Beranda / Rumah Tangga / Bukan Mempelai yang Kau Inginkan / BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

Share

BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

Penulis: Karma Police
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-07 22:59:53

Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.

Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya.

"Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.

Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya.

"Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"

Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.

Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah untuk menyempurnakan ibadah.

Sayangnya, Gantari tak sudi diimami oleh pria berengsek yang terang-terangan mengkhianati janji pernikahan yang telah diikrarkan di depan Tuhan.

"Mas duluan aja. Aku mau mandi dulu," balas Gantari seraya menyibak selimut dan turun dari atas tempat tidur.

"Saya tungguin."

"Nggak usah, Mas."

"Kamu kok kayak nggak mau banget jamaah sama saya?" sergah Dirja defensif. "Kenapa?"

"Bukan begitu, Mas. Aku mandinya lama. Soalnya mau sekalian keramas juga. Kelamaan nanti Mas nunggunya." Gantari memaksakan senyum tipis untuk menutupi keengganannya. "Mas Dirja salat duluan aja ya," ulangnya kembali.

Dirja menatap istrinya lama. Entah apa yang ada di benak pria itu setiap kali memaku tatap pada Gantari dengan pandangan yang intens dan dalam. Gantari tidak pernah bisa membacanya.

Gantari mengalihkan fokus untuk menggelung rambut seraya berjalan ke arah lemari yang ada di dekat Dirja menggelar sajadah.

"Maaf ya, Mas. Sebentar," izin Gantari saat membuka pintu lemari.

Wanita itu cepat-cepat mencari pakaian ganti dan segera beranjak ke kamar mandi diikuti tatapan Dirja yang terasa menusuk punggung.

Hampir tiga puluh menit Gantari berada di kamar mandi. Saat keluar dengan tubuh yang terasa lebih segar--meski kurang tidur, Dirja sudah tidak ada di kamar.

Sajadah yang dipakai Dirja untuk salat Subuh tadi telah terlipat rapi dan diletakkan di atas nakas. Tempat tidur yang ditinggalkan Gantari dalam keadaan berantakan juga sudah kembali rapi. Selimut yang dipakai Gantari tertumpuk di atas bantal bersama dengan selimut milik Dirja juga.

***

Setelah salat Subuh yang tak khusyuk, Gantari terlebih dahulu menyibak gorden yang menutupi jendela agar nanti cahaya matahari bisa langsung masuk. Lalu wanita itu beranjak ke dapur.

Di sana, Bulik Ambar sudah sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakan untuk sarapan.

"Maaf, Bulik. Tari mandi kelamaan tadi, jadi telat buat siapin sarapan," sesal Gantari tak enak hati.

"Nggak perlu minta maaf, Tari. Bulik saja yang kepagian. Memang sudah terbiasa masaknya pagi-pagi. Soalnya anak-anak kan berangkat sekolahnya jam enam. Paklik juga ke sawah pagi-pagi sekali."

"Paklik masih rutin ke sawah ya, Bulik?" tanya Gatari seraya mengupas bawang putih.

Seperti semalam, Gantari dan Bulik Ambar pagi ini kembali bekerja sama menyiapkan makanan untuk sarapan bersama keluarga.

"Ya masih. Eman kalau sawah warisan Simbah nggak diurus."

Gantari manggut-manggut dan beralih untuk mencuci sayuran, masih sambil mengobrol dengan Bulik Ambar.

Suasana di dapur itu lebih santai ketimbang semalam karena diisi dengan obrolan-obrolan ringan. Bulik Ambar lebih banyak bercerita tentang kehidupan di desa yang sudah Gantari tinggalkan selama enam bulan.

Mendadak saja, Gantari rindu pada kampung halamannya yang menjadi tempat wanita itu tinggal dan bertumbuh dari sejak lahir hingga dewasa. Saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah pun, Gantari memilih perguruan tinggi yang bisa ditempuh pulang pergi tanpa perlu ngekos.

Kalau bukan karena menikah dengan Dirja yang menetap di ibukota, Gantari mungkin tidak akan pernah meninggalkan kampung halamannya.

"Oh iya, Nduk. Bulik baru ingat. Ini kan sudah mau Ramadhan."

"Iya, Bulik. Kenapa?"

"Waktu itu Bulik sudah sempat bilang ke Dirja supaya meluangkan waktu untuk ziarah ke makam orang tua kalian di kampung."

Gantari terdiam.

Merasa bersalah karena sama sekali tidak terpikir untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya dalam waktu dekat ini. Padahal, dulu saat masih di kampung, hampir setiap hari Jum'at Gantari pergi ke makam.

"Jadi kalian mau pulang tanggal berapa nanti, Nduk?"

Gantari tidak punya jawaban.

Sebab, Dirja tidak pernah mengatakan apa pun padanya tentang rencana untuk pulang ke kampung halaman berdua. Padahal bulan puasa hanya tinggal dua mingguan lagi, sementara di kantor tempat Gantari kerja kalau mau mengajukan cuti harus dari jauh-jauh hari. Tidak bisa dadakan, apalagi untuk pegawai yang masih terhitung baru.

"Tari, kok malah melamun?" Bik Ambar geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Masih pagi lho ini! Sudah nggak fokus kamu."

"Eh iya, Bulik. Itu... Mas Dirja masih urus cutinya," jawab Gantari terbata. "Tari juga belum tahu bisa dapat cuti atau enggak."

Ia tidak asal ceplos. Semalam, Dirja sendiri yang berkata--walau bukan bicara langsung kepada Gantari--kalau pria itu akan mengajukan cuti di hari Senin besok, kan?

Kalau Dirja bisa mendapatkan cuti, Gantari juga akan mengusahakannya agar mereka bisa pulang. Ah, tetapi kalau Dirja ternyata lebih mengutamakan bertemu dengan sang pujaan hati alih-alih pulang kampung seperti yang diharapkan Bulik Ambar, itu sudah di luar kuasa Gantari. Ia tidak punya tenaga untuk memaksa Dirja bertindak di luar kehendak pria itu sendiri.

Namun, diam-diam Gantari tetap berharap agar suaminya masih cukup waras. Menemui Asoka--atau siapa pun nama kekasih hati suaminya itu--masih bisa dilakukan di lain waktu, bukan?

"Lho... sebentar, Nduk," tukas Bulik Ambar bingung. Kening wanita itu berkerut-kerut. "Tadi kamu bilang masih mau urus cuti. Memangnya kamu di sini sibuk kerja juga?"

Gantari tidak berniat menyembunyikan statusnya sebagai pekerja karena memang begitu adanya, tetapi kenapa di depan Bulik Ambar sekarang ia merasa seperti maling yang baru tertangkap basah?

"Nduk, pertanyaan Bulik belum kamu jawab," desak Bulik Ambar tak sabar.

"Iya, Bulik," jawab Gantari jujur. "Sudah empat bulan--"

"Ya Allah, Nduk. Buat apa sih kamu kerja? Memangnya nafkah dari suamimu tidak cukup?"

"Alhamdulillah, nafkah dari Mas Dirja lebih dari cukup, Bulik."

Dirja pernah satu kali menyebutkan nominal nafkah bulanan yang akan pria itu kirimkan setiap awal bulan. Jumlahnya lebih banyak dari gaji Gantari sekarang. Hampir dua kali lipatnya.

Namun, sebenarnya, Gantari belum pernah menyentuh uang dari Dirja itu sepersen pun. Dua bulan pertama sebelum Gantari diterima kerja, wanita itu menggunakan uang tabungan yang ditinggalkan kedua orang tuanya untuk bertahan hidup.

Sementara itu, di hari yang sama dengan saat Dirja memberikan buku rekening dan ATM-nya kepada Gantari, wanita itu langsung menyimpannya di antara tumpukan berkas-berkas penting tanpa pernah menyentuhnya lagi.

"Terus kenapa kamu masih bekerja, Nduk Tari? Ayo, jujur sama Bulik."

"Tari cuma nggak bisa diam di rumah--"

"Nggak bisa diam bagaimana sih, Nduk?" Bulik Ambar mengelus dada dengan sangat dramatis. Tanpa sadar, suaranya sudah naik satu oktaf. "Astaghfirullahal'azim! Kamu itu--"

"Ada apa ini?" sela Dirja yang tiba-tiba muncul dengan kernyitan heran di keningnya.

Suami Gantari itu datang dari pintu belakang. Wajah dan kaus berlengan pendek yang dipakainya tampak basah oleh keringat. Pria itu sedang berolahraga tadi saat mendengar suara-suara ribut dari dalam rumah.

Bulik Ambar meletakkan pisau di atas meja dapur. Tatapannya lurus menghujam kepada Dirja yang berdiri di dekat pintu. "Bulik bukannya mau mencampuri rumah tanggamu, Dirja. Bulik hanya nggak habis pikir kok ya bisa-bisanya kamu ngasih izin istrimu bekerja. Atau jangan-jangan malah kamu yang memaksa Tari bekerja? Iya? Apa ini juga yang bikin Tari jadi sering melamun, badan makin kurus, dan kelihatan sekali punya banyak beban?"

Bab terkait

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 1. "Saya akan menceraikanmu."

    "Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat.Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan."Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari.Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir.Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto.Begitu akad selesai, dua kelua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 2. "Aturan mainnya sederhana, Gantari."

    "Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri."Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku."Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut."Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara."Dan pria itu beranjak pergi.Sementara Gantari tak menyahuti.Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi.Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 3. "Rumahmu di sini."

    "Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?""Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka."Ada kep

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 4. Sandiwara

    "Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol."Maaf, Bulik," ringis Gantari."Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu."Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"Gantari tercenung.Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak men

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 5. "Aku juga merindukanmu."

    "Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

    Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 5. "Aku juga merindukanmu."

    "Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 4. Sandiwara

    "Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol."Maaf, Bulik," ringis Gantari."Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu."Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"Gantari tercenung.Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak men

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 3. "Rumahmu di sini."

    "Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?""Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka."Ada kep

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 2. "Aturan mainnya sederhana, Gantari."

    "Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri."Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku."Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut."Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara."Dan pria itu beranjak pergi.Sementara Gantari tak menyahuti.Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi.Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 1. "Saya akan menceraikanmu."

    "Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat.Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan."Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari.Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir.Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto.Begitu akad selesai, dua kelua

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status