanya. Wisang menurut pandangan Taka seratus delapan puluh derajat berbeda.“Sampai saat ini … aku tidak ada alasan untuk melukaimu! Jangan bertanya masa depan padaku, karena yang aku tahu saat
Desah dan lenguh terus terdengar silih berganti, membuat kamar luas yang berada di lantai atas rumah mewah bergaya minimalis ini mendadak terasa panas.Suhu AC yang menunjukkan angka 20°C nyatanya terasa panas untuk kedua insan yang kini tengah dimabuk gelora membara ini.Mereka tak juga berhenti saling memuaskan dahaga yang seakan baru saja menemukan pemiliknya."Tidak Mas, aku lelah." Wisang menahan tubuh kekar yang kini sedang menindihnya itu dengan kedua tangannya saat si pemilik tubuh hendak kembali mencumbunya."Maafkan aku, sayang." Taka pun mengubah cumbuannya menjadi kecupan lembut pada kening Wisang.Setelahnya, Taka kemudian melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelah Wisang."Kemarilah," ucap Taka sambil merentangkan tangan kanannya dan membawa Wisang berbaring di atasnya.Keduanya berpelukan dengan tenang, sementara kedua tangan mereka masih saling menggenggam."Tidurlah.""Kau mau tidur disini?""Ya, tentu saja." Taka menjawab sambil mengusap lembut kepala Wisan
Setelah hari yang penuh ketegangan, Wisang memutuskan untuk membuat sesuatu yang istimewa untuk Taka. Dimas boleh saja terus mengusik mereka, tetapi malam ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan pria yang dicintainya.Di dapur apartemen kecil mereka, Wisang berdiri dengan celemek terikat di pinggang. Taka duduk di kursi bar, mengamati dengan senyum miring. "Aku tak pernah tahu kalau kau bisa memasak," katanya, menyandarkan dagunya di tangan.Wisang tertawa pelan sambil membalik steak di atas panggangan. "Kau pikir aku hanya bisa bekerja dan bertengkar dengan Dimas?" ia melirik ke belakang dengan senyum menggoda.Taka mengangkat bahu. "Yah, jujur saja, aku selalu melihatmu sebagai orang yang lebih suka makan di luar daripada repot-repot memasak sendiri."Wisang mengangguk sambil menuangkan saus ke atas steak yang sudah matang. "Itu benar. Tapi untuk orang yang kucintai, aku rela melakukan apa pun. Termasuk belajar memasak."Taka menatapnya, matanya melembut. Wisang memang buka
Setelah Dimas pergi, Wisang menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke bahu Taka. "Aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan menyerah atau hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali mengacau," gumamnya lirih.Taka membelai lembut rambut Wisang, menenangkan perempuan yang ia cintai. "Yang penting sekarang, kita tetap berdiri bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya, Wisang."Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dua hari kemudian, Wisang menerima sebuah panggilan telepon dari kantor lamanya."Wisang, kami baru saja mendapat surat dari pengacara. Dimas mengajukan tuntutan."Jantung Wisang berdegup kencang. "Tuntutan apa?" tanyanya dengan suara tertahan."Dia menuntut karena dugaan penyalahgunaan informasi internal saat kamu masih bekerja di sini. Dia mengklaim ada kebocoran data yang merugikan perusahaan. Kami tahu ini mungkin hanya alasan, tapi... ini bisa menjadi masalah besar."Wisang hampir tidak bisa bernapas. Dimas benar-benar tidak akan membiarkan
Keesokan harinya, setelah kembali dari perjalanan mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk duduk bersama di ruang tamu mereka yang tenang. Meskipun mereka baru saja menikmati ketenangan Eropa yang indah, kenyataan kembali menghantui mereka, dan ketegangan yang mengalir dari Dimas semakin terasa.Wisang menggenggam tangan Taka dengan erat. "Aku rasa kita sudah cukup jauh dari Dimas, tapi dia tetap mengawasi kita," katanya, suara penuh kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. "Aku tidak ingin dia menghancurkan apa yang sudah kita bangun."Taka menatapnya dengan penuh perhatian, meyakinkan Wisang dengan tatapan yang dalam. "Kita harus ingat satu hal, Wisang," kata Taka lembut. "Kita sudah berjalan sejauh ini bersama. Tidak ada yang bisa mengubah itu, tidak peduli berapa banyak dia berusaha mengontrol kita. Kita akan melalui ini bersama, apapun yang terjadi."Wisang mengangguk, meskipun di dalam hatinya, keraguan itu tetap ada. Dimas bukan orang yang mudah dihadapi, dan dia tahu betul apa
"Dimas tidak akan pernah menyerah, padahal dia yang terus menyakitiku sebelumnya," lirih Wisang."Bagaimana jika kita pergi ke Eropa?" Taka yang mendengar kalimat lirih sang istri pun bertanya kepada Wisang.Wisang meliriknya dengan sedikit kebingungan. "Eropa? Serius? Bukankah kita lebih baik tetap di sini?"Taka tersenyum, meletakkan cangkir kopi di mejanya. "Justru karena kita sibuk mengawasi segalanya, kita perlu jeda. Aku bisa menyelesaikan semuanya dari sana, dan kita bisa sejenak meninggalkan segala tekanan ini. Pikirkan ini sebagai kesempatan untuk menyegarkan diri."Wisang terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. Dia tahu, ini bukan hanya tentang liburan biasa. Taka tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting, dan kesempatan ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk keluar dari rutinitas penuh stres yang mereka jalani."Tapi, Eropa... itu jauh sekali. Dan kita masih begitu berisiko."Taka mengangguk memahami kekhawatiran Wisang. "Aku tahu, tapi ini bukan hanya soal peke
Taka terdiam sejenak, menatap jauh ke luar jendela ruang kerjanya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam yang menggema di dinding. Wisang, yang selama ini menjadi pendamping setianya, melangkah mendekat.“Wisang…” Taka memulai, suaranya berat. “Kau tahu apa yang membuatku tidak pernah mundur dalam menghadapi Dimas?”Wisang menatapnya penuh perhatian, mencoba membaca pikiran pria di depannya. “Karena kau tahu dia akan terus menjadi ancaman bagi semua yang kau bangun, Taka. Aku mengerti itu.”Taka tersenyum pahit. “Sebagian benar. Tapi lebih dari itu, aku melihat pantulan diriku di dalam dirinya. Kita berdua bukan orang baik, Wisang. Kita hanya mencoba bertahan di dunia yang tidak pernah adil sejak awal.”Wisang tertegun, lalu mendekatkan diri lebih dekat. Dengan ragu, ia merentangkan tangannya dan memeluk Taka. “Taka, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mungkin… mungkin Dimas tidak akan seperti ini jika saja dulu kalian tidak pernah bertemu. Jika dia ti
Malam berikutnya, Taka dan timnya mengadakan pertemuan tertutup di vila terpencil miliknya. Wisang, Sofia, dan beberapa anggota kunci hadir untuk merancang langkah berikutnya."Informasi yang kita terima menunjukkan bahwa Dimas sedang merencanakan serangan besar," ujar Sofia sambil memproyeksikan data ke layar besar. "Dia sedang menghubungi beberapa pengusaha besar untuk mendukung kampanye negatif terhadap Anda, Taka."Taka menyimak dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangan ke Wisang. "Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar berpengaruh?"Wisang membuka catatan di laptopnya. "Dari sepuluh nama yang terlibat, tiga di antaranya punya koneksi kuat dengan media dan pemerintah. Sisanya hanya pengikut Dimas yang mencari keuntungan.""Kalau begitu, fokuskan perhatian kita pada tiga orang itu," perintah Taka. "Cari celah mereka. Semua orang punya kelemahan."Sofia tersenyum tipis. "Aku sudah mulai menyelidiki salah satu dari mereka. Dia memiliki masalah pajak yang belum terselesai
Keesokan harinya, media penuh dengan spekulasi dan analisis tentang pertemuan Taka dan Dimas. Foto-foto mereka menjadi headline di berbagai portal berita, dengan tajuk seperti “Dua Raksasa Bisnis Bertemu: Konflik atau Kerjasama?” hingga “Ketegangan di Pameran Seni: Apa yang Sebenarnya Terjadi Antara Taka dan Dimas?”.Wisang, yang menyadari betapa besarnya dampak pemberitaan ini, masuk ke ruang kerja Taka sambil membawa tablet yang menampilkan beberapa berita terbaru."Ini semakin membesar, Taka. Media tidak hanya fokus pada pameran, mereka membuat narasi bahwa ini adalah perang kekuasaan," kata Wisang sambil menyodorkan tablet itu.Taka menatap layar tanpa banyak ekspresi, lalu mengembalikan tablet itu ke meja. "Itu yang Dimas inginkan. Dia tahu cara menggunakan media untuk memancingku," ujarnya dengan nada datar.Wisang mengangguk. "Tapi ini juga kesempatan, Taka. Kita bisa membalikkan narasi ini menjadi keuntungan kita. Mungkin...""Jangan pikirkan strategi yang terlalu mencolok," p
Di sebuah pameran seni yang diselenggarakan di pusat kota, seluruh kota seakan terfokus pada acara tersebut. Pameran itu menarik perhatian banyak tokoh penting dan masyarakat luas, namun yang paling menyita perhatian adalah dua sosok yang hadir: Taka dan Dimas. Meskipun mereka berada di belahan dunia yang berbeda, pertemuan mereka di acara itu menjadi titik balik yang sangat diantisipasi.Taka hadir sebagai seorang pengusaha sukses dengan citra kuat dan penuh percaya diri. Ia berjalan melalui pameran dengan langkah mantap, tampak elegan dalam balutan setelan hitam yang mengesankan. Di sampingnya, Wisang dan beberapa anggota tim pengamanan mengikuti dengan hati-hati, memastikan segala sesuatunya berjalan lancar.Sementara itu, Dimas juga hadir, namun dengan penampilan yang lebih sederhana dibandingkan Taka. Ia tidak secerah Taka, namun ada ketegangan di wajahnya yang menunjukkan bahwa pertemuan ini adalah sebuah kesempatan besar baginya. Dimas datang bersama beberapa orang kepercayaann
Keadaan semakin tegang seiring berjalannya waktu. Meskipun Taka sudah memperkuat pengamanan di rumah baru, ia tahu ancaman Dimas tidak akan berhenti hanya karena mereka pindah tempat. Taka merasa bahwa mereka harus bergerak lebih cepat dan lebih cermat, mengambil langkah hukum yang lebih besar untuk menekan Dimas sekaligus melindungi Ghenta.Di pagi hari, Taka memutuskan untuk mengunjungi pengacara mereka, menanyakan kemungkinan untuk mempercepat proses gugatan terhadap Dimas. Dengan penuh tekad, Taka memasuki kantor pengacara, disertai Wisang yang selalu mendukung langkah-langkahnya. Begitu mereka duduk di ruang rapat pengacara, Taka langsung berbicara."Bagaimana perkembangannya? Aku tidak punya banyak waktu. Dimas sudah pasti merencanakan sesuatu."Pengacara itu menatap mereka dengan serius. "Kami sudah mendapatkan dokumen-dokumen yang bisa memperkuat gugatan kita. Namun, untuk memastikan agar Dimas tidak lolos, kita harus melakukan dua hal: pertama, kita harus memastikan bahwa sem