"Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"
Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan. Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol. "Maaf, Bulik," ringis Gantari. "Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?" Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja." Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu. "Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?" Gantari tercenung. Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak menjemput Bulik Ambar dan keluarganya dua jam yang lalu. Namun, aktingnya dengan Dirja tadi sejelek itukah hingga Bulik Ambar bisa langsung menebak dengan begitu akurat kalau ada yang salah pada rumah tangga mereka? "Pasti ada saja cobaannya, Nduk. Mau baru menikah atau sudah puluhan tahun menikah, tidak mungkin ada yang bebas dari masalah. Tinggal bagaimana kitanya yang menyikapi masalah itu. Kalau ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, langsung bicarakan dengan Masmu. Jangan dipendam sendiri sampai menumpuk-numpuk. Nanti malah memicu masalah lain dan bikin kamu tambah stres. "Masmu itu walaupun pendiam, aslinya dewasa sekali. Sangat bisa diajak untuk berdiskusi. Adik-adik sepupunya saja nggak jarang ditelepon. Selain menasihati supaya rajin belajar dan berbakti kepada orang tua, Masmu bisa jadi teman ngobrol dan pendengar yang baik juga. Jadi nurut semua mereka itu sama Masmu." Gantari hanya tersenyum tipis menanggapi nasihat Bulik Ambar. Memangnya apa yang bisa ia katakan? Diam-diam Gantari memikirkan reaksi Bulik Ambar seandainya mengetahui kalau dirinya dan Dirja tidak pernah melakoni peran masing-masing sebagai suami dan istri sejak hari pertama menikah. Mereka bahkan tidak tinggal serumah lagi. Apalagi kalau Bulik Ambar tahu bahwa tidak lama lagi Gantari dan Dirja akan berpisah. Pasti akan geger. Sekitar dua puluh menit kemudian, masakan sederhana yang disiapkan Gantari dan Bulik Ambar untuk makan malam sudah siap di meja makan. "Mas Dirja mau lauk ikan atau cumi?" Gantari melanjutkan aktingnya yang payah seraya menyendokkan tumis kangkung ke piring suaminya. "Dua-duanya." "Tempe gorengnya mau juga?" Dirja menggeleng. "Tambah kerupuk sama sambalnya saja, Tari," ucap pria itu. Gantari mengambilkan sesuai permintaan Dirja. "Sudah, Mas?" Dirja mengangguk lagi disertai senyum tipis yang tanpa sadar terulas di bibir. Ini pertama kali Dirja dilayani istrinya di meja makan. Dua bulan di awal pernikahan sebelum Gantari pindah ke kos, istrinya itu tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Tidak pernah memasak. Tidak pernah bebersih rumah. Tidak pernah melakukan apa pun selain mendekam di kamar saat Dirja ada di rumah. Gantari memerankan perannya dengan sangat baik. Melakukan persis apa yang diminta Dirja agar memisahkan urusan hidup mereka masing-masing dan tidak saling mengurusi satu sama lain. "Beruntung kamu, Dir. Punya istri pintar masak," ucap Paklik Heru--suami Bulik Ambar. Mereka sudah selesai makan dan berpindah ke ruang keluarga sambil menonton TV yang menayangkan acara komedi. "Memangnya kalau istri nggak pintar masak, saya nggak beruntung, Paklik?" tanya Dirja diiringi kekehan. Gantari sedikit terkejut. Tidak menyangka suaminya yang pendiam itu bisa bercanda. "Ya bukan begitu maksud Paklik. Beruntungnya dobel kamu itu. Istrimu sangat baik budi pekertinya, baktinya kepada orang tua sudah ndak perlu diragukan lagi, parasnya juga ayu, ndak pernah neko-neko. Beruntung to?" Dirja memiringkan kepala, menatap istrinya yang sibuk mengupas buah apel. "Iya, Paklik," gumam pria itu. "Saya sangat bersyukur bisa memperistri Tari." Tari menanggapi pujian yang terdengar tidak tulus di telinganya itu dengan senyum palsu. Sebagai dukungan kepada Dirja yang masih belum bosan melanjutkan sandiwara. "Nduk Tari juga beruntung dapat Dirja lho, Pak. Alhamdulillah sudah mapan dan dewasa. Inshaallah bisa menjadi imam yang baik dan membimbing istrinya ke arah yang semakin baik juga," timpal Bulik Ambar tak henti-hentinya menyanjung keponakannya. "Bulik benar. Tari juga sangat beruntung," Gayatri ikut menanggapi. "Doakan kami terus ya, Bulik, Paklik." "Pasti, Nduk. Keluarga selalu saling mendoakan yang terbaik," jawab Paklik Heru tulus. Setelah itu, Paklik Heru pamit untuk ke kamar sebentar karena dipanggil oleh anak bungsunya. "Tapi... maaf, Nduk. Bukannya Bulik mau gimana-gimana," ucap Bulik Ambar dengan tatapan yang kurang mengenakkan. "Tapi, mbok ya, kalau bisa cincin kawinmu jangan dilepas." Gantari rasanya seperti mendapatkan hujaman peluru dari berbagai arah karena perkataan Bulik Ambar. Ia sungguhan lupa untuk yang satu itu. Cincinnya masih tersimpan rapi di lemari kamar kosnya. Padahal Dirja sudah mengingatkan ketika mengantarnya pulang ke kos tadi malam. "Itu..." Gantari menunduk. Menghindari tatapan penuh penghakiman dari suaminya. "Tari minta maaf Bulik--" "Belakangan ini berat badan Gantari agak susut, Bulik. Cincinnya jadi longgar, makanya disimpan dulu. Takutnya malah hilang kalau nggak sengaja lepas," Dirja menyela. Mengarang alasan yang paling logis untuk situasi saat itu. "Lho tadi ditanya Bulik katanya baik-baik saja. Iki piye, to?" "Tari memang baik-baik saja, Bulik." Bulik Ambar geleng-geleng kepala tak percaya. "Yo nggak mungkin ujug-ujug berat badannya susut kalau kamu baik-baik saja. Sudah ke dokter apa belum? Bulik rasa kamu lagi isi ini." "Maksudnya, Bulik?" "Hamil, Nduk." Mata Gantari membeliak. Mengibaskan tangan dengan panik. "Enggak, Bulik. Tari nggak hamil--" "Belum. Jangan bilang enggak," koreksi Bulik Ambar. Wanita itu terlihat agak kecewa saat mengamankan pisau dari tangan Gantari dan meletakkannya di meja. "Kapan kamu sama Masmu terakhir berhubungan? Coba dihitung jaraknya sama terakhir kamu menstruasi. Bisa ndak hitungnya?" cerocos Bulik Ambar makin menjadi-jadi. Mana bisa Gantari hamil kalau disentuh saja tidak pernah? Sentuhan dengan Dirja paling jauh adalah ketika pria itu mencium keningnya saat akad nikah dulu. Mereka bersentuhan lagi juga baru sore tadi, saat terpaksa bergandengan tangan di depan Bulik dan Paklik. "Kalian berdua ada rencana mau menunda punya anak atau bagaimana?" tanya Bulik Ambar lagi. "Kalau mau menunda, pakai cara alami saja, Nduk. Biar Masmu yang pakai pengaman." Gantari menggeleng lagi. "Kami--" "Iya, Bulik," Dirja kembali memotong perkataan Gantari. "Kasihan Gantari kalau harus KB. Kata dokternya, setelah lepas KB, malah akan susah hamil nanti. Bisa memengaruhi hormon sama mood-nya juga." Rasanya Gantari ingin tertawa. Pandai sekali Dirja mengarang kebohongan semacam itu. Oh, tidak juga. Gantari segera menarik tuduhannya. Mungkin saja itu bukan kebohongan. Siapa yang tahu, kan? Bisa saja Dirja betul-betul pernah menemui dokter spesialis kandungan bersama kekasihnya. "Tapi kalau bisa, nggak usah pakai menunda-nunda segala lah. Buat apa?" Bulik Ambar masih belum selesai dengan usahanya merecoki rumah tangga keponakannya. "Masmu sudah tiga puluh lho, Nduk. Pasti sudah pengen sekali menimang anak. Ya kan, Dir?" Dirja hanya mengulas senyum tanpa memberikan jawaban yang pasti. "Mumpung umurmu juga masih muda, Nduk. Nanti kalau kelamaan ditunda, keburu ndak produktif. Kasihan anaknya juga kalau lahir pas orang tuanya sudah tua." "Iya, Bulik. Kami mengerti. Doakan ya, Bulik, supaya semua rencana kami lancar terus ke depannya," sahut Dirja diplomatis. Sementara Gantari terus bungkam. Lelah dengan sandiwara panjang yang tak kunjung usai itu. Lagipula siapa yang mau hamil dengan Dirja? Itu tidak akan pernah terjadi. Menggadaikan tubuh dan perasaan kepada pria yang sudah menolak dirinya sejak awal, tidakkah itu akan terdengar sangat menyedihkan?"Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me
Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah
"Bulik jangan khawatir--""Gimana Bulik nggak khawatir setelah tahu kalau ternyata kamu nggak menjalankan peranmu sebagai istri dengan benar?!" sela Bulik Ambar dengan nada meninggi.Gantari tetap tenang meski dadanya bergemuruh oleh berbagai emosi yang tumpang tindih. Masih menjaga suaranya tetap lembut, wanita itu membalas, "Mas Dirja nggak akan kekurangan apa pun, Bulik. Kebutuhan Mas Dirja di rumah juga pasti akan selalu terpenuhi."'Pria itu bahkan bisa mengurus dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia nggak butuh aku sebagai istri. Dia lebih membutuhkan kekasihnya yang bernama Asoka itu,' imbuh Gantari yang hanya mampu terucap di dalam hati.Nyatanya memang Dirja sudah sejak lama hidup sendiri di perantauan yang jauh dari orang tua. Dirja meninggalkan kampung halaman sejak remaja untuk melanjutkan sekolah di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibukota. Sudah lebih dari dua belas tahun lamanya. Tentunya pria itu sudah sangat terlatih dan terbiasa memenuhi kebutuhannya sendir
"Dirja, rumah tanggamu dengan Tari baik-baik saja?" todong Bulik Ambar begitu mobil Dirja meninggalkan area perumahan dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya."Astaghfirullah, nggak sopan nanya-nanya begitu, Bu!" tegur Paklik Heru."Nggak sopan gimana sih, Pak? Wong ini yang ditanya juga sudah seperti anak sendiri! Ibu juga nanya baik-baik, lho!"Paklik Heru berdecak. "Sudah, abaikan saja! Jangan dijawab pertanyaan bulikmu, Dir.""Nggak apa-apa, Paklik," timpal Dirja sebelum terjadi perdebatan panjang antara pasangan suami istri itu di dalam mobilnya."Tuh, Pak. Dirja saja nggak mempermasalahkan kok. Kenapa Bapak berlebihan sekali responnya?"Pada akhirnya Paklik Heru hanya geleng-geleng kepala. Sudah terlalu hapal dengan perangai istrinya yang keras kepala dan tak mau kalah."Kenapa Bulik tanya begitu? Ada sesuatu yang mengganggu Bulik?" tanya Dirja balik dengan penuh ketenangan.Melalui spoin tengah mobilnya, pria itu melirik Bulik Ambar yang duduk di kursi penumpang belak
Percakapan alot yang terjadi saat mengantar keluarga Bulik Ambar ke hajatan itu terus terngiang-ngiang di kepala Dirja sampai pria itu tiba di rumah.Gantari sedang sibuk dengan laptop saat dirinya muncul di ruang tengah. Kemudian saat menyadari apa yang sedang istrinya itu kerjakan, ada panas menggelegak di dada Dirja.Di saat pria itu harus menghadapi Bulik Ambar yang marah-marah karena Gantari, istrinya itu justru tengah sibuk sendiri dengan pekerjaannya.Bukankah itu sangat tidak adil?Namun, sebagai pria dewasa yang bisa berpikir rasional, Dirja tidak langsung menghakimi. Dia berusaha bersikap netral saat bicara dengan istrinya demi menemukan simpul masalah utama dan menguraikannya dengan baik-baik.Walau tetap saja. Pada akhirnya Dirja salah langkah. Pria itu bahkan sampai mengatai istrinya sendiri bodoh. Dan berujung membela Bulik Ambar tanpa memikirkan posisi Gantari sebagai istrinya, yang juga pantas dibela."Malam nanti kalau Bulik Ambar sudah pulang, kamu harus minta maaf d
"Kak Naila! Citra!"Sambil berjalan mendekat, Gantari menyerukan nama dua temanya. Wanita itu baru saja tiba di kafe tempat ia janjian untuk bertemu mereka."Sorry ya baru sampai. Tadi agak macet di jalan. Kalian udah lama?""Gue juga barusan datang kok. Citra tuh yang duluan," jawab wanita berhijab hitam seraya melemparkan senyum ramah pada Gantari."Gue tadi emang lagi di dekat-dekat sini, kok. Makanya bisa cepet sampai," timpal Citra ringan. Teman Gantari yang berambut pirang. Mereka bertukar cipika-cipiki dengan akrab. Lalu Gantari pamit sebentar untuk memesan makanan dan minuman langsung di kasir."Baju lo beli di mana, Tar?" tanya Citra saat Gantari sudah duduk di kursinya. "Cakep banget. Cocok sama bentuk badan lo yang mungil."Gantari memakai blouse bewarna putih dengan lengan balon dipadukan dengan mini plaid skirt berwarna merah muda bercorak kotak-kotak yang panjangnya sampai beberapa senti di bawah lutut.Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam dibiarkan tergerai. Dileng
"Pergi ke mana saja kamu sampai lupa waktu?"Gantari yang baru saja menarik gagang pintu rumah itu berjengit kaget hingga langkahnya tertarik mundur.Suaminya muncul di depan pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Tatapannya menyorot tajam."Mas Dirja kenapa berdiri di situ? Ngagetin aja," protes Gantari.Dirja tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Namun, Gantari bisa merasakan hawa dingin yang merambat di tengkuk karena tatapan intens suaminya.Wanita itu terlalu ragu-ragu untuk meminta Dirja bergeser sedikit agar dirinya bisa masuk ke dalam. Sehingga ia hanya berdiri canggung di teras rumah dan menunggu sampai Dirja sadar sendiri."Ponselmu masih berfungsi dan bisa untuk mengecek jam, kan?" tanya Dirja retoris. "Ini sudah jam berapa? Bukankah saya sudah bilang kalau kamu harus pulang sebelum Maghrib?"Gantari menghela napas. Sudah mengira kalau ini akan terjadi.Saat ojek online yang ditumpanginya memasuki area perumahan, bertepatan dengan suara azan isya dari masjid
Gantari terperangah hingga mulutnya megap-megap. Matanya nanar menatap Dirja. Dan perlahan gejolak panas di dadanya menggelegak. "A... apa Mas bilang?""Telingamu kenapa, sih?" Dirja geleng-geleng kepala. "Saya harus mengulangi sampai berapa kali supaya kamu bisa dengar dengan benar?""Lalu..." Sial, suara Gantari mendadak serak. Tenggorokannya tercekat oleh rasa perih karena gumpalan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Ada alasan lain kenapa Mas semarah ini sama aku?" tanya wanita itu marah."Ah, pertanyaanku salah," kata Gantari sedetik kemudian. "Pasti ada sesuatu yang membuat Mas Dirja marah saat aku pergi, kan? Makanya Mas melampiaskan kekesalan ke aku?"Ada perubahan emosi di wajah Dirja saat pertanyaan itu terlontar dari mulut istrinya. Namun, hilang dalam sekejap mata.Saat Gantari berkedip, Dirja sudah kembali ke setelan biasanya dengan wajah yang datar tanpa ekspresi.Pria itu juga tampaknya tak berniat untuk menjawab pertanyaan Gantari."Ganti bajumu. Kamu ikut saya keluar,
Gantari mengelus dada dan menggumamkan kalimat istighfar berkali-kali setelah mengucapkan kata-kata yang terlalu kasar kepada suaminya yang sedang sakit.Walau kenyataannya memang seperti yang diucapkan wanita itu, tetap saja ada rasa tak enak karena sudah menyinggung hubungan terlarang Dirja dengan kekasihnya."Kalau memang kamu tidak punya hubungan apa pun dengan pria itu, seharusnya kamu tidak perlu sinis begitu," balas Dirja setelah beberapa saat. Suaranya pelan, tetapi dingin menusuk. "Saya da--""Sudahlah, Mas. Aku ke sini bukan mau cari ribut. Tolong, jangan memancingku lagi," potong Gantari seraya kembali melanjutkan kegiatannya membongkar isi travel bag."Memancing bagaimana? Saya hanya bertanya karena melihatmu datang bersama pria itu tadi," balas Dirja tak mau kalah."Bertanya atau menuduh?""Interaksi atasan dengan bawahan normalnya tidak sekasual kamu dan pria tadi," debat Dirja. "Kamu tersenyum begitu bahagia saat sedang bersamanya. Pria itu bahkan membawakan barang-baran
Terlalu memaksakan diri bekerja, Dirja akhirnya ambruk juga.Menjelang Maghrib tadi, saat selesai meeting untuk peluncuran produk baru di perusahaan furniture tempatnya bekerja, Dirja merasakan perutnya melilit begitu sakit sampai hampir pingsan.Dirja pun diantar ke rumah sakit oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya yang sesama manajer. Saat ini, pria itu sudah dipindahkan ke kamar VIP setelah melalui beberapa pemeriksaan dan disarankan oleh dokter untuk rawat inap. Memanfaatkan fasilitas yang diberikannya kantornya untuk level manajer. Jadi ia sudah tak harus memikirkan biaya rumah sakit yang harus ditanggung.Dirja yang sebenarnya paling malas berurusan dengan rumah sakit itu mau tidak mau menuruti apa kata dokter agar cepat sehat kembali. Pekerjaannya sedang sangat banyak. Bisa kacau kalau dirinya terus-terusan absen."Lo yakin nggak perlu gue tungguin? Berani lo?" ejek Harris, sahabatnya, dengan sangat menyebalkan."Keberadaan lo justru mengganggu," jawab Dirja malas."Sialan lo!"
Gantari tiba di rumah sakit saat sudah hampir pukul setengah dua belas malam dengan menenteng travel bag berukuran cukup besar seperti orang mau pindahan di tangan kanan, plastik putih berukuran sedang berisi makanan di tangan kiri, dan masih menggendong tas punggung yang berisi laptop.Tidak hanya barang titipan Dirja yang ia bawa. Tetapi juga kebutuhan milik wanita itu sendiri seperti selimut, bantal kecil, baju kerja untuk besok pagi, alat make up, sepatu kerja, sampai termos kecil berisi wedang jahe yang ia buat dadakan sebelum berangkat ke rumah sakit tadi."Ada yang bisa kami bantu, Kak?" tanya seorang wanita berhijab yang mengenakan setelan seragam perawat berwarna hijau saat melihat kedatangan Gantari.Satu-satunya sosok yang wanita itu temui di UGD bagian administrasi tengah malam itu."Keluarga saya ada yang baru masuk dan ranap sejak sore, Sus.""Atas nama siapa ya, Kak? Kami bantu cek di database," ucap perawat muda yang umurnya tampak sepantaran Gantari itu ramah."Dirja
Gantari seharusnya tidak punya alasan untuk memikirkan Dirja. Ia sudah menganggap pria itu sebagai orang asing meski status mereka adalah pasangan suami istri. Namun, ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam dan Dirja belum tiba di rumah, kekhawatiran itu hadir tanpa bisa dicegah. "Mungkin sedang lembur. Nggak usah terlalu dipikirin, Tar," gumamnya. Gantari berusaha tak peduli dan mencoba untuk tidur, tetapi tidak bisa. Hingga jarum jam terus bergeser dan kini sudah pukul setengah sebelas, masih belum juga ada tanda-tanda kepulangan suaminya. "Dia sakit sejak pagi, Tari," bisik sudut hatinya yang terus menerus gelisah. "Bagaimana kalau sakitnya makin parah dan nggak ada yang menolongnya di luar sana?" Namun, akal sehatnya dengan cepat membalas, "Jangan naif. Dia adalah pria dewasa yang bisa berpikir. Kalau sudah tahu sakit pasti akan berobat." Gantari jadi bingung harus bagaimana. "Nggak ada salahnya memikirkan beberapa kemungkinan buruk, Tari," kata hatinya kembali ber
Kelebat bayangan masa lalu sejak mulai mengenal Asoka memenuhi kepala Dirja setelah mendengar pertanyaan penuh keraguan itu."Ya, Asoka," jawab Dirja yakin. Ia perlu memastikan kalau Asoka masih menaruh percaya padanya."Jawaban kamu salah, Dirja. Kamu benar-benar mengecewakanku," sahut Asoka disertai dengusan.Dirja mengusap wajah yang basah oleh keringat dingin. Pening semakin meraja. "Kamu nggak percaya?" "Seharusnya kamu jawab kalau aku hanya satu-satunya untukmu." Kembali terdengar dengusan yang menandakan kalau suasana hati Asoka menjadi semakin buruk. "Sekarang aku nomor satu buat kamu, tapi siapa yang tahu kalau besok posisiku tergeser oleh wanita lain? Kalau sampai itu terjadi, aku harus bagaimana?"Dirja terbungkam. Sama sekali tak terpikir untuk memberikan jawaban semacam itu. Namun, ia tahu bahwa Asoka benar. Ketika mencintai seseorang, sudah semestinya menjadikan sosok itu satu-satunya.Benar bahwa Dirja mencintai Asoka. Cinta itu sudah bertunas dan tumbuh subur sejak lam
Seharian Gantari tidak bisa fokus bekerja karena terus terngiang-ngiang ucapan Dirja pagi tadi, yang dibiarkan menggantung.Saat Gantari menanyakan maksudnya, Dirja dengan entengnya berkata, "Waktu sepuluh menit sudah habis. Kita lanjutkan nanti malam saja. Kamu bisa berangkat ke kantor sekarang."Dan pria itu melenggang pergi begitu saja setelah membuat istrinya penasaran setengah mati.Menyebalkan, bukan?Berkali-kali Gantari ingin menghubungi Dirja untuk menuntut penjelasan perihal kesepakatan baru yang dimaksud pria itu. Namun, ia tidak punya nyali. Takut untuk mendengar sesuatu yang tak ia harapkan."Kamu mengharapkan sesuatu hanya setelah mendengar pria itu ingin memperbaiki hubungan denganmu, Tari?" decak Gantari bermonolog seperti orang bodoh. "Kamu mulai percaya padanya lagi hanya karena itu? Tidakkah itu terdengar sangat menyedih--""Siang, Tari."Gantari tersentak dan monolognya terputus begitu saja. Senyum profesional terbit ketika menoleh ke arah sumber suara. "Selamat sia
Pagi pertama Gantari resmi pulang ke rumah.Wanita itu sudah siap untuk berangkat ke kantor bahkan di saat jam yang menempel di dinding belum menunjukkan pukul enam. Hampir dua jam lebih awal dibandingkan ketika wanita itu masih ngekos.Rumah begitu sepi saat ia keluar dari kamar dan beranjak ke dapur lebih dulu untuk menyeduh teh.Sepuluh menit kemudian, wanita itu duduk tenang menikmati tehnya dan beberapa keping biskuit rasa coklat untuk mengganjal perut. Ia sedang malas menyiapkan sarapan dengan menu yang lebih berat. Suasana hatinya yang keruh sejak kemarin masih belum membaik dan sedikit banyak memengaruhi aktivitasnya."Masih sangat pagi. Kamu sudah mau berangkat kerja?"Lamunan Gantari terpecah oleh suara serak suaminya dari arah belakang.Tidak sadar kapan pria itu muncul di dapur karena langkah kakinya pun sama sekali tak terdengar."Dari sini ke kantor agak jauh. Takut telat," jawab Gantari beralasan.Sebenarnya Gantari hanya ingin cepat terbebas dari udara di rumah yang te
Rahang Dirja mengeras dan gurat emosi tampak berpendar di kedua matanya saat Gantari mengatakan, "Mas Dirja yang menciptakan kekacauan di hidupku dengan pernikahan yang penuh sandiwara ini, jadi Mas juga harus bertanggung jawab untuk membereskan semuanya. Iya, kan?"Seperti pecundang, pria itu hanya diam saja sampai istrinya tiba-tiba tertawa getir."Hanya satu hal yang aku minta, Mas. Itu pun sulit ya buat kamu?" lirih wanita itu. "Kalaupun Mas nggak sudi mengabulkan permintaanku, setidaknya jangan tunjukin ekspresi nggak senang itu di depanku. Itu menyakiti harga diriku yang entah masih ada harganya atau enggak ini."Sebelum Dirja menimpali, Gantari membuka lemari kecil di dekat ranjang berukuran single yang menempel tembok.Wanita itu segera mengemasi pakaian dan barang-barang pribadinya yang tak begitu banyak."Saya bantu--""Mas Dirja bisa keluar aja dari kamar ini? Aku nggak nyaman berduaan dengan orang asing."Dua baris kalimat yang dilontarkan Gantari dengan sinis membuat Dirj
Mas Dirja: Jangan coba-coba kembali ke kosmu selama saya tidak ada.Setelah urusan saya selesai, saya bantu kamu pindahan. . . Gantari menghela napas panjang setelah membaca pesan baru dari Dirja.Bahkan, saat tidak sedang berhadapan, pria itu masih punya segudang cara untuk membuat mood-nya berantakan.Pesan dari suaminya itu tidak Gantari balas karena tidak ingin berbohong.Faktanya, wanita itu memang kembali ke kos esok harinya. Terhitung sudah tiga hari dan mengingat isi pesan dari Dirja, sepertinya pria itu juga belum pulang ke Jakarta. Seharusnya.Mas Dirja: Oh ya, kamu sudah mengajukan cuti, kan? Jangan sampai salah tanggal.Cepat balas pesan saya, Gantari! Pesan saya bukan koran yang hanya untuk dibaca. Maka, untuk menghindari perdebatan yang tak penting dan menguras energi, Gantari pun membalas."Ya," ketiknya.Hanya dua huruf. Sangat singkat. Namun, sudah cukup untuk membalas empat baris pesan yang suaminya kirimkan.Saat pesannya sudah bercentang biru, Gantari memati