Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.
Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya.
"Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.
Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya.
"Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"
Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.
Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah untuk menyempurnakan ibadah.
Sayangnya, Gantari tak sudi diimami oleh pria berengsek yang terang-terangan mengkhianati janji pernikahan yang telah diikrarkan di depan Tuhan.
"Mas duluan aja. Aku mau mandi dulu," balas Gantari seraya menyibak selimut dan turun dari atas tempat tidur.
"Saya tungguin."
"Nggak usah, Mas."
"Kamu kok kayak nggak mau banget jamaah sama saya?" sergah Dirja defensif. "Kenapa?"
"Bukan begitu, Mas. Aku mandinya lama. Soalnya mau sekalian keramas juga. Kelamaan nanti Mas nunggunya." Gantari memaksakan senyum tipis untuk menutupi keengganannya. "Mas Dirja salat duluan aja ya," ulangnya kembali.
Dirja menatap istrinya lama. Entah apa yang ada di benak pria itu setiap kali memaku tatap pada Gantari dengan pandangan yang intens dan dalam. Gantari tidak pernah bisa membacanya.
Gantari mengalihkan fokus untuk menggelung rambut seraya berjalan ke arah lemari yang ada di dekat Dirja menggelar sajadah.
"Maaf ya, Mas. Sebentar," izin Gantari saat membuka pintu lemari.
Wanita itu cepat-cepat mencari pakaian ganti dan segera beranjak ke kamar mandi diikuti tatapan Dirja yang terasa menusuk punggung.
Hampir tiga puluh menit Gantari berada di kamar mandi. Saat keluar dengan tubuh yang terasa lebih segar--meski kurang tidur, Dirja sudah tidak ada di kamar.
Sajadah yang dipakai Dirja untuk salat Subuh tadi telah terlipat rapi dan diletakkan di atas nakas. Tempat tidur yang ditinggalkan Gantari dalam keadaan berantakan juga sudah kembali rapi. Selimut yang dipakai Gantari tertumpuk di atas bantal bersama dengan selimut milik Dirja juga.
***
Setelah salat Subuh yang tak khusyuk, Gantari terlebih dahulu menyibak gorden yang menutupi jendela agar nanti cahaya matahari bisa langsung masuk. Lalu wanita itu beranjak ke dapur.
Di sana, Bulik Ambar sudah sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakan untuk sarapan.
"Maaf, Bulik. Tari mandi kelamaan tadi, jadi telat buat siapin sarapan," sesal Gantari tak enak hati.
"Nggak perlu minta maaf, Tari. Bulik saja yang kepagian. Memang sudah terbiasa masaknya pagi-pagi. Soalnya anak-anak kan berangkat sekolahnya jam enam. Paklik juga ke sawah pagi-pagi sekali."
"Paklik masih rutin ke sawah ya, Bulik?" tanya Gatari seraya mengupas bawang putih.
Seperti semalam, Gantari dan Bulik Ambar pagi ini kembali bekerja sama menyiapkan makanan untuk sarapan bersama keluarga.
"Ya masih. Eman kalau sawah warisan Simbah nggak diurus."
Gantari manggut-manggut dan beralih untuk mencuci sayuran, masih sambil mengobrol dengan Bulik Ambar.
Suasana di dapur itu lebih santai ketimbang semalam karena diisi dengan obrolan-obrolan ringan. Bulik Ambar lebih banyak bercerita tentang kehidupan di desa yang sudah Gantari tinggalkan selama enam bulan.
Mendadak saja, Gantari rindu pada kampung halamannya yang menjadi tempat wanita itu tinggal dan bertumbuh dari sejak lahir hingga dewasa. Saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah pun, Gantari memilih perguruan tinggi yang bisa ditempuh pulang pergi tanpa perlu ngekos.
Kalau bukan karena menikah dengan Dirja yang menetap di ibukota, Gantari mungkin tidak akan pernah meninggalkan kampung halamannya.
"Oh iya, Nduk. Bulik baru ingat. Ini kan sudah mau Ramadhan."
"Iya, Bulik. Kenapa?"
"Waktu itu Bulik sudah sempat bilang ke Dirja supaya meluangkan waktu untuk ziarah ke makam orang tua kalian di kampung."
Gantari terdiam.
Merasa bersalah karena sama sekali tidak terpikir untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya dalam waktu dekat ini. Padahal, dulu saat masih di kampung, hampir setiap hari Jum'at Gantari pergi ke makam.
"Jadi kalian mau pulang tanggal berapa nanti, Nduk?"
Gantari tidak punya jawaban.
Sebab, Dirja tidak pernah mengatakan apa pun padanya tentang rencana untuk pulang ke kampung halaman berdua. Padahal bulan puasa hanya tinggal dua mingguan lagi, sementara di kantor tempat Gantari kerja kalau mau mengajukan cuti harus dari jauh-jauh hari. Tidak bisa dadakan, apalagi untuk pegawai yang masih terhitung baru.
"Tari, kok malah melamun?" Bik Ambar geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Masih pagi lho ini! Sudah nggak fokus kamu."
"Eh iya, Bulik. Itu... Mas Dirja masih urus cutinya," jawab Gantari terbata. "Tari juga belum tahu bisa dapat cuti atau enggak."
Ia tidak asal ceplos. Semalam, Dirja sendiri yang berkata--walau bukan bicara langsung kepada Gantari--kalau pria itu akan mengajukan cuti di hari Senin besok, kan?
Kalau Dirja bisa mendapatkan cuti, Gantari juga akan mengusahakannya agar mereka bisa pulang. Ah, tetapi kalau Dirja ternyata lebih mengutamakan bertemu dengan sang pujaan hati alih-alih pulang kampung seperti yang diharapkan Bulik Ambar, itu sudah di luar kuasa Gantari. Ia tidak punya tenaga untuk memaksa Dirja bertindak di luar kehendak pria itu sendiri.
Namun, diam-diam Gantari tetap berharap agar suaminya masih cukup waras. Menemui Asoka--atau siapa pun nama kekasih hati suaminya itu--masih bisa dilakukan di lain waktu, bukan?
"Lho... sebentar, Nduk," tukas Bulik Ambar bingung. Kening wanita itu berkerut-kerut. "Tadi kamu bilang masih mau urus cuti. Memangnya kamu di sini sibuk kerja juga?"
Gantari tidak berniat menyembunyikan statusnya sebagai pekerja karena memang begitu adanya, tetapi kenapa di depan Bulik Ambar sekarang ia merasa seperti maling yang baru tertangkap basah?
"Nduk, pertanyaan Bulik belum kamu jawab," desak Bulik Ambar tak sabar.
"Iya, Bulik," jawab Gantari jujur. "Sudah empat bulan--"
"Ya Allah, Nduk. Buat apa sih kamu kerja? Memangnya nafkah dari suamimu tidak cukup?"
"Alhamdulillah, nafkah dari Mas Dirja lebih dari cukup, Bulik."
Dirja pernah satu kali menyebutkan nominal nafkah bulanan yang akan pria itu kirimkan setiap awal bulan. Jumlahnya lebih banyak dari gaji Gantari sekarang. Hampir dua kali lipatnya.
Namun, sebenarnya, Gantari belum pernah menyentuh uang dari Dirja itu sepersen pun. Dua bulan pertama sebelum Gantari diterima kerja, wanita itu menggunakan uang tabungan yang ditinggalkan kedua orang tuanya untuk bertahan hidup.
Sementara itu, di hari yang sama dengan saat Dirja memberikan buku rekening dan ATM-nya kepada Gantari, wanita itu langsung menyimpannya di antara tumpukan berkas-berkas penting tanpa pernah menyentuhnya lagi.
"Lalu kenapa kamu masih bekerja? Dirja yang nyuruh?"
"Bukan, Bulik. Ini memang murni kemauan Tari sendiri," jawab Gantari cepat. Ia sempat terkejut karena Dirja kembali menjadi tertuduh.
"Dapat izin dari Dirja?"
"Ya, Bulik?"
"Sebelum kamu mulai bekerja, kamu sudah minta izin sama suamimu dan mendapatkan izinnya?" Bulik Ambar mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas. "Karena kalau suamimu melarang, pekerjaanmu jadi nggak akan berkah."
Gantari tersenyum getir. Jawabannya sudah pasti tidak.
Maksudnya, bukan karena Dirja melarang dan kemudian Gantari membangkang, tetapi karena mereka sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing.
Jadi, untuk apa Gantari repot-repot meminta izin kepada pria yang sudah secara gamblang membebaskannya untuk melakukan apa pun?
"Astaghfirullahal'azim, Bulik benar-benar nggak paham sama jalan pikiranmu, Tari."
Keterdiaman Tari sudah menjadi jawaban yang amat jelas untuk pertanyaan Bulik Ambar tadi. Yang kini menghunjam Gantari dengan tatapan menghakimi.
"Kamu itu sebenarnya tahu atau enggak kalau baktinya seorang perempuan yang sudah menikah itu salah satunya dengan melayani suaminya dengan baik?"
Suara Bulik Ambar yang tegas dan naik satu oktaf, ditambah ekspresi wajah yang keras membuat Gantari menunduk pasrah dan hanya menjawab, "Iya, Bulik."
"Kalau sudah tahu kenapa nggak dilakukan, Nduk? Kalau kamu malah sibuk sendiri dengan urusanmu di luar sana, bagaimana dengan kebutuhan suamimu di rumah? Yakin bisa terpenuhi?" cecar Bulik Ambar makin menjadi.
Gantari bungkam seribu bahasa.
"Kamu sudah dewasa. Seharusnya bisa mikir mana yang harus menjadi prioritas utama," ucap Bulik Ambar lagi. "Jangan karena Dirja bersikap baik dan kasih kelonggaran, terus kamu malah menyepelekan dan melalaikan kewajibanmu sebagai istri."
"Bulik jangan khawatir--""Gimana Bulik nggak khawatir setelah tahu kalau ternyata kamu nggak menjalankan peranmu sebagai istri dengan benar?!" sela Bulik Ambar dengan nada meninggi.Gantari tetap tenang meski dadanya bergemuruh oleh berbagai emosi yang tumpang tindih. Masih menjaga suaranya tetap lembut, wanita itu membalas, "Mas Dirja nggak akan kekurangan apa pun, Bulik. Kebutuhan Mas Dirja di rumah juga pasti akan selalu terpenuhi."'Pria itu bahkan bisa mengurus dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia nggak butuh aku sebagai istri. Dia lebih membutuhkan kekasihnya yang bernama Asoka itu,' imbuh Gantari yang hanya mampu terucap di dalam hati.Nyatanya memang Dirja sudah sejak lama hidup sendiri di perantauan yang jauh dari orang tua. Dirja meninggalkan kampung halaman sejak remaja untuk melanjutkan sekolah di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibukota. Sudah lebih dari dua belas tahun lamanya. Tentunya pria itu sudah sangat terlatih dan terbiasa memenuhi kebutuhannya sendir
"Dirja, rumah tanggamu dengan Tari baik-baik saja?" todong Bulik Ambar begitu mobil Dirja meninggalkan area perumahan dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya."Astaghfirullah, nggak sopan nanya-nanya begitu, Bu!" tegur Paklik Heru."Nggak sopan gimana sih, Pak? Wong ini yang ditanya juga sudah seperti anak sendiri! Ibu juga nanya baik-baik, lho!"Paklik Heru berdecak. "Sudah, abaikan saja! Jangan dijawab pertanyaan bulikmu, Dir.""Nggak apa-apa, Paklik," timpal Dirja sebelum terjadi perdebatan panjang antara pasangan suami istri itu di dalam mobilnya."Tuh, Pak. Dirja saja nggak mempermasalahkan kok. Kenapa Bapak berlebihan sekali responnya?"Pada akhirnya Paklik Heru hanya geleng-geleng kepala. Sudah terlalu hapal dengan perangai istrinya yang keras kepala dan tak mau kalah."Kenapa Bulik tanya begitu? Ada sesuatu yang mengganggu Bulik?" tanya Dirja balik dengan penuh ketenangan.Melalui spoin tengah mobilnya, pria itu melirik Bulik Ambar yang duduk di kursi penumpang belak
Percakapan alot yang terjadi saat mengantar keluarga Bulik Ambar ke hajatan itu terus terngiang-ngiang di kepala Dirja sampai pria itu tiba di rumah.Gantari sedang sibuk dengan laptop saat dirinya muncul di ruang tengah. Kemudian saat menyadari apa yang sedang istrinya itu kerjakan, ada panas menggelegak di dada Dirja.Di saat pria itu harus menghadapi Bulik Ambar yang marah-marah karena Gantari, istrinya itu justru tengah sibuk sendiri dengan pekerjaannya.Bukankah itu sangat tidak adil?Namun, sebagai pria dewasa yang bisa berpikir rasional, Dirja tidak langsung menghakimi. Dia berusaha bersikap netral saat bicara dengan istrinya demi menemukan simpul masalah utama dan menguraikannya dengan baik-baik.Walau tetap saja. Pada akhirnya Dirja salah langkah. Pria itu bahkan sampai mengatai istrinya sendiri bodoh. Dan berujung membela Bulik Ambar tanpa memikirkan posisi Gantari sebagai istrinya, yang juga pantas dibela."Malam nanti kalau Bulik Ambar sudah pulang, kamu harus minta maaf d
"Kak Naila! Citra!"Sambil berjalan mendekat, Gantari menyerukan nama dua temanya. Wanita itu baru saja tiba di kafe tempat ia janjian untuk bertemu mereka."Sorry ya baru sampai. Tadi agak macet di jalan. Kalian udah lama?""Gue juga barusan datang kok. Citra tuh yang duluan," jawab wanita berhijab hitam seraya melemparkan senyum ramah pada Gantari."Gue tadi emang lagi di dekat-dekat sini, kok. Makanya bisa cepet sampai," timpal Citra ringan. Teman Gantari yang berambut pirang. Mereka bertukar cipika-cipiki dengan akrab. Lalu Gantari pamit sebentar untuk memesan makanan dan minuman langsung di kasir."Baju lo beli di mana, Tar?" tanya Citra saat Gantari sudah duduk di kursinya. "Cakep banget. Cocok sama bentuk badan lo yang mungil."Gantari memakai blouse bewarna putih dengan lengan balon dipadukan dengan mini plaid skirt berwarna merah muda bercorak kotak-kotak yang panjangnya sampai beberapa senti di bawah lutut.Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam dibiarkan tergerai. Dileng
"Pergi ke mana saja kamu sampai lupa waktu?"Gantari yang baru saja menarik gagang pintu rumah itu berjengit kaget hingga langkahnya tertarik mundur.Suaminya muncul di depan pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Tatapannya menyorot tajam."Mas Dirja kenapa berdiri di situ? Ngagetin aja," protes Gantari.Dirja tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Namun, Gantari bisa merasakan hawa dingin yang merambat di tengkuk karena tatapan intens suaminya.Wanita itu terlalu ragu-ragu untuk meminta Dirja bergeser sedikit agar dirinya bisa masuk ke dalam. Sehingga ia hanya berdiri canggung di teras rumah dan menunggu sampai Dirja sadar sendiri."Ponselmu masih berfungsi dan bisa untuk mengecek jam, kan?" tanya Dirja retoris. "Ini sudah jam berapa? Bukankah saya sudah bilang kalau kamu harus pulang sebelum Maghrib?"Gantari menghela napas. Sudah mengira kalau ini akan terjadi.Saat ojek online yang ditumpanginya memasuki area perumahan, bertepatan dengan suara azan isya dari masjid
Gantari terperangah hingga mulutnya megap-megap. Matanya nanar menatap Dirja. Dan perlahan gejolak panas di dadanya menggelegak. "A... apa Mas bilang?""Telingamu kenapa, sih?" Dirja geleng-geleng kepala. "Saya harus mengulangi sampai berapa kali supaya kamu bisa dengar dengan benar?""Lalu..." Sial, suara Gantari mendadak serak. Tenggorokannya tercekat oleh rasa perih karena gumpalan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Ada alasan lain kenapa Mas semarah ini sama aku?" tanya wanita itu marah."Ah, pertanyaanku salah," kata Gantari sedetik kemudian. "Pasti ada sesuatu yang membuat Mas Dirja marah saat aku pergi, kan? Makanya Mas melampiaskan kekesalan ke aku?"Ada perubahan emosi di wajah Dirja saat pertanyaan itu terlontar dari mulut istrinya. Namun, hilang dalam sekejap mata.Saat Gantari berkedip, Dirja sudah kembali ke setelan biasanya dengan wajah yang datar tanpa ekspresi.Pria itu juga tampaknya tak berniat untuk menjawab pertanyaan Gantari."Ganti bajumu. Kamu ikut saya keluar,
"Kodratnya seorang istri itu berada di rumah, Tari," ujar Bulik Ambar beberapa detik kemudian setelah melemparkan bom tepat di muka Gantari."Jadi kamu pasti paham, kan? Bulik sampai harus memohon begini bukan karena ingin menindasmu. Ini semata-mata demi keharmonisan rumah tanggamu dengan Dirja."Oh, wanita itu bahkan sama sekali tidak memberi waktu kepada Gantari untuk mencerna perkataannya dengan baik."Bulik tunggu jawabanmu saat pulang ke kampung nanti. Tolong, jangan mengecewakan Bulik."Yang artinya adalah... Bulik Ambar tidak menerima jawaban 'tidak'. Permintaan itu sifatnya wajib untuk dituruti. Atau Gantari akan selamanya dimusuhi.Masalahnya, permintaan Bulik Ambar adalah hal yang tidak mungkin bisa Gantari lakukan. Sebab, tidak ada rumah tangga yang bisa dia urus. Tidak ada hubungan yang bisa dia pertahankan.Lalu, Gantari harus bagaimana?"Tidak mau turun?"Suara berat milik seorang pria yang terdengar familier mengejutkan Gantari.Dirja berdiri menjulang di samping pintu
"Tidak sopan membuka-buka barang pribadi milik orang lain."Di ruangan yang diterangi lampu remang-remang itu, Dirja melangkah masuk lebih dalam. Membungkuk untuk mengambil foto yang dijatuhkan Gantari ke lantai.Tatapan mengantuk Dirja tertuju pada foto di tangannya. Yang kemudian membawa pria itu bernostalgia.'Rasanya sudah lama sekali,' batin Dirja dengan raut wajah suram.Di masa-masa itu, Dirja sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama kekasih hati. Hari-harinya bersama sang kekasih selalu penuh canda tawa.Tiada hari tanpa merasa suka cita. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada tangis air mata. Segalanya sempurna. Namun, sekarang situasinya sudah berbeda. Semua sudah tak lagi sama."Hanya dari punggungnya aja dia sudah kelihatan cantik.""Apa?" Dirja menoleh saat mendengar Gantari menggumam tak jelas. "Kekasih Mas Dirja," sahut Gantari masih dengan suara pelan, namun terdengar lebih jelas. "Dia pasti cantik sekali ya, Mas?"Dirja menatap Gantari lurus.Ia tidak tahu bagaimana
Sementara itu di makam. Gantari sudah pergi cukup lama bersama Dina, tetapi Dirja masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu menatap kosong pada berplastik-plastik bunga yang kini tergenang air. Belum sempat ditaburkan.Setiap kata yang diucapkan Gantari hingga ekspresi wanita itu saat bicara kepadanya tadi masih terekam jelas di kepala.Kacau.Itu satu-satunya yang menggambarkan hubungannya dengan Gantari sekarang.Dirja sadar betul kalau tindakannya sudah sangat melukai sang istri. Tetap menikahi dan mempertahankan Gantari meski ada wanita lain yang menghuni hatinya adalah pilihan paling egois dan kejam. Tidak hanya untuk Gantari, tetapi juga untuk Asoka yang sudah kehilangan banyak hal hanya demi bisa tetap berada di sisi pria itu.Ia sudah salah melangkah karena berpikir bahwa wasiat orang tua harus diutamakan meski tidak bisa menjalankan pernikahan dengan Gantari selamanya.Itulah sebabnya ia ingin mengubah sikap dan memperlakukan sang istri dengan baik meski tetap tak bisa
Gantari tidak tahu apa yang merasuki dirinya saat tiba-tiba bicara tentang hal-hal gila di depan makam kedua orang tuanya.Mungkin ia kerasukan setan gila yang mendambakan cinta dari pria yang dicintainya. Atau sebenarnya Gantari sedang mengungkapkannya isi hatinya secara jujur.Bahwa seandainya bisa, maka ia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Dirja. Sampai selamanya. Sebab, tidak mungkin ada orang normal yang bercita-cita menjadi janda. Begitu pula Gantari.Seperti yang dikatakan Bulik Umi tentang perjodohan yang telah dirancang orang tuanya dan orang tua Dirja sejak lama. Tidak seharusnya pernikahan itu mereka lakukan hanya demi memenuhi wasiat orang tua. Lalu mengakhirinya setelah merasa 'telah' membayar lunas wasiat itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya."Saya tidak bisa meninggalkan Asoka," cetus Dirja.Suara suami Gantari itu begitu dingin, mengalahkan dinginnya air hujan yang jatuh memeluk bumi.Pria itu tampak tak tergoyah
Meski tak mengatakannya secara langsung, Gantari sadar kalau seharian ini Dirja secara halus 'menyelamatkan' dirinya dari cecaran Bulik Umi.Dari sejak sarapan tadi, Dirja tiba-tiba bilang kalau Gantari agak pusing setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Yang akhirnya wanita itu dibiarkan untuk beristirahat di kamar sampai Dzuhur. Lalu setelah makan siang, Dirja mengajaknya jalan-jalan.Pria itu pamit kepada Bulik Umi dengan beralasan, "Mau sekalian beli bunga untuk dibawa ke makam sore nanti."Gantari sangat berterima kasih atas inisiatif suaminya itu. Tetapi rasanya ia juga ingin tertawa keras-keras. Pasalnya, sejak menikah, mana pernah mereka keluar bersama hanya berdua seperti ini?Sepasang suami istri itu menaiki motor bebek butut milik Paklik Nuri--suami Bulik Umi--dan menyusuri jalan tanpa tujuan.Gantari sempat berkomentar kalau mereka hanya buang-buang bensin, tetapi Dirja dengan santai menyuruhnya menikmati suasana tenang di sana, yang tak akan mereka temukan di kota sibuk s
"Di seberang stasiun ada hotel, kita bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang. Bagaimana?"Dirja tadinya tidak serius akan ajakannya itu. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran istrinya agar tidak terlalu tegang sebelum mereka bertemu keluarga di kampung.Namun, melihat tanggapan Gantari yang saat ini tersipu-sipu sampai memalingkan wajah karena tak tahan beradu tatap dengannya, membuat Dirja goyah.Ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk segera menyeret sang istri ke hotel mewah yang ada di seberang sana. Lalu mereka bisa bersenang-senang sejenak tanpa gangguan. Merealisasikan apa yang sempat tertunda."Mas Dirja!"Mendengar seseorang menyerukan namanya membuat fantasi Dirja pupus seketika.Bukan Gantari, melainkan suara milik seorang pria yang sangat Dirja kenal. "Tama, kok di sini?""Ya jemput Mas Dirja sama Mbak Tari iki, to," ucap sosok bernama Tama itu dengan logat khasnya. "Budhe Umi ngerusuhi aku subuh-subuh, tak kira ono opo. Ealah tibake kon jemput kakang karo simbak balik ka
Gantari terlalu tinggi berekspektasi.Setelah menunggu dua puluh menit, hanya ada dua mangkuk mi instan yang dilengkapi, telur, sosis dan sayur hijau yang tersaji di atas meja makan.Dirja menaikkan alis saat menyodorkan sendok dan garpu kepada sang istri. Namun, karena istrinya bergeming, pria itu meletakkan dua alat makan itu di samping mangkuk mi yang masih mengepulkan uap panas."Kelihatannya ada yang kecewa," gumam pria itu. "Kamu pasti mengira saya mau masak menu restoran bintang lima, ya? Makanya kamu antusias sekali tadi?"Gantari hanya menatap sang suami dalam diam.Jujur saja, wanita itu memang sangat menantikan makanan jenis apa yang akan suaminya buat untuknya."Tidak ada bahan yang masih cukup segar untuk dimasak," jelas Dirja membela diri setelah menyuap satu sendok penuh mi instan ke dalam mulut. Tidak mau repot menunggu sang istri yang belum menyentuh sendoknya sama sekali."Masih ada besok dan besoknya lagi kalau kamu pengen dimasakin. Sekarang itu dulu," ucap Dirja l
"Saya tahu betul kalau tubuh kamu menginginkan saya," ucap Dirja yang membuat bulu kuduk Gantari seketika berdiri.Rasa panas dengan cepat menyebar di wajahnya yang tampak sedikit pucat karena tidak lagi terpulas oleh riasan make up.Padahal, wajar saja jika seorang wanita mendamba pada tubuh seorang pria yang adalah suaminya sendiri. Namun, tidak demikian untuk Gantari. Rasanya sangat memalukan saat Dirja menangkap basah dirinya.Gantari tak yakin apakah motif sang suami saat mengatakannya dengan senyum yang terkulum di bibir.Apakah senang karena tidak hanya pria itu yang nafsu sendirian? Atau semata untuk mengolok-oloknya karena begitu mudah terperangkap pada pesona sang pria hanya karena sebuah ciuman yang memabukkan?"Mau kabur ke mana?"Baru mengayunkan satu langkah, Gantari berhenti.Meski sulit, Gantari menguatkan diri untuk menatap mata suaminya saat menjawab, "Aku mau siapin kompres dulu buat Mas.""Kamu tidak perlu repot--""Lebam di muka Mas udah biru-biru, kalau dibiarkan
Bab ini mengandung adegan dewasa (18+). Mohon bijak dalam membaca ya. Terima kasih***Dirja tidak melakukan apa pun selain menyentuhkan bibirnya yang dingin pada bibir ranum milik Gantari. Namun, sentuhan tipis itu sudah mampu membuat tubuh istrinya menegang.Sekejap saja Dirja sadar bahwa ciuman itu kemungkinan adalah pengalaman pertama untuk istrinya. Dari cerita orang-orang di kampung saat Dirja pulang untuk meminang Gantari menjadi istrinya, pris itu tahu kalau istrinya itu belum pernah punya pacar dan jarang terlihat dekat dengan seorang pria. Setelah beberapa detik bibir mereka hanya saling menempel, Dirja menjauhkan kepala.Wajah memerah Gantari dan tatapan malu-malunya membuat darah di tubuh sang pria bergejolak.Pria itu menelan ludah. Sedaya upaya mengusir bisikan setan yang mendesaknya untuk kembali mencium bibir merah muda nan menantang itu dengan lebih dalam.Sayang beribu sayang. Usaha Dirja berantakan saat Gantari menggigit bibir bawahnya. Wanita itu terlihat salah ti
Mas Dirja: Kamu kabur mana, Gantari?Mas Dirja: Jangan menguji kesabaran saya!Mas Dirja: Pulang sekarang!Mas Dirja: Saya jemput. Share loc posisi kamu.Mas Dirja: Balas, Gantari! Saya tahu kamu membaca semua pesan saya. Gantari meringkuk di atas tempat tidur berukuran queen yang terasa dingin meski tubuhnya sudah terbungkus selimut tebal. Wanita itu tampak sangat menyedihkan. Rambut panjangnya awut-awuran, wajahnya sembab, matanya bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangisi hidupnya dikacaukan oleh Dirja.Pesan demi pesan dari suaminya yang bertubi-tubi masuk ke ponselnya sejak satu jam yang lalu itu tak ada yang wanita balas satu pun. Gantari hanya membacanya dan membiarkan Dirja ribut sendiri.Gantari beberapa kali memejamkan mata saat kepalanya terasa begitu pening dan semakin meringkuk di tengah ranjang. Namun, ia terganggu oleh ingatannya yang terus-menerus tertuju pada kejadian tempo hari.Pada rengkuh lengan kekar Dirja yang hangat. Pada dada bidang yang begitu nyama
"Suami kamu sudah boleh pulang?"Gantari nyaris mati berdiri meski tidak ada yang salah dengan pertanyaan yang dilontarkan Tio. Terlebih lagi ketika mendengar Dirja mengumpat kecil dengan suaranya yang sarat akan amarah. Gantari berharap lantai di bawah kakinya tiba-tiba terbelah dan dirinya terisap ke dalam agar tak perlu berada di situasi sulit yang menjebaknya itu."Suami? Gue nggak salah dengar?" cetus Harris sinis. Pria itu kembali ke mode awal seperti saat pertama kali berhadapan dengan Gantari di kamar Dirja beberapa hari lalu."Anda memang tidak salah dengar. Tapi kenapa kelihatannya Anda kaget sekali?" tanya Tio. Senyum miring tercetak di wajahnya saat melirik Dirja.Pria itu jelas-jelas sengaja memperburuk situasi.Harris yang masih belum pulih dari rasa kaget itu tertawa sinis. Namun, sebelum mengatakan apa-apa, Gantari lebih dulu bersuara."Sore, Pak Tio. Kami duluan ya, Pak. Semoga bapaknya Bapak cepat sembuh juga. Sampai bertemu besok di kantor. Permisi, Pak," cerocos G