"Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"
Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri. "Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku." Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut. "Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara." Dan pria itu beranjak pergi. Sementara Gantari tak menyahuti. Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi. Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari juga belum berpindah tempat, masih berada di depan pintu yang kata Dirja adalah kamarnya. "Gantari, saya mau pesan makanan untuk makan malam. Kamu mau apa?" Pertanyaan itu menyentak Gantari dari lamunan. Belum ada sepuluh menit dan Dirja sudah muncul lagi di ruang tamu dengan pakaian rumahan. "Kapan kita mau bicara, Mas?" Gantari balik bertanya. "Aku lelah. Mau cepat istirahat." Meletakkan ponselnya ke meja, Dirja duduk tegak di kursi yang berseberangan dari Gantari. Atmosfer dingin yang menyelimuti ruang tamu seolah tidak menjadi masalah untuk sang pria. Ekspresi ganjil di wajah Gantari pun tak membuat pria itu terganggu. "Kita berdua sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini," ucap Dirja tanpa tahu basa-basi. "Jadi, mari kita buat mudah saja." Apakah berdosa kalau Gantari melempar meja ke wajah datar suaminya? "Aturan mainnya sederhana, Gantari. Kamu tidak perlu melakukan peranmu sebagai istri. Urus saja hidupmu sendiri. Dan saya juga akan melakukan yang sama. Bertahanlah satu tahun saja dan saya akan melepaskanmu." Gantari kehilangan kemampuan untuk duduk tegak. Kata demi kata yang diucapkan Dirja menghantamnya telak. Seperti vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh hakim. Gantari tak bisa membela diri. "Kamu bebas melakukan apa pun di rumah ini, kecuali membawa pria lain untuk menghangatkan ranjangmu. Dengan kata lain, kamu juga boleh punya kekasih, asal tidak ketahuan." Kalau tatapan mata bisa membunuh, Dirja pasti sudah akan mati terkapar sia-sia oleh tatapan menghunus Gantari. Namun, kepekaan Dirja yang berada di angka minus tidak membuat pria itu sadar telah ditatap sedemikian sengit oleh istrinya yang biasanya ceria. "Mas Dirja punya kekasih, makanya Mas menggunakan cara ini untuk bernegosiasi denganku?" "Kamu tidak perlu tahu--" "Mau bagaimanapun juga, statusku adalah istri sah Mas Dirja sampai nanti kita berpisah," sela Gantari dalam ketenangan yang entah datang dari mana. Diam-diam, Gantari juga takjub dengan pengendalian dirinya. "Setidaknya, aku harus tahu informasi tentang wanita terdekat Mas Dirja supaya aku nggak menjadi satu-satunya yang bodoh di sini." "Dia tidak di Jakarta." Gantari terperangah sepersekian detik, kehabisan kata. Tidak menyangka Dirja akan menjawab sejujur itu. "Boleh aku lihat fotonya? Jadi kalau-kalau nanti aku melihat Mas Dirja bersama wanita itu, aku bisa menyesuaikan diri." Di tempatnya duduk, Dirja membeku. Tatapannya yang tajam menembus manik mata Gantari yang berisi kekosongan. Gantari Bhanurasmi yang dikenal Dirja sejak gadis itu masih bocah hingga remaja adalah sosok yang manis dan banyak tertawa. Gantari selalu ramah dan membuat orang-orang di sekitarnya terhibur dengan candaan lucunya. Sejak mengalami pubertas, gadis itu semakin cantik. Jika diibaratkan bunga, Gantari adalah bunga paling indah di desanya yang mekar dengan sempurna. Kembang desa yang diincar oleh para perjaka, hingga pria duda sampai pria yang sudah beristri pun tidak imun oleh pesonanya. "Mana, Mas, fotonya?" tanya Gantari sekali lagi. "Tidak ada." "Kenapa nggak ada? Mas Dirja nggak pernah foto sama kekasih Mas?" Dirja tak menjawab apa-apa. Menolak untuk memuaskan rasa penasaran yang menari-nari di wajah Gantari. "Mas Dirja bisa menghubungi kekasih Mas sekarang dan minta dia mengirimkan fotonya--" "Katanya kamu lelah? Tidak mau istirahat?" sela Dirja yang mulai terlihat tidak nyaman. Gantari memandang lurus wajah pria yang baru menjadi suaminya selama satu hari. Berusaha menerka-nerka apa yang ada di kepala pria itu. Bagaimana reaksi sang kekasih saat Dirja menyampaikan kabar tentang pernikahannya? Apakah mereka bertengkar hebat karena keputusan sepihak Dirja? Sebesar apa cinta yang mereka miliki? Mengapa Dirja sampai memaksakan diri untuk tetap menjalin hubungan dengan wanita itu dan menodai ikatan suci pernikahannya sendiri? Namun, sekeras apa pun mencoba, Gantari tidak bisa menemukan apa-apa. Pria itu sangat sulit dibaca. "Ini, kamu bisa menyimpannya," Dirja tiba-tiba menyodorkan sebuah kartu ATM dan buku rekening. "Saya akan mengirimkan uang bulanan untukmu setiap tanggal lima." Gantari hanya menatap sekilas kartu berwarna hitam yang disodorkan Dirja. Urung menerimanya. "Aku akan segera mencari pekerjaan. Jadi Mas nggak perlu memberiku uang." "Ini tanggung jawab saya," balas Dirja datar. "Seperti yang kamu bilang, kamu masih istri saya." 'Seharusnya kamu berusaha lebih keras untuk melakukan pembatalan pernikahan saja, Gantari! Jangan hanya tunduk pasrah pada pria gila yang tidak menghargai kesakralan ikatan pernikahan!' batin Gantari berteriak marah. Namun, yang terucap dari bibirnya, "Jadi, apa yang harus kukatakan kalau ada tetangga yang bertanya tentang statusku?" "Katakan saja apa adanya. Atau apa saja yang membuatmu nyaman." "Oke," jawab Gantari. Memaksakan senyum yang sulit sekali untuk dilakukan. "Masih ada yang ingin Mas Dirja bicarakan? Barangkali ada kesepakatan lain yang harus aku ikuti untuk memuluskan hidup Mas Dirja." "Untuk saat ini tidak ada." "Baiklah kalau begitu." Setelah mengambil ATM dan buku rekening dari atas meja, Gantari bangkit dengan cepat. Tidak siap ketika tubuhnya oleng karena hantaman denyut di kepala dan rasa perih di perut yang sejak tadi Gantari abaikan. "Kamu sakit? Kenapa tidak bilang?" Gantari menepis uluran tangan Dirja yang refleks memeganginya agar tidak jatuh tersungkur. "Aku baik-baik saja. Hanya lelah." Gantari berdiri tegak agar terlihat meyakinkan. "Aku ke kamar dulu. Selamat malam, Mas." Tanpa menunggu jawaban, Gantari beranjak pergi. Sudah tidak sanggup dirinya berlama-lama di ruangan yang sama dengan Dirja. "Butuh bantuan membawa barang-barangmu ke dalam?" Gerak tubuh Gantari terhenti. Kembali meletakkan tas besar dan koper yang baru akan diseretnya ke kamar. Gantari menelengkan kepala, hanya sekilas menatap Dirja yang berjarak satu meter di belakangnya. Dan wanita itu berkata, "Bukankah kita sepakat untuk mengurusi hidup sendiri-sendiri?" "Gantari--" "Mas Dirja yang menginginkan ini," sergah Gantari dingin. Meski hatinya sedang hancur porak-poranda. Tak akan ia biarkan Dirja melihatnya. "Jadi, aku mohon. Jangan melakukan apa pun untukku. Jangan memberikan perhatian semu untuk seseorang yang pada akhirnya hanya akan Mas buang.""Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?""Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka."Ada kep
"Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol."Maaf, Bulik," ringis Gantari."Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu."Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"Gantari tercenung.Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak men
"Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me
Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah
"Bulik jangan khawatir--""Gimana Bulik nggak khawatir setelah tahu kalau ternyata kamu nggak menjalankan peranmu sebagai istri dengan benar?!" sela Bulik Ambar dengan nada meninggi.Gantari tetap tenang meski dadanya bergemuruh oleh berbagai emosi yang tumpang tindih. Masih menjaga suaranya tetap lembut, wanita itu membalas, "Mas Dirja nggak akan kekurangan apa pun, Bulik. Kebutuhan Mas Dirja di rumah juga pasti akan selalu terpenuhi."'Pria itu bahkan bisa mengurus dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia nggak butuh aku sebagai istri. Dia lebih membutuhkan kekasihnya yang bernama Asoka itu,' imbuh Gantari yang hanya mampu terucap di dalam hati.Nyatanya memang Dirja sudah sejak lama hidup sendiri di perantauan yang jauh dari orang tua. Dirja meninggalkan kampung halaman sejak remaja untuk melanjutkan sekolah di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibukota. Sudah lebih dari dua belas tahun lamanya. Tentunya pria itu sudah sangat terlatih dan terbiasa memenuhi kebutuhannya sendir
"Dirja, rumah tanggamu dengan Tari baik-baik saja?" todong Bulik Ambar begitu mobil Dirja meninggalkan area perumahan dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya."Astaghfirullah, nggak sopan nanya-nanya begitu, Bu!" tegur Paklik Heru."Nggak sopan gimana sih, Pak? Wong ini yang ditanya juga sudah seperti anak sendiri! Ibu juga nanya baik-baik, lho!"Paklik Heru berdecak. "Sudah, abaikan saja! Jangan dijawab pertanyaan bulikmu, Dir.""Nggak apa-apa, Paklik," timpal Dirja sebelum terjadi perdebatan panjang antara pasangan suami istri itu di dalam mobilnya."Tuh, Pak. Dirja saja nggak mempermasalahkan kok. Kenapa Bapak berlebihan sekali responnya?"Pada akhirnya Paklik Heru hanya geleng-geleng kepala. Sudah terlalu hapal dengan perangai istrinya yang keras kepala dan tak mau kalah."Kenapa Bulik tanya begitu? Ada sesuatu yang mengganggu Bulik?" tanya Dirja balik dengan penuh ketenangan.Melalui spoin tengah mobilnya, pria itu melirik Bulik Ambar yang duduk di kursi penumpang belak
Percakapan alot yang terjadi saat mengantar keluarga Bulik Ambar ke hajatan itu terus terngiang-ngiang di kepala Dirja sampai pria itu tiba di rumah.Gantari sedang sibuk dengan laptop saat dirinya muncul di ruang tengah. Kemudian saat menyadari apa yang sedang istrinya itu kerjakan, ada panas menggelegak di dada Dirja.Di saat pria itu harus menghadapi Bulik Ambar yang marah-marah karena Gantari, istrinya itu justru tengah sibuk sendiri dengan pekerjaannya.Bukankah itu sangat tidak adil?Namun, sebagai pria dewasa yang bisa berpikir rasional, Dirja tidak langsung menghakimi. Dia berusaha bersikap netral saat bicara dengan istrinya demi menemukan simpul masalah utama dan menguraikannya dengan baik-baik.Walau tetap saja. Pada akhirnya Dirja salah langkah. Pria itu bahkan sampai mengatai istrinya sendiri bodoh. Dan berujung membela Bulik Ambar tanpa memikirkan posisi Gantari sebagai istrinya, yang juga pantas dibela."Malam nanti kalau Bulik Ambar sudah pulang, kamu harus minta maaf d
"Kak Naila! Citra!"Sambil berjalan mendekat, Gantari menyerukan nama dua temanya. Wanita itu baru saja tiba di kafe tempat ia janjian untuk bertemu mereka."Sorry ya baru sampai. Tadi agak macet di jalan. Kalian udah lama?""Gue juga barusan datang kok. Citra tuh yang duluan," jawab wanita berhijab hitam seraya melemparkan senyum ramah pada Gantari."Gue tadi emang lagi di dekat-dekat sini, kok. Makanya bisa cepet sampai," timpal Citra ringan. Teman Gantari yang berambut pirang. Mereka bertukar cipika-cipiki dengan akrab. Lalu Gantari pamit sebentar untuk memesan makanan dan minuman langsung di kasir."Baju lo beli di mana, Tar?" tanya Citra saat Gantari sudah duduk di kursinya. "Cakep banget. Cocok sama bentuk badan lo yang mungil."Gantari memakai blouse bewarna putih dengan lengan balon dipadukan dengan mini plaid skirt berwarna merah muda bercorak kotak-kotak yang panjangnya sampai beberapa senti di bawah lutut.Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam dibiarkan tergerai. Dileng
Gantari mengelus dada dan menggumamkan kalimat istighfar berkali-kali setelah mengucapkan kata-kata yang terlalu kasar kepada suaminya yang sedang sakit.Walau kenyataannya memang seperti yang diucapkan wanita itu, tetap saja ada rasa tak enak karena sudah menyinggung hubungan terlarang Dirja dengan kekasihnya."Kalau memang kamu tidak punya hubungan apa pun dengan pria itu, seharusnya kamu tidak perlu sinis begitu," balas Dirja setelah beberapa saat. Suaranya pelan, tetapi dingin menusuk. "Saya da--""Sudahlah, Mas. Aku ke sini bukan mau cari ribut. Tolong, jangan memancingku lagi," potong Gantari seraya kembali melanjutkan kegiatannya membongkar isi travel bag."Memancing bagaimana? Saya hanya bertanya karena melihatmu datang bersama pria itu tadi," balas Dirja tak mau kalah."Bertanya atau menuduh?""Interaksi atasan dengan bawahan normalnya tidak sekasual kamu dan pria tadi," debat Dirja. "Kamu tersenyum begitu bahagia saat sedang bersamanya. Pria itu bahkan membawakan barang-baran
Terlalu memaksakan diri bekerja, Dirja akhirnya ambruk juga.Menjelang Maghrib tadi, saat selesai meeting untuk peluncuran produk baru di perusahaan furniture tempatnya bekerja, Dirja merasakan perutnya melilit begitu sakit sampai hampir pingsan.Dirja pun diantar ke rumah sakit oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya yang sesama manajer. Saat ini, pria itu sudah dipindahkan ke kamar VIP setelah melalui beberapa pemeriksaan dan disarankan oleh dokter untuk rawat inap. Memanfaatkan fasilitas yang diberikannya kantornya untuk level manajer. Jadi ia sudah tak harus memikirkan biaya rumah sakit yang harus ditanggung.Dirja yang sebenarnya paling malas berurusan dengan rumah sakit itu mau tidak mau menuruti apa kata dokter agar cepat sehat kembali. Pekerjaannya sedang sangat banyak. Bisa kacau kalau dirinya terus-terusan absen."Lo yakin nggak perlu gue tungguin? Berani lo?" ejek Harris, sahabatnya, dengan sangat menyebalkan."Keberadaan lo justru mengganggu," jawab Dirja malas."Sialan lo!"
Gantari tiba di rumah sakit saat sudah hampir pukul setengah dua belas malam dengan menenteng travel bag berukuran cukup besar seperti orang mau pindahan di tangan kanan, plastik putih berukuran sedang berisi makanan di tangan kiri, dan masih menggendong tas punggung yang berisi laptop.Tidak hanya barang titipan Dirja yang ia bawa. Tetapi juga kebutuhan milik wanita itu sendiri seperti selimut, bantal kecil, baju kerja untuk besok pagi, alat make up, sepatu kerja, sampai termos kecil berisi wedang jahe yang ia buat dadakan sebelum berangkat ke rumah sakit tadi."Ada yang bisa kami bantu, Kak?" tanya seorang wanita berhijab yang mengenakan setelan seragam perawat berwarna hijau saat melihat kedatangan Gantari.Satu-satunya sosok yang wanita itu temui di UGD bagian administrasi tengah malam itu."Keluarga saya ada yang baru masuk dan ranap sejak sore, Sus.""Atas nama siapa ya, Kak? Kami bantu cek di database," ucap perawat muda yang umurnya tampak sepantaran Gantari itu ramah."Dirja
Gantari seharusnya tidak punya alasan untuk memikirkan Dirja. Ia sudah menganggap pria itu sebagai orang asing meski status mereka adalah pasangan suami istri. Namun, ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam dan Dirja belum tiba di rumah, kekhawatiran itu hadir tanpa bisa dicegah. "Mungkin sedang lembur. Nggak usah terlalu dipikirin, Tar," gumamnya. Gantari berusaha tak peduli dan mencoba untuk tidur, tetapi tidak bisa. Hingga jarum jam terus bergeser dan kini sudah pukul setengah sebelas, masih belum juga ada tanda-tanda kepulangan suaminya. "Dia sakit sejak pagi, Tari," bisik sudut hatinya yang terus menerus gelisah. "Bagaimana kalau sakitnya makin parah dan nggak ada yang menolongnya di luar sana?" Namun, akal sehatnya dengan cepat membalas, "Jangan naif. Dia adalah pria dewasa yang bisa berpikir. Kalau sudah tahu sakit pasti akan berobat." Gantari jadi bingung harus bagaimana. "Nggak ada salahnya memikirkan beberapa kemungkinan buruk, Tari," kata hatinya kembali ber
Kelebat bayangan masa lalu sejak mulai mengenal Asoka memenuhi kepala Dirja setelah mendengar pertanyaan penuh keraguan itu."Ya, Asoka," jawab Dirja yakin. Ia perlu memastikan kalau Asoka masih menaruh percaya padanya."Jawaban kamu salah, Dirja. Kamu benar-benar mengecewakanku," sahut Asoka disertai dengusan.Dirja mengusap wajah yang basah oleh keringat dingin. Pening semakin meraja. "Kamu nggak percaya?" "Seharusnya kamu jawab kalau aku hanya satu-satunya untukmu." Kembali terdengar dengusan yang menandakan kalau suasana hati Asoka menjadi semakin buruk. "Sekarang aku nomor satu buat kamu, tapi siapa yang tahu kalau besok posisiku tergeser oleh wanita lain? Kalau sampai itu terjadi, aku harus bagaimana?"Dirja terbungkam. Sama sekali tak terpikir untuk memberikan jawaban semacam itu. Namun, ia tahu bahwa Asoka benar. Ketika mencintai seseorang, sudah semestinya menjadikan sosok itu satu-satunya.Benar bahwa Dirja mencintai Asoka. Cinta itu sudah bertunas dan tumbuh subur sejak lam
Seharian Gantari tidak bisa fokus bekerja karena terus terngiang-ngiang ucapan Dirja pagi tadi, yang dibiarkan menggantung.Saat Gantari menanyakan maksudnya, Dirja dengan entengnya berkata, "Waktu sepuluh menit sudah habis. Kita lanjutkan nanti malam saja. Kamu bisa berangkat ke kantor sekarang."Dan pria itu melenggang pergi begitu saja setelah membuat istrinya penasaran setengah mati.Menyebalkan, bukan?Berkali-kali Gantari ingin menghubungi Dirja untuk menuntut penjelasan perihal kesepakatan baru yang dimaksud pria itu. Namun, ia tidak punya nyali. Takut untuk mendengar sesuatu yang tak ia harapkan."Kamu mengharapkan sesuatu hanya setelah mendengar pria itu ingin memperbaiki hubungan denganmu, Tari?" decak Gantari bermonolog seperti orang bodoh. "Kamu mulai percaya padanya lagi hanya karena itu? Tidakkah itu terdengar sangat menyedih--""Siang, Tari."Gantari tersentak dan monolognya terputus begitu saja. Senyum profesional terbit ketika menoleh ke arah sumber suara. "Selamat sia
Pagi pertama Gantari resmi pulang ke rumah.Wanita itu sudah siap untuk berangkat ke kantor bahkan di saat jam yang menempel di dinding belum menunjukkan pukul enam. Hampir dua jam lebih awal dibandingkan ketika wanita itu masih ngekos.Rumah begitu sepi saat ia keluar dari kamar dan beranjak ke dapur lebih dulu untuk menyeduh teh.Sepuluh menit kemudian, wanita itu duduk tenang menikmati tehnya dan beberapa keping biskuit rasa coklat untuk mengganjal perut. Ia sedang malas menyiapkan sarapan dengan menu yang lebih berat. Suasana hatinya yang keruh sejak kemarin masih belum membaik dan sedikit banyak memengaruhi aktivitasnya."Masih sangat pagi. Kamu sudah mau berangkat kerja?"Lamunan Gantari terpecah oleh suara serak suaminya dari arah belakang.Tidak sadar kapan pria itu muncul di dapur karena langkah kakinya pun sama sekali tak terdengar."Dari sini ke kantor agak jauh. Takut telat," jawab Gantari beralasan.Sebenarnya Gantari hanya ingin cepat terbebas dari udara di rumah yang te
Rahang Dirja mengeras dan gurat emosi tampak berpendar di kedua matanya saat Gantari mengatakan, "Mas Dirja yang menciptakan kekacauan di hidupku dengan pernikahan yang penuh sandiwara ini, jadi Mas juga harus bertanggung jawab untuk membereskan semuanya. Iya, kan?"Seperti pecundang, pria itu hanya diam saja sampai istrinya tiba-tiba tertawa getir."Hanya satu hal yang aku minta, Mas. Itu pun sulit ya buat kamu?" lirih wanita itu. "Kalaupun Mas nggak sudi mengabulkan permintaanku, setidaknya jangan tunjukin ekspresi nggak senang itu di depanku. Itu menyakiti harga diriku yang entah masih ada harganya atau enggak ini."Sebelum Dirja menimpali, Gantari membuka lemari kecil di dekat ranjang berukuran single yang menempel tembok.Wanita itu segera mengemasi pakaian dan barang-barang pribadinya yang tak begitu banyak."Saya bantu--""Mas Dirja bisa keluar aja dari kamar ini? Aku nggak nyaman berduaan dengan orang asing."Dua baris kalimat yang dilontarkan Gantari dengan sinis membuat Dirj
Mas Dirja: Jangan coba-coba kembali ke kosmu selama saya tidak ada.Setelah urusan saya selesai, saya bantu kamu pindahan. . . Gantari menghela napas panjang setelah membaca pesan baru dari Dirja.Bahkan, saat tidak sedang berhadapan, pria itu masih punya segudang cara untuk membuat mood-nya berantakan.Pesan dari suaminya itu tidak Gantari balas karena tidak ingin berbohong.Faktanya, wanita itu memang kembali ke kos esok harinya. Terhitung sudah tiga hari dan mengingat isi pesan dari Dirja, sepertinya pria itu juga belum pulang ke Jakarta. Seharusnya.Mas Dirja: Oh ya, kamu sudah mengajukan cuti, kan? Jangan sampai salah tanggal.Cepat balas pesan saya, Gantari! Pesan saya bukan koran yang hanya untuk dibaca. Maka, untuk menghindari perdebatan yang tak penting dan menguras energi, Gantari pun membalas."Ya," ketiknya.Hanya dua huruf. Sangat singkat. Namun, sudah cukup untuk membalas empat baris pesan yang suaminya kirimkan.Saat pesannya sudah bercentang biru, Gantari memati