Tak dianggap di keluarga suami hanya karena status ipar? pun hanya sebuah pesan chat! Namun semua berubah ketika ia bersikap tegas.
View MorePesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a
[Mohon doa untuk kesembuhan Putra, semoga typus nya segera pulih] Pesan itu ku kirim ke grup keluarga Bang Rafi. Kondisi Putra anakku, lagi terbaring sakit. Seorang ibu hanya bisa meminta doa pada yang maha kuasa, semoga diberi kekuatan dan kesembuhan untuk anaknya.Pun dengan doa-doa orang terdekat terutama keluarga, semoga bisa ikut bantu memanjatkan doa untuk kesembuhan Putra.Sudah cukup lama pesanku itu terkirim, hanya dibaca saja. Tanpa seorangpun merespon. Sama halnya dengan yang dulu-dulu pernah terjadi, ketika aku mengirim pesan chat di keluarga Bang Rafi. Tak ada respon. Dan saat itu aku masih berpikir positif."Dek, Abang hari ini pulang agak malam ya? Ada lemburan, nanti minta tolong sama Mba Tia gantian jagain Putra, supaya kamu bisa pulang sebentar urus Dinda. Abis dari kantor, Abang akan langsung ke rumah sakit gantian sama Mbak Tia. Gimana?" Suamiku memberi pendapatnya."Adek sih gak masalah, Ban
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments