Tak siap akan tamparan itu, Helena terhuyung. Namun, tak ada yang peduli padanya.
“Kembalikan anakku!” teriak Nyonya Wijaya lagi, “kenapa kau melakukan ini, kenapa kau menghilangkan nyawa anakku yang selama ini baik padamu?!”
Wanita itu tampak frustasi, hingga membuat Helena tak berani mengatakan apapun. Hanya saja, Helena menyadari tatapan dari pelayat yang tersisa jelas seperti menghakimi dirinya. “Dia tidak akan bisa mengatakan apapun, dia pasti sedang menyesali perbuatannya!” timpal Sarah tiba-tiba. Seperti sedang menyiram bensin pada kobaran api, sepupu Rachel itu tak henti membuat orang-orang di sekitarnya memilki arah pikiran yang sama. Entah mengapa, Helena merasa tubuhnya lemas dan gemetar. Bahkan, dia merasa kedua kakinya melayang di udara. Sementara itu, Alexander masih berdiri di tempatnya. Sorot mata pria tampan itu nampak begitu dalam. Dan keterdiamannya itu ... justru membuat Sarah semakin merajalela. “Bi, lebih baik kita kirim saja dia ke penjara. Lagi pula, semua bukti mengarah padanya, dia tidak akan bisa mengelak,” ucapnya sembari menyembunyikan senyum tipis miliknya. Mendengar itu, Helena terkejut. Penjara? Wanita itu menggelengkan kepalanya, tak percaya. “Tidak, aku tidak bisa....” ucap Helena lirih.Dia sudah dekat dengan waktu persalinan. Mana bisa dia menerima keputusan itu?
Terlebih, anak Rachel yang ada di dalam perutnya itu pantas mendapatkan segala yang terbaik, sesuai keinginan sahabatnya itu. Sayangnya, Nyonya dan Tuan Wijaya yang dikuasai amarah, malah menatap Helena tajam, seolah mereka memiliki pemikiran yang sama, seperti Sarah. “Kenapa kau terlihat takut? Kau memang seharusnya dipenjara, Helena!” tegas Sarah. Nyut! Helena memegangi perutnya merasakan sakit yang tiba-tiba saja menyerang. Nyeri, mengeras bagaikan batu, dan merambat cepat ke punggungnya. “Hah?!” Sarah tersenyum dengan tatapan mencemooh. “Kau pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, kan?” Helena jelas tidak dapat berbicara.Perutnya terlalu sakit saat ini.
“Akhhhhhh” Helena menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa sakit itu, “Sakit...... Akhhhh!”
Semua orang mulai merasa khawatir, namun Sarah tidak mempercayai hal itu. Dia sangat tidak merelakan jika Helena lepas begitu saja, tidak perduli dengan kehamilan, dan anak siapa yang ada di dalam perutnya. “Jangan berakting, membuatku muak saja!” bentak Sarah. Tangannya sudah terulur, seolah siap mengayunkan ke wajah Helena. “Hentikan!” cegah Alexander tiba-tiba, “Jangan memberikan hukuman apapun, kau bukan pihak berwajib, Sarah!” Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang. Terlalu menakutkan sorot mata Alexander saat ini, sehingga Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi. Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu, tampak terhuyung.Darah juga mulai mengucur hingga mengalir ke kakinya.
Alexander yang pertama kali menyadari itu.Melihat Helena sudah tidak sanggup berdiri lebih lama lagi, pria itu dengan cepat beranjak demi menahan tubuhnya.
Semua yang ada di sana benar-benar terkejut meski sempat merasa bahwa Helena tidak berpura-pura.
“Han, siapkan mobil!” titah Alexander kepada asisten sekretarisnya. “Baik, Tuan.” Jawabnya. Han yang sejak tadi memang berada terus di dekat Alexander bergegas melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuannya itu. “Akkkkhhhhhh......” Helena semakin meremas perutnya, rasanya sakit sekali hingga dia tidak bisa menahan desahan sakit itu. Tidak ada pilihan lain.Terlalu lama jika harus menunggu Han kembali.
Mengabaikan tuan dan juga Nyonya Wijaya, serta beberapa pelayat lain yang masih ada di sana, Alexander lantas bergegas membawa Helena dengan membopongnya menuju ke mobil. Sarah sendiri benar-benar terperangah tak percaya. ‘Bagaimana bisa kak Alexander menggendong Helena di hadapan kami semua?’ batinnya. Sementara itu, Tuan dan Nyonya Wijaya menatap dingin.Orang tua Rachel sudah terhasut, sehingga menganggap bahwa Helena sengaja seperti itu.
“Helena pasti ingin merebut posisi Rachel, kan?” bisik Nyonya Wijaya yang masih terdengar Sarah. Wanita itu mengepalkan tangannya, semakin tidak menyukai keberadaan Helena!***
"Ke rumah sakit biasa.""Baik, Tuan." Han langsung menjalankan mobil mendengar perintah Alexander.
Sementara pria itu gegas menghubungi Dokter yang selama ini membantu tentang kehamilan Helena.
Begitu tiba di rumah sakit, Dokter dan beberapa perawat yang sudah siaga langsung memindahkan tubuh Helena ke atas brankar rumah sakit.
Mendorongnya masuk menuju ke ruangan yang sudah disiapkan. Alexander dan Han mengikuti. Mereka pun menunggu di luar ruangan, sedangkan Helena tengah mendapatkan perawatan. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Alexander.Pria itu benar-benar terlihat tenang jika dilihat sekilas.
Namun, siapa yang tahu bahwa hatinya saat ini merasakan sesuatu yang amat dalam? Han yang ada di dekat Alexander pun memilih untuk diam--paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Alexander meski tidak pernah pria itu menyampaikan tentang isi hatinya.Tak lama, Dokter keluar dari ruangan tersebut, membuat Alexander dan Han mendekati untuk tahu bagaimana keadaan Helena, terutama tentang bayi yang dikandungnya.
“Bagaimana, Dok?” tanya Han. Dokter itu nampak lesu, namun kewajibannya pula untuk mengatakan yang sejujurnya. “Pasien mengalami tekanan emosional yang sangat dalam. Stress yang cukup parah ini benar-benar berdampak besar untuk kehamilan, terutama janin. Tekanan darahnya sangat tinggi, namun bayi juga harus segera dilahirkan.” Alexander mengeraskan rahangnya, frustasi untuk apa yang dia dengar barusan. “Kita harus segera melakukan operasi caesar, Tuan. Semakin cepat akan semakin baik, terutama untuk Nona Helena yang keadaannya lebih lemah dibanding bayinya,” timpal sang Dokter. Alexander mengusap wajahnya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia berkata, “Lakukan saja apa yang perlu dilakukan, pastikan keduanya selamat!” Dokter menganggukkan kepalanya, “Baiklah, Tuan.” Alexander menghela napas.Hanya saja, ponsel pria itu tiba-tiba berdering, membuat fokusnya teralihkan sementara.
Melihat yang menghubunguinya adalah sang ayah, tak ada pilihan lain bagi Alexander selain menerima panggilan itu. “Segera ke Kediaman Smith, Alexander!” titah pria tua itu begitu sambungan teleponnya terhubung. Alexander memijat pelipisnya yang terasa begitu pusing. “Aku sedang di rumah sakit, Helena akan melahirkan anakku dengan Rachel.” “Kau pikir aku peduli? Bukankah Dokter di sana juga sangat kompeten? Anak itu pasti selamat. Jadi, cepat ke sini!”“Setelah wanita itu melahirkan anakmu dan Rachel, pastikan kau mengirimnya ke penjara!” titah Tuan Smith begitu Alexander tiba di tempat yang dikehendaki pria tua itu. Kalimat itu benar-benar membuat Alexander menatapnya dengan dingin. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku barusan, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau--" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya.Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut.Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat.Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy.Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu.Kam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga baru
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari
Han memperhatikan Alexander yang terdiam untuk beberapa saat.Dia tentu memiliki alasan yang kuat mengapa tetap membuat Helena berada di sekitarnya.Tapi, orang lain pasti akan menganggapnya atasannya ini gila. Baru beberapa hari istrinya meninggal, langsung bisa mendapatkan istri yang baru? Hanya saja, tubuh Han meremang kala menyadari Alexander tersenyum smirk. “Kenapa aku harus menjelaskan padamu, Han?” Asisten Alexander itu tertunduk. “Maafkan Saya, Tuan. Rasa ingin tahu yang sangat besar ini membuat saya benar-benar melakukan hal lancang sebesar ini,” sesalnya. Di sisi lain, Alexander melirik pada foto pernikahannya bersama Rachel yang masih tergantung di sana.Foto yang diletakkan sesuai dengan perintah dan juga keinginan Rachel.Alexander tampak berpikir, sebelum berkata, “Han, meskipun kau mengetahui banyak hal tentangku, tapi ada bagian-bagian yang tidak perlu Kau ketahui.” Ditatapnya Han dengan tajam lalu melanjutkan, “jangan pernah menanyakan alasan dari apa yang a
Brak! Buru-buru, Alexander menutup laptopnya dan mendesah frustasi.Biar bagaimanapun, ia pria normal!Apakah tidak bisa Alexander tenang sedikit? Mengapa setelah kepergian Rachel, hidupnya terus saja mengalami gejolak dari berbagai arah?Sementara itu ... tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, Helena terus menyusui Rendy berbekal ilmu dari Dokter rumah sakit.Katanya, setiap kali Rendy menangis, ia harus mengecek popok bayi itu.Jika dirasa baik-baik saja, maka Helena harus mengangkat Rendy dan menyusuinya, seperti saat ini."Akkhh..." ringis Helena tanpa sadar. Sungguh, menyusui tidaklah semudah yang ia bayangkan. Rasanya benar-benar nyeri sekali.Ujung dadanya seperti mau putus.Namun ditahannya demi Rendy, hingga tanpa sadar bukan hanya Rendy yang terlelap, dirinya pun ikut terlelap.Berbeda dengan Helena dan Rendy yang bisa terlelap, Alexander justru tak bisa memejamkan mata meski sudah bekerja sebanyak yang ia bisa.Entah mengapa, bayang-bayang Helena di kamar Rendy tadi,
“Ingat, Helena. Aku menjadikanmu sebagai istri simpanan untuk merawat Rendy,” tegas pria itu, “bukan untuk menjadi ibunya.” Helena mencengkram kedua lututnya kala mengingat ucapan Alexander kemarin. Ia bahkan tak bisa memejamkan mata meski sudah malam. “Alexander....” gumam Helena. Matanya terpejam mengingat wajah pria itu beberapa tahun lalu. Wajah pria itu sungguh membekas di hatinya, bahkan sejak pertama kali melihatnya di kampus. Jantung Helena bahkan terasa meledak kala tak sengaja bersitatap dengan mata Alexander yang begitu tajam, namun indah.Ya, sama seperti yang lain, Helena pun mengagumi sosoknya yang luar biasa. Dalam diam, ia sering memperhatikan senior di kampusnya itu. Namun, Helena sadar posisinya dan menghindar setiap kali tatapan mata mereka hampir bertemu.Ia menikmati cinta dalam diam itu, sampai suatu hari Rachel mengajak Helena makan siang bersama.Sahabatnya itu tak sendiri. Ia datang memeluk lengan Alexander yang terdiam tanpa ekspresi. “Helena, kami
Berbeda dengan apa yang tengah dirasakan Helena, Sarah justru tampak tersenyum bahagia kala merasakan semua perhatian tertuju padanya.Wanita itu berjalan dengan dagu terangkat tinggi saat masuk ke tempat berkumpulnya Sarah dan teman-teman alumni kampus.“Wah, Sarah, akhirnya kau datang juga!” ucap teman kampus. Sarah tersenyum, mengambil tempat duduk yang sudah disediakan oleh teman-temannya. “Kau pasti sibuk sekali, datangmu terlalu lambat, tahu!” protes salah satu yang ada di sana. “Maaf, ya. Beberapa waktu terakhir ini semua sedang tidak baik, aku saja hampir lupa untuk datang ke sini. Untung saja ada yang mengingatkan sore tadi.” ujar Sarah. Beberapa dari teman Sarah mengangguk. Mereka jelas memaklumi karena tahu kematian Rachel yang sangat mendadak. “Kami benar-benar berharap kau tetap merelakan kepergian Rachel, Sarah. Kalian semua sekeluarga pasti sedih, kami juga tidak menyangka Rachel akan pergi secepat ini.” “Iya, dia gadis yang baik.” “Eh, ngomong-ngomong s