Gantari Bhanurasmi diperistri oleh Dirja Pramana demi memenuhi wasiat yang ditinggalkan orang tua mereka. Namun, Dirja tidak betul-betul menginginkan pernikahan itu. Satu tahun. Itu adalah kesepakatan yang dipaksakan Dirja kepada Gantari untuk bertahan dalam bahtera rumah tangga yang sudah karam sebelum nahkodanya berlayar
Lihat lebih banyak"Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."
Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat. Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan. "Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari. Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir. Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto. Begitu akad selesai, dua keluarga dari pihak pengantin diboyong ke restoran yang sudah disewa untuk makan-makan. Sebagai perayaan kecil karena kedua mempelai bersepakat untuk tak menggelar resepsi. "Yang rukun ya kalian berdua. Bulik doakan kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah." "Semoga segera diberi momongan." "Kalian tinggal jauh dari keluarga, jadi kalau ada apa-apa kalian hanya punya satu sama lain untuk bergantung." "Terus berkabar dengan keluarga di kampung sini ya, Nduk Tari." "Dirja, kamu yang lebih dewasa. Bimbing istrimu. Muliakan dirinya seperti orang tuanya dulu membahagiakannya." Gantari tidak berhenti tersenyum dan menggumamkan terima kasih, mengamini atas doa-doa baik yang diucapkan kerabat-kerabat keluarganya dan keluarga Dirja dengan tulus. Dan banyak lagi pesan-pesan yang disampaikan keluarga mereka sebelum Dirja memboyong Gantari ke ibukota di hari yang sama. Meninggalkan kampung halaman yang selama 24 tahun telah ditinggali Gantari. Perjalanan tujuh jam menggunakan kereta harus dilalui Gantari dalam suasana canggung meski sebagian besar waktunya dipakai untuk tidur. Dirja Pramana adalah sosok yang pendiam dan sulit didekati. Mengenal Dirja sejak kecil pun tak membuat Gantari leluasa bicara dan berdekatan dengan pria itu meski kini status mereka telah berganti menjadi suami-istri. "Mas Dirja," panggil Gantari lembut. Suaminya yang baru saja menurunkan koper-koper dari gerbong kereta itu hanya melirik sekilas. "Aku lapar, Mas. Kita makan dulu yuk di--" "Beli saja, makannya di rumah." Gantari mengatupkan bibir. Sejenak terkejut karena Dirja membalas dengan nada yang sangat dingin. Kalimat pertamanya setelah berjam-jam mereka tidak saling bicara. Tak ingin larut dalam kecanggungan, Gantari menyingkirkan perasaan tak nyaman yang menggelayuti dada. "Ya sudah, aku beli dulu ya, Mas. Mas Dirja bisa menunggu sebentar di--" "Kamu tunggu di sini," tukas Dirja yang begitu saja meninggalkan Gantari bersama dua koper besar dan satu ransel yang semuanya milik wanita itu. Tak sampai sepuluh menit, Dirja kembali dengan membawa makanan cepat saji. Menyerahkannya kepada Gantari tanpa mengatakan apa-apa. Gantari menerimanya dengan senang. "Terima kasih, Mas. Eh, tapi kok cuma satu?" tanya Gantari kebingungan. Di dalam plastik putih yang berlogo dua maskot karakter dengan background kuning itu hanya ada satu kotak makanan. Tak sekalian dibelikan minuman pula. Dirja menghela napas panjang. "Nggak cukup makan satu porsi?" Mata bening Gantari membeliak, lalu kepalanya menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Kalau cuma beli satu, Mas Dirja gimana?" Pertanyaannya tidak dijawab dan itu membuat Gantari nyaris mengentakkan kakinya kesal. Dirja Pramana, pria yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah pergi dengan kakinya yang panjang-panjang. Meninggalkan Gantari di belakang. "Sabar, Tari. Sabar," lirih wanita itu seraya mengelus dada. Hari masih pagi, bahkan baru pukul lima lebih sedikit dan Gantari sudah harus berlarian menyusul langkah suaminya. Rambut panjangnya yang dikuncir kuda dan sudah agak kusut itu tampak bergoyang ke kanan kiri. "Mas Dirja, tunggu!" Untungnya, pria itu masih berbaik hati membawakan barang bawaan Gantari. Sepasang suami istri itu naik taksi online. Kembali diperangkap dalam kebisuan panjang selama perjalanan. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang sepi. Langit sudah tak begitu gelap sehingga Gantari bisa mengamati rumah demi rumah yang dilewati. Sebagian rumah memiliki gerbang besi, tetapi lebih banyak yang tidak. Rumah Dirja termasuk yang memiliki gerbang. Gerbangnya sedikit lebih tinggi dari Gantari yang tingginya tak sampai 160 cm itu. "Tidak mau masuk? Saya tutup--" Gantari cepat-cepat melenggang ke dalam sebelum Dirja kembali menutup gerbang dan menggemboknya lagi. Senyum lebar tersungging di wajah Gantari ketika mengedarkan mata pada halaman rumah Dirja yang terdapat kolam kecil. Telah melupakan sedikit kekesalannya saat di stasiun tadi. "Mas, aku nanti boleh taruh bunga-bunga di dekat kolam ini?" "Terserah. Kamu mau masuk ke rumah atau nongkrong di kolam?" Gantari menyusul Dirja yang sudah membuka pintu rumah lebar-lebar. Wanita berparas ayu itu sudah tak sabar ingin melihat-lihat setiap ruangan di rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai hari ini, tetapi masih sungkan. Ia pun hanya mengekori langkah suaminya. "Ayo, saya tunjukkan di mana kamarmu," ucap Dirja. "Ya, Mas?" "Kamarmu sudah dibersihkan sebelum saya tinggal pulang, jadi bisa langsung kamu tempati. Hanya perlu dipasangi sprei baru." Butuh beberapa detik untuk memproses ucapan Dirja. Itu adalah kalimat terpanjang yang diucapkan Dirja kepada Gantari sejak mereka bertemu lagi seminggu yang lalu. "Kita pisah kamar, Mas?!" Suara Gantari naik satu oktaf. Kedua mata wanita itu melotot sampai hampir keluar dari sarangnya. Terlalu terkejut dengan keputusan yang diambil suaminya secara sepihak. "Kenapa?" tuntut Gantari. Wanita itu menghadang langkah Dirja dengan rona pucat membayangi wajah. Telah sirna senyum bahagianya. Dirja hanya menatap istrinya lurus. Mendorong kembali koper-koper milik Gantari sampai di depan pintu kayu yang tertutup rapat. "Mas Dirja, tolong jangan main-main. Baru kemarin kita resmi menikah...." "Lalu?" Gantari seperti dipaksa berhenti bernapas saat itu juga. Pernikahan macam apa yang akan mereka lalui jika suami istri pisah kamar sejak hari pertama menikah? Dirja pasti sudah tidak waras! "Nggak ada suami istri yang pisah kamar dari awal pernikahan!" tegas Gantari meski suaranya mulai bergetar. "Sekarang ada." Makin pias wajah Gantari mendengar nada tak acuh suaminya. Tak ada dalam bayangannya akan mendapatkan perlakuan seperti ini oleh pasangannya sendiri. "Apa gunanya kita menikah kalau Mas Dirja nggak mau menjalani pernikahan ini?" tanya Gantari lirih. Telah sepenuhnya kehilangan ketegasan dalam suaranya. "Kenapa masih bertanya? Saya hanya memenuhi wasiat yang ditinggalkan orang tua kita. Mereka mau saya menikahimu. Dan sekarang tugas saya sudah selesai." Gantari merasakan hawa dingin yang menusuk sekujur tubuhnya. Tidak siap menghadapi mimpi buruk yang diciptakan Dirja untuknya hanya dalam kurun waktu tak sampai 24 jam setelah resmi diperistri. Dalam ingatan Gantari yang terbatas, meski sosoknya sangat pendiam, Dirja Pramana bukanlah orang yang jahat. Semua orang yang mengenal sosoknya akan selalu memberikan pujian dan mengelu-elukan nama Dirja Pramana. Tetangga-tetangganya. Para ibu rumah tangga yang suka bergosip di setiap ada kesempatan itu sangat mengharapkan Dirja menjadi menantu. Bersaing, berlomba-lomba 'menjual' anak gadisnya agar dipersunting Dirja. Yang saat itu usianya bahkan belum genap dua puluh. Dan yang beruntung adalah mendiang orang tua Gantari. Anaknya, tanpa banyak usaha, mendapatkan sang pria yang kini sudah menginjak usia tiga puluh. Namun, ke mana perginya sosok Dirja yang dulu? Pria yang berdiri di depannya sekarang hanyalah sosok dingin tak berperasaan. Seolah jiwanya sudah mati. "Kalau Mas Dirja keberatan dengan pernikahan ini, kita lakukan pembatalan pernikahan saja," tukas Gantari saat Dirja berbalik pergi. "Aku yang akan mengurusnya dan mempermudah perpisahan--" "Tidak sekarang." "A-apa?" Dirja menatap Gantari lurus. Ekspresinya tak terbaca. "Saya akan menceraikanmu, tapi tidak sekarang."Sementara itu di makam. Gantari sudah pergi cukup lama bersama Dina, tetapi Dirja masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu menatap kosong pada berplastik-plastik bunga yang kini tergenang air. Belum sempat ditaburkan.Setiap kata yang diucapkan Gantari hingga ekspresi wanita itu saat bicara kepadanya tadi masih terekam jelas di kepala.Kacau.Itu satu-satunya yang menggambarkan hubungannya dengan Gantari sekarang.Dirja sadar betul kalau tindakannya sudah sangat melukai sang istri. Tetap menikahi dan mempertahankan Gantari meski ada wanita lain yang menghuni hatinya adalah pilihan paling egois dan kejam. Tidak hanya untuk Gantari, tetapi juga untuk Asoka yang sudah kehilangan banyak hal hanya demi bisa tetap berada di sisi pria itu.Ia sudah salah melangkah karena berpikir bahwa wasiat orang tua harus diutamakan meski tidak bisa menjalankan pernikahan dengan Gantari selamanya.Itulah sebabnya ia ingin mengubah sikap dan memperlakukan sang istri dengan baik meski tetap tak bisa
Gantari tidak tahu apa yang merasuki dirinya saat tiba-tiba bicara tentang hal-hal gila di depan makam kedua orang tuanya.Mungkin ia kerasukan setan gila yang mendambakan cinta dari pria yang dicintainya. Atau sebenarnya Gantari sedang mengungkapkannya isi hatinya secara jujur.Bahwa seandainya bisa, maka ia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Dirja. Sampai selamanya. Sebab, tidak mungkin ada orang normal yang bercita-cita menjadi janda. Begitu pula Gantari.Seperti yang dikatakan Bulik Umi tentang perjodohan yang telah dirancang orang tuanya dan orang tua Dirja sejak lama. Tidak seharusnya pernikahan itu mereka lakukan hanya demi memenuhi wasiat orang tua. Lalu mengakhirinya setelah merasa 'telah' membayar lunas wasiat itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya."Saya tidak bisa meninggalkan Asoka," cetus Dirja.Suara suami Gantari itu begitu dingin, mengalahkan dinginnya air hujan yang jatuh memeluk bumi.Pria itu tampak tak tergoyah
Meski tak mengatakannya secara langsung, Gantari sadar kalau seharian ini Dirja secara halus 'menyelamatkan' dirinya dari cecaran Bulik Umi.Dari sejak sarapan tadi, Dirja tiba-tiba bilang kalau Gantari agak pusing setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Yang akhirnya wanita itu dibiarkan untuk beristirahat di kamar sampai Dzuhur. Lalu setelah makan siang, Dirja mengajaknya jalan-jalan.Pria itu pamit kepada Bulik Umi dengan beralasan, "Mau sekalian beli bunga untuk dibawa ke makam sore nanti."Gantari sangat berterima kasih atas inisiatif suaminya itu. Tetapi rasanya ia juga ingin tertawa keras-keras. Pasalnya, sejak menikah, mana pernah mereka keluar bersama hanya berdua seperti ini?Sepasang suami istri itu menaiki motor bebek butut milik Paklik Nuri--suami Bulik Umi--dan menyusuri jalan tanpa tujuan.Gantari sempat berkomentar kalau mereka hanya buang-buang bensin, tetapi Dirja dengan santai menyuruhnya menikmati suasana tenang di sana, yang tak akan mereka temukan di kota sibuk s
"Di seberang stasiun ada hotel, kita bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang. Bagaimana?"Dirja tadinya tidak serius akan ajakannya itu. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran istrinya agar tidak terlalu tegang sebelum mereka bertemu keluarga di kampung.Namun, melihat tanggapan Gantari yang saat ini tersipu-sipu sampai memalingkan wajah karena tak tahan beradu tatap dengannya, membuat Dirja goyah.Ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk segera menyeret sang istri ke hotel mewah yang ada di seberang sana. Lalu mereka bisa bersenang-senang sejenak tanpa gangguan. Merealisasikan apa yang sempat tertunda."Mas Dirja!"Mendengar seseorang menyerukan namanya membuat fantasi Dirja pupus seketika.Bukan Gantari, melainkan suara milik seorang pria yang sangat Dirja kenal. "Tama, kok di sini?""Ya jemput Mas Dirja sama Mbak Tari iki, to," ucap sosok bernama Tama itu dengan logat khasnya. "Budhe Umi ngerusuhi aku subuh-subuh, tak kira ono opo. Ealah tibake kon jemput kakang karo simbak balik ka
Gantari terlalu tinggi berekspektasi.Setelah menunggu dua puluh menit, hanya ada dua mangkuk mi instan yang dilengkapi, telur, sosis dan sayur hijau yang tersaji di atas meja makan.Dirja menaikkan alis saat menyodorkan sendok dan garpu kepada sang istri. Namun, karena istrinya bergeming, pria itu meletakkan dua alat makan itu di samping mangkuk mi yang masih mengepulkan uap panas."Kelihatannya ada yang kecewa," gumam pria itu. "Kamu pasti mengira saya mau masak menu restoran bintang lima, ya? Makanya kamu antusias sekali tadi?"Gantari hanya menatap sang suami dalam diam.Jujur saja, wanita itu memang sangat menantikan makanan jenis apa yang akan suaminya buat untuknya."Tidak ada bahan yang masih cukup segar untuk dimasak," jelas Dirja membela diri setelah menyuap satu sendok penuh mi instan ke dalam mulut. Tidak mau repot menunggu sang istri yang belum menyentuh sendoknya sama sekali."Masih ada besok dan besoknya lagi kalau kamu pengen dimasakin. Sekarang itu dulu," ucap Dirja l
"Saya tahu betul kalau tubuh kamu menginginkan saya," ucap Dirja yang membuat bulu kuduk Gantari seketika berdiri.Rasa panas dengan cepat menyebar di wajahnya yang tampak sedikit pucat karena tidak lagi terpulas oleh riasan make up.Padahal, wajar saja jika seorang wanita mendamba pada tubuh seorang pria yang adalah suaminya sendiri. Namun, tidak demikian untuk Gantari. Rasanya sangat memalukan saat Dirja menangkap basah dirinya.Gantari tak yakin apakah motif sang suami saat mengatakannya dengan senyum yang terkulum di bibir.Apakah senang karena tidak hanya pria itu yang nafsu sendirian? Atau semata untuk mengolok-oloknya karena begitu mudah terperangkap pada pesona sang pria hanya karena sebuah ciuman yang memabukkan?"Mau kabur ke mana?"Baru mengayunkan satu langkah, Gantari berhenti.Meski sulit, Gantari menguatkan diri untuk menatap mata suaminya saat menjawab, "Aku mau siapin kompres dulu buat Mas.""Kamu tidak perlu repot--""Lebam di muka Mas udah biru-biru, kalau dibiarkan
Bab ini mengandung adegan dewasa (18+). Mohon bijak dalam membaca ya. Terima kasih***Dirja tidak melakukan apa pun selain menyentuhkan bibirnya yang dingin pada bibir ranum milik Gantari. Namun, sentuhan tipis itu sudah mampu membuat tubuh istrinya menegang.Sekejap saja Dirja sadar bahwa ciuman itu kemungkinan adalah pengalaman pertama untuk istrinya. Dari cerita orang-orang di kampung saat Dirja pulang untuk meminang Gantari menjadi istrinya, pris itu tahu kalau istrinya itu belum pernah punya pacar dan jarang terlihat dekat dengan seorang pria. Setelah beberapa detik bibir mereka hanya saling menempel, Dirja menjauhkan kepala.Wajah memerah Gantari dan tatapan malu-malunya membuat darah di tubuh sang pria bergejolak.Pria itu menelan ludah. Sedaya upaya mengusir bisikan setan yang mendesaknya untuk kembali mencium bibir merah muda nan menantang itu dengan lebih dalam.Sayang beribu sayang. Usaha Dirja berantakan saat Gantari menggigit bibir bawahnya. Wanita itu terlihat salah ti
Mas Dirja: Kamu kabur mana, Gantari?Mas Dirja: Jangan menguji kesabaran saya!Mas Dirja: Pulang sekarang!Mas Dirja: Saya jemput. Share loc posisi kamu.Mas Dirja: Balas, Gantari! Saya tahu kamu membaca semua pesan saya. Gantari meringkuk di atas tempat tidur berukuran queen yang terasa dingin meski tubuhnya sudah terbungkus selimut tebal. Wanita itu tampak sangat menyedihkan. Rambut panjangnya awut-awuran, wajahnya sembab, matanya bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangisi hidupnya dikacaukan oleh Dirja.Pesan demi pesan dari suaminya yang bertubi-tubi masuk ke ponselnya sejak satu jam yang lalu itu tak ada yang wanita balas satu pun. Gantari hanya membacanya dan membiarkan Dirja ribut sendiri.Gantari beberapa kali memejamkan mata saat kepalanya terasa begitu pening dan semakin meringkuk di tengah ranjang. Namun, ia terganggu oleh ingatannya yang terus-menerus tertuju pada kejadian tempo hari.Pada rengkuh lengan kekar Dirja yang hangat. Pada dada bidang yang begitu nyama
"Suami kamu sudah boleh pulang?"Gantari nyaris mati berdiri meski tidak ada yang salah dengan pertanyaan yang dilontarkan Tio. Terlebih lagi ketika mendengar Dirja mengumpat kecil dengan suaranya yang sarat akan amarah. Gantari berharap lantai di bawah kakinya tiba-tiba terbelah dan dirinya terisap ke dalam agar tak perlu berada di situasi sulit yang menjebaknya itu."Suami? Gue nggak salah dengar?" cetus Harris sinis. Pria itu kembali ke mode awal seperti saat pertama kali berhadapan dengan Gantari di kamar Dirja beberapa hari lalu."Anda memang tidak salah dengar. Tapi kenapa kelihatannya Anda kaget sekali?" tanya Tio. Senyum miring tercetak di wajahnya saat melirik Dirja.Pria itu jelas-jelas sengaja memperburuk situasi.Harris yang masih belum pulih dari rasa kaget itu tertawa sinis. Namun, sebelum mengatakan apa-apa, Gantari lebih dulu bersuara."Sore, Pak Tio. Kami duluan ya, Pak. Semoga bapaknya Bapak cepat sembuh juga. Sampai bertemu besok di kantor. Permisi, Pak," cerocos G
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen