Beranda / Rumah Tangga / Bukan Mempelai yang Kau Inginkan / BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

Share

BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

Penulis: Karma Police
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-07 22:59:53

Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.

Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya.

"Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.

Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya.

"Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"

Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.

Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah untuk menyempurnakan ibadah.

Sayangnya, Gantari tak sudi diimami oleh pria berengsek yang terang-terangan mengkhianati janji pernikahan yang telah diikrarkan di depan Tuhan.

"Mas duluan aja. Aku mau mandi dulu," balas Gantari seraya menyibak selimut dan turun dari atas tempat tidur.

"Saya tungguin."

"Nggak usah, Mas."

"Kamu kok kayak nggak mau banget jamaah sama saya?" sergah Dirja defensif. "Kenapa?"

"Bukan begitu, Mas. Aku mandinya lama. Soalnya mau sekalian keramas juga. Kelamaan nanti Mas nunggunya." Gantari memaksakan senyum tipis untuk menutupi keengganannya. "Mas Dirja salat duluan aja ya," ulangnya kembali.

Dirja menatap istrinya lama. Entah apa yang ada di benak pria itu setiap kali memaku tatap pada Gantari dengan pandangan yang intens dan dalam. Gantari tidak pernah bisa membacanya.

Gantari mengalihkan fokus untuk menggelung rambut seraya berjalan ke arah lemari yang ada di dekat Dirja menggelar sajadah.

"Maaf ya, Mas. Sebentar," izin Gantari saat membuka pintu lemari.

Wanita itu cepat-cepat mencari pakaian ganti dan segera beranjak ke kamar mandi diikuti tatapan Dirja yang terasa menusuk punggung.

Hampir tiga puluh menit Gantari berada di kamar mandi. Saat keluar dengan tubuh yang terasa lebih segar--meski kurang tidur, Dirja sudah tidak ada di kamar.

Sajadah yang dipakai Dirja untuk salat Subuh tadi telah terlipat rapi dan diletakkan di atas nakas. Tempat tidur yang ditinggalkan Gantari dalam keadaan berantakan juga sudah kembali rapi. Selimut yang dipakai Gantari tertumpuk di atas bantal bersama dengan selimut milik Dirja juga.

***

Setelah salat Subuh yang tak khusyuk, Gantari terlebih dahulu menyibak gorden yang menutupi jendela agar nanti cahaya matahari bisa langsung masuk. Lalu wanita itu beranjak ke dapur.

Di sana, Bulik Ambar sudah sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakan untuk sarapan.

"Maaf, Bulik. Tari mandi kelamaan tadi, jadi telat buat siapin sarapan," sesal Gantari tak enak hati.

"Nggak perlu minta maaf, Tari. Bulik saja yang kepagian. Memang sudah terbiasa masaknya pagi-pagi. Soalnya anak-anak kan berangkat sekolahnya jam enam. Paklik juga ke sawah pagi-pagi sekali."

"Paklik masih rutin ke sawah ya, Bulik?" tanya Gatari seraya mengupas bawang putih.

Seperti semalam, Gantari dan Bulik Ambar pagi ini kembali bekerja sama menyiapkan makanan untuk sarapan bersama keluarga.

"Ya masih. Eman kalau sawah warisan Simbah nggak diurus."

Gantari manggut-manggut dan beralih untuk mencuci sayuran, masih sambil mengobrol dengan Bulik Ambar.

Suasana di dapur itu lebih santai ketimbang semalam karena diisi dengan obrolan-obrolan ringan. Bulik Ambar lebih banyak bercerita tentang kehidupan di desa yang sudah Gantari tinggalkan selama enam bulan.

Mendadak saja, Gantari rindu pada kampung halamannya yang menjadi tempat wanita itu tinggal dan bertumbuh dari sejak lahir hingga dewasa. Saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah pun, Gantari memilih perguruan tinggi yang bisa ditempuh pulang pergi tanpa perlu ngekos.

Kalau bukan karena menikah dengan Dirja yang menetap di ibukota, Gantari mungkin tidak akan pernah meninggalkan kampung halamannya.

"Oh iya, Nduk. Bulik baru ingat. Ini kan sudah mau Ramadhan."

"Iya, Bulik. Kenapa?"

"Waktu itu Bulik sudah sempat bilang ke Dirja supaya meluangkan waktu untuk ziarah ke makam orang tua kalian di kampung."

Gantari terdiam.

Merasa bersalah karena sama sekali tidak terpikir untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya dalam waktu dekat ini. Padahal, dulu saat masih di kampung, hampir setiap hari Jum'at Gantari pergi ke makam.

"Jadi kalian mau pulang tanggal berapa nanti, Nduk?"

Gantari tidak punya jawaban.

Sebab, Dirja tidak pernah mengatakan apa pun padanya tentang rencana untuk pulang ke kampung halaman berdua. Padahal bulan puasa hanya tinggal dua mingguan lagi, sementara di kantor tempat Gantari kerja kalau mau mengajukan cuti harus dari jauh-jauh hari. Tidak bisa dadakan, apalagi untuk pegawai yang masih terhitung baru.

"Tari, kok malah melamun?" Bik Ambar geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Masih pagi lho ini! Sudah nggak fokus kamu."

"Eh iya, Bulik. Itu... Mas Dirja masih urus cutinya," jawab Gantari terbata. "Tari juga belum tahu bisa dapat cuti atau enggak."

Ia tidak asal ceplos. Semalam, Dirja sendiri yang berkata--walau bukan bicara langsung kepada Gantari--kalau pria itu akan mengajukan cuti di hari Senin besok, kan?

Kalau Dirja bisa mendapatkan cuti, Gantari juga akan mengusahakannya agar mereka bisa pulang. Ah, tetapi kalau Dirja ternyata lebih mengutamakan bertemu dengan sang pujaan hati alih-alih pulang kampung seperti yang diharapkan Bulik Ambar, itu sudah di luar kuasa Gantari. Ia tidak punya tenaga untuk memaksa Dirja bertindak di luar kehendak pria itu sendiri.

Namun, diam-diam Gantari tetap berharap agar suaminya masih cukup waras. Menemui Asoka--atau siapa pun nama kekasih hati suaminya itu--masih bisa dilakukan di lain waktu, bukan?

"Lho... sebentar, Nduk," tukas Bulik Ambar bingung. Kening wanita itu berkerut-kerut. "Tadi kamu bilang masih mau urus cuti. Memangnya kamu di sini sibuk kerja juga?"

Gantari tidak berniat menyembunyikan statusnya sebagai pekerja karena memang begitu adanya, tetapi kenapa di depan Bulik Ambar sekarang ia merasa seperti maling yang baru tertangkap basah?

"Nduk, pertanyaan Bulik belum kamu jawab," desak Bulik Ambar tak sabar.

"Iya, Bulik," jawab Gantari jujur. "Sudah empat bulan--"

"Ya Allah, Nduk. Buat apa sih kamu kerja? Memangnya nafkah dari suamimu tidak cukup?"

"Alhamdulillah, nafkah dari Mas Dirja lebih dari cukup, Bulik."

Dirja pernah satu kali menyebutkan nominal nafkah bulanan yang akan pria itu kirimkan setiap awal bulan. Jumlahnya lebih banyak dari gaji Gantari sekarang. Hampir dua kali lipatnya.

Namun, sebenarnya, Gantari belum pernah menyentuh uang dari Dirja itu sepersen pun. Dua bulan pertama sebelum Gantari diterima kerja, wanita itu menggunakan uang tabungan yang ditinggalkan kedua orang tuanya untuk bertahan hidup.

Sementara itu, di hari yang sama dengan saat Dirja memberikan buku rekening dan ATM-nya kepada Gantari, wanita itu langsung menyimpannya di antara tumpukan berkas-berkas penting tanpa pernah menyentuhnya lagi. 

"Lalu kenapa kamu masih bekerja? Dirja yang nyuruh?"

"Bukan, Bulik. Ini memang murni kemauan Tari sendiri," jawab Gantari cepat. Ia sempat terkejut karena Dirja kembali menjadi tertuduh.

"Dapat izin dari Dirja?"

"Ya, Bulik?"

"Sebelum kamu mulai bekerja, kamu sudah minta izin sama suamimu dan mendapatkan izinnya?" Bulik Ambar mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.  "Karena kalau suamimu melarang, pekerjaanmu jadi nggak akan berkah." 

Gantari tersenyum getir. Jawabannya sudah pasti tidak.

Maksudnya, bukan karena Dirja melarang dan kemudian Gantari membangkang, tetapi karena mereka sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing. 

Jadi, untuk apa Gantari repot-repot meminta izin kepada pria yang sudah secara gamblang membebaskannya untuk melakukan apa pun?

"Astaghfirullahal'azim, Bulik benar-benar nggak paham sama jalan pikiranmu, Tari." 

Keterdiaman Tari sudah menjadi jawaban yang amat jelas untuk pertanyaan Bulik Ambar tadi. Yang kini menghunjam Gantari dengan tatapan menghakimi.

"Kamu itu sebenarnya tahu atau enggak kalau baktinya seorang perempuan yang sudah menikah itu salah satunya dengan melayani suaminya dengan baik?"

Suara Bulik Ambar yang tegas dan naik satu oktaf, ditambah ekspresi wajah yang keras membuat Gantari menunduk pasrah dan hanya menjawab, "Iya, Bulik."

"Kalau sudah tahu kenapa nggak dilakukan, Nduk? Kalau kamu malah sibuk sendiri dengan urusanmu di luar sana, bagaimana dengan kebutuhan suamimu di rumah? Yakin bisa terpenuhi?" cecar Bulik Ambar makin menjadi.

Gantari bungkam seribu bahasa.

"Kamu sudah dewasa. Seharusnya bisa mikir mana yang harus menjadi prioritas utama," ucap Bulik Ambar lagi. "Jangan karena Dirja bersikap baik dan kasih kelonggaran, terus kamu malah menyepelekan dan melalaikan kewajibanmu sebagai istri."

Bab terkait

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 7. "Bagaimana dengan aku, Mas?"

    "Bulik jangan khawatir--""Gimana Bulik nggak khawatir setelah tahu kalau ternyata kamu nggak menjalankan peranmu sebagai istri dengan benar?!" sela Bulik Ambar dengan nada meninggi.Gantari tetap tenang meski dadanya bergemuruh oleh berbagai emosi yang tumpang tindih. Masih menjaga suaranya tetap lembut, wanita itu membalas, "Mas Dirja nggak akan kekurangan apa pun, Bulik. Kebutuhan Mas Dirja di rumah juga pasti akan selalu terpenuhi."'Pria itu bahkan bisa mengurus dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia nggak butuh aku sebagai istri. Dia lebih membutuhkan kekasihnya yang bernama Asoka itu,' imbuh Gantari yang hanya mampu terucap di dalam hati.Nyatanya memang Dirja sudah sejak lama hidup sendiri di perantauan yang jauh dari orang tua. Dirja meninggalkan kampung halaman sejak remaja untuk melanjutkan sekolah di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibukota. Sudah lebih dari dua belas tahun lamanya. Tentunya pria itu sudah sangat terlatih dan terbiasa memenuhi kebutuhannya sendir

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-09
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 8. "Istrimu punya bakat membangkang."

    "Dirja, rumah tanggamu dengan Tari baik-baik saja?" todong Bulik Ambar begitu mobil Dirja meninggalkan area perumahan dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya."Astaghfirullah, nggak sopan nanya-nanya begitu, Bu!" tegur Paklik Heru."Nggak sopan gimana sih, Pak? Wong ini yang ditanya juga sudah seperti anak sendiri! Ibu juga nanya baik-baik, lho!"Paklik Heru berdecak. "Sudah, abaikan saja! Jangan dijawab pertanyaan bulikmu, Dir.""Nggak apa-apa, Paklik," timpal Dirja sebelum terjadi perdebatan panjang antara pasangan suami istri itu di dalam mobilnya."Tuh, Pak. Dirja saja nggak mempermasalahkan kok. Kenapa Bapak berlebihan sekali responnya?"Pada akhirnya Paklik Heru hanya geleng-geleng kepala. Sudah terlalu hapal dengan perangai istrinya yang keras kepala dan tak mau kalah."Kenapa Bulik tanya begitu? Ada sesuatu yang mengganggu Bulik?" tanya Dirja balik dengan penuh ketenangan.Melalui spoin tengah mobilnya, pria itu melirik Bulik Ambar yang duduk di kursi penumpang belak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 9. "Biar sama-sama enak."

    Percakapan alot yang terjadi saat mengantar keluarga Bulik Ambar ke hajatan itu terus terngiang-ngiang di kepala Dirja sampai pria itu tiba di rumah.Gantari sedang sibuk dengan laptop saat dirinya muncul di ruang tengah. Kemudian saat menyadari apa yang sedang istrinya itu kerjakan, ada panas menggelegak di dada Dirja.Di saat pria itu harus menghadapi Bulik Ambar yang marah-marah karena Gantari, istrinya itu justru tengah sibuk sendiri dengan pekerjaannya.Bukankah itu sangat tidak adil?Namun, sebagai pria dewasa yang bisa berpikir rasional, Dirja tidak langsung menghakimi. Dia berusaha bersikap netral saat bicara dengan istrinya demi menemukan simpul masalah utama dan menguraikannya dengan baik-baik.Walau tetap saja. Pada akhirnya Dirja salah langkah. Pria itu bahkan sampai mengatai istrinya sendiri bodoh. Dan berujung membela Bulik Ambar tanpa memikirkan posisi Gantari sebagai istrinya, yang juga pantas dibela."Malam nanti kalau Bulik Ambar sudah pulang, kamu harus minta maaf d

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-13
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 10. "Ada yang mau kenalan."

    "Kak Naila! Citra!"Sambil berjalan mendekat, Gantari menyerukan nama dua temanya. Wanita itu baru saja tiba di kafe tempat ia janjian untuk bertemu mereka."Sorry ya baru sampai. Tadi agak macet di jalan. Kalian udah lama?""Gue juga barusan datang kok. Citra tuh yang duluan," jawab wanita berhijab hitam seraya melemparkan senyum ramah pada Gantari."Gue tadi emang lagi di dekat-dekat sini, kok. Makanya bisa cepet sampai," timpal Citra ringan. Teman Gantari yang berambut pirang. Mereka bertukar cipika-cipiki dengan akrab. Lalu Gantari pamit sebentar untuk memesan makanan dan minuman langsung di kasir."Baju lo beli di mana, Tar?" tanya Citra saat Gantari sudah duduk di kursinya. "Cakep banget. Cocok sama bentuk badan lo yang mungil."Gantari memakai blouse bewarna putih dengan lengan balon dipadukan dengan mini plaid skirt berwarna merah muda bercorak kotak-kotak yang panjangnya sampai beberapa senti di bawah lutut.Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam dibiarkan tergerai. Dileng

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 11. "Saya ingin cepat bebas..."

    "Pergi ke mana saja kamu sampai lupa waktu?"Gantari yang baru saja menarik gagang pintu rumah itu berjengit kaget hingga langkahnya tertarik mundur.Suaminya muncul di depan pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Tatapannya menyorot tajam."Mas Dirja kenapa berdiri di situ? Ngagetin aja," protes Gantari.Dirja tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Namun, Gantari bisa merasakan hawa dingin yang merambat di tengkuk karena tatapan intens suaminya.Wanita itu terlalu ragu-ragu untuk meminta Dirja bergeser sedikit agar dirinya bisa masuk ke dalam. Sehingga ia hanya berdiri canggung di teras rumah dan menunggu sampai Dirja sadar sendiri."Ponselmu masih berfungsi dan bisa untuk mengecek jam, kan?" tanya Dirja retoris. "Ini sudah jam berapa? Bukankah saya sudah bilang kalau kamu harus pulang sebelum Maghrib?"Gantari menghela napas. Sudah mengira kalau ini akan terjadi.Saat ojek online yang ditumpanginya memasuki area perumahan, bertepatan dengan suara azan isya dari masjid

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 12. "Bulik ingin Tari melakukan apa?"

    Gantari terperangah hingga mulutnya megap-megap. Matanya nanar menatap Dirja. Dan perlahan gejolak panas di dadanya menggelegak. "A... apa Mas bilang?""Telingamu kenapa, sih?" Dirja geleng-geleng kepala. "Saya harus mengulangi sampai berapa kali supaya kamu bisa dengar dengan benar?""Lalu..." Sial, suara Gantari mendadak serak. Tenggorokannya tercekat oleh rasa perih karena gumpalan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Ada alasan lain kenapa Mas semarah ini sama aku?" tanya wanita itu marah."Ah, pertanyaanku salah," kata Gantari sedetik kemudian. "Pasti ada sesuatu yang membuat Mas Dirja marah saat aku pergi, kan? Makanya Mas melampiaskan kekesalan ke aku?"Ada perubahan emosi di wajah Dirja saat pertanyaan itu terlontar dari mulut istrinya. Namun, hilang dalam sekejap mata.Saat Gantari berkedip, Dirja sudah kembali ke setelan biasanya dengan wajah yang datar tanpa ekspresi.Pria itu juga tampaknya tak berniat untuk menjawab pertanyaan Gantari."Ganti bajumu. Kamu ikut saya keluar,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 13. "Ingin memiliki sebentar saja."

    "Kodratnya seorang istri itu berada di rumah, Tari," ujar Bulik Ambar beberapa detik kemudian setelah melemparkan bom tepat di muka Gantari."Jadi kamu pasti paham, kan? Bulik sampai harus memohon begini bukan karena ingin menindasmu. Ini semata-mata demi keharmonisan rumah tanggamu dengan Dirja."Oh, wanita itu bahkan sama sekali tidak memberi waktu kepada Gantari untuk mencerna perkataannya dengan baik."Bulik tunggu jawabanmu saat pulang ke kampung nanti. Tolong, jangan mengecewakan Bulik."Yang artinya adalah... Bulik Ambar tidak menerima jawaban 'tidak'. Permintaan itu sifatnya wajib untuk dituruti. Atau Gantari akan selamanya dimusuhi.Masalahnya, permintaan Bulik Ambar adalah hal yang tidak mungkin bisa Gantari lakukan. Sebab, tidak ada rumah tangga yang bisa dia urus. Tidak ada hubungan yang bisa dia pertahankan.Lalu, Gantari harus bagaimana?"Tidak mau turun?"Suara berat milik seorang pria yang terdengar familier mengejutkan Gantari.Dirja berdiri menjulang di samping pintu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 14. "Karena aku menjadi orang ketiga?"

    "Tidak sopan membuka-buka barang pribadi milik orang lain."Di ruangan yang diterangi lampu remang-remang itu, Dirja melangkah masuk lebih dalam. Membungkuk untuk mengambil foto yang dijatuhkan Gantari ke lantai.Tatapan mengantuk Dirja tertuju pada foto di tangannya. Yang kemudian membawa pria itu bernostalgia.'Rasanya sudah lama sekali,' batin Dirja dengan raut wajah suram.Di masa-masa itu, Dirja sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama kekasih hati. Hari-harinya bersama sang kekasih selalu penuh canda tawa.Tiada hari tanpa merasa suka cita. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada tangis air mata. Segalanya sempurna. Namun, sekarang situasinya sudah berbeda. Semua sudah tak lagi sama."Hanya dari punggungnya aja dia sudah kelihatan cantik.""Apa?" Dirja menoleh saat mendengar Gantari menggumam tak jelas. "Kekasih Mas Dirja," sahut Gantari masih dengan suara pelan, namun terdengar lebih jelas. "Dia pasti cantik sekali ya, Mas?"Dirja menatap Gantari lurus.Ia tidak tahu bagaimana

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19

Bab terbaru

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 26. "Bisa bantu lepas baju saya?"

    Gantari mengelus dada dan menggumamkan kalimat istighfar berkali-kali setelah mengucapkan kata-kata yang terlalu kasar kepada suaminya yang sedang sakit.Walau kenyataannya memang seperti yang diucapkan wanita itu, tetap saja ada rasa tak enak karena sudah menyinggung hubungan terlarang Dirja dengan kekasihnya."Kalau memang kamu tidak punya hubungan apa pun dengan pria itu, seharusnya kamu tidak perlu sinis begitu," balas Dirja setelah beberapa saat. Suaranya pelan, tetapi dingin menusuk. "Saya da--""Sudahlah, Mas. Aku ke sini bukan mau cari ribut. Tolong, jangan memancingku lagi," potong Gantari seraya kembali melanjutkan kegiatannya membongkar isi travel bag."Memancing bagaimana? Saya hanya bertanya karena melihatmu datang bersama pria itu tadi," balas Dirja tak mau kalah."Bertanya atau menuduh?""Interaksi atasan dengan bawahan normalnya tidak sekasual kamu dan pria tadi," debat Dirja. "Kamu tersenyum begitu bahagia saat sedang bersamanya. Pria itu bahkan membawakan barang-baran

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 25. "Pria itu kekasihmu?"

    Terlalu memaksakan diri bekerja, Dirja akhirnya ambruk juga.Menjelang Maghrib tadi, saat selesai meeting untuk peluncuran produk baru di perusahaan furniture tempatnya bekerja, Dirja merasakan perutnya melilit begitu sakit sampai hampir pingsan.Dirja pun diantar ke rumah sakit oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya yang sesama manajer. Saat ini, pria itu sudah dipindahkan ke kamar VIP setelah melalui beberapa pemeriksaan dan disarankan oleh dokter untuk rawat inap. Memanfaatkan fasilitas yang diberikannya kantornya untuk level manajer. Jadi ia sudah tak harus memikirkan biaya rumah sakit yang harus ditanggung.Dirja yang sebenarnya paling malas berurusan dengan rumah sakit itu mau tidak mau menuruti apa kata dokter agar cepat sehat kembali. Pekerjaannya sedang sangat banyak. Bisa kacau kalau dirinya terus-terusan absen."Lo yakin nggak perlu gue tungguin? Berani lo?" ejek Harris, sahabatnya, dengan sangat menyebalkan."Keberadaan lo justru mengganggu," jawab Dirja malas."Sialan lo!"

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 24. "Jangan terlalu perhatian."

    Gantari tiba di rumah sakit saat sudah hampir pukul setengah dua belas malam dengan menenteng travel bag berukuran cukup besar seperti orang mau pindahan di tangan kanan, plastik putih berukuran sedang berisi makanan di tangan kiri, dan masih menggendong tas punggung yang berisi laptop.Tidak hanya barang titipan Dirja yang ia bawa. Tetapi juga kebutuhan milik wanita itu sendiri seperti selimut, bantal kecil, baju kerja untuk besok pagi, alat make up, sepatu kerja, sampai termos kecil berisi wedang jahe yang ia buat dadakan sebelum berangkat ke rumah sakit tadi."Ada yang bisa kami bantu, Kak?" tanya seorang wanita berhijab yang mengenakan setelan seragam perawat berwarna hijau saat melihat kedatangan Gantari.Satu-satunya sosok yang wanita itu temui di UGD bagian administrasi tengah malam itu."Keluarga saya ada yang baru masuk dan ranap sejak sore, Sus.""Atas nama siapa ya, Kak? Kami bantu cek di database," ucap perawat muda yang umurnya tampak sepantaran Gantari itu ramah."Dirja

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 23. "Saya tidak butuh teman."

    Gantari seharusnya tidak punya alasan untuk memikirkan Dirja. Ia sudah menganggap pria itu sebagai orang asing meski status mereka adalah pasangan suami istri. Namun, ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam dan Dirja belum tiba di rumah, kekhawatiran itu hadir tanpa bisa dicegah. "Mungkin sedang lembur. Nggak usah terlalu dipikirin, Tar," gumamnya. Gantari berusaha tak peduli dan mencoba untuk tidur, tetapi tidak bisa. Hingga jarum jam terus bergeser dan kini sudah pukul setengah sebelas, masih belum juga ada tanda-tanda kepulangan suaminya. "Dia sakit sejak pagi, Tari," bisik sudut hatinya yang terus menerus gelisah. "Bagaimana kalau sakitnya makin parah dan nggak ada yang menolongnya di luar sana?" Namun, akal sehatnya dengan cepat membalas, "Jangan naif. Dia adalah pria dewasa yang bisa berpikir. Kalau sudah tahu sakit pasti akan berobat." Gantari jadi bingung harus bagaimana. "Nggak ada salahnya memikirkan beberapa kemungkinan buruk, Tari," kata hatinya kembali ber

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 22. "Aku mau ketemu istrimu...."

    Kelebat bayangan masa lalu sejak mulai mengenal Asoka memenuhi kepala Dirja setelah mendengar pertanyaan penuh keraguan itu."Ya, Asoka," jawab Dirja yakin. Ia perlu memastikan kalau Asoka masih menaruh percaya padanya."Jawaban kamu salah, Dirja. Kamu benar-benar mengecewakanku," sahut Asoka disertai dengusan.Dirja mengusap wajah yang basah oleh keringat dingin. Pening semakin meraja. "Kamu nggak percaya?" "Seharusnya kamu jawab kalau aku hanya satu-satunya untukmu." Kembali terdengar dengusan yang menandakan kalau suasana hati Asoka menjadi semakin buruk. "Sekarang aku nomor satu buat kamu, tapi siapa yang tahu kalau besok posisiku tergeser oleh wanita lain? Kalau sampai itu terjadi, aku harus bagaimana?"Dirja terbungkam. Sama sekali tak terpikir untuk memberikan jawaban semacam itu. Namun, ia tahu bahwa Asoka benar. Ketika mencintai seseorang, sudah semestinya menjadikan sosok itu satu-satunya.Benar bahwa Dirja mencintai Asoka. Cinta itu sudah bertunas dan tumbuh subur sejak lam

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 21. "Kamu wanita yang dinikahi kekasih saya?"

    Seharian Gantari tidak bisa fokus bekerja karena terus terngiang-ngiang ucapan Dirja pagi tadi, yang dibiarkan menggantung.Saat Gantari menanyakan maksudnya, Dirja dengan entengnya berkata, "Waktu sepuluh menit sudah habis. Kita lanjutkan nanti malam saja. Kamu bisa berangkat ke kantor sekarang."Dan pria itu melenggang pergi begitu saja setelah membuat istrinya penasaran setengah mati.Menyebalkan, bukan?Berkali-kali Gantari ingin menghubungi Dirja untuk menuntut penjelasan perihal kesepakatan baru yang dimaksud pria itu. Namun, ia tidak punya nyali. Takut untuk mendengar sesuatu yang tak ia harapkan."Kamu mengharapkan sesuatu hanya setelah mendengar pria itu ingin memperbaiki hubungan denganmu, Tari?" decak Gantari bermonolog seperti orang bodoh. "Kamu mulai percaya padanya lagi hanya karena itu? Tidakkah itu terdengar sangat menyedih--""Siang, Tari."Gantari tersentak dan monolognya terputus begitu saja. Senyum profesional terbit ketika menoleh ke arah sumber suara. "Selamat sia

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 20. "Saya mau kesepakatan baru."

    Pagi pertama Gantari resmi pulang ke rumah.Wanita itu sudah siap untuk berangkat ke kantor bahkan di saat jam yang menempel di dinding belum menunjukkan pukul enam. Hampir dua jam lebih awal dibandingkan ketika wanita itu masih ngekos.Rumah begitu sepi saat ia keluar dari kamar dan beranjak ke dapur lebih dulu untuk menyeduh teh.Sepuluh menit kemudian, wanita itu duduk tenang menikmati tehnya dan beberapa keping biskuit rasa coklat untuk mengganjal perut. Ia sedang malas menyiapkan sarapan dengan menu yang lebih berat. Suasana hatinya yang keruh sejak kemarin masih belum membaik dan sedikit banyak memengaruhi aktivitasnya."Masih sangat pagi. Kamu sudah mau berangkat kerja?"Lamunan Gantari terpecah oleh suara serak suaminya dari arah belakang.Tidak sadar kapan pria itu muncul di dapur karena langkah kakinya pun sama sekali tak terdengar."Dari sini ke kantor agak jauh. Takut telat," jawab Gantari beralasan.Sebenarnya Gantari hanya ingin cepat terbebas dari udara di rumah yang te

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 19. "Aku bisa sendiri."

    Rahang Dirja mengeras dan gurat emosi tampak berpendar di kedua matanya saat Gantari mengatakan, "Mas Dirja yang menciptakan kekacauan di hidupku dengan pernikahan yang penuh sandiwara ini, jadi Mas juga harus bertanggung jawab untuk membereskan semuanya. Iya, kan?"Seperti pecundang, pria itu hanya diam saja sampai istrinya tiba-tiba tertawa getir."Hanya satu hal yang aku minta, Mas. Itu pun sulit ya buat kamu?" lirih wanita itu. "Kalaupun Mas nggak sudi mengabulkan permintaanku, setidaknya jangan tunjukin ekspresi nggak senang itu di depanku. Itu menyakiti harga diriku yang entah masih ada harganya atau enggak ini."Sebelum Dirja menimpali, Gantari membuka lemari kecil di dekat ranjang berukuran single yang menempel tembok.Wanita itu segera mengemasi pakaian dan barang-barang pribadinya yang tak begitu banyak."Saya bantu--""Mas Dirja bisa keluar aja dari kamar ini? Aku nggak nyaman berduaan dengan orang asing."Dua baris kalimat yang dilontarkan Gantari dengan sinis membuat Dirj

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 18. "Aku nggak mau dipulangkan..."

    Mas Dirja: Jangan coba-coba kembali ke kosmu selama saya tidak ada.Setelah urusan saya selesai, saya bantu kamu pindahan. . . Gantari menghela napas panjang setelah membaca pesan baru dari Dirja.Bahkan, saat tidak sedang berhadapan, pria itu masih punya segudang cara untuk membuat mood-nya berantakan.Pesan dari suaminya itu tidak Gantari balas karena tidak ingin berbohong.Faktanya, wanita itu memang kembali ke kos esok harinya. Terhitung sudah tiga hari dan mengingat isi pesan dari Dirja, sepertinya pria itu juga belum pulang ke Jakarta. Seharusnya.Mas Dirja: Oh ya, kamu sudah mengajukan cuti, kan? Jangan sampai salah tanggal.Cepat balas pesan saya, Gantari! Pesan saya bukan koran yang hanya untuk dibaca. Maka, untuk menghindari perdebatan yang tak penting dan menguras energi, Gantari pun membalas."Ya," ketiknya.Hanya dua huruf. Sangat singkat. Namun, sudah cukup untuk membalas empat baris pesan yang suaminya kirimkan.Saat pesannya sudah bercentang biru, Gantari memati

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status