Brak! Buru-buru, Alexander menutup laptopnya dan mendesah frustasi.Biar bagaimanapun, ia pria normal!Apakah tidak bisa Alexander tenang sedikit? Mengapa setelah kepergian Rachel, hidupnya terus saja mengalami gejolak dari berbagai arah?Sementara itu ... tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, Helena terus menyusui Rendy berbekal ilmu dari Dokter rumah sakit.Katanya, setiap kali Rendy menangis, ia harus mengecek popok bayi itu.Jika dirasa baik-baik saja, maka Helena harus mengangkat Rendy dan menyusuinya, seperti saat ini."Akkhh..." ringis Helena tanpa sadar. Sungguh, menyusui tidaklah semudah yang ia bayangkan. Rasanya benar-benar nyeri sekali.Ujung dadanya seperti mau putus.Namun ditahannya demi Rendy, hingga tanpa sadar bukan hanya Rendy yang terlelap, dirinya pun ikut terlelap.Berbeda dengan Helena dan Rendy yang bisa terlelap, Alexander justru tak bisa memejamkan mata meski sudah bekerja sebanyak yang ia bisa.Entah mengapa, bayang-bayang Helena di kamar Rendy tadi,
“Ingat, Helena. Aku menjadikanmu sebagai istri simpanan untuk merawat Rendy,” tegas pria itu, “bukan untuk menjadi ibunya.” Helena mencengkram kedua lututnya kala mengingat ucapan Alexander kemarin. Ia bahkan tak bisa memejamkan mata meski sudah malam. “Alexander....” gumam Helena. Matanya terpejam mengingat wajah pria itu beberapa tahun lalu. Wajah pria itu sungguh membekas di hatinya, bahkan sejak pertama kali melihatnya di kampus. Jantung Helena bahkan terasa meledak kala tak sengaja bersitatap dengan mata Alexander yang begitu tajam, namun indah.Ya, sama seperti yang lain, Helena pun mengagumi sosoknya yang luar biasa. Dalam diam, ia sering memperhatikan senior di kampusnya itu. Namun, Helena sadar posisinya dan menghindar setiap kali tatapan mata mereka hampir bertemu.Ia menikmati cinta dalam diam itu, sampai suatu hari Rachel mengajak Helena makan siang bersama.Sahabatnya itu tak sendiri. Ia datang memeluk lengan Alexander yang terdiam tanpa ekspresi. “Helena, kami
Berbeda dengan apa yang tengah dirasakan Helena, Sarah justru tampak tersenyum bahagia kala merasakan semua perhatian tertuju padanya.Wanita itu berjalan dengan dagu terangkat tinggi saat masuk ke tempat berkumpulnya Sarah dan teman-teman alumni kampus.“Wah, Sarah, akhirnya kau datang juga!” ucap teman kampus. Sarah tersenyum, mengambil tempat duduk yang sudah disediakan oleh teman-temannya. “Kau pasti sibuk sekali, datangmu terlalu lambat, tahu!” protes salah satu yang ada di sana. “Maaf, ya. Beberapa waktu terakhir ini semua sedang tidak baik, aku saja hampir lupa untuk datang ke sini. Untung saja ada yang mengingatkan sore tadi.” ujar Sarah. Beberapa dari teman Sarah mengangguk. Mereka jelas memaklumi karena tahu kematian Rachel yang sangat mendadak. “Kami benar-benar berharap kau tetap merelakan kepergian Rachel, Sarah. Kalian semua sekeluarga pasti sedih, kami juga tidak menyangka Rachel akan pergi secepat ini.” “Iya, dia gadis yang baik.” “Eh, ngomong-ngomong s
Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Udara menjadi tambah dingin, hanya saja Helena tak bisa menikmati malam yang harusnya nyaman untuk lelap. Kakinya tidak berhenti mondar mandir, mengabaikan tubuhnya yang butuh istirahat. Rendy ada di gendongannya, bayi itu menolak untuk diletakkan. “Nak, tidak bisakah kau tidur?” tanya Helena frustasi. Matanya tetap terjaga, hatinya terus bergumam agar Rendy cepat tertidur. Sudah pukul 2 malam, bayi itu akan menjerit seperti singa kelaparan kala diletakkan. Lelah, tak sanggup lagi berdiri sementara telapak kaki Helena seperti mati rasa. Perlahan membawa Rendy ke ranjang tidurnya, membiarkan bayi kecil itu berada di pelukannya sepanjang malam. “Wah, dia benar-benar tidak bangun,” ucap Helena pelan. Mungkin, bayi itu menginginkan
Akhir pekan, di pagi hari. Helena membawa Rendy keluar dari kamar, membiarkan bayi itu bisa menghirup udara luar yang segar. Tidak jauh, Helena hanya membawa Rendy ke taman samping rumah. “Wah, bunganya bermekaran, indah sekali!” ungkap Helena senang. Selama beberapa hari pasca melahirkan terus terkurung di dalam kamar bersama dengan Rendy, akhirnya seperti keluar dari markas persembunyian selama bertahun-tahun. Lega, udara yang alami terasa lebih segar. Saat berbalik badan, tiba-tiba saja Helena dikejutkan dengan Alexander yang keluar dari ruangan belakang sambil menggosok tengkuk dengan handuk kecil. Penampilan Alexander yang hanya menggunakan celana pendek, bertelanjang dada hingga bagian otot pada dada serta perut terlihat jelas. Pria itu pasti baru selesai berolah raga. “Ya Tuhan....” buru-buru Helena berbalik badan. Tidak boleh melihat Alexander terlalu lama, sadar itu bukanlah
Kembali ke rumah membawa kekesalan, tidak menyangka kalau reaksi Alexander atas Helena terlalu keras. “Apa-apaan, dia?” protes Sarah. Banyak yang ada di ranjang tidurnya sudah melayang entah kemana akibat kemarahannya, sprei pun sudah tidak karuan posisinya. Ekspresi wajah Alexander saat memperingatkan Sarah tentang Helena, bagaimana mungkin akan dilupakannya? Gret.... Sarah mengepalkan tangannya, kebenciannya terhadap Helena semakin menjadi-jadi. “Aku tidak akan melepaskan mu, Helena. Sejak dulu kau selalu menjadi kerikil tajam yang mengganggu jalanku, maka aku akan menyingkirkan sejauh mungkin!” tekat Sarah semakin bulat. Gadis itu mulai berpikir akan cara yang digunakan untuk menyingkirkan Helena. Terlalu beresiko jika menyakiti Helena secara langsung, pengawasan terhadap wanita itu terlalu ketat. Sarah mendesah penat, “Aku akan sabar menunggu, aku pastikan tidak akan ada kecurigaan yang tertuju padaku.” Di kediaman Alexander, malam itu benar-benar sunyi.
Helena kembali ke kamar, sontak memegangi dadanya yang masih terus berdebar kencang. “Lupakan, aku mohon lupakan yang terjadi barusan, Helena...” ucapnya, memperingati dirinya sendiri. Malam itu, usaha Helena untuk melupakan apa yang terjadi dengan Alexander gagal. Wajah pria itu, semakin membekas di kepalanya. Sampai matahari menjembul keluar pun, Helena masih tidak bisa tidur. Alexander terbangun dari tidurnya, mengusap wajahnya dengan kasar agar kantuk yang tertinggal di matanya menghilang dengan sempurna. Sejenak melamun, mengingat semalam. Ditariknya nafas dalam-dalam, menghembuskan cepat. “Apa dia akan berpikir aneh-aneh?” Menggeleng kepala, Alexander pun tidak ingin terus memikirkannya. Gegas bangkit dari ranjangnya, menuju ke kamar mandi
“Ugh!” Mual Helena yang merasai asin berlebihan pada makanannya. Segelas air langsung Helena tenggak, coba menyingkirkan rasa asin itu dari mulutnya. Masih tidak bisa hilang sepenuhnya, Helena menggosoknya dengan tisu. “Kenapa makanannya asin sekali, sih?” gumam Helena tak habis pikir. Biasanya terlalu hambar, sekarang terlalu banyak garam. “Apa karena Tuan Alexander kesal sehingga dia jadi menambahkan banyak garam?” tanya Helena bingung. Semakin Helena memikirkannya, tuduhannya benar-benar hanya kepada Alexander. Hanya bisa menerima saja perlakuan buruk ini, Helena akan mencoba menahannya sekuat tenaga. “Mungkin, mereka juga pasti ingin sekali memberikan racun mematikan untukku. Garam ini cuma peringatan, seharusnya aku memang sada