Demi biaya pengobatan sang ibu, Helena bersedia memberikan rahimnya untuk mengandung anak Alexander dan sang istri. Namun sebelum persalinan, istri Alexander justru meninggal dunia. Entah mengapa, semua orang menuduh Helena sebagai dalang insiden tersebut dan ingin memenjarakannya. Lantas, bagaimana nasib Helena selanjutnya...? Terlebih, Alexander memutuskan sesuatu yang di luar pikiran Helena sama sekali.....
view moreEmily berdiri di pinggir jalan, matanya terpaku pada lalu lintas yang padat. Tangannya terangkat, berusaha menghentikan taksi yang lewat, namun nihil. Jalanan tampak seperti lautan kendaraan yang tak bergerak. Ia memeluk tasnya erat-erat, melamun, memikirkan kejadian tadi di kafe. Rasanya absurd, pertemuan yang seharusnya sederhana malah berubah menjadi ajang memperdebatkan nilai hidup. Tapi ia tahu, tidak ada gunanya terus memikirkannya. Tidak semua hal butuh tempat di pikiranmu, Emily, gumamnya dalam hati, mencoba menyadarkan diri.“Bisa gila kalau memikirkan hal itu,” gumamnya. Namun, lamunannya terputus ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah seseorang yang tak asing. Han. Mata Emily terbelalak sesaat sebelum ia memalingkan wajahnya, seolah keberadaan Han adalah sesuatu yang ingin ia hindari. Ia mencoba untuk tetap fokus mencari t
Malam itu, di sebuah kafe. Emily menggenggam mini bag di pangkuannya erat-erat, seolah benda kecil itu adalah pelampiasan rasa frustrasi yang membuncah dalam hatinya. Duduk di sebuah kafe mewah di pusat kota, ia berhadapan dengan seorang pria bernama Arthur, pria yang dijodohkan oleh orang tuanya. “Jadi, Emily, kau kerja di mana sekarang?” tanya Arthur sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapan angkuh terpancar dari kedua matanya. Emily hanya mendengus pelan, mencoba menahan diri. Dalam hati, ia masih tidak percaya betapa absurd–nya situasi ini. Orang tuanya, yang sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi dengannya, tiba-tiba saja sibuk mencampuri urusan pribadinya begitu ia kembali ke negara asalnya. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada upaya membangun kembali hubungan yang rusak, hanya agenda perjodohan seperti ini. “Saya bekerja di bidang yang tidak terlalu menarik bagi orang-orang seperti Anda,”
“Ngomong-ngomong, apa wanita bernama Vera itu cantik?”“Apakah menurutmu yang namanya Vera itu cantik?” balas Alexander. Helena meletakkan cangkir teh yang tinggal separuh di atas meja. Matanya tertuju pada Alexander yang duduk di seberangnya, tangan laki-laki itu sibuk membolak-balik dokumen yang sejak tadi menemani istrinya itu. “Jadi, bagaimana menurutmu soal penampilan Vera?” tanya Helena lagi sambil menatap suaminya. Suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang memaksa Alexander untuk berhenti membaca. Alexander mendongak, seulas senyum kecil muncul di bibirnya. Ia meletakkan dokumen itu di sisi meja, lalu bergeser mendekat ke arah istrinya. Kedua tangannya meraih bahu Helena, menariknya hingga mereka saling bersentuhan. “Sayang kau serius dengan pertanyaan itu?” tanya Alexander, merasa heran. “Masalah kecantikan, jelas Helena milik Alexander Smith tidak ada duanya,” ucapnya dengan nada meng
Helena dan Alexander sudah mendengar kabar tentang Monica. Keduanya sepakat untuk tidak ikut campur dalam keputusan Tuan Smith. Itu adalah urusan keluarga Smith, dan mereka lebih memilih untuk tetap fokus pada kehidupan serta pekerjaan masing-masing. Alexander tengah berada di Smith Corporation, perusahaan keluarga Tuan Smith, untuk mengurus berbagai persiapan penting. Salah satu agendanya adalah merekrut asisten sekretaris baru untuk menggantikan posisi Han yang akan segera kosong. Rencananya, Han akan segera menduduki kursi CEO di perusahaan milik Alexander. Seusai rapat pagi dengan dewan direksi, Alexander memeriksa berkas seorang kandidat yang telah melalui tahapan seleksi terakhir. Namanya Vera, seorang kandidat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang impresif. Tanpa ragu, Alexander menyetujui jadwal wawancara langsung dengannya siang itu. Ketika Vera memasuki ruangan,
“Aku... aku...” Monica memaksakan senyum di wajahnya meski tubuhnya terasa gemetar hebat. Jantungnya berdegup cepat, sementara pikirannya kacau balau. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha tampil normal. Dengan suara yang dibuat lembut, ia menyapa Tuan Smith yang berdiri di hadapannya. “Selamat pagi, sayang. Kau... sudah bangun lebih pagi dari biasanya,” katanya sambil memaksakan senyum. Namun, bukannya jawaban hangat, Tuan Smith membalas dengan senyum sinis, senyum yang menusuk hati Monica seperti belati. Di sampingnya, Ken berdiri dengan tatapan dingin dan sikap acuh, seolah menikmati keadaan. “Bagaimana rasanya, Monica?” tanya Tuan Smith tiba-tiba. Suaranya rendah, penuh ironi. “Bagaimana perasaanmu setelah rencanamu gagal? Racun itu... sayangnya, tidak cukup untuk membunuhku.” Monica tersentak, meski ia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. “Racun? Aku... aku tidak mengerti apa yang kau maksud,” jawabnya deng
Monica melangkah perlahan ke dalam ruangan baca Tuan Smith. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan mempertegas bayangan tubuhnya yang mendekat. Di sana, di kursi favoritnya, Tuan Smith tertidur lelap, kepalanya bersandar miring. Monica berhenti sejenak, mengamati lelaki yang pernah ia panggil suami itu.“Dia sudah meminum teh itu, kan?” bisik Monica. Di meja kecil di samping kursi, cangkir teh herbal tampak setengah kosong. Monica menatap cairan dalam cangkir itu dengan penuh kepuasan. Racun yang ia campurkan sudah hampir habis. Ia tersenyum tipis, senyuman yang penuh arti, sembari membayangkan drama yang akan segera terjadi.“Bagus!” ucapnya, pelan. Monica mendekat, menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Tuan Smith untuk memastikan dia benar-benar tidak sadarkan diri. Napas pria itu terdengar teratur, dalam, dan lambat. Ia segera meninggalkan ruangan, memastikan langkahnya tidak menimbulkan
Malam itu, hujan turun dengan deras, menambah suasana mencekam di dalam rumah besar keluarga Smith. Monica duduk di dapur, tangannya memegang sebuah botol kecil berisi cairan bening. Wajahnya tegang namun penuh tekad. “Aku tidak punya pilihan lagi,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Pikirannya dipenuhi dengan rencana yang telah dia susun sejak siang tadi. Tuan Smith masih terlihat sangat sehat meskipun usianya sudah renta. Dia adalah penghalang utama Monica untuk mendapatkan kekayaan yang selama ini diimpikannya. Monica menuangkan teh herbal kesukaan Tuan Smith ke dalam cangkir porselen mahal. Dengan hati-hati, dia meneteskan cairan dari botol kecil itu ke dalam teh. Cairan itu tidak berwarna dan tidak berbau, racun yang sulit dilacak, hanya akan menimbulkan efek mematikan di tenggorokan tanpa meninggalkan jejak berarti. Dia mengaduk teh itu perlahan, memastikan semuanya tercampur dengan
Perjalanan pulang terasa sunyi, meski ketegangan terasa jelas di udara. Monica duduk di samping Ken, memandangi jalanan dengan tatapan gelisah. Dia menggigit bibirnya, sebelum akhirnya membuka suara dengan nada pelan namun penuh maksud. “Ken,” katanya, melirik pria di sebelahnya. “Menurutmu, perlu nggak kita ke hotel sebentar? Untuk… ya, memastikan semuanya baik-baik saja.” Ken menoleh sekilas, lalu kembali fokus mengemudi. “Nyonya Monica,” ucapnya dengan tenang namun tegas, “aku pikir akan lebih baik kalau amda tidak melakukan hal aneh-aneh. Dengan begitu, kita bisa menghindari masalah lain datang.” Monica mendengus, merasa ucapannya ditolak mentah-mentah. “Jadi, kau sudah melakukan apa yang aku minta?” tanyanya dengan nada mendesak. Ken menghela napas panjang. “Anda akan tahu jawabannya nanti.” Namun, jawaban itu tidak cukup bagi Monica. “Nanti? Ken, sudah satu minggu. Aku belum melihat hasil apa pun. Apa
Langit sore di atas pusat perbelanjaan terlihat cerah. Thalita melangkah masuk ke salah satu toko pakaian sambil memegang daftar kecil di tangannya. Daftar itu berisi kebutuhan sederhana untuk ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Ibu mengeluhkan bosan mengenakan pakaian rumah sakit yang monoton, jadi Thalita memutuskan membeli beberapa pakaian longgar dan nyaman. Saat ia memeriksa rak pakaian dengan motif bunga-bunga lembut, tiba-tiba seseorang memanggilnya. “Thalita!” Thalita menoleh dan mendapati Monica, Thalita pun tersenyum dengan sopan. Sudah Thalita pahami, Monica memiliki sikap yang sering kali angkuh, namun Thalita tetap menundukkan kepala dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Monica,” sapa Thalita dengan suara lembut. Namun, balasan Monica jauh dari yang diharapkan. Ia mendengus kecil sambil memandang Thalita dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Thalita? Apa yang kau lakukan di sini? Pusat perbe
“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–” Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments