"Na, kamu mau nikah dengan Bian dan hamil anaknya?" tanya Mama padaku.Wanita berusia enam puluh tahun ini, beliau adalah mama angkatku yang tadinya merupakan majikan orang tuaku. Ayahku adalah sopir di rumah ini, beliau meninggal saat bekerja padanya. Ibuku yang sedang hamil aku kala itu, hidup sebatang kara. Dia hanya tinggal dengan ayah saja. Karena merasa bertanggung jawab, keluarga ini membawa ibuku ke rumah. Niatnya akan dijadikan asisten rumah tangga jika aku sudah lahir nanti. Tapi siapa sangka, ibuku meninggal saat melahirkanku. Dan aku diangkat anak oleh keluarga ini. "Tapi Mas Bian mau? Memangnya istrinya gak bisa hamil, Ma? Dengan cara lain mungkin?" Aku berusaha menolaknya. Mungkin aku memang kagum pada sosok kakakku itu, tapi untuk menikah dengannya rasanya tak mungkin. Pria itu terlalu dingin padaku. Kami memang tak berinteraksi lagi setelah aku lulus SMA dan dia kuliah di luar negeri."Udah dicoba tapi gagal. Masalahnya ada di Ivanka."Ivanka adalah nama istri Mas Bi
"Ayo ke dokter," ajak Bian begitu pria itu menjejakkan kaki di ruang tamu rumahku. Aku yang tak jadi ke toko bunga, memilih duduk di ruang tamu sambil menunggunya yang katanya akan segera datang. "Untuk apa?" Aku bertanya. "Aku nggak sakit," imbuhku. "Nggak usah banyak tanya, ayok!" Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya. Memaksaku untuk ikut dengannya. Di halaman, sudah ada Saga di dalam mobil Bian. Tepatnya di bagian kemudi, sepertinya dia ingin Bian menjadi sopirnya hari ini. Bian membuka pintu mobil bagian tengah, menyuruhku masuk lalu dia sendiri segera berlari memutari mobil. Kupikir dia akan masuk dan duduk di samping Saga. Ternyata dia memilih duduk di sebelahku. Tumben. ***"Sudah telat berapa hari, Bu?" Tanya dokter cantik yang hendak memeriksaku. Aku bingung mau menjawab apa, Bian tiba-tiba membawaku ke dokter kandungan. Dia pikir aku hamil?"Langsung periksa aja bisa kan, Dok?" Bian menyela, tak sabaran menunggu tanya jawabku dengan dokter itu. Dokter itu t
"Kapan jadwal haidmu, ditanya malah jawabannya hah. Memangnya nggak dengar pertanyaan sejelas itu." Bian mulai berkata keras lagi padaku. "Untuk apa kamu bertanya hal itu?" tanyaku. Penasaran, tentu saja "Memangnya tadi kamu nggak dengar apa yang dikatakan dokter. Aku akan mencatatnya di sini," terang Bian seraya memperlihatkan ponselnya padaku."Aku akan datang ke tempat ini saat kamu dalam masa subur. Kau pikir aku ini pria yang tak punya pekerjaan hingga harus bolak-balik dari tempatmu ke rumahku," sambungnya dengan nada menggebu."Jika begitu bawa aku ke tempat Mama.""Itu yang kamu mau, jangan harap," balas Bian dengan nada sinis. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sejak saat aku melahirkan bayi laki-laki itu, sejak saat itu juga aku tak boleh menjejakkan kaki di rumah itu. Bahkan aku tak boleh datang ke kota yang sama dengan di mana mereka semua berada. "Sini biar aku isi sendiri," kataku, sembari mengulurkan tangan padanya. Meminta ponsel yang ada dalam genggaman tanga
"Dimana kamu?" tanya Bian begitu panggilan telepon terhubung. Nada bicaranya datar, sungguh di luar dugaan dia tak marah padaku. Aku kabur dari rumah saat tahu Bian akan datang, pergi ke hotel agar tak bertemu dengan pria itu. Kuminta Saga pergi untuk mencari sesuatu dan aku pergi setelah Saga tak mengawasiku. "Untuk apa kamu tahu aku dimana," balasku santai."Kamu tahu kan ini tanggal berapa.""Tau.""Kenapa malah pergi?""Aku tak mau kamu perkosa."Diam, tak ada balasan dari pria yang ada di ujung telpon sana. Untuk sesaat, kami tengelam salam keheningan. Bahkan aku sampai harus memastikan kalau sambungan ponsel masih terhubung. "Apa begini sikap seorang ibu?" tanya Bian. Pria itu kembali membuka percakapan setelah beberapa lami terdiam. "Anak itu butuh dirimu, apa kamu tak bisa berkorban untuknya. Di dalam dirinya ada darahmu yang mengalir. Dia menderita, apa kamu tega terus memintanya menunggu. Apa kamu akan terus lari dariku? Sampai kapan?"Ucapan Bian panjang lebar seakan me
Dia memperlakukanku dengan sangat lembut, bahkan aku pikir kami melakukan dengan cinta. Tak pernah sama sekali dia bersikap lembut selama ini. "Jangan berharap lebih, Sha," batinku, mengingatkan diriku sendiri. Aku terbaring membelakangi Bian setelah kami selesai melakukan hubungan. Bian melakukan semuanya karena ingin aku segera memiliki anak saja. Tidak lebih dari itu. Aku harus tahu diri sebelum aku terluka seperti dulu. Kelembutannya barusan hanyalah agar aku tak stress. Sepertinya Saga berhasil membujuk Bian.Dulu, saat Bian mengucapkan ikrar pernikahan, aku merasa bahagia menjadi seorang istri. Aku membayangkan malam yang indah meskipun sejak awal kami menikah karena dia ingin anak dariku. Tapi malam itu, adalah malam yang panjang dan menyakitkan bagiku. Malam itu, saat dia menyentuhku tanpa permulaan. Aku menolaknya karena tak ingin diperlakukan seperti itu. Aku hendak kabur dari kamar pengantin kami. Tapi dia murka, dia menyentuhku dengan paksa. Tak hanya sekali tapi berkal
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 9Bian terlelap di sampingku tak lama setelah menyentuhku kedua kalinya, mungkin sekarang dia kelelahan. Pria itu baru datang ke sini, lalu langsung mencariku dan pergi ke hotel. Hanya beristirahat sebentar untuk berbincang tentang Cenna lalu kami melakukannya. Biasanya setelah itu, dia akan pergi. Seperti terakhir kali dia menyentuhku secara paksa di ruang tamu waktu itu. Tapi tadi kami mengulangnya sekali lagi. Dia masih saja tak pergi, mungkin sekarang karena kami tidur di hotel sehingga dia memilih untuk tidak pergi dari sisiku. Matanya tertutup rapat, dadanya naik turun dengan teratur menandakan jika dia benar-benar terlelap.Kali ini aku berani menatap wajahnya secara intens. Tak bisa dipungkiri jika dia adalah pria yang sempurna, tampan, dan dari keluarga kaya. Dia juga memiliki segalanya. Aku yakin banyak wanita yang mungkin saja kagum dan memendam suka padanya. Dulu aku pun juga pernah memiliki rasa itu, kami tumbuh besar bersama. Meskipun d
Aku berjalan kaki dengan langkah gontai. Sejak keluar dari hotel aku tak berniat untuk memesan taksi. Namun memilih untuk terus berjalan kaki, entah ke mana aku hanya mengikuti kakiku melangkah. Hari sudah beranjak semakin malam, dan aku tak peduli apapun yang akan terjadi. Kurasakan ponsel yang berada di dalam Sling bag milikku terus bergetar sejak tadi. Jika bukan Bian paling juga Saga. Hanya dua orang itu saja yang dengan intens menelpon. Aku memang punya ponsel tapi di dalamnya tak begitu banyak kontak. Mama juga jarang-jarang menelponku.Aku juga bingung, bagaimana bisa tak memiliki teman dekat saat dulu ada di SMP dan SMA. Sejak dulu aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. Apalagi dulu sekolah di tempat orang-orang kaya, khawatir jika mereka tahu asal usulku yang hanya anak seorang pembantu rumah tangga. Kupikir menjadi penyendiri dan menjadi kutu buku adalah pilihan yang tepat. Kaki mulai pegal dan sakit, perutku juga terasa sangat lapar, tapi semuanya tak be
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 11Mati. Bagaimana bisa Bian memergoki kami dalam keadaan seperti ini. Dia pernah mengira aku jatuh cinta pada pria dan Saga salah satu nama yang dia sebut. Bagaimana reaksi dan pikirannya sekarang melihatku dalam pelukan Saga. Bisa-bisa dia mengira aku benar-benar jatuh cinta pada pria ini."Sha, pura-pura pingsan," bisik Saga.Apa Saga berniat untuk menipu Bian sekarang. Tak mau banyak bertanya dan berpikir, aku mengikuti perintah bodyguardku ini. Sepertinya ini akan lebih selamat daripada aku mendebat Bian saat ini. "Lepaskan istriku," teriak Bian.Istri dia bilang, apa dia sedang kerasukan sekarang? "Maaf, Pak. Ibu pingsan bagaimana bisa saya lepaskan." Saga berkata sembari memindahkan posisiku. Aku dibopongnya sekarang. "Bapak apakan ibu hingga seperti ini. Dia hendak terjun ke sungai. Jika saya tidak segera datang, mungkin sekarang tubuhnya sudah di bawah sana. Saya harus membujuknya yang sedang emosi hingga dia pingsan seperti ini." Saga berb
Bian berjalan perlahan ke arahku, dia tidak menuju ke arah Saga dan ingin mengamuk padanya. Apa sekarang dia akan marah padaku."Tenang saja, kamu tak perlu lagi khawatir pada Nala. Ada aku yang akan menjaganya," ucap Bian sambil merangkul pinggangku dan memeluknya dengan erat. "Mulai sekarang, kamu bisa fokus pada kehidupanmu sendiri. Aku dengar setelah ini kamu akan berhenti dari profesi ini, bukan begitu, Sayang?" Ujar Bian lagi sambil mengeratkan pelukannya dan menatap padaku.Aku yang tidak menyangka Bian akan melakukan hal itu padaku hanya bisa melongo dibuatnya. "Hah?!" Aku berkata sambil menatap pada Bian. "Mulai sekarang Saga harus fokus pada kehidupannya sendiri." Bian mengulang perkataannya tanpa mengalihkan pandangan dariku. Aku menganggukkan kepala samar. Mungkin lebih baik memang seperti ini, Saga mengira aku dan Bian sudah baik-baik saja sehingga pria itu tak akan lagi mengkhawatirkanku. Saga terlihat tak nyaman dengan kemesraan yang diperlihatkan oleh Bian. "Bagu
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 40"Berikan padaku, mungkin dia lapar." Aku berkata lirih sambil mengulurkan tangan pada Bian yang tampak kesulitan menenangkan Hafizah. Aku harus bisa menahan diri, kuat, dan bisa mengendalikan diriku. Hafizah adalah tanggung jawab yang harus kuurus dan rawat dengan baik, jangan sampai karena aku kesal pada daddynya, membuat bayi itu terlantar. Kali ini aku tidak boleh depresi lagi seperti dulu. Aku bisa melewati semua untuk Hafizah.Bian menatapku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Bian. Aku mengangguk kepala. Tadi, untuk beberapa saat lamanya aku menangis sambil menatap ke arah Bian. Membiarkan dia berusaha menenangkan Hafizah. Namun, jika aku terus menuruti keinginanku untuk menangis, maka Hafizah juga tidak akan tenang. Bian memberikan bayi itu padaku, memastikan aku baik-baik saja lalu berpamitan keluar kamar. "Aku akan keluar, susui dia dengan tenang. Kalau sudah selesai, ayo kita makan," ucap Bian sebelum keluar kamar.Hafizah langsung tenang se
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 39"Halo siapa ini, jangan main-main jika tidak ada kepentingan," seru Bian dari ujung telepon. Aku menelponnya tapi mulutku engga membuka suara. Pagi ini, setelah memantapkan diri akhirnya aku menelpon Bian. Setelah semalam emak berbicara banyak padaku, aku memutuskan untuk kembali terlebih dulu. Biar Saga kembali ke tempat ini terlebih dahulu baru aku pergi lagi, jika bisa. "Bian, ini aku ....""Na, Nala. Dimana kamu berada?" Bian memotong perkataanku sebelum aku sempat menyebutkan nama. "Aku akan kasih tahu, tapi kamu harus janji sesuatu dulu.""Iya aku janji. Apapun yang kamu minta akan aku penuhi," jawab Bian tanpa berpikir panjang. "Kalau aku pulang, kamu bakalan biarin Saga berhenti kerja, kan.""Iya, tentu saja. Kamu akan pindah ke rumah baru, seperti janjinku.""Tidak perlu, aku akan tetap di sana. Biar Bibi yang tinggal di paviliun. Aku akan mengurus toko bunga lagi."Toko bunga kutinggal begitu saja, tak perduli dengan apapun waktu aku k
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 38Seminggu sudah berlalu berada di tempat ini. Aku tinggal di rumah Emak yang masih berada di area yayasan. Rumah mungil, seperti rumahku juga. Jika pagi hari, aku akan keliling di area yayasan, melihat aktifitas anak-anak di dalam sambil membawa Hafizah, rasanya sangat damai dan tenang. Entahlah, aura positif seperti ini yang sangat aku inginkan selama ini. Di tempat ini, aku seperti tak memiliki beban apapun. Hari-hariku terasa menyenangkan dan ringan. Pagi ini, aku juga berkeliling seperti biasa. Lalu berhenti di taman, tempat dimana aku dan Saga memberi makan ikan. Mendadak aku ingat dengan pria itu, bagaimana keadaannya setelah aku kabur. Apa Bian menyalahkan dia dan menganiaya pria itu. Aku harap itu tidak terjadi. Apa mereka berdua kerepotan mencariku. "Pagi-pagi jangan ngelamun, Mbak." Suara yang begitu familiar terdengar menyapa indera pendengaranku. Aku menoleh ke arah sumber suara lalu tersenyum padanya. Wanita cantik berkulit putih den
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 37POV Nala "Ada apa kamu ke sini?" tanya Saga saat melihatku ada di depan paviliun yang dia tempati. "Kamu bisa memanggilku seperti biasanya, tak perlu mendatangiku. Nanti Pak Bian berpikir macam-macam," sambungnya. Sejak aku melahirkan, Saga memang tak terlalu banyak berinteraksi denganku. Apalagi ada bibi yang ada di rumah, nyaris aku tak pernah minta bantuan pria itu lagi untuk hal remeh temeh. Ditambah lagi, aku malu dengannya karena pernah memintanya menikah denganku. "Bagaimana aku memanggilmu, berteriak?" Aku bertanya sambil tertawa kecil. Sejak ponselku rusak karena kulempar ke arah Bian waktu di rumah sakit itu, aku memang tak mau saat Bian memberikan smartphone baru. Saat dia sengaja membelikannya, aku pun mendiamkannya seakan tak ak butuh. Benda itu mati kehabisan baterai dan tersimpan di laci meja riasku. "Kenapa nggak dinyalakan ponselnya, Pak Bian sudah beli kan waktu itu?" "Buat apa, aku tak membutuhkannya.""Butuh saat begini."
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 36Aku tetap memantau apa yang mereka lakukan. Nala dan Saga memang terlihat makan malam seperti biasanya, tak terjadi apapun di antara mereka. Sesekali mereka berbicara, harusnya aku memasang CCTV yang bisa merekam suara juga bukan hanya gambar seperti ini. Dua puluh menit berlalu, aku terus menatap layar gawai. Pokoknya aku akan melihat mereka sampai selesai. Tiba-tiba hal yang tak biasa membuatku bertanya-tanya, aku melihat Saga mengangkat sendok garpu seperti hendak menusuk sesuatu. "Hei, apa yang akan kamu lakukan!" Refleks aku berteriak saat melihat hal itu, tak mungkin Nala akan ditusuk olehnya dengan benda tersebut. Beberapa detik kemudian tangan Saga bersiap mengayun dan menusuk ke tangannya sendiri. Rupanya Saga ingin melukai dirinya sendiri. Tapi gerakan itu berhenti di udara karena tangan Nala menghalangi Saga melakukannya. Lalu Tak lama kemudian Saga terkulai dan kepalanya terjatuh di meja. Nala tidak meracuni pria itu kan. Dadaku berd
"Kenapa menatapku seperti itu. Aku gemuk, jelek, bengkak kayak gajah?" tanya Nala bertubi-tubi setelah meletakkan Hafizah di box bayi. Wanita itu baru selesai memberi ASI dan menidurkan putrinya. Aku tidak sengaja melihat momen dia begitu perhatian dan sayang pada Hafizah karena masuk ke kamarnya. Hendak mengambil tab milikku yang tertinggal di atas nakas. Ini hari ke-dua aku datang dan menginap di rumah ini setelah kelahiran bayi itu. "Aku memang gemuk dan bengkak, tapi aku bahagia karena bisa memberikan ASI pada putriku. Tidak seperti dulu, aku memang tetap langsing tapi anakku minum susu formula." Nala masih melanjutkan ucapannya. "Enggak, kamu tetap cantik dengan tubuh seperti apapun," balasku sambil berlalu menuju tempat di mana gadgetku berada. Tak perduli dengan reaksi Nala dengan kosakata yang barusan aku ucapkan. Lagi pula dia tak terlalu gemuk, hanya sedikit lebih berisi dari sebelumnya. Aku segera mengambil tab milikku dan berniat kembali keluar kamar yang kurasa makin
Setelah satu minggu menemani Nala, aku kembali ke rumah. Nala sudah pulang dari rumah sakit, di rumahnya ada pembantu rumah tangga yang datang dan pergi setiap hari untuk memasak dan membereskan rumah. Saga, tetap aku perintahkan untuk di sana. Kubilang dia boleh berhenti setelah Nala pindah ke rumah baru. Aku memang berencana melakukan hal itu. menempatkan Nala di rumah yang lebih luas dan layak. Agar ada tempat untuk pembantu rumah tangga, ada tempat yang luas untuk Hafizah bermain. Tidak perlu waktu lama, bayi itu akan tumbuh besar dan perlu ruangan luas untuk berlarian. "Pulang juga akhirnya kamu." Ivanka berkata dengan tangan bersedekap di depan dadanya. Aku yang baru saja menjejakkan kaki di ruang tamu, enggan berdebat dan memilih untuk pergi ke kamar terlebih dahulu. Tau begini, lebih baik langsung ke rumah Mama saja. Aku harap dengan mandi, akan membuat kepala lebih dingin dan berbicara dengan Ivanka tanpa kemarahan.Mungkin aku salah di mata Ivanka, diam-diam perhatian pad
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 33POV Bian Suasana yang sempat gaduh tadi mendadak sunyi setelah kepergian Saga. Nala terlihat membuang pandangan, menatap keluar jendela kaca. Aku memunguti ponsel Nala yang berserak di lantai, kupastikan benda ini sudah tak akan berfungsi lagi. "Nanti aku belikan yang baru," ucapku sambil menyimpan serpihan benda sejuta umat itu di atas nakas.Nala mengalihkan pandangan, menatap sekilas padaku. "Tak perlu, aku tak membutuhkannya," tolak Nala. "Aku memiliki ponsel pun tak ada gunanya, hanya kamu dan Saga yang menghubungiku. Apa lagi aku akan sibuk mengurus bayi, jadi memang aku tak membutuhkan benda itu. Jika kamu ingin menghubungiku bisa lewat Saga," tutur Nala panjang lebar.Aku menghela nafas, kemudian duduk di kursi lagi, di samping Nala berada. Air mata wanita itu sesekali masih terlihat mengalir di pipinya."Terserah kamu mau memperlakukan aku seperti apa. Kau penjara aku di rumah itu pun, aku tak masalah. Tapi jangan kau nikahkan aku denga