"Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?"
"Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi. Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti. Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu. Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos. Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka. "Ada keperluan apa Bulik Ambar di Jakarta, Mas?" "Ada hajatan," jawab Dirja tanpa menjelaskan detailnya. Sangat tipikal pria itu. "Jam berapa kamu pulang kerja? Saya jemput." Gantari melirik jam berbentuk kotak yang menggantung di dinding ruang kerjanya. Masih sisa dua jam lagi sampai waktu pulang kerja. "Kita bertemu di stasiun aja, Mas. Jam berapa Bulik dan keluarganya sampai di Jakarta?" Gantari bertanya balik. Secara halus menolak jemputan suaminya. Dirja menjawab dengan menyebutkan waktu tiba kereta yang dinaiki Bulik Ambar dan keluarganya. Rupanya, mereka baru akan sampai di Jakarta besok siang. "Mas Dirja ada di rumah jam berapa? Nanti aku mampir sebentar sepulang kerja." "Saya jemput, Gantari." "Nggak usah, Mas. Nanti aku naik ojol aja, lebih praktis." Gantari mengabaikan nada geram yang terdengar samar dalam suara suaminya. Satu hal yang dipelajari Gantari sejak pernikahannya berubah menjadi mimpi buruk adalah bersikap abai dan sedingin yang ia mampu ketika menghadapi Dirja. Tidak ada ruang yang ia sisakan untuk perasaan semu. Gantari harus melindungi hatinya. "Kalau nanti Mas Dirja belum sampai rumah saat aku datang, boleh aku langsung masuk?" "Masuk saja. Kamu masih punya kunci rumah, kan? Atau sudah kamu buang?" "Nggak mungkin aku buang, Mas. Nanti kalau kita sudah berpisah, aku akan kembalikan kuncinya," balas Gantari. Tidak terpancing oleh sindiran Dirja. "Ada yang mau Mas bicarakan lagi?" "Tidak ada." "Kalau gitu... sampai ketemu di rumah, Mas." Dirja hanya menggumam. Mereka saling bertukar salam, lalu sambungan telepon itu berakhir. Dirja yang memutuskannya lebih dulu. Gantari memandangi layar ponselnya sampai redup dan meletakkannya kembali di meja kerja dalam posisi terbalik. Sebelum pikirannya mulai ke mana-mana, Gantari melanjutkan sisa pekerjaannya yang tadi tertunda karena telepon mendadak dari sang suami. *** Sudah hampir pukul enam sore saat Gantari tiba di depan rumah Dirja. Tadi, wanita itu harus ke kos terlebih dahulu untuk mengambil kunci rumah. Gerbang rumah Dirja tertutup rapat. Namun, terlihat lampu teras sudah menyala. Mobilnya juga sudah terparkir di carport. Alih-alih menggunakan kunci yang sudah ia pegang untuk membuka gembok gerbang, Gantari justru menekan bel sebanyak dua kali dan menunggu sampai beberapa menit hingga pintu gerbang terbuka. Dirja keluar dengan handuk kecil tersampir di pundak. Rambutnya basah. Pria itu pasti sedang mandi saat Gantari datang. "Kenapa tidak langsung masuk? Katanya masih punya kunci rumah?" Gantari berjalan masuk tanpa menanggapi pertanyaan sarkas yang dilontarkan Dirja. Ia datang ke sana bukan untuk meladeni pria itu berdebat. Langkah Gantari sejenak terhenti di teras. 'Tidak ada yang berubah', batinnya. Ruang kosong di sekitar kolam ikan masih gersang. Tidak ada bunga-bunga dan tanaman. Masih sama seperti ketika Gantari menginjakkan kaki di rumah itu untuk pertama kalinya. Rencana Gantari untuk membangun taman kecil di sana tidak jadi terlaksana karena tidak ingin buang-buang tenaga. Untuk apa dia mempercantik pekarangan rumah yang bukan miliknya? "Bulik datang sama suami dan anak-anaknya, Mas?" tanya Gantari setelah melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah yang ada di dekat pintu. "Sama suami dan anaknya yang paling kecil saja yang diajak," jawab Dirja. Masuk ke dalam ruang tamu, Gantari juga tak menemukan banyak perubahan selain tambahan satu bingkai foto yang terlalu mencolok di dinding bercat putih rumah itu. Foto pernikahan Dirja dan Gantari yang dibingkai dengan frame berukuran sedang. Satu-satunya hiasan di ruang tamu rumah Dirja selain jam berwarna hitam berbentuk lingkaran yang menempel di dinding. "Bulik Umi yang mengirimkan foto itu," cetus Dirja. Langkah kaki pria itu ikut terhenti saat pandangannya tertuju ke arah yang sama. Ya, Gantari tahu. Bulik Umi sendiri yang mengabari Gantari setelah foto dalam bingkai yang cantik itu diposkan ke rumah Dirja. Saat itu, Gantari sudah pindah ke kos. Gantari hanya tidak menyangka Dirja akan memasang foto pernikahan mereka di sana. Lagi pula, untuk apa? Toh, pernikahan mereka sebentar lagi akan berakhir. Bukankah hanya akan merusak tembok dengan paku yang tertancap di sana? "Kamarmu sudah saya bersihkan," ujar Dirja memutus lamunan singkat istrinya. Gantari sedikit terkejut, tetapi setelah itu menggumamkan terima kasih. Kemudian Gantari dibuat terheran-heran ketika Dirja mengantarkannya sampai ke depan pintu kamar. "Mas Dirja punya kasur lipat?" tanya Gantari. "Untuk apa?" "Kamar ini kan kasurnya nggak terlalu besar, Mas. Nggak cukup kalau buat tidur bertiga." Tanpa menjawab pertanyaan Gantari tadi, Dirja beranjak pergi. Bertepatan dengan istrinya membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Tak berselang lama, Dirja sudah kembali muncul dan menenteng kasur lipat yang masih terlapisi plastik dengan satu tangan. Di dalam kamar, Gantari sedang merapikan sprei yang baru dipasang Dirja sepulang kerja tadi. "Wah, terima kasih, Mas!" Mata Gantari berbinar saat Dirja melepas plastik pembungkus kasur lipat itu dan membentangkannya di samping kanan dipan. "Mas nggak ada sprei yang buat single bed?" Dirja menggeleng. "Ya udah deh. Aku bawa dari kos aja besok," gumam Gantari sambil memandang ke sekeliling dan berpikir apa saja yang perlu disiapkan lagi sebelum menyambut kedatangan keluarga Dirja. "Kita ambil sekarang saja, mumpung belum terlalu malam." Gantari menoleh. Kembali merasa keheranan karena Dirja baru saja menawarkan diri untuk berkendara bolak-balik hanya untuk selembar sprei. "Besok aja, Mas. Sprei-nya juga masih di laundry. Belum kuambil. Jam segini tempat laundry-nya udah tutup," balas Gantari beralasan. Dirja tidak mendebat dan mengalihkan pembicaraan. "Baju-bajumu mau kamu tata kapan?" Gantari menarik napas. Seolah perlu mempersiapkan diri saat menjawab, "Sekarang, Mas." Dan Dirja lagi-lagi berbalik pergi tanpa kata. Gantari menyusul, tertinggal dua langkah di belakang suaminya. Sampai di depan kamar Dirja, langkah Gantari berhenti. "Kenapa?" tanya Dirja heran. Gantari hanya menyunggingkan senyum tipis yang sangat terpaksa. Kembali mengayun langkah dengan debar keras di dada yang hadir tanpa bisa dicegah. Dirja sudah membuka pintu lemari dan mendekatkan koper milik Gantari di sana. "Kamu bisa meletakkan baju-bajumu di sini," kata pria itu lalu melangkah mundur. Membiarkan Gantari yang ganti mengisi ruang yang ditinggalkannya. "Terima kasih, Mas," ucap Gantari dalam suara rendah. Saat Gantari pindah ke kos empat bulan lalu, ia sengaja meninggalkan koper kecil yang berisi beberapa setel pakaian dan menyimpannya di kamar Dirja. Untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ada keluarga yang datang. Mereka jadi tak perlu repot mengangkut barang-barang Gantari dari kos ke rumah. Setelah selesai menyulap rumah menjadi sedikit lebih 'normal' sebagaimana dihuni oleh sepasang suami istri, Gantari pamit pulang. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan saat itu. "Rumahmu di sini. Mau pulang ke mana lagi?" Dari nada sinis dalam suaranya, Dirja jelas masih tidak terima karena istrinya minggat dari rumah. "Aku sedang nggak ingin berdebat." "Siapa yang mengajakmu berdebat? Saya hanya menyatakan fakta apa adanya. Rumahmu di sini," tegas Dirja. Gantari membuang napas pelan. Berhadapan dengan Dirja secara langsung ternyata sepuluh kali lebih sulit ketimbang saat hanya melalui telepon atau bertukar pesan singkat. "Aku sudah pesan ojol--" "Batalkan." "Tapi Mas--" "Kamu pilih. Saya antar kamu ke kos atau kamu tetap di sini, uji coba tidur sekamar dengan saya malam ini?" Gantari tidak pernah suka mendengar Dirja mengancamnya dengan nada tak terbantah seperti itu. Dan ia benci diingatkan kalau besok, mau tidak mau ia harus tidur sekamar dengan Dirja untuk kali pertama sejak mereka menjadi suami istri. Sanggupkah ia?"Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol."Maaf, Bulik," ringis Gantari."Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu."Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"Gantari tercenung.Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak men
"Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me
Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah
"Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat.Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan."Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari.Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir.Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto.Begitu akad selesai, dua kelua
"Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri."Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku."Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut."Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara."Dan pria itu beranjak pergi.Sementara Gantari tak menyahuti.Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi.Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari
Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya."Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya."Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah
"Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau.""Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur."Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga.""Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.Dan pria itu tampak... kecewa?Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus me
"Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan.Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol."Maaf, Bulik," ringis Gantari."Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?"Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja."Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu."Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?"Gantari tercenung.Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak men
"Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?""Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka."Ada kep
"Apa yang seharian ini kamu lakukan? Kenapa masih memakai baju yang kemarin?"Gantari tidak bisa tersenyum menyambut Dirja yang baru pulang kerja. Gantari tidak sanggup beramah tamah setelah masa depan pernikahannya dihancurkan hanya dalam sekejap mata oleh suaminya sendiri."Mau aku pakai baju yang kemarin atau bukan, itu urusanku."Dirja terhenyak. Tidak siap dengan balasan dingin yang dilontarkan istrinya. Namun, pria itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut."Saya mandi dulu, setelah itu kita bicara."Dan pria itu beranjak pergi.Sementara Gantari tak menyahuti.Tak ada yang Gantari lakukan selain duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kosong. Tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain bernapas dengan dada yang sesak. Posisinya nyaris tidak berubah sejak Dirja pamit untuk pergi bekerja pagi tadi.Makanan yang dibelikan Dirja pun tak tersentuh sama sekali, padahal Gantari sudah mengeluh lapar sejak turun dari kereta belasan jam yang lalu. Koper dan barang-barang milik Gantari
"Saya terima nikah dan kawinnya Gantari Bhanurasmi Rahardjo binti Sugeng Rahardjo dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."Gantari melepaskan napasnya yang tertahan. Menekan debaran jantungnya yang begitu keras setelah ijab kabul terlaksana dengan khidmat.Dirja Pramana, suaminya, mengucapkan kabul dengan suara beratnya yang tegas. Tanpa kesalahan. Tanpa keraguan."Bapak dan Ibu bisa lihat dari surga, kan? Tari sudah resmi menjadi istri Mas Dirja, Pak, Bu. Tari nggak sendiri lagi," batin Gantari.Kedua matanya berkaca-kaca saat Dirja mencium keningnya dengan sangat berhati-hati. Dan tangan besar pria itu menyentuh ubun-ubunnya diikuti bisikan doa yang membuat dada Gantari berdesir.Setelahnya, semua terlewat dengan begitu cepat. Penghulu membacakan doa nikah. Kemudian Dirja dan Gantari menandatangani surat-surat nikah. Dilanjutkan penyerahan mahar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita secara simbolis, lalu ditutup dengan tukar cincin dan foto-foto.Begitu akad selesai, dua kelua