Share

BAB 4. Sandiwara

Penulis: Karma Police
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 10:24:29

"Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"

Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.

Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol.

"Maaf, Bulik," ringis Gantari.

"Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"

Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."

Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu.

"Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"

Gantari tercenung.

Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak menjemput Bulik Ambar dan keluarganya dua jam yang lalu.

Namun, aktingnya dengan Dirja tadi sejelek itukah hingga Bulik Ambar bisa langsung menebak dengan begitu akurat kalau ada yang salah pada rumah tangga mereka?

"Pasti ada saja cobaannya, Nduk. Mau baru menikah atau sudah puluhan tahun menikah, tidak mungkin ada yang bebas dari masalah. Tinggal bagaimana kitanya yang menyikapi masalah itu. Kalau ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, langsung bicarakan dengan Masmu. Jangan dipendam sendiri sampai menumpuk-numpuk. Nanti malah memicu masalah lain dan bikin kamu tambah stres.

"Masmu itu walaupun pendiam, aslinya dewasa sekali. Sangat bisa diajak untuk berdiskusi. Adik-adik sepupunya saja nggak jarang ditelepon. Selain menasihati supaya rajin belajar dan berbakti kepada orang tua, Masmu bisa jadi teman ngobrol dan pendengar yang baik juga. Jadi nurut semua mereka itu sama Masmu."

Gantari hanya tersenyum tipis menanggapi nasihat Bulik Ambar. Memangnya apa yang bisa ia katakan?

Diam-diam Gantari memikirkan reaksi Bulik Ambar seandainya mengetahui kalau dirinya dan Dirja tidak pernah melakoni peran masing-masing sebagai suami dan istri sejak hari pertama menikah. Mereka bahkan tidak tinggal serumah lagi.

Apalagi kalau Bulik Ambar tahu bahwa tidak lama lagi Gantari dan Dirja akan berpisah.

Pasti akan geger.

Sekitar dua puluh menit kemudian, masakan sederhana yang disiapkan Gantari dan Bulik Ambar untuk makan malam sudah siap di meja makan.

"Mas Dirja mau lauk ikan atau cumi?" Gantari melanjutkan aktingnya yang payah seraya menyendokkan tumis kangkung ke piring suaminya.

"Dua-duanya."

"Tempe gorengnya mau juga?"

Dirja menggeleng. "Tambah kerupuk sama sambalnya saja, Tari," ucap pria itu.

Gantari mengambilkan sesuai permintaan Dirja. "Sudah, Mas?"

Dirja mengangguk lagi disertai senyum tipis yang tanpa sadar terulas di bibir.

Ini pertama kali Dirja dilayani istrinya di meja makan. Dua bulan di awal pernikahan sebelum Gantari pindah ke kos, istrinya itu tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Tidak pernah memasak. Tidak pernah bebersih rumah. Tidak pernah melakukan apa pun selain mendekam di kamar saat Dirja ada di rumah.

Gantari memerankan perannya dengan sangat baik. Melakukan persis apa yang diminta Dirja agar memisahkan urusan hidup mereka masing-masing dan tidak saling mengurusi satu sama lain.

"Beruntung kamu, Dir. Punya istri pintar masak," ucap Paklik Heru--suami Bulik Ambar.

Mereka sudah selesai makan dan berpindah ke ruang keluarga sambil menonton TV yang menayangkan acara komedi.

"Memangnya kalau istri nggak pintar masak, saya nggak beruntung, Paklik?" tanya Dirja diiringi kekehan.

Gantari sedikit terkejut. Tidak menyangka suaminya yang pendiam itu bisa bercanda.

"Ya bukan begitu maksud Paklik. Beruntungnya dobel kamu itu. Istrimu sangat baik budi pekertinya, baktinya kepada orang tua sudah ndak perlu diragukan lagi, parasnya juga ayu, ndak pernah neko-neko. Beruntung to?"

Dirja memiringkan kepala, menatap istrinya yang sibuk mengupas buah apel.

"Iya, Paklik," gumam pria itu. "Saya sangat bersyukur bisa memperistri Tari."

Tari menanggapi pujian yang terdengar tidak tulus di telinganya itu dengan senyum palsu. Sebagai dukungan kepada Dirja yang masih belum bosan melanjutkan sandiwara.

"Nduk Tari juga beruntung dapat Dirja lho, Pak. Alhamdulillah sudah mapan dan dewasa. Inshaallah bisa menjadi imam yang baik dan membimbing istrinya ke arah yang semakin baik juga," timpal Bulik Ambar tak henti-hentinya menyanjung keponakannya.

"Bulik benar. Tari juga sangat beruntung," Gayatri ikut menanggapi. "Doakan kami terus ya, Bulik, Paklik."

"Pasti, Nduk. Keluarga selalu saling mendoakan yang terbaik," jawab Paklik Heru tulus.

Setelah itu, Paklik Heru pamit untuk ke kamar sebentar karena dipanggil oleh anak bungsunya.

"Tapi... maaf, Nduk. Bukannya Bulik mau gimana-gimana," ucap Bulik Ambar dengan tatapan yang kurang mengenakkan. "Tapi, mbok ya, kalau bisa cincin kawinmu jangan dilepas."

Gantari rasanya seperti mendapatkan hujaman peluru dari berbagai arah karena perkataan Bulik Ambar. Ia sungguhan lupa untuk yang satu itu. Cincinnya masih tersimpan rapi di lemari kamar kosnya. Padahal Dirja sudah mengingatkan ketika mengantarnya pulang ke kos tadi malam.

"Itu..." Gantari menunduk. Menghindari tatapan penuh penghakiman dari suaminya. "Tari minta maaf Bulik--"

"Belakangan ini berat badan Gantari agak susut, Bulik. Cincinnya jadi longgar, makanya disimpan dulu. Takutnya malah hilang kalau nggak sengaja lepas," Dirja menyela. Mengarang alasan yang paling logis untuk situasi saat itu.

"Lho tadi ditanya Bulik katanya baik-baik saja. Iki piye, to?"

"Tari memang baik-baik saja, Bulik."

Bulik Ambar geleng-geleng kepala tak percaya. "Yo nggak mungkin ujug-ujug berat badannya susut kalau kamu baik-baik saja. Sudah ke dokter apa belum? Bulik rasa kamu lagi isi ini."

"Maksudnya, Bulik?"

"Hamil, Nduk."

Mata Gantari membeliak. Mengibaskan tangan dengan panik. "Enggak, Bulik. Tari nggak hamil--"

"Belum. Jangan bilang enggak," koreksi Bulik Ambar. Wanita itu terlihat agak kecewa saat mengamankan pisau dari tangan Gantari dan meletakkannya di meja. "Kapan kamu sama Masmu terakhir berhubungan? Coba dihitung jaraknya sama terakhir kamu menstruasi. Bisa ndak hitungnya?" cerocos Bulik Ambar makin menjadi-jadi.

Mana bisa Gantari hamil kalau disentuh saja tidak pernah?

Sentuhan dengan Dirja paling jauh adalah ketika pria itu mencium keningnya saat akad nikah dulu. Mereka bersentuhan lagi juga baru sore tadi, saat terpaksa bergandengan tangan di depan Bulik dan Paklik.

"Kalian berdua ada rencana mau menunda punya anak atau bagaimana?" tanya Bulik Ambar lagi. "Kalau mau menunda, pakai cara alami saja, Nduk. Biar Masmu yang pakai pengaman."

Gantari menggeleng lagi. "Kami--"

"Iya, Bulik," Dirja kembali memotong perkataan Gantari. "Kasihan Gantari kalau harus KB. Kata dokternya, setelah lepas KB, malah akan susah hamil nanti. Bisa memengaruhi hormon sama mood-nya juga."

Rasanya Gantari ingin tertawa. Pandai sekali Dirja mengarang kebohongan semacam itu.

Oh, tidak juga. Gantari segera menarik tuduhannya. Mungkin saja itu bukan kebohongan. Siapa yang tahu, kan? Bisa saja Dirja betul-betul pernah menemui dokter spesialis kandungan bersama kekasihnya.

"Tapi kalau bisa, nggak usah pakai menunda-nunda segala lah. Buat apa?" Bulik Ambar masih belum selesai dengan usahanya merecoki rumah tangga keponakannya. "Masmu sudah tiga puluh lho, Nduk. Pasti sudah pengen sekali menimang anak. Ya kan, Dir?"

Dirja hanya mengulas senyum tanpa memberikan jawaban yang pasti.

"Mumpung umurmu juga masih muda, Nduk. Nanti kalau kelamaan ditunda, keburu ndak produktif. Kasihan anaknya juga kalau lahir pas orang tuanya sudah tua."

"Iya, Bulik. Kami mengerti. Doakan ya, Bulik, supaya semua rencana kami lancar terus ke depannya," sahut Dirja diplomatis.

Sementara Gantari terus bungkam. Lelah dengan sandiwara panjang yang tak kunjung usai itu. Lagipula siapa yang mau hamil dengan Dirja? Itu tidak akan pernah terjadi.

Menggadaikan tubuh dan perasaan kepada pria yang sudah menolak dirinya sejak awal, tidakkah itu akan terdengar sangat menyedihkan?

Bab terkait

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 5. "Aku juga merindukanmu."

    "Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

    Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 1. "Saya akan menceraikanmu."

    "Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat.Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan."Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari.Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir.Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto.Begitu akad selesai, dua kelua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 2. "Aturan mainnya sederhana, Gantari."

    "Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri."Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku."Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut."Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara."Dan pria itu beranjak pergi.Sementara Gantari tak menyahuti.Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi.Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 3. "Rumahmu di sini."

    "Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?""Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka."Ada kep

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 6. "Nafkah dari suamimu tidak cukup?"

    Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 5. "Aku juga merindukanmu."

    "Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 4. Sandiwara

    "Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol."Maaf, Bulik," ringis Gantari."Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu."Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"Gantari tercenung.Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak men

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 3. "Rumahmu di sini."

    "Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?""Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka."Ada kep

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 2. "Aturan mainnya sederhana, Gantari."

    "Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri."Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku."Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut."Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara."Dan pria itu beranjak pergi.Sementara Gantari tak menyahuti.Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi.Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 1. "Saya akan menceraikanmu."

    "Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat.Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan."Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari.Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir.Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto.Begitu akad selesai, dua kelua

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status