“Setelah wanita itu melahirkan anakmu dan Rachel, pastikan kau mengirimnya ke penjara!” titah Tuan Smith begitu Alexander tiba di tempat yang dikehendaki pria tua itu.
Kalimat itu benar-benar membuat Alexander menatapnya dengan dingin. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku barusan, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau--" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya.Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut.
Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa kau sedang bercanda, Alexander?”
Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila? Kau akan membuat anggota keluarga Wijaya berang. Bisnis kita bisa runyam!” Tuan Smith kembali menekan Alexander. "Apa kau menginginkan itu?" “Tentu, tidak. Jadi, biarkan aku bicara dengan orang tua Rachel. Akan kuselesaikan masalah ini sendiri," ucap Alexander. Tuan Smith masih mencoba untuk mengatakan bagaimana pendapatnya yang tidak setuju. Tapi sayangnya, Alexander sama sekali tidak mendengarkan ocehan Tuan Smith karena fokusnya saat ini sedang tertuju kepada Helena. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Alexander meminta kepada Dokter yang sedang menangani proses persalinan Helena untuk menghubunginya begitu proses operasi cesar selesai. Namun, hingga detik ini, tidak ada yang menghubungi atau mengirimkan pesan.Terbukti dari tidak adanya getaran pada ponselnya.
‘Bagaimana keadaan Helena dan juga anakku? Apakah bayi itu sudah lahir?’ batin Alexander yang terus mencoba untuk merasakan getar ponselnya.
“Tidak perlu mengkhawatirkan soal keluarga Wijaya, Ayah. Lagi pula, yang dibutuhkan oleh perusahaan kita adalah tetap memiliki hubungan dengan keluarga Wijaya untuk bisa mendapatkan sokongan gelar saja, kan?" tegas Alexander, "Sejauh ini, perusahaan keluarga juga baik-baik saja meski tanpa dukungan keluarga Wijaya sendiri. Maka dari itu, serahkan saja padaku. Aku akan mengurus semua, dan memastikan perusahaan tidak akan mendapatkan kerugian apapun.”
Kalimat yang keluar dari mulut Alexander barusan benar-benar menutup rapat mulut Tuan Smith yang hanya bisa memijat kepalanya--menahan emosi yang tidak seluruhnya dapat tersampaikan terhadap Alexander.
“Dia benar-benar sangat keras kepala, apa yang sedang dia pikirkan sama sekali tidak bisa ditebak,” gumam Tuan Smith sambil menatap Alexander yang mulai meninggalkan ruangan tersebut. Sementara itu, Nyonya Smith yang sejak tadi sengaja menguping pembicaraan antara suami dan juga anak tirinya memutuskan untuk keluar dari tempatnya. Sejenak menatap Tuan Smith dengan kesal. Tampak tidak bisa menahan diri lagi. “Kau tidak boleh terlalu lembek memperlakukan anak itu, Kevin. Ingat, dalam dunia bisnis, bahkan diri sendiri bisa menjadi musuh, kan?” peringat sang istri. Kevin lantas mengarahkan pandangannya pada wanita itu.Tersenyum tipis penuh arti karena ucapan barusan pun membuatnya jadi berpikir sangat dalam. Mungkinkah dia juga harus menganggap istrinya sendiri musuh?
“Tidak ada cara lain, Rose. Alexander adalah anak laki-laki yang aku punya, walaupun bukan kau yang melahirkan. Dalam dunia bisnis, aku pun bisa dengan cepat mengenali busuknya dunia bisnis itu. Namun, apalah dayaku karena kau tidak memiliki kemampuan untuk melahirkan anak laki-laki.” ujar Kevin seraya bangkit dari duduknya.
Ucapan pria itu menohok sang istri. Dia jelas tidak akan pernah bisa menerima kenyataan bahwa perusahaan besar milik keluarga Smith jatuh ke tangan Alexander. “Andai saja aku bisa melahirkan satu saja seorang putra, pemandangan seperti ini tidak akan pernah ada di dalam hidupku, kan?” Rose mengepalkan tangannya, “cuma anak seorang pelayan dan secuil darah dari keluarga Smith, apakah dia pantas untuk bisa memiliki perusahaan besar kami?”***
Di sisi lain, Alexander dan Han kembali ke rumah sakit.
Keadaan begitu tegang.
Namun sekitar 15 menit di dalam perjalanan, Alexander mendapatkan kabar bahwa Helena telah melahirkan anak kandung dari Rachel dan juga dirinya.
Anak laki-laki dengan berat 3000 gram dan panjang 55 cm.
Bayi itu lahir setelah perjuangan yang luar biasa dari Helena. “Bagaimana, Tuan?” tanya Han yang merasa penasaran juga, sambil mengemudi. Alexander menyimpan ponselnya lalu menjawab, “Bayinya sudah lahir, anak laki-laki seperti hasil pemeriksaan gender sebelumnya.” Han tesenyum, merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena akhirnya Alexander telah memiliki seorang putra. “Selamat untuk Anda, Tuan. Sekarang, hubungan Anda dengan keluarga Wijaya akan menjadi semakin erat. Ini jelas akan terjalin seumur hidup.” “Hem....” sahut Alexander.Tidak ada ekspresi khusus yang dia tunjukkan mendengar ucapan selamat dari Han.
Sejenak keduanya terdiam.Han kembali fokus untuk mengemudi, sampai teringat sesuatu. “Lantas, bagaimana dengan rencana selanjutnya, Tuan? Apa yang akan Tuan lakukan kepada Nona Helena?”
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat.Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy.Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu.Kam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga baru
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari
Han memperhatikan Alexander yang terdiam untuk beberapa saat.Dia tentu memiliki alasan yang kuat mengapa tetap membuat Helena berada di sekitarnya.Tapi, orang lain pasti akan menganggapnya atasannya ini gila. Baru beberapa hari istrinya meninggal, langsung bisa mendapatkan istri yang baru? Hanya saja, tubuh Han meremang kala menyadari Alexander tersenyum smirk. “Kenapa aku harus menjelaskan padamu, Han?” Asisten Alexander itu tertunduk. “Maafkan Saya, Tuan. Rasa ingin tahu yang sangat besar ini membuat saya benar-benar melakukan hal lancang sebesar ini,” sesalnya. Di sisi lain, Alexander melirik pada foto pernikahannya bersama Rachel yang masih tergantung di sana.Foto yang diletakkan sesuai dengan perintah dan juga keinginan Rachel.Alexander tampak berpikir, sebelum berkata, “Han, meskipun kau mengetahui banyak hal tentangku, tapi ada bagian-bagian yang tidak perlu Kau ketahui.” Ditatapnya Han dengan tajam lalu melanjutkan, “jangan pernah menanyakan alasan dari apa yang a
Brak! Buru-buru, Alexander menutup laptopnya dan mendesah frustasi.Biar bagaimanapun, ia pria normal!Apakah tidak bisa Alexander tenang sedikit? Mengapa setelah kepergian Rachel, hidupnya terus saja mengalami gejolak dari berbagai arah?Sementara itu ... tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, Helena terus menyusui Rendy berbekal ilmu dari Dokter rumah sakit.Katanya, setiap kali Rendy menangis, ia harus mengecek popok bayi itu.Jika dirasa baik-baik saja, maka Helena harus mengangkat Rendy dan menyusuinya, seperti saat ini."Akkhh..." ringis Helena tanpa sadar. Sungguh, menyusui tidaklah semudah yang ia bayangkan. Rasanya benar-benar nyeri sekali.Ujung dadanya seperti mau putus.Namun ditahannya demi Rendy, hingga tanpa sadar bukan hanya Rendy yang terlelap, dirinya pun ikut terlelap.Berbeda dengan Helena dan Rendy yang bisa terlelap, Alexander justru tak bisa memejamkan mata meski sudah bekerja sebanyak yang ia bisa.Entah mengapa, bayang-bayang Helena di kamar Rendy tadi,
“Ingat, Helena. Aku menjadikanmu sebagai istri simpanan untuk merawat Rendy,” tegas pria itu, “bukan untuk menjadi ibunya.” Helena mencengkram kedua lututnya kala mengingat ucapan Alexander kemarin. Ia bahkan tak bisa memejamkan mata meski sudah malam. “Alexander....” gumam Helena. Matanya terpejam mengingat wajah pria itu beberapa tahun lalu. Wajah pria itu sungguh membekas di hatinya, bahkan sejak pertama kali melihatnya di kampus. Jantung Helena bahkan terasa meledak kala tak sengaja bersitatap dengan mata Alexander yang begitu tajam, namun indah.Ya, sama seperti yang lain, Helena pun mengagumi sosoknya yang luar biasa. Dalam diam, ia sering memperhatikan senior di kampusnya itu. Namun, Helena sadar posisinya dan menghindar setiap kali tatapan mata mereka hampir bertemu.Ia menikmati cinta dalam diam itu, sampai suatu hari Rachel mengajak Helena makan siang bersama.Sahabatnya itu tak sendiri. Ia datang memeluk lengan Alexander yang terdiam tanpa ekspresi. “Helena, kami
Berbeda dengan apa yang tengah dirasakan Helena, Sarah justru tampak tersenyum bahagia kala merasakan semua perhatian tertuju padanya.Wanita itu berjalan dengan dagu terangkat tinggi saat masuk ke tempat berkumpulnya Sarah dan teman-teman alumni kampus.“Wah, Sarah, akhirnya kau datang juga!” ucap teman kampus. Sarah tersenyum, mengambil tempat duduk yang sudah disediakan oleh teman-temannya. “Kau pasti sibuk sekali, datangmu terlalu lambat, tahu!” protes salah satu yang ada di sana. “Maaf, ya. Beberapa waktu terakhir ini semua sedang tidak baik, aku saja hampir lupa untuk datang ke sini. Untung saja ada yang mengingatkan sore tadi.” ujar Sarah. Beberapa dari teman Sarah mengangguk. Mereka jelas memaklumi karena tahu kematian Rachel yang sangat mendadak. “Kami benar-benar berharap kau tetap merelakan kepergian Rachel, Sarah. Kalian semua sekeluarga pasti sedih, kami juga tidak menyangka Rachel akan pergi secepat ini.” “Iya, dia gadis yang baik.” “Eh, ngomong-ngomong s
Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Udara menjadi tambah dingin, hanya saja Helena tak bisa menikmati malam yang harusnya nyaman untuk lelap. Kakinya tidak berhenti mondar mandir, mengabaikan tubuhnya yang butuh istirahat. Rendy ada di gendongannya, bayi itu menolak untuk diletakkan. “Nak, tidak bisakah kau tidur?” tanya Helena frustasi. Matanya tetap terjaga, hatinya terus bergumam agar Rendy cepat tertidur. Sudah pukul 2 malam, bayi itu akan menjerit seperti singa kelaparan kala diletakkan. Lelah, tak sanggup lagi berdiri sementara telapak kaki Helena seperti mati rasa. Perlahan membawa Rendy ke ranjang tidurnya, membiarkan bayi kecil itu berada di pelukannya sepanjang malam. “Wah, dia benar-benar tidak bangun,” ucap Helena pelan. Mungkin, bayi itu menginginkan