"Saga ... Saga, tolong!" Aku makin histeris saat Bian membawaku dalam gendongannya.
Aku tahu setelah ini apa yang akan terjadi, dia akan melemparkanku ke tempat tidur dan melakukan hal yang dia inginkan lakukan. Tidak aku tak mau lagi seperti ini. Sudah cukup yang dia lakukan lima tahun yang lalu. Braakkk! Pintu terbuka dengan kasar. Di depan pintu ada Saga yang selalu siaga seperti dulu jika aku berteriak memanggil namanya. "Apa yang kamu lakukan, kamu lupa apa yang aku pesan tadi. Hah?!" Bian marah tak terima dengan kedatangan Saga. "Maaf, Pak, saya refleks mengikuti naluri saya ," sahut Saga dengan wajah biasa saja. "Saya selalu datang saat Ibu berteriak, makanya tadi juga begitu," sambungnya, menjelaskan. Dia menyebutku ibu saat ada Bian. Tapi saat berdua saja, dia akan memanggil nama saja. "Kau lupa ada aku bersamanya!" "Maaf." Kelengahan Bian aku gunakan untuk lepas dari gendongan, sekuat tenaga kugigit lengannya hingga dia melepaskanku. Aku segera berlari dan bersembunyi di balik tubuh tegap Saga. Aku selalu merasa aman saat bersamanya. Dulu aku sangat membenci saga, dia seakan terprogram seperti robot untuk mengikuti perintah tuannya. Hingga suatu hari dia menemukanku dalam keadaan sekarat karena ingin mengakhiri hidup. Setelah itu, sisi kemanusiaannya keluar saat menjagaku. "Bawa dia ke sini," perintah Bian pada Saga. "Nggak mau, jangan bawa aku padanya, Ga." Aku memohon pada pengawalku itu sembari menarik-narik tangannya. "Kamu nggak dengar perintahku," seru Bian tak suka, karena Saga tak kunjung membawaku padanya. "Pak, Bapak harus sabar untuk membujuk Bu Nala, dia hampir jadi pasien rumah sakit jiwa." Saga menjawab dengan suara yang sangat tenang. "Aku tak peduli, orang gila pun bisa hamil jika diperkosa." Aku langsung membulatkan mata saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria itu, dia memang bukan manusia. "Aku akan bunuh diri jika kau terus memaksaku," pekikku lantang. Kupikir kali ini aku berharga baginya, karena anak itu juga akan menderita jika tak segera diobati. "Lakukan saja jika itu maumu. Aku bisa mencari rahim lain untuk melahirkan anakku," balas Bian dengan entengnya. "Oke!" Aku bersiap lari ke mana saja untuk melakukan ide gilaku. "Cegah dia," perintah Bian dengan suara kencang. Dengan cekatan Saga langsung menahanku dengan mencekal pergelangan tangan. "Lepas! Aku bosan hidup begini." "Sadar, Sha," bisik Saga. Aku melemah mendengar tegurannya, tak lagi memberontak. "Bujuk dia, aku kasih waktu kamu seminggu!" Bian berlalu keluar rumah setelah menyelesaikan kalimatnya. Tak lama kemudian terdengar mesin mobil meninggalkan rumah ini. Entah di mana dia tinggal di kota ini, aku pun tak tahu. Setelah kedatangan mama beberapa hari lalu tiba-tiba saja dia datang ke sini dan ingin melakukan hal itu lagi. Dengan keinginan agar aku segera hamil lagi. Saga membimbingku ke sofa dan mendudukkanku. "Aku akan membuatkan sesuatu yang hangat untukmu." Saga menawarkan jasa seperti biasanya. Tiga tahun terakhir ini, aku sudah mulai stabil. Tapi tetap saja diawasi olehnya. Tentu saja, makin stabil, mereka semakin khawatir aku kabur ke tempat mereka berada. Saga selalu ada dimana aku berada, termasuk di toko bungaku. Saga pergi ke dapur, pasti dia akan membuat teh manis dengan aroma bunga melati yang begitu kuat. Katanya bisa membuat otak lebih rileks. "Ikuti saja kemauan Pak Bian, agar kamu tidak diperlakukan kasar olehnya," ucap Saga seraya meletakkan secangkir gelas di hadapanku. Aroma melati langsung tercium di hidungku begitu gelas itu diletakkan tepat di hadapanku. "Kamu pikir aku tak pernah menurut padanya. Dulu aku selalu pasrah terhadap perlakuannya. Aku berusaha bertindak selayaknya seorang istri, tapi hanya rasa sakit yang selalu dia berikan. Aku berkata dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap kali mengingat saat-saat itu, entah kenapa hanya ada duka dan luka yang tersisa di hatiku. Saga menghela nafas berat, pasti bingung juga dengan apa yang akan dia katakan lagi. Saga memang baru bekerja saat aku di bawa ke sini. Dia tak tahu apa yang terjadi padaku, tapi setelah melihatku begitu depresi, dia mulai tahu sedikit yang terjadi padaku. Saga tak lagi berkata-kata, kami tengelam dalam keheningan untuk waktu yang cukup lama. "Lupakan tentang aku, aku akan menurut padanya setelah satu minggu," kataku sembari menyesap teh yang barusan dihidangkan oleh Saga. "Aku ingin tahu tentang kamu, selama ini kamu tak pernah bercerita apapun tentang dirimu. Lima tahun kita bersama, tapi aku tak mengenalmu sama sekali." "Aku ada di sini bukan untuk memperkenalkan diri. Aku menjagamu," balas Saga. Dia kembali ke setelan awalnya, kaku dan terprogram seperti robot. "Aku akan menurut pada Bian jika kamu mau bercerita tentang dirimu." "Oke. Tanyakan sesuatu." Dasar, giliran menguntungkan baginya dia langsung oke saja. "Apakah kamu banyak pergi ke tempat-tempat lain selain di kota ini." Aku bertanya untuk memulai wawancaraku. "Iya tentu saja. Aku bekerja untuk menjaga orang, jika orang itu tinggi mobilisasinya maka aku akan pergi kemanapun dia pergi." "Jika aku hamil lalu melahirkan, setelah melahirkan, maukah kamu membawaku pergi dari sini. Aku ingin kabur dari keluarga itu." "Apa maksudmu?" Saga bertanya seakan tak tahu. "Kamu sudah paham maksudku. Aku ingin kabur, bawa aku bersamamu. Aku punya banyak uang. Aku akan menggajimu seperti yang dilakukan Bian padamu. Uang darinya yang tak pernah aku pakai sama sekali, kurasa itu bisa untuk menggajimu selama beberapa tahun." "Kamu pikir akan semudah itu. Pak Bian bisa saja memblokir nomor rekeningnya." "Aku akan memindahkan sebelum dia melakukan itu. Kamu hanya perlu bilang iya. Akan kuhabiskan semua uangku untuk membayarmu. Aku ingin merasakan hidup tenang dan bahagia. Setelahnya, jika aku mati, tak akan menyesali apapun yang sudah terjadi di kehidupanku." "Sha, jangan ngomong tentang kematian. Kamu masih muda." "Tapi aku tidak bisa hidup dengan tenang, apalah artinya umur muda tapi tak seperti orang-orang." Sagara menghela nafas lagi. "Katakan iya, maka tak perlu waktu seminggu aku akan menurut pada Bian." Ya, kurasa lebih cepat lebih baik. Akan kuterima semua rasa sakit itu lagi, demi bisa mendapatkan kehidupan yang kuinginkan. 🍁🍁🍁Aku terbangun dari tidur dengan badan sakit dan pegal-pegal semuanya. Semalam, aku menunggu kedatangan Bian hingga tertidur di sofa. Pria itu bilang akan datang, tapi ternyata hingga aku tertidur pun dia tak menampakkan batang hidungnya.Aku sengaja menunggunya di ruang tamu dan mengunci kamarku. Sebelum Bian melaksanakan apa yang dia inginkan, aku harus membuat kesepakatan dulu dengannya. Sejak Saga mengatakan iya, maka aku harus mulai menyusun rencana. Dimulai dengan membuat kesepakatan dengan Bian, lalu memindahkan semua uangku. Tapi ternyata semalam dia malah tak datang. Aku segera pergi ke kamar membersihkan diri, lalu membuat sarapan. Hari ini, aku akan pergi ke bank. Semalam aku juga sudah berpesan pada Mia, karyawan di toko bungaku. Kukatakan jika aku akan datang telat hari ini. ***"Kamu tahu kenapa Bian tak datang semalam?" Aku bertanya pada Saga yang tengah fokus berkendara. Kami akan pergi ke bank seperti yang aku inginkan. Aku dan Saga memang selalu pergi bersama. Dia
"Na, kamu mau nikah dengan Bian dan hamil anaknya?" tanya Mama padaku.Wanita berusia enam puluh tahun ini, beliau adalah mama angkatku yang tadinya merupakan majikan orang tuaku. Ayahku adalah sopir di rumah ini, beliau meninggal saat bekerja padanya. Ibuku yang sedang hamil aku kala itu, hidup sebatang kara. Dia hanya tinggal dengan ayah saja. Karena merasa bertanggung jawab, keluarga ini membawa ibuku ke rumah. Niatnya akan dijadikan asisten rumah tangga jika aku sudah lahir nanti. Tapi siapa sangka, ibuku meninggal saat melahirkanku. Dan aku diangkat anak oleh keluarga ini. "Tapi Mas Bian mau? Memangnya istrinya gak bisa hamil, Ma? Dengan cara lain mungkin?" Aku berusaha menolaknya. Mungkin aku memang kagum pada sosok kakakku itu, tapi untuk menikah dengannya rasanya tak mungkin. Pria itu terlalu dingin padaku. Kami memang tak berinteraksi lagi setelah aku lulus SMA dan dia kuliah di luar negeri."Udah dicoba tapi gagal. Masalahnya ada di Ivanka."Ivanka adalah nama istri Mas Bi
"Ayo ke dokter," ajak Bian begitu pria itu menjejakkan kaki di ruang tamu rumahku. Aku yang tak jadi ke toko bunga, memilih duduk di ruang tamu sambil menunggunya yang katanya akan segera datang. "Untuk apa?" Aku bertanya. "Aku nggak sakit," imbuhku. "Nggak usah banyak tanya, ayok!" Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya. Memaksaku untuk ikut dengannya. Di halaman, sudah ada Saga di dalam mobil Bian. Tepatnya di bagian kemudi, sepertinya dia ingin Bian menjadi sopirnya hari ini. Bian membuka pintu mobil bagian tengah, menyuruhku masuk lalu dia sendiri segera berlari memutari mobil. Kupikir dia akan masuk dan duduk di samping Saga. Ternyata dia memilih duduk di sebelahku. Tumben. ***"Sudah telat berapa hari, Bu?" Tanya dokter cantik yang hendak memeriksaku. Aku bingung mau menjawab apa, Bian tiba-tiba membawaku ke dokter kandungan. Dia pikir aku hamil?"Langsung periksa aja bisa kan, Dok?" Bian menyela, tak sabaran menunggu tanya jawabku dengan dokter itu. Dokter itu t
"Kapan jadwal haidmu, ditanya malah jawabannya hah. Memangnya nggak dengar pertanyaan sejelas itu." Bian mulai berkata keras lagi padaku. "Untuk apa kamu bertanya hal itu?" tanyaku. Penasaran, tentu saja "Memangnya tadi kamu nggak dengar apa yang dikatakan dokter. Aku akan mencatatnya di sini," terang Bian seraya memperlihatkan ponselnya padaku."Aku akan datang ke tempat ini saat kamu dalam masa subur. Kau pikir aku ini pria yang tak punya pekerjaan hingga harus bolak-balik dari tempatmu ke rumahku," sambungnya dengan nada menggebu."Jika begitu bawa aku ke tempat Mama.""Itu yang kamu mau, jangan harap," balas Bian dengan nada sinis. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sejak saat aku melahirkan bayi laki-laki itu, sejak saat itu juga aku tak boleh menjejakkan kaki di rumah itu. Bahkan aku tak boleh datang ke kota yang sama dengan di mana mereka semua berada. "Sini biar aku isi sendiri," kataku, sembari mengulurkan tangan padanya. Meminta ponsel yang ada dalam genggaman tanga
"Ayo bikin anak. Aku mau anak darimu lagi. Cepat dan segera!"Suaranya dingin, menusuk, sama persis seperti lima tahun lalu. Bian duduk santai di sofa ruang tamuku, seolah-olah apa yang baru saja ia katakan hanyalah hal sepele.Aku tercekat. Kata-katanya seperti pukulan telak yang menyesakkan dada. Bagaimana bisa ia muncul begitu saja, seperti badai yang tak diundang, lalu meminta sesuatu yang bahkan dulu menghancurkan hidupku?“Kamu pikir bikin anak itu kayak bikin adonan kue?” Aku menahan tangis yang sudah di ujung tenggorokan. “Lagipula kita bukan suami istri lagi! Jangan pernah sentuh aku!”Dia menatapku tajam, tapi tetap tenang. “Siapa bilang? Aku tak pernah mengucap cerai. Kamu masih istriku." Ia menyeringai dingin. "Dulu, kita cuma butuh sekali dan langsung jadi. Apa susahnya ulangi lagi?"Aku bergidik, menjauhkan tubuhku dari sofa. “Kita sudah terpisah selama lima tahun, Bian.”Dia bangkit dan mendekat, tubuh tingginya membuatku merasa semakin kecil. Wajahnya keras dan garang,
"Kapan jadwal haidmu, ditanya malah jawabannya hah. Memangnya nggak dengar pertanyaan sejelas itu." Bian mulai berkata keras lagi padaku. "Untuk apa kamu bertanya hal itu?" tanyaku. Penasaran, tentu saja "Memangnya tadi kamu nggak dengar apa yang dikatakan dokter. Aku akan mencatatnya di sini," terang Bian seraya memperlihatkan ponselnya padaku."Aku akan datang ke tempat ini saat kamu dalam masa subur. Kau pikir aku ini pria yang tak punya pekerjaan hingga harus bolak-balik dari tempatmu ke rumahku," sambungnya dengan nada menggebu."Jika begitu bawa aku ke tempat Mama.""Itu yang kamu mau, jangan harap," balas Bian dengan nada sinis. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sejak saat aku melahirkan bayi laki-laki itu, sejak saat itu juga aku tak boleh menjejakkan kaki di rumah itu. Bahkan aku tak boleh datang ke kota yang sama dengan di mana mereka semua berada. "Sini biar aku isi sendiri," kataku, sembari mengulurkan tangan padanya. Meminta ponsel yang ada dalam genggaman tanga
"Ayo ke dokter," ajak Bian begitu pria itu menjejakkan kaki di ruang tamu rumahku. Aku yang tak jadi ke toko bunga, memilih duduk di ruang tamu sambil menunggunya yang katanya akan segera datang. "Untuk apa?" Aku bertanya. "Aku nggak sakit," imbuhku. "Nggak usah banyak tanya, ayok!" Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya. Memaksaku untuk ikut dengannya. Di halaman, sudah ada Saga di dalam mobil Bian. Tepatnya di bagian kemudi, sepertinya dia ingin Bian menjadi sopirnya hari ini. Bian membuka pintu mobil bagian tengah, menyuruhku masuk lalu dia sendiri segera berlari memutari mobil. Kupikir dia akan masuk dan duduk di samping Saga. Ternyata dia memilih duduk di sebelahku. Tumben. ***"Sudah telat berapa hari, Bu?" Tanya dokter cantik yang hendak memeriksaku. Aku bingung mau menjawab apa, Bian tiba-tiba membawaku ke dokter kandungan. Dia pikir aku hamil?"Langsung periksa aja bisa kan, Dok?" Bian menyela, tak sabaran menunggu tanya jawabku dengan dokter itu. Dokter itu t
"Na, kamu mau nikah dengan Bian dan hamil anaknya?" tanya Mama padaku.Wanita berusia enam puluh tahun ini, beliau adalah mama angkatku yang tadinya merupakan majikan orang tuaku. Ayahku adalah sopir di rumah ini, beliau meninggal saat bekerja padanya. Ibuku yang sedang hamil aku kala itu, hidup sebatang kara. Dia hanya tinggal dengan ayah saja. Karena merasa bertanggung jawab, keluarga ini membawa ibuku ke rumah. Niatnya akan dijadikan asisten rumah tangga jika aku sudah lahir nanti. Tapi siapa sangka, ibuku meninggal saat melahirkanku. Dan aku diangkat anak oleh keluarga ini. "Tapi Mas Bian mau? Memangnya istrinya gak bisa hamil, Ma? Dengan cara lain mungkin?" Aku berusaha menolaknya. Mungkin aku memang kagum pada sosok kakakku itu, tapi untuk menikah dengannya rasanya tak mungkin. Pria itu terlalu dingin padaku. Kami memang tak berinteraksi lagi setelah aku lulus SMA dan dia kuliah di luar negeri."Udah dicoba tapi gagal. Masalahnya ada di Ivanka."Ivanka adalah nama istri Mas Bi
Aku terbangun dari tidur dengan badan sakit dan pegal-pegal semuanya. Semalam, aku menunggu kedatangan Bian hingga tertidur di sofa. Pria itu bilang akan datang, tapi ternyata hingga aku tertidur pun dia tak menampakkan batang hidungnya.Aku sengaja menunggunya di ruang tamu dan mengunci kamarku. Sebelum Bian melaksanakan apa yang dia inginkan, aku harus membuat kesepakatan dulu dengannya. Sejak Saga mengatakan iya, maka aku harus mulai menyusun rencana. Dimulai dengan membuat kesepakatan dengan Bian, lalu memindahkan semua uangku. Tapi ternyata semalam dia malah tak datang. Aku segera pergi ke kamar membersihkan diri, lalu membuat sarapan. Hari ini, aku akan pergi ke bank. Semalam aku juga sudah berpesan pada Mia, karyawan di toko bungaku. Kukatakan jika aku akan datang telat hari ini. ***"Kamu tahu kenapa Bian tak datang semalam?" Aku bertanya pada Saga yang tengah fokus berkendara. Kami akan pergi ke bank seperti yang aku inginkan. Aku dan Saga memang selalu pergi bersama. Dia
"Saga ... Saga, tolong!" Aku makin histeris saat Bian membawaku dalam gendongannya. Aku tahu setelah ini apa yang akan terjadi, dia akan melemparkanku ke tempat tidur dan melakukan hal yang dia inginkan lakukan. Tidak aku tak mau lagi seperti ini. Sudah cukup yang dia lakukan lima tahun yang lalu. Braakkk! Pintu terbuka dengan kasar. Di depan pintu ada Saga yang selalu siaga seperti dulu jika aku berteriak memanggil namanya. "Apa yang kamu lakukan, kamu lupa apa yang aku pesan tadi. Hah?!" Bian marah tak terima dengan kedatangan Saga."Maaf, Pak, saya refleks mengikuti naluri saya ," sahut Saga dengan wajah biasa saja. "Saya selalu datang saat Ibu berteriak, makanya tadi juga begitu," sambungnya, menjelaskan.Dia menyebutku ibu saat ada Bian. Tapi saat berdua saja, dia akan memanggil nama saja. "Kau lupa ada aku bersamanya!""Maaf."Kelengahan Bian aku gunakan untuk lepas dari gendongan, sekuat tenaga kugigit lengannya hingga dia melepaskanku. Aku segera berlari dan bersembunyi
"Ayo bikin anak. Aku mau anak darimu lagi. Cepat dan segera!"Suaranya dingin, menusuk, sama persis seperti lima tahun lalu. Bian duduk santai di sofa ruang tamuku, seolah-olah apa yang baru saja ia katakan hanyalah hal sepele.Aku tercekat. Kata-katanya seperti pukulan telak yang menyesakkan dada. Bagaimana bisa ia muncul begitu saja, seperti badai yang tak diundang, lalu meminta sesuatu yang bahkan dulu menghancurkan hidupku?“Kamu pikir bikin anak itu kayak bikin adonan kue?” Aku menahan tangis yang sudah di ujung tenggorokan. “Lagipula kita bukan suami istri lagi! Jangan pernah sentuh aku!”Dia menatapku tajam, tapi tetap tenang. “Siapa bilang? Aku tak pernah mengucap cerai. Kamu masih istriku." Ia menyeringai dingin. "Dulu, kita cuma butuh sekali dan langsung jadi. Apa susahnya ulangi lagi?"Aku bergidik, menjauhkan tubuhku dari sofa. “Kita sudah terpisah selama lima tahun, Bian.”Dia bangkit dan mendekat, tubuh tingginya membuatku merasa semakin kecil. Wajahnya keras dan garang,