Hari masih sore, tetapi langit tampak begitu mendung seolah turut merasakan kesedihan mendalam keluarga dan para pelayat di area pemakaman Heaven Memorial.
Mereka masih tak percaya bahwa mereka harus mengantar nona pertama Keluarga Wijaya ke peristirahatan terakhir. “Ya ampun, dia masih muda….” “Bagaimana bisa dia kecelakaan? Bukankah, mobilnya sudah menggunakan teknologi pelindung paling mutakhir?” “Ada yang menyabotase mobilnya. Kudengar Tuan Alexander sedang mencari orang paling bersalah dari kematian istrinya itu.” “Ya, bisa jadi itu saingan bisnis Keluarga Smith. Mereka berhasil mendapat tender paling besar tahun ini. Pasti, iri membuat mereka....” Beberapa kerabat jauh terus berbisik sembari mengamati Alexander Smith yang tampak berdiri di samping pusara sang istri yang baru saja tertutup tanah. Yang jelas, tak seorang pun berani mendekati ahli waris Smith Group itu, kecuali satu orang … adik sepupu sang istri. “Kak … Rachel sudah tidak ada lagi. Untuk apa, kau sedih? Kesedihanmu itu tidak akan membawanya kembali,” ucapnya mendekati Alexander dengan langkah penuh kehati-hatian, “jadi tolong ikhlaskan agar Rachel bisa tenang di atas sana.” Adik sepupu Rachel itu mengusap punggung Alexander perlahan mencoba menawarkan sedikit kehangatan dalam dinginnya suasana.Gerakannya sedikit aneh.
Namun, tak ada yang menghentikannya mengingat wanita itu memang adik sepupu kesayangan mendiang Rachel. Pemandangan itu juga ditangkap oleh seorang wanita hamil yang berdiri dari kejauhan. “Nona Rachel….” lirih Helena menelan kepedihannya. Rasanya, ia ingin bergabung dengan pelayat lainnya untuk mengantar kepergian anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil. Tapi, ia tahu betul bahwa kehadirannya tak diharapkan seorang pun di sana. Bahkan, bisa saja membuat Alexander dan keluarga Rachel murka. Diusapnya perutnya yang besar meminta agar si jabang bayi satu-satunya yang tersisa dari sang sahabat tetap kuat dan sehat di dalam sana. Sayangnya, Helena tak sekuat itu. Air matanya akhirnya jatuh juga kala mengingat detik terakhir sebelum kepergian Rachel. Saat itu, keduanya sedang berbicara di telepon. Rachel terdengar khawatir kala mengetahui Helena mendadak muntah-muntah, padahal dirinya sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi. Nona tertua Wijaya itu pun langsung menyuruhnya untuk menunggu agar mereka memeriksa kandungan bersama. Helena lantas setuju. Hanya saja, ia mendadak mendengar benturan keras dan tersadarkan jika Rachel mengalami kecelakaan. Dan semua terjadi begitu cepat….. Dari yang harusnya memeriksa bayi Rachel dan Alexander di dalam rahimnya, Helena justru menunggu operasi darurat untuk sang sahabat. “Nona Rachel!” panggil Helena histeris, tak menyangka kalau kondisi Rachel sangat parah. Bahkan, dokter pun menyatakan kemungkinan kecil untuk bisa bertahan lama. “Helena, to-tolong jaga anakku dengan baik. Rawat dia, apapun yang terjadi jangan tinggalkan anakku. Jauhkan dia dari Sa–” Tangan Rachel yang menggenggam tangannya perlahan mendingin. Entah kalimat apa yang ingin disampaikan Rachel selanjutnya, tapi Helena yakin itu sesuatu yang sangat penting. Setelahnya, seorang diri, Helena menahan duka sembari menunggu kedatangan Keluarga Wijaya yang langsung memakinya di Rumah Sakit. Alexander? Waktu itu, dia sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis, sehingga butuh waktu yang sedikit lebih lama. Tes! Gerimis mendadak turun di penghujung upacara pemakaman. Helena tersadar dari lamunannya. Menemukan satu per satu pelayat telah pergi dari sana menyisakan keluarga inti saja, Helena lantas ikut melangkahkan kaki untuk berlindung.Dia takut terjadi sesuatu pada kandungannya.
Helena tidak boleh sakit! Jika demam, persalinannya yang sebentar lagi, bisa saja mengalami kendala. ‘Demi Nona Rachel,’ batinnya mengingatkan. Susah payah wanita hamil itu membawa kakinya menjauh. Sayangnya, langkah Helena terhenti kala mendengar teriakan dari Sarah–adik sepupu Rachel. Wanita itu menyadari kehadirannya! “Dasar pembunuh!” teriak Sarah penuh kemarahan, “kalau saja kau tidak meminta Rachel datang menemuimu, dia pasti masih hidup!” “Tidak, aku tidak melakukannya….” Itu adalah kalimat yang ingin diucapkan Helena. Sayangnya, tenggorokan Helena seperti tersumpal oleh sesuatu kala menyadari tatapan dingin semua orang yang tersisa, termasuk Alexander. “Wanita ini diam karena aku benar. Dia memang selalu iri dengan Rachel. Makanya, dia membuat sepupuku itu sampai insecure agar memilihnya untuk mengandung anaknya!” ucap Sarah, lagi. Kali ini, dia menangis. “Belum lagi, dia meminta bayaran mahal atas rahim yang disewakannya itu! Kau memeras Rachel untuk membiayai penyakit ibumu! Malangnya keluarga kami bisa mengenal gadis tak tahu diuntung sepertimu!” Ekspresi wajah adik sepupu Rachel itu begitu menuduh. Helena sontak menggelengkan kepala. Dia tak pernah memengaruhi Rachel! Justru saat ibunya mengalami kebocoran jantung dan butuh biaya besar, Rachel lah yang memberi ide ini. Helena sempat menolak, tetapi Tuan Wijaya, ayah Rachel justru tampak murka. “Jangan lupa, biaya kuliahmu tidak murah. Belum lagi, operasi kebocoran jantung juga sangat mahal. Kami hanya meminta sedikit bantuan darimu, lantas kenapa kau terlihat keberatan?” kata pria paruh baya itu, hingga Helena tergugu. Tatapan penuh permohonan sang sahabat membuat Helena tertekan luar biasa. Dia pun akhirnya menerima permintaan Rachel. Tapi, mengapa jadi seperti ini? Helena mencoba membela diri. Sayangnya, belum sempat berbicara, Ibu dari Rachel mulai berjalan cepat menuju Helena. Plak! “Iblis!” ucap wanita paruh baya itu dengan mata membelalak tajam. “Bagaimana bisa kami berbuat baik kepada iblis selama ini?!”Tak siap akan tamparan itu, Helena terhuyung. Namun, tak ada yang peduli padanya.“Kembalikan anakku!” teriak Nyonya Wijaya lagi, “kenapa kau melakukan ini, kenapa kau menghilangkan nyawa anakku yang selama ini baik padamu?!” Wanita itu tampak frustasi, hingga membuat Helena tak berani mengatakan apapun. Hanya saja, Helena menyadari tatapan dari pelayat yang tersisa jelas seperti menghakimi dirinya. “Dia tidak akan bisa mengatakan apapun, dia pasti sedang menyesali perbuatannya!” timpal Sarah tiba-tiba. Seperti sedang menyiram bensin pada kobaran api, sepupu Rachel itu tak henti membuat orang-orang di sekitarnya memilki arah pikiran yang sama. Entah mengapa, Helena merasa tubuhnya lemas dan gemetar. Bahkan, dia merasa kedua kakinya melayang di udara. Sementara itu, Alexander masih berdiri di tempatnya. Sorot mata pria tampan itu nampak begitu dalam. Dan keterdiamannya itu ... justru membuat Sarah semakin merajalela. “Bi, lebih baik kita kirim saja dia ke penja
“Setelah wanita itu melahirkan anakmu dan Rachel, pastikan kau mengirimnya ke penjara!” titah Tuan Smith begitu Alexander tiba di tempat yang dikehendaki pria tua itu. Kalimat itu benar-benar membuat Alexander menatapnya dengan dingin. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku barusan, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau--" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya.Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut.Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat.Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy.Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu.Kam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga baru
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari
Han memperhatikan Alexander yang terdiam untuk beberapa saat.Dia tentu memiliki alasan yang kuat mengapa tetap membuat Helena berada di sekitarnya.Tapi, orang lain pasti akan menganggapnya atasannya ini gila. Baru beberapa hari istrinya meninggal, langsung bisa mendapatkan istri yang baru? Hanya saja, tubuh Han meremang kala menyadari Alexander tersenyum smirk. “Kenapa aku harus menjelaskan padamu, Han?” Asisten Alexander itu tertunduk. “Maafkan Saya, Tuan. Rasa ingin tahu yang sangat besar ini membuat saya benar-benar melakukan hal lancang sebesar ini,” sesalnya. Di sisi lain, Alexander melirik pada foto pernikahannya bersama Rachel yang masih tergantung di sana.Foto yang diletakkan sesuai dengan perintah dan juga keinginan Rachel.Alexander tampak berpikir, sebelum berkata, “Han, meskipun kau mengetahui banyak hal tentangku, tapi ada bagian-bagian yang tidak perlu Kau ketahui.” Ditatapnya Han dengan tajam lalu melanjutkan, “jangan pernah menanyakan alasan dari apa yang a
Brak! Buru-buru, Alexander menutup laptopnya dan mendesah frustasi.Biar bagaimanapun, ia pria normal!Apakah tidak bisa Alexander tenang sedikit? Mengapa setelah kepergian Rachel, hidupnya terus saja mengalami gejolak dari berbagai arah?Sementara itu ... tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, Helena terus menyusui Rendy berbekal ilmu dari Dokter rumah sakit.Katanya, setiap kali Rendy menangis, ia harus mengecek popok bayi itu.Jika dirasa baik-baik saja, maka Helena harus mengangkat Rendy dan menyusuinya, seperti saat ini."Akkhh..." ringis Helena tanpa sadar. Sungguh, menyusui tidaklah semudah yang ia bayangkan. Rasanya benar-benar nyeri sekali.Ujung dadanya seperti mau putus.Namun ditahannya demi Rendy, hingga tanpa sadar bukan hanya Rendy yang terlelap, dirinya pun ikut terlelap.Berbeda dengan Helena dan Rendy yang bisa terlelap, Alexander justru tak bisa memejamkan mata meski sudah bekerja sebanyak yang ia bisa.Entah mengapa, bayang-bayang Helena di kamar Rendy tadi,
“Ingat, Helena. Aku menjadikanmu sebagai istri simpanan untuk merawat Rendy,” tegas pria itu, “bukan untuk menjadi ibunya.” Helena mencengkram kedua lututnya kala mengingat ucapan Alexander kemarin. Ia bahkan tak bisa memejamkan mata meski sudah malam. “Alexander....” gumam Helena. Matanya terpejam mengingat wajah pria itu beberapa tahun lalu. Wajah pria itu sungguh membekas di hatinya, bahkan sejak pertama kali melihatnya di kampus. Jantung Helena bahkan terasa meledak kala tak sengaja bersitatap dengan mata Alexander yang begitu tajam, namun indah.Ya, sama seperti yang lain, Helena pun mengagumi sosoknya yang luar biasa. Dalam diam, ia sering memperhatikan senior di kampusnya itu. Namun, Helena sadar posisinya dan menghindar setiap kali tatapan mata mereka hampir bertemu.Ia menikmati cinta dalam diam itu, sampai suatu hari Rachel mengajak Helena makan siang bersama.Sahabatnya itu tak sendiri. Ia datang memeluk lengan Alexander yang terdiam tanpa ekspresi. “Helena, kami