Share

Bab 5

Author: Sarah Kencana
last update Last Updated: 2022-12-27 10:27:59

Aku benar-benar sudah tak tahan dengan sikap Mba Tia. Seenaknya saja buat aturan demi kepentingan hidupnya sendiri.

"Maaf ya, Bang. Adek gak bermaksud tak sopan, tapi adek kesal dengar mulut Mba Tia barusan."

"Iya Dek, Abang juga ga nyangka ... Abang jadi paham sekarang .... Semoga saja Mba Tia gak bakalan berani minta-minta sama Abang lagi. 

Dek ... maafin Abang ya? Abang benar-benar baru terbuka pikirannya. Selama ini memang tak pernah Abang lihat Mba Tia seperti itu.

Mungkin karena dulu semua keinginannya Abang turuti, jadi Mba Tia terlihat baik-baik saja depan kamu.

Ingatkan Abang ya Dek, jika Abang nantinya ada kelupaan lagi ..."

Aku mengangguk, berharap ucapan Bang Rafi memang benar-benar sebuah penyesalan. Karena aku paham sekali tabiat suamiku ini. Tak tega-an. Jadi gampang dimanfaatkan orang.

Hari ini Putra sudah boleh pulang kata dokternya. Aku merasa sangat lega. Setidaknya, kami sudah bisa berkumpul lagi dirumah, dan si kecil tak perlu ditinggal-tinggal lagi olehku.

Semua perlengkapan Putra telah ku bereskan, tentu dibantu oleh Bang Rafi.

Setelah semuanya beres, aku ke bagian administrasi untuk membayar semua tagihan rawat inap Putra.

"Makasih ya, Dek .... Sudah bantu urusan anak kita. InsyaAllah kedepan, Abang akan lebih berhati-hati dalam menggunakan keuangan yang ada. Sungguh, Abang malu sama kamu! Abang janji, kalau sudah terkumpul, uang kamu nanti Abang ganti, ya," 

"Iya Bang, gak papa kok. Adek gak keberatan, apalagi untuk anak sendiri. Selagi kita bisa sama-sama saling membantu, itu artinya kita sudah satu visi misi Bang. Adek doakan rezeki Abang makin melimpah nantinya, dan makin barokah untuk keluarga kita,"

"Aamiin ... makasih ya Dek." Terlihat mata Bang Rafi sedikit berembun.

💐💐💐

Ketika sudah dirumah, banyak tetangga yang menjenguk Putra. Mereka bilang belum bisa menjenguk ke rumah sakit karena kesibukan. Dan baru bisa menjenguk saat dirumah saja.

"Jadi merepotkan ibu-ibu nih, makasih ya udah datang dan mendoakan anak saya," kataku berterimakasih pada para tetangga.

"Kami yang minta maaf Bu Fiza, soalnya baru sempet sekarang jenguk Putra. Yang penting sudah sehat ya?" ujar Bu Titi tetanggaku.

"Aamiin, makasih Bu Titi dan ibu-ibu yang lain. Ayo diminum dan dicicipi hidangannya," aku menghidangkan minuman dan makanan ringan. 

Tak lama setelah tamu pulang, tiba-tiba seorang wanita datang kerumah. Ah, sudah kutebak, dia adalah Mba Zara kakak pertama Bang Rafi.

Aku sedikit ragu dengan kedatangannya ini, karena tumben sekali dia mau kemari kalau hanya alasannya menjenguk Putra.

"Mana Rafi?" tanya Mba Zara dengan wajah yang sulit ku artikan.

"Lagi keluar sebentar, Mba. Gak lama lagi pulang kok," jawabku berusaha ramah.

"Rumah masih gini-gini aja? Gak sumpek apa, Fiza? Apa anak-anak betah? Pantes aja kalo Putra sakit, rumahmu kondisinya begini," tanyanya lagi tiba-tiba.

Duh, Mba Zara ini kesini mau mengejek atau gimana sih? Kesal sekali rasanya.

"Oh, ya, Alhamdulillah Mba ... Doakan saja segera punya rumah mah baru. Oh iya, Mba Zara kemari mau ketemu Bang Rafi ya? Ditunggu aja ya Mba,"

Malas rasanya meladeni Kakak Bang Rafi ini, lebih baik aku merapikan sisa-sisa piring dan gelas bekas tamu para tetangga tadi. Dari pada nanti kena nyinyir lagi oleh kakak iparku ini.

"Iya lah! Emang mau ngapain lagi!" jawab Mba Zara ketus.

Aku hanya menghela napas. Lalu meminta Bi Siti, ART ku untuk membantu membereskan semua piring dan gelas.

"Ya ampun, rumah masih begini kamu udah berani pakai ART segala Fiza? Duh, kesian banget Rafi kudu bayar pembantu, padahal istrinya ada nganggur aja!" Celetuk Mba Zara lagi.

Tak habis-habis rasanya kata-kata dalam mulut iparku satu ini untuk nyinyir di depan ku. Tahan Fiza, tahan. Sabar ...

"Selagi Bang Rafi tidak keberatan, ya rasanya gak masalah Mba. Toh, ini kan rumah tangga saya dan Bang Rafi yang punya takaran sendiri yang kami dimiliki. Yang penting tiap bulan kami tak pernah minta-minta pada saudara sendiri,"

Mba Zara terlihat kaget dengan penuturan ku barusan, mungkin ia tersinggung dengan ucapanku. 

Biarkan saja, toh itu sebuah kebenaran bukan hal yang mengada-ada.

Mba Zara tak menjawab lagi ucapanku, hanya bibirnya saja yang mencekik tanda tak suka.

Tak lama, ada ojek online mengetuk pintu. Ia mengantarkan paket makanan dalam jumlah yang sangat banyak. 

Ternyata pengirimnya adalah Mas Deni, kakak tertuaku. Aku langsung mengambil gawai, lalu memberinya pesan bahwa paketan darinya sudah sampai.

Mas Deni belum bisa datang lagi kerumah menjenguk Putra, karena harus keluar kota. Jadi nitip makanan saja.

Ah, Mas ku satu ini memang benar-benar baik. Dan memang Putra juga dekat dengan paman dan bibinya dari pihak keluargaku.

"Bi, dibawa kedalam ya. Kasih tau Putra, kiriman Paman Deni untuknya," titah ku pada Bi Siti.

Mba Zara hanya bisa melongo melihat paket makanan yang banyak itu masuk kedalam. Ketika ku lirik, mata Mba Zara langsung berpaling ke arah yang lain. 

"Itu, Bang Rafi pulang Mba," kataku setelah melihat Bang Rafi turun dari mobil.

Dengan sumringah, Mba Zara gegas keluar rumah dan menemui adiknya.

Aku tak berani ikut nimbrung kedepan. Karena sepertinya, Mba Zara hanya mau berbicara pada Bang Rafi saja tanpa diganggu.

Aku hanya memandang dari jendela ruang tamu saja. Sepertinya Bang Rafi bersikap kurang tertarik dengan omongan kakaknya itu.

Semoga Bang Rafi tak mudah kena bujuk rayu lagi. Batinku.

Bi Siti sudah kembali kedepan membawa minuman dan beberapa cemilan. Sebagai tuan rumah yang baik, sudah semestinya menyuguhkan hidangan buat tamu. Apalagi yang datang adalah saudara Bang Rafi. Jadi ku hidangkan yang terbaik untuknya. 

Lumayan lama mereka diluar, sepertinya tidak ada kesepakatan yang bagus diantara mereka. 

Aku memberanikan diri keluar, menghampiri mereka berdua.

"Bang, ajak Mba Zara kedalam ya. Adek udah siapin minuman dan makanan,"

Bang Rafi hanya mengangguk pelan, tidak mengucapkan satu patah katapun. Itu artinya mereka lagi serius.

"Terserah Mba, Rafi gak bisa! Mau dicicil atau langsung dilunasi, terserah Mba Zara aja. Itu uang Rafi pinjamkan, bukan Rafi kasih percuma! Kalau mau minta lagi, Rafi gak ada!"

Suara Bang Rafi terdengar cukup kencang. Sudah kuduga, kedatangan kakak ya itu tak lain hanya kepentingan diri semata. Duit!

"Tapi, Raf! Kalo yang seratus juta kemarin harusnya tak perlu kau minta lagi lah! Tapi untuk kali ini, Mba minta tolong dengan sangat! Nanti Mba ganti, nyicil tiap bulan, Raf!" suara Mba Zara gak kalah kencang ternyata, hingga telingaku masih dapat menangkapnya.

Bang Rafi malah masuk kedalam ruang tamu, diikuti oleh Mba Zara yang terlihat panik.

Aku duduk manis di kursi ruang tamu, sambil memegang gawai. Aku akan berusaha tak ikut campur urusan mereka, tapi jika dimintai pendapat atau semacamnya, baru aku bersuara. Dan mau tak mau tombol record di aplikasi gawaiku harus segera ditekan.

"Ayo diminum dulu Mba! Bang, ini sudah adek buatin minumannya buat Abang," kataku seramah mungkin seolah tak mengetahui percakapan mereka berdua yang terlihat alot.

"Makasih ya, Dek," bang Rafi mengambil gelas yang ku sodorkan padanya. 

Mba Zara malah mengerjapkan matanya sesaat, seolah jijik melihat suguhan yang ada di meja.

"Silahkan Mba," kataku mengulangi.

Bola mata Mba Zara terlihat malas untuk mengambil gelas, tapi ketika netra nya beradu pada suguhan kue mahal dengan brand ternama, baru tangannya mulai bergerak. 

Aku hanya geleng-geleng kepala dengan pelan, dasar tamu aneh! Batinku.

"Raf, gimana jadinya?" tanya Mba Zara lagi dengan penuh harap.

"Coba Mba tanyakan sendiri sama Fiza!" 

Aku sontak terbatuk mendengar nama ku diucap oleh Bang Rafi. Ada apa lagi ini?

"Ada apa Bang, memangnya?" Tanyaku pura-pura tak tahu.

"Eh, mmm ... gini Fiza! Rafi kan adik mba ya! Mba minta dia pinjemin mba uang lima puluh juta, karena mba ada kebutuhan mendesak! Tapi Rafi bilang tak punya uang? Bukannya ngeluarin Putra dari Rumah Sakit tadi kalian ada uang?" 

Rupanya, kakak pertama Bang Rafi ini belum dikasih pelajaran juga kayak Mba Tia semalam. Oke!

"Pinjem?!" kataku sengaja menekankan kalimat itu.

"I–iya lah! Ck, kamu mah pasti ya gak punya uang segitu! Maka nya Mba pinjem nya sama Rafi, eh malah disuruh bilang ke kamu!" sungutnya sok kesal.

"Trus, kamu ada Bang uang segitu untuk diutangkan ke Mba Zara? Uang yang dipinjam Mba Zara 100 juta, sudah dikembalikan?"

"Belum tuh! Dan Abang gak punya uang lagi buat minjemin, Abang aja masih ngutang tiga belas juta buat bayar berobat Putra," 

Bang Rafi sengaja mengatakan itu adalah utang, supaya kakaknya ini mikir.

"Tuh Mba, ga ada katanya ..." sambungku menatap netra Mba Zara.

"Hiishh! Memang salah aku kesini! Punya adik dan adik ipar tak bisa diandalkan!"

"Hmmm ... aku ada Mba?" ujarku sambil sumringah.

"Nah, gimana? Ada uangnya?" potong Mba Zara tak sabaran penuh harap.

"Ada ide maksud Fiza! Gimana kalo Mba Zara pinjem sama adik ipar suami Mba Zara? Atau pinjem sama Mba Tia! Kan mereka lebih bisa diandalkan ketimbang minjem disini!" ledekku.

"Ya gak mungkin lah, mau ditaruh dimana muka ku minjem sama ipar suamiku!" cebik nya tak mau dikasih saran.

"Yaudah, kita mah gak bisa bantu Mba ... kan gak bisa diandelin!" Bang Rafi mulai sedikit emosi.

Aku membiarkan mereka berdua saja yang ribut, malas ikut-ikutan. Tak lama, ada seseorang yang datang mengucap salam, dan diluar pintu ruang tamu juga ramai beberapa orang yang datang berkerumun.

"Ibu Fiza ada?"

"Iya, saya. Ada apa Pak?" kutemui tamu ini didepan rumah saja karena masih ada Mba Zara.

"Kita dari dealer mobil A2000 mau anter satu unit mobil untuk Bu Fiza. Silahkan dicek dulu berkasnya Bu," ujarnya, akupun memeriksa surat-surat pembelian mobil itu. Dan benar, atas namaku, cash!

Aku mencoba mengingat sesuatu. Tapi tiba-tiba dengan kasar Mba Zara mendorong bahu kiri ku.

"Tadi kalian bilang tak punya duit, lah ini apa? Kalian beli mobil?! Mau bohong kamu sama Mba? Pasti ulah istrimu ini, maka nya gaji itu kamu yang pegang! Bukan Fiza yang hanya orang lain kebetulan jadi istri!" dengan mata menyalang, Mba Zara marah besar.

Bersambung ...

☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Related chapters

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 6

    "Cukup Mba!" bentak Bang Rafi."Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama ak

    Last Updated : 2023-01-11
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 7

    "Cukup Mba!" bentak Bang Rafi."Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama ak

    Last Updated : 2023-01-12
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 8

    "Ma ... kenapa ngomong begitu? Fiza itu istri Rafi, Ma. Menantu Mama!" Bang Rafi agak meninggi nada suaranya."Mama tau! Tapi benar kan perkataan Mama? Ga perlu persetujuan dia kalau mama akan tinggal disini! Sudah, Mama mau istirahat dulu!" Tanpa rasa bersalah, Mama mertua menyuruh kami berdua keluar dari kamar yang telah ku rapi kan dari tadi.Bang Rafi langsung mengajakku ke kamar. Ia menatap lekat kesedihan dimataku."Maafin Mama ya Dek? Sungguh, Abang malu sama kamu ... Mama tak tau apa-apa soal kamu, malah bicaranya tidak mengenakkan hati begitu. Jangan diambil hati ya, Dek?" hibur Bang Rafi.Aku hanya bisa menahan gejolak dalam dada. Yang terasa begitu menyakitkan.Bagaimana bisa mertuaku itu berbicara dengan seenak mulutnya saja? Aku menahan diri agar tak berbicara dengan kasar pada Mama mertua. Walau sangat ingin membalas semua ucapan kata-katanya itu dengan kebenaran yang ad

    Last Updated : 2023-01-12
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 9

    Pagi hari saat sebelum Bang Rafi berangkat kerja, ia sempat mengajak Mamanya untuk berbicara mengenai rumah yang dikatakan oleh Mba Tia. Bang Rafi sudah sangat hati-hati menanyakan hal ini, khawatir Mama masih belum siap bahkan melakukan tindakan aneh-aneh lagi seperti kemarin.“Ma … Rafi ingin sekali berbakti pada Mama. Rafi mohon, jika Mama memang lagi ada masalah, beritahu Rafi. Rafi akan berusaha bantu Mama,”Mama hanya mengehela napasnya perlahan. Terlihat sekali dadanya seperti ada himpitan yang membuatnya tak mampu bicara. Aku kasihan sebenarnya dengan Mama mertua, tapi apa daya diriku yang memang jarang sekali dianggap. Aku jadi mengingat, pernah dulu ketika Putra baru lahir, Mama mertua sama sekali tidak mengunjungiku. Karena yang  kudengar dari Bang Rafi, Mama mertua saat itu sibuk mengurus Kiya, anak Mba Zara yang dirawat di rumah sakit. Awalnya aku berfikir biasa saja, tapi Lamat kau  mulai menyadarinya. Mama sama

    Last Updated : 2023-01-12
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 10

    Aku harus tahan dengan tuduhan Mba Tia. Karena aku tahu sekali tabiatnya seperti apa, tak beda jauh dengan Mba Zara. “Apa-apaan Mba! Hentikan! Rafi tau kalian tidak ada yang menganggap Fiza layaknya seorang adik ipar! Jadi cukup sudah Mba membuat Rafi marah dengan kata-kata Mba Tia barusan ke Fiza!” ujar Bang Rafi sambil menarik tangan kakaknya itu, karena memang sangat keras sekali tadi ia menarik tanganku hingga tersungkur ke lantai.“Mba heran sama kamu ya, Raf? Istri kamu itu mengusir Mama! Paham?!” sahut Mba Tia tak kalah amarahnya.“Memang percuma saja bicara pada kalian, sama saja! Selalu berat sebelah dan tak mau menerima kebenaran yang ada! Ayo Dek, kita pulang saja! Percuma kita disini kalau tak dianggap!” Dengan secepat kilat, Bang Rafi merangkulku melangkah pulang meninggalkan Mama mertua yang masih terlihat syok dan lemas.Entah apa yang membuat suamiku itu sampai tak sempat pamit pada Mama nya, tan

    Last Updated : 2023-01-12
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 11

    "Ya, rumah ini milik Fiza ..." tegas Sisil lagi."Kalian semua bohong! Fiza ini tak punya uang! Dia lebih suka mengambil uang adikku, Rafi! Dasar tukang menyusahkan!" Mba Tia mulai tak percaya tapi berusaha mencari argumen sendiri."Benarkan, sayang? Sifatnya begitu memang ... mau seenaknya sendiri sama orang lain!" Mas David tiba-tiba bersuara lagi pada Diandra.Diandra hanya geleng-geleng kepala, miris melihat mantan istri Mas David itu seperti orang kepanasan mendengar sebuah kebenaran yang ia tak mau terima."Mba, sudahlah ... sebaiknya Mba pulang aja ... ini memang rumah Fiza, bukan rumah Rafi!""Kamu itu ya! Bukannya belain Mba, malah ikut-ikutan mereka! Mba sebel sama kamu!Dan kau Fiza, jangan harap bisa terus-terusan menguras dompet adikku!" Amarah Mba Zara makin menjadi, entah karena merasa dipermalukan atau karena memang tak percaya? Mba Zara segera angkat kaki dari rumah in

    Last Updated : 2023-01-12
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 12

    "Mba ngapain disitu?!" ketus Bang Rafi.Mba Tia ngapain pakai acara ngintip segala kesini? Apa dia mau memastikan kalau Mamanya sudah benar-benar berada dirumahku? "Mmm ... gak kok! Kebetulan lewat malah nyusruk nih motor!" kilah Mba Tia yang suaranya terdengar sedikit bergetar karena ketahuan mengintip.Aku ikut memeriksa kedepan, ternyata Mba Tia dan motornya jatuh ke aspal. Sepertinya ia lupa menurunkan standar motor, karena terburu-buru mengintip. Dasar kelakuan!"Alah, pinter memang Mba Tia kalo berkilah! Mau ada urusan apa?!" masih dengan nada tak suka, Bang Rafi menanyakan maksud kedatangan nya kesini."Beneran kok, orang kebetulan lewat malah jatuh!" tetap kekeh dengan alasannya yang tak masuk akal."Tutup aja Pak gerbangnya, biar aman!" Dengan cepat Pak Didin menutup pintu gerbang yang disuruh Bang Rafi. Mba Tia terlihat sedikit gelagapan karena

    Last Updated : 2023-01-13
  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 13

    Mama terus sembunyi dibelakang tubuhku, sesekali memeluk lagi dengan erat manakala Mba Zara mencoba meraih tangannya. Aku terkejut, karena sebelumnya Mama hanya gemetar dan sesenggukan saja seperti semalam. Tapi kali ini malah terlihat lebih memperhatinkan. Ada apa dengan Mama? Sepertinya Mba Zara punya niatan tertentu pada ibu kandungnya sendiri.“Mba, sudah Mba! Biar Mama tenang dulu, jangan dipaksa,” ujarku mengingatkan Mba Zara agar berhenti melakukan hal aneh ini.“Mama! Sudah jangan bantah, ayo pulang!” “Gak Mau! Fiza Rafi! Tolongin Mama, Mama gak mau ikut dia lagi!” jerit Mama.“Mba, Fiza minta sudahi Mba! Mama belum mau!” aku sedikit kesal dengan ulah Mba Zara, belum lagi erat sekali rangkulan Mama padaku.Pak Didin langsung membantu melepaskan Mama dari badanku, lalu menyuruh Mama agar berada di belakang tubuh Pak Didin saja.  Dengan sigap, Pak Didin menghalang Mba Zara yang ingin meraih M

    Last Updated : 2023-01-13

Latest chapter

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 74

    Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 73

    TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 72

    TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 71

    TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 70

    TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 69

    Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 68

    Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 67

    "Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?

  • Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap   Bab 66

    “Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a

DMCA.com Protection Status