"Ayo ke dokter," ajak Bian begitu pria itu menjejakkan kaki di ruang tamu rumahku. Aku yang tak jadi ke toko bunga, memilih duduk di ruang tamu sambil menunggunya yang katanya akan segera datang. "Untuk apa?" Aku bertanya. "Aku nggak sakit," imbuhku. "Nggak usah banyak tanya, ayok!" Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya. Memaksaku untuk ikut dengannya. Di halaman, sudah ada Saga di dalam mobil Bian. Tepatnya di bagian kemudi, sepertinya dia ingin Bian menjadi sopirnya hari ini. Bian membuka pintu mobil bagian tengah, menyuruhku masuk lalu dia sendiri segera berlari memutari mobil. Kupikir dia akan masuk dan duduk di samping Saga. Ternyata dia memilih duduk di sebelahku. Tumben. ***"Sudah telat berapa hari, Bu?" Tanya dokter cantik yang hendak memeriksaku. Aku bingung mau menjawab apa, Bian tiba-tiba membawaku ke dokter kandungan. Dia pikir aku hamil?"Langsung periksa aja bisa kan, Dok?" Bian menyela, tak sabaran menunggu tanya jawabku dengan dokter itu. Dokter itu t
"Kapan jadwal haidmu, ditanya malah jawabannya hah. Memangnya nggak dengar pertanyaan sejelas itu." Bian mulai berkata keras lagi padaku. "Untuk apa kamu bertanya hal itu?" tanyaku. Penasaran, tentu saja "Memangnya tadi kamu nggak dengar apa yang dikatakan dokter. Aku akan mencatatnya di sini," terang Bian seraya memperlihatkan ponselnya padaku."Aku akan datang ke tempat ini saat kamu dalam masa subur. Kau pikir aku ini pria yang tak punya pekerjaan hingga harus bolak-balik dari tempatmu ke rumahku," sambungnya dengan nada menggebu."Jika begitu bawa aku ke tempat Mama.""Itu yang kamu mau, jangan harap," balas Bian dengan nada sinis. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sejak saat aku melahirkan bayi laki-laki itu, sejak saat itu juga aku tak boleh menjejakkan kaki di rumah itu. Bahkan aku tak boleh datang ke kota yang sama dengan di mana mereka semua berada. "Sini biar aku isi sendiri," kataku, sembari mengulurkan tangan padanya. Meminta ponsel yang ada dalam genggaman tanga
"Dimana kamu?" tanya Bian begitu panggilan telepon terhubung. Nada bicaranya datar, sungguh di luar dugaan dia tak marah padaku. Aku kabur dari rumah saat tahu Bian akan datang, pergi ke hotel agar tak bertemu dengan pria itu. Kuminta Saga pergi untuk mencari sesuatu dan aku pergi setelah Saga tak mengawasiku. "Untuk apa kamu tahu aku dimana," balasku santai."Kamu tahu kan ini tanggal berapa.""Tau.""Kenapa malah pergi?""Aku tak mau kamu perkosa."Diam, tak ada balasan dari pria yang ada di ujung telpon sana. Untuk sesaat, kami tengelam salam keheningan. Bahkan aku sampai harus memastikan kalau sambungan ponsel masih terhubung. "Apa begini sikap seorang ibu?" tanya Bian. Pria itu kembali membuka percakapan setelah beberapa lami terdiam. "Anak itu butuh dirimu, apa kamu tak bisa berkorban untuknya. Di dalam dirinya ada darahmu yang mengalir. Dia menderita, apa kamu tega terus memintanya menunggu. Apa kamu akan terus lari dariku? Sampai kapan?"Ucapan Bian panjang lebar seakan me
Dia memperlakukanku dengan sangat lembut, bahkan aku pikir kami melakukan dengan cinta. Tak pernah sama sekali dia bersikap lembut selama ini. "Jangan berharap lebih, Sha," batinku, mengingatkan diriku sendiri. Aku terbaring membelakangi Bian setelah kami selesai melakukan hubungan. Bian melakukan semuanya karena ingin aku segera memiliki anak saja. Tidak lebih dari itu. Aku harus tahu diri sebelum aku terluka seperti dulu. Kelembutannya barusan hanyalah agar aku tak stress. Sepertinya Saga berhasil membujuk Bian.Dulu, saat Bian mengucapkan ikrar pernikahan, aku merasa bahagia menjadi seorang istri. Aku membayangkan malam yang indah meskipun sejak awal kami menikah karena dia ingin anak dariku. Tapi malam itu, adalah malam yang panjang dan menyakitkan bagiku. Malam itu, saat dia menyentuhku tanpa permulaan. Aku menolaknya karena tak ingin diperlakukan seperti itu. Aku hendak kabur dari kamar pengantin kami. Tapi dia murka, dia menyentuhku dengan paksa. Tak hanya sekali tapi berkal
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 9Bian terlelap di sampingku tak lama setelah menyentuhku kedua kalinya, mungkin sekarang dia kelelahan. Pria itu baru datang ke sini, lalu langsung mencariku dan pergi ke hotel. Hanya beristirahat sebentar untuk berbincang tentang Cenna lalu kami melakukannya. Biasanya setelah itu, dia akan pergi. Seperti terakhir kali dia menyentuhku secara paksa di ruang tamu waktu itu. Tapi tadi kami mengulangnya sekali lagi. Dia masih saja tak pergi, mungkin sekarang karena kami tidur di hotel sehingga dia memilih untuk tidak pergi dari sisiku. Matanya tertutup rapat, dadanya naik turun dengan teratur menandakan jika dia benar-benar terlelap.Kali ini aku berani menatap wajahnya secara intens. Tak bisa dipungkiri jika dia adalah pria yang sempurna, tampan, dan dari keluarga kaya. Dia juga memiliki segalanya. Aku yakin banyak wanita yang mungkin saja kagum dan memendam suka padanya. Dulu aku pun juga pernah memiliki rasa itu, kami tumbuh besar bersama. Meskipun d
Aku berjalan kaki dengan langkah gontai. Sejak keluar dari hotel aku tak berniat untuk memesan taksi. Namun memilih untuk terus berjalan kaki, entah ke mana aku hanya mengikuti kakiku melangkah. Hari sudah beranjak semakin malam, dan aku tak peduli apapun yang akan terjadi. Kurasakan ponsel yang berada di dalam Sling bag milikku terus bergetar sejak tadi. Jika bukan Bian paling juga Saga. Hanya dua orang itu saja yang dengan intens menelpon. Aku memang punya ponsel tapi di dalamnya tak begitu banyak kontak. Mama juga jarang-jarang menelponku.Aku juga bingung, bagaimana bisa tak memiliki teman dekat saat dulu ada di SMP dan SMA. Sejak dulu aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. Apalagi dulu sekolah di tempat orang-orang kaya, khawatir jika mereka tahu asal usulku yang hanya anak seorang pembantu rumah tangga. Kupikir menjadi penyendiri dan menjadi kutu buku adalah pilihan yang tepat. Kaki mulai pegal dan sakit, perutku juga terasa sangat lapar, tapi semuanya tak be
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 11Mati. Bagaimana bisa Bian memergoki kami dalam keadaan seperti ini. Dia pernah mengira aku jatuh cinta pada pria dan Saga salah satu nama yang dia sebut. Bagaimana reaksi dan pikirannya sekarang melihatku dalam pelukan Saga. Bisa-bisa dia mengira aku benar-benar jatuh cinta pada pria ini."Sha, pura-pura pingsan," bisik Saga.Apa Saga berniat untuk menipu Bian sekarang. Tak mau banyak bertanya dan berpikir, aku mengikuti perintah bodyguardku ini. Sepertinya ini akan lebih selamat daripada aku mendebat Bian saat ini. "Lepaskan istriku," teriak Bian.Istri dia bilang, apa dia sedang kerasukan sekarang? "Maaf, Pak. Ibu pingsan bagaimana bisa saya lepaskan." Saga berkata sembari memindahkan posisiku. Aku dibopongnya sekarang. "Bapak apakan ibu hingga seperti ini. Dia hendak terjun ke sungai. Jika saya tidak segera datang, mungkin sekarang tubuhnya sudah di bawah sana. Saya harus membujuknya yang sedang emosi hingga dia pingsan seperti ini." Saga berb
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 12"Memangnya aku harus berbagi kebahagiaan dengan siapa di rumah ini. Hanya ada dia yang bisa kuajak bicara dan kubagi kebahagiaan. Kamu tak pernah ada di sini. Bahkan saat kau katakan akan ke sini sebulan lagi, kamu tak datang hingga waktu berlalu lebih dari sebulan setengah." Aku berbicara tanpa henti dalam satu tarikan nafas. Ah, sial. Kenapa Aku mengatakan kalimat terakhir itu, seakan aku menunggu kedatangan dan merindukannya. "Lagi pula, kamu kan yang menyuruh Saga agar perhatian padaku. Jika nanti kami terlihat dekat, jangan protes!" Aku masih meneruskan ucapanku karena tak mendapatkan respon dari Bian."Bagaimana bisa saya menghamili Bu Nala, Pak. Jika memang berniat seperti itu, sudah saya lakukan bertahun-tahun yang lalu. Kami sudah sangat lama tinggal bersama." Saga ikut berbicara. "Selain kejam dan tak punya hati, kamu juga gampang menuduh seseorang. Apa kau pikir kamu ini adalah pria yang paling sempurna sehingga bisa berbuat sesuka hat
Ekstra Part 2 "Terima kasih udah menjagaku selama ini, Ga," ucapku pada Saga yang sedang duduk di sampingku.Kali ini aku ingin berterima kasih padanya dengan benar. Dulu saat dia pergi ada banyak hal yang terjadi, hingga aku tak benar-benar bisa mengucapkan terima kasih padanya. Maka kali ini saat semua sudah berada pada tempatnya, dan semua sudah mendapat kebahagiaan masing-masing, aku ingin mengucapkan terima kasih tanpa terbebani perasaan apapun. Saat ini aku dan Saga tengah berada di kolam ikan, tempat dulu di mana kami juga menghabiskan waktu sambil berbincang saat pertama kali di yayasan ini. Saat itu kami sedang merajut mimpi, akan saling menjaga dan tinggal di tempat ini bersama. Tapi takdir berkata lain, Saga tetap berada di sini dan menikah dengan pemilik yayasan, sedangkan aku tetap bersama dengan Bian. Bian sedang menemani anak-anak berkeliling dan bermain di tempat ini. Sejak pertama kali datang tadi pagi, mereka sudah sangat senang dengan tempat ini. Baik Hafizah mau
"Kamu bilang Saga sudah menikahkan, jangan curiga padaku. Aku ke sana hanya ingin mengucapkan terima kasih dengan benar padanya. Juga mengenalkan anak-anak pada orang-orang yang tak seberuntung mereka. Aku ingin Cenna dan Hafizah memiliki rasa peduli pada orang yang lebih membutuhkan," tuturku panjang lebar."Kapan mau ke sana?" tanya Bian. Aku tak menyangka dia akan dengan mudah mengiyakan setelah kukatakan alasannya. "Weekend minggu ini gimana?" tanyaku mau minta pendapat. "Boleh. Oke persiapkan semuanya."***Kami sampai di hotel tepat saat adzan ashar berkumandang. Bian sengaja memesan hotel lalu akan menginap di hotel terlebih dahulu, sebelum esok paginya kami pergi ke tempat Saga. Bian mengatakan tak ingin merepotkan orang-orang di sana, sehingga dia mengatakan lebih baik menginap di hotel lalu pagi harinya ke yayasan dan sore harinya kembali ke hotel lagi. Kami memesan kamar dengan sistem connecting door di mana anak-anak tidur berdua sedangkan aku dan dia akan tidur bersam
Aku terbangun dengan tubuh yang sudah cukup segar dan mata tak lagi mengantuk. Tadi setelah salat subuh, aku tertidur kembali tanpa membangunkan Bian. Sekarang, kulihat disampingku tak ada lagi pria itu, mungkin dia sudah terbangun. Aku melihat keluar jendela yang masih tertutup oleh tirai, sepertinya matahari sudah tinggi kenapa Bian tidak membangunkanku. Semalam kami berbagi peluh, lalu berbincang, kemudian mengulanginya lagi hingga tak terasa waktu sudah beranjak dini hari, dan kami baru tertidur. "Ya Allah, gimana anak-anakku." Aku berseru, seraya bergegas beranjak dari tempat tidur.Sejak acara pernikahan dilanjutkan dengan pesta semalam, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan Mama. Bahkan semalam Mama yang menidurkan mereka, sekarang tentu saja aku mengkhawatirkan kedua anakku, terutama Hafizah "Sudah bangun?" tanya Bian yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu membawa nampan berisi makanan. "Ayo sarapan dulu." Bian berkata sambil mengangkat nampan sedikit tin
"Na, tau gak? Kamu itu ditipu sama Bian." Tanpa menyapa terlebih dahulu, Pak Ardi duduk di kursi yang ada di meja kami dan langsung mengatakan hal itu. "Dia udah tahu," timpal Bian."Udah tahu gimana?" tanya Pak Ardi sambil menatap Bian. "Udah tahu tentang telepon palsu itu. Pokoknya dia udah tahu semuanya. Kamu udah kalah, udah nyerah aja," tutur Bian panjang lebar. Pak Ardi menatap padaku, seakan meminta jawaban. "Bian mengatakan yang sebenarnya, Pak," ucapku. "Kalau Bian bikin susah kamu, bilang saja padaku. Aku siap memboyongmu." Pak Ardi berkata dengan penuh percaya diri. "Itu tidak akan pernah terjadi. Kalau kau harap seperti itu, melajang saja sampai tua," seru Bian tak suka. Kurasa mereka berdua memang sangat dekat, sehingga bisa berbicara sesuka hati seperti ini.***Pesta telah usai, anak-anak sudah terlebih dahulu tidur sebelum pesta selesai. Begitu semua orang pulang dan orang tertidur, suasana rumah juga sepi. Di antara semua penghuni rumah ini, aku dan Bian yang t
Aku mematut diri di cermin, menatap pada diriku yang sudah siap dengan gamis pesta dengan model elegan dan modern berwarna silver. Malam ini adalah malam pesta pernikahanku dengan Bian, harusnya. Setelah tadi siang kami mengadakan acara ijab kabul secara resmi dan hanya di saksikan keluarga dekat saja, maka malam ini adalah pesta untuk memperkenalkan aku dan anak-anak pada rekan kerja Papa dan Bian. Jujur aku gugup dengan semua yang akan terjadi malam ini, apa pandangan mereka semua padaku. Pada anak-anakku, memikirkannya saja membuatku hampir gila. Mungkin beberapa teman dekat Bian sudah ada yang tahu statusku, seperti halnya Pak Ardi. Tapi bagaiman dengan yang lain? Aku segera pergi ke kamar Bian, dia mengatakan agar aku ke sana setelah selesai berganti pakaian dan ber-makeup minimalis. Tadinya Mama akan meminta orang melakukannya, tapi aku menolak. Lebih baik aku melakukannya sendiri saja. Aku mengetuk pintu saat sudah ada di depan kamar Bian. Tak ada jawaban, sepertinya dia ada
"Na, kamu sadar gak apa yang kamu lakukan?" tanya Bian. Kini dia berusaha bertumpu pada kedua tangannya agak tak sepenuhnya menimpaku Ah, ternyata ini kenyataan bukan mimpi. Terlanjur basah, mengaku sajalah. "Sadar," balasku apa adanya. Aku ingin mengurai pelukanku, berniat kembali ke kamarku sendiri. Namun saat aku sudah melepaskan pelukan, Bian malah membalikkan tubuhnya hingga posisiku berada di atasnya. "Mau kemana, katanya kangen," ucap Bian sambil menatap padaku. Mataku yang sejatinya masih mengantuk langsung melebar, seketika hilang rasa kantukku. "Bi, lepas. Aku harus pergi dari sini," kataku, seraya menekan dadanya agar terlepas dari pelukannya. Tapi usahaku sia-sia, pelukannya malah semakin erat. Membuatku menyerah dan merebahkan diri di dadanya."Aku juga rindu, aku semakin sadar sangat membutuhkanmu saat kita berjauhan. Tidurlah saja di sini malam ini. Aku janji tidak akan melakukan apapun padamu. Hanya tidur, benar-benar tidur." "Tapi, Bi ...." Aku kembali berusah
POV Nala Aku menunggu Bian berganti pakaian sambil duduk di sisi ranjang seperti biasanya. Bian berganti pakaian di ruangan khusus yang ada di kamarnya. Nanti dia akan keluar dari sana setelah rapi dan kami akan pergi bersama ke ruang makan untuk sarapan. Sejak tinggal di sini, aku selalu melakukan hal seperti ini. Pura-pura ke kamar Bian, menantinya berganti pakaian, seolah semalam aku tidur bersamanya. Ini kulakukan demi Cenna, aku kucing-kucingan dengan anak itu. Bertingkah seolah aku dan Daddy-nya tidur di kamar yang sama. Kami bertingkah layaknya suami istri pada umumnya. Sesungguhnya ini sangat merepotkan. Namun, demi Cenna akan kulakukan apa saja. Aku dengar bocah itu pernah masuk rumah sakit hanya gara-gara terlalu banyak pikiran. Apalagi kini Cenna semakin dewasa semakin tahu segalanya. Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman, setelah mendapat ancaman dari Bian di ruang keluarga. Malam tadi, aku hanya bisa mengangguk dan tak berkata apa-apa. Mungkin dari mulutnya keluar k
POV BianPonselku benar-benar berdering saat tengah berkendara, aku harap itu benar-benar telepon dari Ardi yang namanya sudah kuganti dengan nama Ivanka. Nala mengambil ponsel tersebut, dengan ekor mata, aku bisa melihat jika dia terkejut saat melihat layar ponselku dan aku semakin yakin itu adalah Ardi yang menelepon. "Siapa?" Aku pura-pura bertanya. "Mbak Ivanka," jawab Nala, dia terlihat tak bersemangat menyebut nama itu. "Oh." Pura-pura tak peduli saja, aku sudah bilang pada Ardi untuk menelpon setidaknya dua sampai tiga kali, agar terlihat begitu penting dan butuh. "Ini, kamu gak mau angkat?" tanya Nala."Biarin saja."Panggilan telepon kubiarkan hingga berakhir dengan sendirinya. Dan seperti yang aku minta, ponsel itu kembali berdering."Dia masih menelpon lagi," ucap Nala sambil memperlihatkan layar ponsel padaku "Terima saja, mungkin penting. kamu bisa menepi," sambungnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera menepi. Jangan sampai Ardi tak mau menelpon lagi dan
POV Bian."Mau kemana?" tanyaku, saat melihat Nala terlihat rapi dan keluar dari kamarnya.Aku sendiri juga baru keluar dari kamar, hari ini aku tidak bekerja karena hari Minggu. Aku tak pernah tahu rutinitas Nala di rumah, ini. Dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Tentu saja, siapa aku hingga dia harus membuat laporan hendak kemana dan mau apa. "Mau ke toko bunga," jawab Nala. "Toko bunga?" tanyaku memastikan. "Iya."Toko bunga Nala masih berada di tempat yang sama dengan kantor Ardi. Nala bilang lebih baik di sana daripada pindah lagi, karena kalau pindah seperti memulai dari awal, mencari pelanggan baru begitu katanya. Mendengar kata toko bunga aku langsung meraih tangan Nala dan membawanya masuk kembali ke dalam kamarnya. Tidak ada yang boleh tahu kalau aku berdebat dengan wanita ini, terutama Cenna. Dia selalu waspada kalau sedikit saja aku dan Nala berdebat, sepertinya dia masih ingat hari-hari dimana aku banyak menghabiskan waktu berdebat dengan Ivanka hingga akhirnya k