“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–”
Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya begitu menakutkan sampai perut Helena terasa menegang. Bagaimana caranya menjelaskan ini semua pada Alexander, suami sang sahabat? Belum lagi, kedua orang tua Rachel…. Plak! “Dasar Iblis! Kau membunuh putriku!” Tanpa diduga, Helena tiba-tiba ditampar oleh Nyonya Wijaya yang baru tiba. Helena terhuyung di bawah tatapan tajam keluarga besar Wijaya. “Aku tidak membunu–” “Diam! Putriku terbunuh karenamu! Kenapa kau melakukan ini?” potong Tuan Wijaya, “kenapa kau menghilangkan nyawa anakku yang selama ini baik padamu?!” Baru kali ini, ayah Rachel nampak emosional di depan orang banyak. Dia bahkan mengguncang tubuh Helena yang hanya bisa menggelengkan kepala sambil menangis. “Tidak. Bukan aku….” Sayangnya, pembelaan Helena tak didengar karena keluarga Wijaya terus justru mengusirnya dari Rumah Sakit. Bahkan menggunakan kuasa mereka, Keluarga Wijaya menutup akses Helena untuk menemui Alexander dan menjelaskan apa yang terjadi. Kini wanita hamil itu hanya bisa berdiri dari kejauhan di area pemakaman Heaven Memorial. “Nona Rachel….” lirihnya. Helena ingin bergabung dengan pelayat lainnya. Tapi, ia tahu betul bahwa kehadirannya tak diharapkan seorang pun di sana. Bisa saja keluarga Rachel justru murka. Helena tak mau itu terjadi. Ia lantas mengusap perutnya yang besar—meminta agar si jabang bayi–satu-satunya yang tersisa dari sang sahabat, tetap kuat dan sehat di dalam sana. Sayangnya, air mata Helena jatuh juga meski sudah ditahan sekuat mungkin. Tes! Bersamaan dengan itu, gerimis mendadak turun di penghujung upacara pemakaman. Helena lantas tersadar dari lamunannya. Menemukan satu per satu pelayat telah pergi dari sana menyisakan keluarga inti saja, Helena pun ikut melangkahkan kaki untuk berlindung. Jika demam, persalinannya yang sebentar lagi–bisa saja mengalami kendala. Jadi, Helena tidak boleh sakit! ‘Demi Nona Rachel,’ batinnya mengingatkan. Susah payah wanita hamil itu membawa kakinya menjauh. Sayangnya, langkah Helena terhenti di parkiran kala mendengar teriakan dari Sarah–adik sepupu Rachel. Wanita itu langsung menatapnya tajam! “Pembunuh!” teriak Sarah penuh kemarahan, “kalau saja Kau tidak meminta Rachel datang menemuimu, dia pasti masih hidup! Beraninya kau datang ke sini!” “Tidak, aku tidak melakukannya….” Itu adalah kalimat yang ingin diucapkan Helena. Sayangnya, tenggorokan Helena seperti tersumpal oleh sesuatu kala menyadari tatapan dingin semua orang yang tersisa. “Wanita ini diam karena aku benar. Dia memang selalu iri dengan Rachel. Makanya, dia membuat sepupuku itu sampai insecure agar memilihnya untuk mengandung anaknya!” ucap Sarah, lagi. Kali ini, dia menangis. “Belum lagi, dia meminta bayaran mahal atas rahim yang disewakannya itu! Kau memeras Rachel untuk membiayai penyakit ibumu! Malangnya keluarga kami bisa mengenal gadis tak tahu diuntung sepertimu!” Ekspresi wajah adik sepupu Rachel itu begitu menuduh. Helena sontak menggelengkan kepala. Itu semua tidak benar. Saat ibunya mengalami kebocoran jantung dan butuh biaya besar, Rachel datang menawarkannya untuk sewa rahim. Meski Helena sempat menolak, tetapi tatapan penuh permohonan sang sahabat membuat Helena tertekan luar biasa. Dia pun akhirnya menerima permintaan Rachel dan mencoba merawat anak ini sebaik yang ia bisa. Sayangnya, tatapan dari pelayat yang tersisa jelas seperti menghakimi dirinya–membuatnya membeku. “Dia tidak akan bisa mengatakan apapun, dia pasti sedang menyesali perbuatannya!” timpal Sarah kembali. Seperti sedang menyiram bensin pada kobaran api, sepupu Rachel itu tak henti membuat orang-orang di sekitarnya memilki arah pikiran yang sama. “Bi, lebih baik kita kirim saja dia ke penjara. Lagi pula, semua bukti mengarah padanya, dia tidak akan bisa mengelak,” ucap Sarah sembari menyembunyikan senyum tipis miliknya. Mendengar itu, Helena terkejut. Penjara? Wanita itu menggelengkan kepalanya, tak percaya. “Tidak, aku tidak bisa....” ucap Helena lirih. Dia sudah dekat dengan waktu persalinan. Mana bisa dia menerima keputusan itu? Terlebih, anak Rachel yang ada di dalam perutnya itu pantas mendapatkan segala yang terbaik, sesuai pesan terakhirnya. Nyut! Helena memegangi perutnya merasakan sakit yang tiba-tiba saja menyerang. Nyeri, mengeras bagaikan batu, dan merambat cepat ke punggungnya. Perutnya terlalu sakit saat ini. “Akhhhhhh” Helena menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa sakit itu, “Sakit...... Akhhhh!” Semua orang mulai merasa khawatir, namun Sarah tidak mempercayai hal itu. Dia sangat tidak merelakan jika Helena lepas begitu saja, tidak peduli dengan kehamilan, dan anak siapa yang ada di dalam perutnya. “Jangan berakting, membuatku muak saja!” bentak Sarah. Tangannya sudah terulur, seolah siap mengayunkan ke wajah Helena. Akan tetapi, suara baritone tiba-tiba terdengar. “Hentikan!”Sarah tersentak mendengar suara bariton yang mendominasi itu. Bagaimana bisa Alexander yang baru di parkiran–membela Helena? Setahunya, pria itu begitu dingin, bahkan cenderung kaku meski di depan Rachel, istrinya. Tangan wanita itu sontak mengepal. “Dia pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, Alexander,” ucap Sarah. Helena jelas tak setuju. Namun, rasa sakit membuat gadis itu hanya sanggup menggelengkan kepala ketika Sarah kembali berbicara, “Aku memang berkata agar mengikhlaskan Rachel supaya dia tenang.” Wanita itu mendekati Alexander dengan langkah penuh kehati-hatian. “Tapi, aku ingin memberi pembunuh ini pelajaran!” “Jangan memberikan hukuman apapun, Kau bukan pihak berwajib, Sarah!” Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang. Terlebih sorot mata Alexander saat ini begitu menakutkan. Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi. Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu. Dia ta
Kalimat tadi membuat Alexander yang kini menatap Tuan Besar Smith–memancarkan kemarahan. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku tadi, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau—" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya. Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut. Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa Kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila? Kau akan membuat anggota keluarga Wijaya berang. Bisnis kita bisa runyam!” Tuan Smith kembali menekan Alexander. "Apa kau menginginkan itu?" “Tentu, tidak
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat. Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy. Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu. Jam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga ba
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari
Han memperhatikan Alexander yang terdiam untuk beberapa saat.Dia tentu memiliki alasan yang kuat mengapa tetap membuat Helena berada di sekitarnya.Tapi, orang lain pasti akan menganggapnya atasannya ini gila. Baru beberapa hari istrinya meninggal, langsung bisa mendapatkan istri yang baru? Hanya saja, tubuh Han meremang kala menyadari Alexander tersenyum smirk. “Kenapa aku harus menjelaskan padamu, Han?” Asisten Alexander itu tertunduk. “Maafkan Saya, Tuan. Rasa ingin tahu yang sangat besar ini membuat saya benar-benar melakukan hal lancang sebesar ini,” sesalnya. Di sisi lain, Alexander melirik pada foto pernikahannya bersama Rachel yang masih tergantung di sana.Foto yang diletakkan sesuai dengan perintah dan juga keinginan Rachel.Alexander tampak berpikir, sebelum berkata, “Han, meskipun kau mengetahui banyak hal tentangku, tapi ada bagian-bagian yang tidak perlu Kau ketahui.” Ditatapnya Han dengan tajam lalu melanjutkan, “jangan pernah menanyakan alasan dari apa yang a
Brak! Buru-buru, Alexander menutup laptopnya dan mendesah frustasi.Biar bagaimanapun, ia pria normal!Apakah tidak bisa Alexander tenang sedikit? Mengapa setelah kepergian Rachel, hidupnya terus saja mengalami gejolak dari berbagai arah?Sementara itu ... tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, Helena terus menyusui Rendy berbekal ilmu dari Dokter rumah sakit.Katanya, setiap kali Rendy menangis, ia harus mengecek popok bayi itu.Jika dirasa baik-baik saja, maka Helena harus mengangkat Rendy dan menyusuinya, seperti saat ini."Akkhh..." ringis Helena tanpa sadar. Sungguh, menyusui tidaklah semudah yang ia bayangkan. Rasanya benar-benar nyeri sekali.Ujung dadanya seperti mau putus.Namun ditahannya demi Rendy, hingga tanpa sadar bukan hanya Rendy yang terlelap, dirinya pun ikut terlelap.Berbeda dengan Helena dan Rendy yang bisa terlelap, Alexander justru tak bisa memejamkan mata meski sudah bekerja sebanyak yang ia bisa.Entah mengapa, bayang-bayang Helena di kamar Rendy tadi,
“Ingat, Helena. Aku menjadikanmu sebagai istri simpanan untuk merawat Rendy,” tegas pria itu, “bukan untuk menjadi ibunya.” Helena mencengkram kedua lututnya kala mengingat ucapan Alexander kemarin. Ia bahkan tak bisa memejamkan mata meski sudah malam. “Alexander....” gumam Helena. Matanya terpejam mengingat wajah pria itu beberapa tahun lalu. Wajah pria itu sungguh membekas di hatinya, bahkan sejak pertama kali melihatnya di kampus. Jantung Helena bahkan terasa meledak kala tak sengaja bersitatap dengan mata Alexander yang begitu tajam, namun indah.Ya, sama seperti yang lain, Helena pun mengagumi sosoknya yang luar biasa. Dalam diam, ia sering memperhatikan senior di kampusnya itu. Namun, Helena sadar posisinya dan menghindar setiap kali tatapan mata mereka hampir bertemu.Ia menikmati cinta dalam diam itu, sampai suatu hari Rachel mengajak Helena makan siang bersama.Sahabatnya itu tak sendiri. Ia datang memeluk lengan Alexander yang terdiam tanpa ekspresi. “Helena, kami
Malam itu, ruangan rawat Emily sunyi. Hanya suara mesin monitor yang pelan berdetak, mengiringi kesendirian mereka. Di ujung ruangan, Han tertidur di sofa kecil yang jelas tidak nyaman. Tubuhnya terlipat dalam posisi yang tidak wajar, menunjukkan kelelahan yang sudah menumpuk selama berhari-hari. Emily perlahan membuka matanya, pandangannya tertuju pada Han. Dia memandangi pria itu dalam diam, memperhatikan setiap detail, wajah yang terlihat lelah, rambut yang sedikit berantakan, dan napas teratur yang terdengar samar. Dalam hati, Emily bertanya-tanya, apakah Han yang menjaganya selama ini?“Posisi tidur seperti itu, dia baik-baik saja, kan?” batinnya. Ucapan Han tadi siang terngiang kembali di telinganya. Dia sadar bahwa dia sudah tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ada kelegaan dalam hati Emily ketika mengingat bahwa Helena sudah sadar lebih dulu.
Emily perlahan membuka matanya. Cahaya putih yang memantul dari langit-langit ruangan membuat matanya sedikit menyipit. Langit-langit itu tampak asing, bukan seperti tempat yang pernah dia kenal. Perlahan menoleh menatap ke sekeliling, matanya menangkap selang infus yang terhubung ke tangannya, serta selang oksigen yang melekat di hidungnya. Detak pelan mesin medis menjadi satu-satunya suara yang menemaninya. Seketika, Emily menyadari bahwa dia berada di rumah sakit. Tubuhnya terasa berat, nyeri menjalar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia mencoba menggerakkan jari-jarinya, tapi tubuhnya seolah lumpuh, tak ada satu pun bagian yang merespons. “Kenapa aku seperti kehilangan tenagaku? Sakit sekali, aku juga merasa terlalu lemas...” batinnya.Dia menyerah, memejamkan matanya lagi, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa sakit dan kebingungan. Ruangan itu sunyi, begitu sepi hingg
Helena duduk dengan perlahan, merasakan tubuhnya yang masih lemah namun tidak lagi terbebani oleh alat-alat medis yang sebelumnya melekat di tubuhnya. Dokter yang berada di sisinya membantu melepaskan satu per satu alat tersebut dengan hati-hati, memastikan semuanya baik-baik saja. Alexander, yang tidak pernah meninggalkan sisi Helena, tersenyum lega ketika dokter mengangguk dan berkata, “Nyonya Helena sudah melewati masa kritis. Tapi untuk sementara membutuhkan istirahat total, dan masih membutuhkan pemantauan intensif.” Seolah terbebas dari beban yang berat, Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. Ia membungkukkan tubuhnya sedikit, mengecup tangan istrinya dengan penuh rasa syukur. “Aku benar-benar lega,” bisiknya. “Aku pikir aku akan kehilanganmu untuk selamanya.” Helena menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Walau tubuhnya masih lemah, kehangatan di matanya cukup untuk memberikan jawaban kepada Alexander.
Helena membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat, dan ia merasa amat bingung. “Aku ada di mana?”Di sekelilingnya, terbentang padang rumput hijau yang luas, namun pandangannya terganggu oleh kabut yang cukup tebal. Helena berusaha bangkit dari posisi tidurnya di atas rumput lembut itu, mengedarkan pandangan ke segala arah. Tidak ada yang dikenalnya. “Halo? Apa ada orang di sini?” serunya berulang kali, suaranya terdengar samar di tengah kesunyian. Tidak ada jawaban. Namun, tak lama kemudian, dari balik kabut, muncul sosok seorang wanita yang anggun. Dia mengenakan dress putih panjang, rambutnya terurai indah, seperti cahaya yang menerobos kegelapan. Helena memicingkan mata, mencoba mengenali siapa wanita itu. “Siapa, kau siapa?”Langkah demi langkah, wanita tersebut mendekat, dan wajahnya semakin jelas. Helena tertegun. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Rac
Ruangan itu sunyi, hanya diiringi bunyi pelan mesin medis yang terus bekerja. Han duduk di sisi ranjang Emily, tatapannya tak lepas dari wajah mantan istrinya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Ada kehangatan yang aneh dalam pandangannya, bercampur dengan rasa bersalah dan kehilangan yang dalam. “Emily...” gumamnya pelan, seolah berharap namanya cukup untuk membangunkan wanita itu dari keterpurukan yang tengah membelenggunya. Namun, suasana itu seketika berubah ketika pintu ruangan terbuka dengan keras. Kedua orang tua Emily berdiri di ambang pintu, ekspresi mereka penuh keterkejutan dan kemarahan begitu melihat Han di dalam ruangan. “Apa yang kau lakukan di sini?!” seru ayah Emily dengan suara tajam, matanya melotot marah ke arah Han. Han menoleh perlahan, wajahnya tetap tenang meskipun ia bisa merasakan amarah yang memancar dari pria tua itu. Ia berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam sak
Ruangan rumah sakit masih diselimuti keheningan. Tuan Beauvoir tetap di sisi putrinya, memegang tangannya yang dingin sambil terus berbisik, berharap Helena segera bangun. Sementara itu, Alexander duduk di bangku panjang di luar kamar. Pikirannya terus bergelayut pada kejadian yang menimpa istrinya, berulang-ulang seperti kaset rusak.“Aku tidak bisa memikirkan yang lain. Kalau aku pulang sebentar untuk melihat Angel dan Rendy, mereka pasti akan langsung menanyakan keberadaan ibunya, kan?” Alexander mendesah lesu, “bagaimana aku akan menjawabnya nanti?” Helios dan Hendrick telah pergi untuk menyelidiki lebih dalam. Pada akhirnya, Alexander memutuskan untuk tetap di rumah sakit, tetapi keberadaannya terasa kosong. Sorot matanya yang lelah terpaku pada lantai, tubuhnya kaku seolah memikul beban yang terlalu berat. Tiba-tiba, suara langkah pelan mendekat. Alexander tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang
Langit mendung menutupi sinar matahari sore saat Tuan Beauvoir, Hendrick, dan Helios tiba di rumah sakit. Wajah mereka penuh dengan kecemasan yang sulit disembunyikan. Ketegangan di udara terasa begitu nyata ketika mereka melangkah melewati lorong-lorong panjang yang sunyi, seakan setiap langkah membawa beban yang semakin berat.“Sial! Kenapa tidak sampai juga, sih?!” gerutu Hendrick. Di depan pintu kamar, Alexander menunggu dengan wajah penuh penyesalan. Matanya sembab, ekspresi sedihnya tampak semakin mendalam ketika melihat kedatangan mereka. Dia segera berdiri dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Maafkan aku, Ayah mertua, maaf...” ucap Alexander dengan suara bergetar. “Aku tidak bisa melindungi Heceline. Aku... aku telah gagal sebagai seorang suami, menantu, dan ipar.” Kata-kata itu membuat Helios mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredam gejolak amarah dan kepedihan yang terus menggerogoti hatinya.
Ruangan rumah sakit itu sunyi, hanya suara alat kontrol denyut jantung yang terdengar berirama, seolah menjadi pengingat akan rapuhnya kehidupan. Helena dan Emily dirawat di dua ruangan yang bersebelahan, masing-masing masih dalam kondisi kritis. Peralatan medis memenuhi ruang mereka, memantau setiap detak dan napas yang tersisa. Di salah satu ruangan, Alexander duduk di sisi tempat tidur Helena. Tangannya menggenggam erat tangan Helena yang terasa dingin. Tubuhnya gemetar, matanya merah dan bengkak akibat tangis yang terus mengalir sejak beberapa jam terakhir. “Sayang,” suaranya serak, hampir tak terdengar. “Kumohon, bangunlah. Jangan tinggalkan aku.” Alexander menunduk, membiarkan air matanya jatuh ke tangan Helena yang ia genggam erat. “Aku... aku tidak bisa hidup tanpamu. Anak-anak kita... mereka butuh kau. Aku butuh kau juga.” Suaranya pecah, penuh dengan rasa putus asa. Alexander memandang waja
Sore itu, Alexander dan Han berlari tergesa-gesa menuju rumah sakit, napas mereka tersengal-sengal. Mereka berhenti di depan ruang unit gawat darurat. Hati mereka dipenuhi kecemasan. Emily dan Helena sedang dirawat di dalam sana, akibat luka yang mereka derita. Kali ini, Alexander tidak mampu menahan emosinya. Dengan keras, dia memukul dinding rumah sakit, melampiaskan kekesalan dan rasa kecewanya pada diri sendiri. Bugg!Dia merasa gagal, merasa tak mampu melindungi Emily. Alexander, di sisi lain, berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Air mata mengalir di pipinya. Rasa takut menguasai hatinya, takut kehilangan Helena, wanita yang telah menjadi segalanya baginya. Helena adalah pusat dunianya, bagian penting dari hidupnya yang tak tergantikan.“Sayang,” katanya pilu, “aku mohon... aku cuma punya kau untuk alasan bertahan hidup dan segala tujuan perjuangan ku. Jangan pergi, jangan tinggalkan aku, Sayang...