Share

Bab 2

Tak siap akan tamparan itu, Helena terhuyung.

Namun, tak ada yang peduli padanya.

“Kembalikan anakku!” teriak Nyonya Wijaya lagi, “kenapa kau melakukan ini, kenapa kau menghilangkan nyawa anakku yang selama ini baik padamu?!”

Wanita itu tampak frustasi, hingga membuat Helena tak berani mengatakan apapun.

Hanya saja, Helena menyadari tatapan dari pelayat yang tersisa jelas seperti menghakimi dirinya.

“Dia tidak akan bisa mengatakan apapun, dia pasti sedang menyesali perbuatannya!” timpal Sarah tiba-tiba.

Seperti sedang menyiram bensin pada kobaran api, sepupu Rachel itu tak henti membuat orang-orang di sekitarnya memilki arah pikiran yang sama.

Entah mengapa, Helena merasa tubuhnya lemas dan gemetar. Bahkan, dia merasa kedua kakinya melayang di udara.

Sementara itu, Alexander masih berdiri di tempatnya. Sorot mata pria tampan itu nampak begitu dalam.

Dan keterdiamannya itu ... justru membuat Sarah semakin merajalela.

“Bi, lebih baik kita kirim saja dia ke penjara. Lagi pula, semua bukti mengarah padanya, dia tidak akan bisa mengelak,” ucapnya sembari menyembunyikan senyum tipis miliknya.

Mendengar itu, Helena  terkejut.

Penjara? Wanita itu menggelengkan kepalanya, tak percaya. “Tidak, aku tidak bisa....” ucap Helena lirih.

Dia sudah dekat dengan waktu persalinan. Mana bisa dia menerima keputusan itu?

Terlebih, anak Rachel yang ada di dalam perutnya itu pantas mendapatkan segala yang terbaik, sesuai keinginan sahabatnya itu.

Sayangnya, Nyonya dan Tuan Wijaya yang dikuasai amarah, malah menatap Helena tajam, seolah mereka memiliki pemikiran yang sama, seperti Sarah.

“Kenapa kau terlihat takut? Kau memang seharusnya dipenjara, Helena!” tegas Sarah.

Nyut!

Helena memegangi perutnya merasakan sakit yang tiba-tiba saja menyerang.

Nyeri, mengeras bagaikan batu, dan merambat cepat ke punggungnya.

“Hah?!” Sarah tersenyum dengan tatapan mencemooh. “Kau pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, kan?”

Helena jelas tidak dapat berbicara.

Perutnya terlalu sakit saat ini.

“Akhhhhhh” Helena menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa sakit itu, “Sakit...... Akhhhh!”

Semua orang mulai merasa khawatir, namun Sarah tidak mempercayai hal itu. Dia sangat tidak merelakan jika Helena lepas begitu saja, tidak perduli dengan kehamilan, dan anak siapa yang ada di dalam perutnya.

“Jangan berakting, membuatku muak saja!” bentak Sarah. Tangannya sudah terulur, seolah siap mengayunkan ke wajah Helena.

“Hentikan!” cegah Alexander tiba-tiba, “Jangan memberikan hukuman apapun, kau bukan pihak berwajib, Sarah!”

Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang.

Terlalu menakutkan sorot mata Alexander saat ini, sehingga Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi.

Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu, tampak terhuyung.

Darah juga mulai mengucur hingga mengalir ke kakinya.

Alexander yang pertama kali menyadari itu.

Melihat Helena sudah tidak sanggup berdiri lebih lama lagi, pria itu dengan cepat beranjak demi menahan tubuhnya.

Semua yang ada di sana benar-benar terkejut meski sempat merasa bahwa Helena tidak berpura-pura.

“Han, siapkan mobil!” titah Alexander kepada asisten sekretarisnya.

“Baik, Tuan.” Jawabnya.

Han yang sejak tadi memang berada terus di dekat Alexander bergegas melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuannya itu.

“Akkkkhhhhhh......” Helena semakin meremas perutnya, rasanya sakit sekali hingga dia tidak bisa menahan desahan sakit itu.

Tidak ada pilihan lain.

Terlalu lama jika harus menunggu Han kembali.

Mengabaikan tuan dan juga Nyonya Wijaya, serta beberapa pelayat lain yang masih ada di sana, Alexander lantas bergegas membawa Helena dengan membopongnya menuju ke mobil.

Sarah sendiri benar-benar terperangah tak percaya. ‘Bagaimana bisa kak Alexander menggendong Helena di hadapan kami semua?’ batinnya.

Sementara itu, Tuan dan Nyonya Wijaya menatap dingin.

Orang tua Rachel sudah terhasut, sehingga menganggap bahwa Helena sengaja seperti itu.

“Helena pasti ingin merebut posisi Rachel, kan?” bisik Nyonya Wijaya yang masih terdengar Sarah.

Wanita itu mengepalkan tangannya, semakin tidak menyukai keberadaan Helena!

***

"Ke rumah sakit biasa."

"Baik, Tuan." Han langsung menjalankan mobil mendengar perintah Alexander.

Sementara pria itu gegas menghubungi Dokter yang selama ini membantu tentang kehamilan Helena.

Begitu tiba di rumah sakit, Dokter dan beberapa perawat yang sudah siaga langsung memindahkan tubuh Helena ke atas brankar rumah sakit.

Mendorongnya masuk menuju ke ruangan yang sudah disiapkan.

Alexander dan Han mengikuti.

Mereka pun menunggu di luar ruangan, sedangkan Helena tengah mendapatkan perawatan.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Alexander.

Pria itu benar-benar terlihat tenang jika dilihat sekilas.

Namun, siapa yang tahu bahwa hatinya saat ini merasakan sesuatu yang amat dalam?

Han yang ada di dekat Alexander pun memilih untuk diam--paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Alexander meski tidak pernah pria itu menyampaikan tentang isi hatinya.

Tak lama, Dokter keluar dari ruangan tersebut, membuat Alexander dan Han mendekati untuk tahu bagaimana keadaan Helena, terutama tentang bayi yang dikandungnya.

“Bagaimana, Dok?” tanya Han.

Dokter itu nampak lesu, namun kewajibannya pula untuk mengatakan yang sejujurnya. “Pasien mengalami tekanan emosional yang sangat dalam. Stress yang cukup parah ini benar-benar berdampak besar untuk kehamilan, terutama janin. Tekanan darahnya sangat tinggi, namun bayi juga harus segera dilahirkan.”

Alexander mengeraskan rahangnya, frustasi untuk apa yang dia dengar barusan.

“Kita harus segera melakukan operasi caesar, Tuan. Semakin cepat akan semakin baik, terutama untuk Nona Helena yang keadaannya lebih lemah dibanding bayinya,” timpal sang Dokter.

Alexander mengusap wajahnya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia berkata, “Lakukan saja apa yang perlu dilakukan, pastikan keduanya selamat!”

Dokter menganggukkan kepalanya, “Baiklah, Tuan.”

Alexander menghela napas.

Hanya saja, ponsel pria itu tiba-tiba berdering, membuat fokusnya teralihkan sementara.

Melihat yang menghubunguinya adalah sang ayah, tak ada pilihan lain bagi Alexander selain menerima panggilan itu.

“Segera ke Kediaman Smith, Alexander!” titah pria tua itu begitu sambungan teleponnya terhubung.

Alexander memijat pelipisnya yang terasa begitu pusing. “Aku sedang di rumah sakit, Helena akan melahirkan anakku dengan Rachel.”

“Kau pikir aku peduli? Bukankah Dokter di sana juga sangat kompeten? Anak itu pasti selamat. Jadi, cepat ke sini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status