"Cukup Mba!" bentak Bang Rafi.
"Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama aku ya?!" Plak! tangan Mba Zara mampir ke pipiku.Bang Rafi langsung menarik bahu Mba Zara sekuat mungkin, bahkan hampir saja keseimbangan tubuhnya hilang."Fiza istriku, dan itu pilihan Rafi, Mba! Sekali lagi Mba melakukannya pada Fiza, Rafi tak segan akan membalas!" ucap Bang Rafi dengan tegas dan raut mukanya merah menahan marah."Ka–kau ... mengancam Mba mu Raf? Buka mata mu lebar-lebar Rafi!""Aku sudah membuka lebar-lebar mata dan hatiku Mba! Rafi ngerasa Mba hanya memanfaatkan Rafi saja selama ini!""Apa kau bilang? Kau tau, Fiza lah yang hanya memanfaatkan uangmu! Aku dan Tia lah yang menyelamatkan semuanya! Faham?" Aku sakit hati sekali rasanya, mau berkoar-koar melawan Mba Zara sepertinya percuma. Dia akan terus berargumen tidak jelas yang bikin kepala jadi pusing. Bahkan dia pandai berkelit memutarbalikkan fakta!Aku menyelesaikan semua berkas administrasi pembelian mobil pada sales dealer ini. Supaya tidak menjadi ramai orang-orang yang melihat keributan dirumahku. Setelah selesai semua, mobil baru pun telah diletakkan di garasi, dan orang-orang dealer pun juga pamit undur diri.Aku biarkan saja Bang Rafi menyelesaikan semua keributan ini. Karena dari yang kudengar, Bang Rafi lebih banyak membelaku dan melawan kata-kata Mba Zara yang tidak benar.Aku akan masuk saja kedalam, kepalaku sudah pusing."Hey Fiza! Puas kau ya membuat hubungan darah kakak dan adik bermusuhan?! Itu kan yang kau ingin?" suara Mba Zara menghentikan langkahku.Sabar Fiza, sabar ...Aku berhenti sejenak, lalu menatap lekat pada netra Mba Zara."Kalau masih punya urat malu, jangan mengemis disini! Silahkan Mba pergi, urusan kita selesai!" Ucapku menegaskan padanya."Kau memang ipar paling tak beradab, memang harusnya dari dulu Rafi tak perlu menikahimu! Cih!" "Dan Mba Zara adalah kakak ipar yang tak tau diri, punya suami tapi masih minta-minta sama adiknya! Dimana-mana, sang kakak lah yang memberi pada adiknya, bukan adiknya yang diperas!" "Kau!" rahangnya mengeras.Mba Zara tak mampu membalas kata-kataku. Karena memang itu sudah tepat untuk menggambarkan dirinya."Rafi! Sebaiknya kau ceraikan wanita tak beradab ini! Jika tidak, Mba tak akan mau menganggap mu saudara!" Pekiknya sambil menunjuk kearah bang Rafi."Maaf Mba, Rafi mencintai Fiza. Sementara Mba Zara hanya mencintai uang Rafi. Dan uang Rafi selama ini adalah uang Fiza," Bang Rafi berkata dengan tegas depan kakaknya itu."Omong kosong! Kau memang sudah kena guna-guna Fiza! Ingat kata-kata Mba tadi, jangan harap kau ku anggap adik lagi jika masih bersamanya!" Mba Zara melangkahkan kakinya pergi dari rumahku. Tapi, Bang Rafi mengingatkan sesuatu padanya."Ingat!" Mba Zara menoleh pada Rafi."Jangan lupa kembalikan hutang Mba yang seratus juta padaku!" lanjut Bang Rafi.Sontak Mba Zara terlihat geram dan berlalu dengan cepat dari sini.Bang Rafi ikut masuk kedalam mengikutiku. Aku mulai narik napas dalam-dalam. Lalu duduk dengan posisi kepala bersandar pada posisi atas sofa."Dek, jangan dengarkan kata-kata Mba Zara. Abang tak akan meninggalkan adek demi saudara yang sudah tak sejalan. Apalagi alasan Mba Zara tadi sangatlah tidak masuk akal. Abang lebih memilih kamu," "Iya ... Adek percaya sama Abang. Semoga kita terhindar dari sifat-sifat tercela yang dari lisan kita hanya bisa menyakiti hati dan perasaan orang lain,"Sejenak kami berdua terdiam di sofa ruang tamu. Kalut dengan pikiran masing-masing. Jujur saja, kata-kata Mba Zara benar-benar membuat hatiku perih. Karena kumasukkan dalam hati semua yang ia ucapkan. Ya Tuhan, sabarkan hamba ...Semoga saja Bang Rafi selalu teguh pendiriannya untuk tetap berjalan pada posisi kebenaran."Oh iya, Dek? Masalah mobil, itu yang dua bulan lalu adek sampaikan ke Abang ya?" tanya Bang Rafi tiba-tiba.Aku mengangguk. Lalu menceritakan ulang apa yang kuingat tentang pembelian mobil itu.Sebenarnya aku belum mau membeli mobil. Karena rasanya masih cukup memakai mobil kantor Bang Rafi.Tapi, beberapa bulan lalu Sisil menyarankan aku membeli mobil baru saja. Dikarenakan mobil perusahaan akan ditarik untuk dipindahkan ke cabang baru untuk operasional. Sementara, para karyawan rata-rata sudah mempunyai mobil pribadi. Jadi perusahaan hanya memberi uang akomodasi transport. Dan semua itu sudah diputuskan melalui rapat perusahaan. Tidak ada masalah sama sekali dari pihak karyawan, malah merasa terbantukan dengan adanya uang transportasi itu.Dan untuk Bang Rafi, dia bilang malah lebih nyaman memakai roda dua ketimbang roda empat. Jadi tak masalah dengan regulasi fasilitas kantor yang berubah-ubah.Tapi akhirnya, saran Sisil aku turuti. Biar jika harus kemana-mana untuk urusan pribadi nantinya juga enak dan nyaman.Sisil awalnya hendak membelikan ku mobil. Tapi aku menolak, akhirnya memberiku tambahan uang untuk membeli mobil baru, sisanya memakai uangku. Begitulah Sisil. Selalu menomorsatukan diriku. Padahal, uang bagi hasil perusahaan saja sudah besar. Belum lagi gaji bang Rafi yang beberapa bagiannya adalah milikku.💐💐💐Keesokan hari, Bang Rafi mengajakku dan anak-anak jalan-jalan ke pantai. Putra juga sudah mulai bugar fisiknya.Jadi, sekalian refreshing dari masalah dengan keluarga Bang Rafi.Aku menyiapkan keperluan jalan-jalan hari ini, beberapa minuman jus segar, makanan ringan dan pakaian ganti anak-anak."Kita makan siangnya di restoran seafood ya Dek, anak-anak pasti suka," kata Bang Rafi sambil memakaikan Dinda sweater."Iya Pa, Putra mau udang bakar yang gede yaaah!" si sulung mulai mengungkapkan menu kesukaannya."Tumi, Pah! Dedek tumi yaah" si kecil Dinda ikutan berceloteh."Siap bos!" Bang Rafi menyahut pembicaraan Putra dan Dinda dengan gemas.Setelah semua siap, kami masuk kedalam mobil dan mulai berangkat.Ting! Ting!Sebuah poto dikirim oleh Mba Tia digrup keluarga.[Ngumpul sama keluarga besar itu sebuah kebahagiaan tiada tara] demikian caption pada poto itu ditulis oleh Mba Tia.[Seru kan!] tulis Mba Tia lagi.[Ya iya dong! Kalo gak dianggap oleh saudara itu baru mengenaskan! Hahaha!] tulis Mba Zara menimpali.Di poto itu tergambar keluarga Bang Rafi dan para ipar lainnya lagi ngumpul dirumah mama mertua.[Iya seru ya, masakan mama juga enak lagi,] tulis Mas Dika menimpali poto kiriman istrinya.[Ya, kalau gak dianggap itu mah resiko ya Mba? Lagian sok-sok an!] tulis Mba Tia menimpali chat Mba Zara yang menyindir.Aku memperlihatkan chat itu pada Bang Rafi yang sambil menyetir.Bang Rafi menahan bibirnya untuk mengomentari pesan-pesan itu. Lalu kemudian menyuruhku untuk tak usah membaca postingan digrup itu.Aku mengangguk, lalu menyimpan gawaiku kedalam tas.Setelah sampai di pantai yang indah, kami langsung memesan sebuah gazebo didekat pinggiran pasir putih di pantai ini yang membentang.Anak-anak sangat senang. Bermain air dipinggiran pantai sungguh menjadi aktifitas yang sangat menyenangkan terutama bagi anak-anak.Aku mengabadikan momen kebersamaan keluarga ku. Rambut panjang Dinda yang tertiup angin laut membuat ya terlihat cantik sekali di kamera. Putra yang bermain pasir bersama papanya membuat sebuah istana kecil, juga aku abadikan.Tak terasa sudah satu jam lebih keseruan bermain di pantai, dan perut mulai keroncongan.Bang Rafi mengajak anak-anak untuk bersih-bersih lalu makan bersama.Setelah selesai bersih-bersih, kami masuk kesebuah restoran seafood yang terkenal dikawasan sini.Sambil menunggu menu datang, kembali aku memeriksa gawai. Aku membagikan momen hari ini hanya di grup keluargaku saja. Respon mereka pada ikut senang. Apalagi melihat Putra sudah sehat dan bugar. "Dek, mulai hari ini, kita tak perlu posting apapun atau respon apapun digrup keluarga Abang. Biarkan saja. Kalau kita keluar dari grup, Abang rasa kurang etis juga, kesannya memang kita yang kalah. Tapi usahakan adek tak perlu merespon balik apapun yang saudara Abang tulis disana. Termasuk jika mereka bertanya padamu. Cukup diamkan saja, bisa Dek?"Bang Rafi sepertinya sudah memikirkan semua yang bakal dihadapi kedepan. Termasuk sikap untuk tidak merespon balik."Iya. Bisa kok Bang," balasku sambil tersenyum manis.Akhirnya menu pesanan sudah datang. Dinda dan Putra sangat suka dengan menu yang mereka pesan. Udang bakar dan cumi goreng tepung. Dan berbagai menu lainnya yang aku dan Bang Rafi pesan."Bund, Putra lupa cuci tangan," ujar Putra."Oh, yasudah sayang. Itu dipojokan ada tempat cuci tangan. Putra kesana ya," perintahku pada Putra agar ia berjalan sendiri ketempat cuci tangan pengunjung.Putra mengangguk, lalu berjalan kearah yang aku tunjukan.Tak lama, Putra sudah kembali lagi ke tempat duduk semula.Putra mengunyah udang bakar kesukaannya itu. Tapi anakku ini mengapa terlihat seperti memikirkan sesuatu? Apa ada yang ingin ia katakan?"Kenapa Putra? Keasinan ya udangnya?" tanyaku."Gak kok Bund, tapi ..." "Mau pake cumi juga?" Putra menggelengkan kepalanya."Papa ... suaminya tante Zara itu Om David kan ya?" tiba-tiba Putra berbicara diluar tema menu."Iya? Emang kenapa nak?" Sahut Bang Rafi sambil menyuapi mulutnya dengan kuah sup ikan."Itu ..." Putra menunjuk seseorang pengunjung.Aku dan Bang Rafi menoleh kearah yang Putra tunjuk.Astagfirullah!Aku dan Bang Rafi terkejut melihat Mas David lagi bersama seorang perempuan di restoran ini. Saling suap bersama wanita yang jelas itu bukan Mba Zara. Dan mereka sangat mesra.Aku kembali memeriksa poto yang Mba Tia kirim tadi. Aneh. Di poto itu masih ada Mas David mengenakan baju yang sama yang ia pakai saat di restoran ini.Itu artinya, Mas David hanya sebentar di rumah mama mertua. Lalu pamit pergi kesini.Aku menyuruh anak-anak melanjutkan makan siang mereka. Sementara Bang Rafi terlihat menyelidik kearah Mas David sambil tetap melanjutkan makan.Wanita disamping Mas David merasa risih karena kami perhatikan. Lalu wanita itu berbisik pada Mas David.Aku dan Bang Rafi kembali berpaling dari melihat mereka berdua. Pura-pura tak melihat."Hei! Dari tadi kalian memperhatikan kami ya?" tiba-tiba sebuah suara mendekat ke meja.Aku dan Bang Rafi respek menoleh ke sumber suara."Rafi! Fiza!" Mas David benar-benar syok ternyata yang ia temui adalah saudara iparnya sendiri.Bersambung dulu ya ...🍒🍒🍒🍒🍒Yuk bantu author agar lebih semangat, dengan meninggalkan jejak like, komen dan jangan lupa subscribe cerita ini yaaa.... Makasih sudah mampir membaca..."Ma ... kenapa ngomong begitu? Fiza itu istri Rafi, Ma. Menantu Mama!" Bang Rafi agak meninggi nada suaranya."Mama tau! Tapi benar kan perkataan Mama? Ga perlu persetujuan dia kalau mama akan tinggal disini! Sudah, Mama mau istirahat dulu!" Tanpa rasa bersalah, Mama mertua menyuruh kami berdua keluar dari kamar yang telah ku rapi kan dari tadi.Bang Rafi langsung mengajakku ke kamar. Ia menatap lekat kesedihan dimataku."Maafin Mama ya Dek? Sungguh, Abang malu sama kamu ... Mama tak tau apa-apa soal kamu, malah bicaranya tidak mengenakkan hati begitu. Jangan diambil hati ya, Dek?" hibur Bang Rafi.Aku hanya bisa menahan gejolak dalam dada. Yang terasa begitu menyakitkan.Bagaimana bisa mertuaku itu berbicara dengan seenak mulutnya saja? Aku menahan diri agar tak berbicara dengan kasar pada Mama mertua. Walau sangat ingin membalas semua ucapan kata-katanya itu dengan kebenaran yang ad
Pagi hari saat sebelum Bang Rafi berangkat kerja, ia sempat mengajak Mamanya untuk berbicara mengenai rumah yang dikatakan oleh Mba Tia. Bang Rafi sudah sangat hati-hati menanyakan hal ini, khawatir Mama masih belum siap bahkan melakukan tindakan aneh-aneh lagi seperti kemarin.“Ma … Rafi ingin sekali berbakti pada Mama. Rafi mohon, jika Mama memang lagi ada masalah, beritahu Rafi. Rafi akan berusaha bantu Mama,”Mama hanya mengehela napasnya perlahan. Terlihat sekali dadanya seperti ada himpitan yang membuatnya tak mampu bicara. Aku kasihan sebenarnya dengan Mama mertua, tapi apa daya diriku yang memang jarang sekali dianggap. Aku jadi mengingat, pernah dulu ketika Putra baru lahir, Mama mertua sama sekali tidak mengunjungiku. Karena yang kudengar dari Bang Rafi, Mama mertua saat itu sibuk mengurus Kiya, anak Mba Zara yang dirawat di rumah sakit. Awalnya aku berfikir biasa saja, tapi Lamat kau mulai menyadarinya. Mama sama
Aku harus tahan dengan tuduhan Mba Tia. Karena aku tahu sekali tabiatnya seperti apa, tak beda jauh dengan Mba Zara. “Apa-apaan Mba! Hentikan! Rafi tau kalian tidak ada yang menganggap Fiza layaknya seorang adik ipar! Jadi cukup sudah Mba membuat Rafi marah dengan kata-kata Mba Tia barusan ke Fiza!” ujar Bang Rafi sambil menarik tangan kakaknya itu, karena memang sangat keras sekali tadi ia menarik tanganku hingga tersungkur ke lantai.“Mba heran sama kamu ya, Raf? Istri kamu itu mengusir Mama! Paham?!” sahut Mba Tia tak kalah amarahnya.“Memang percuma saja bicara pada kalian, sama saja! Selalu berat sebelah dan tak mau menerima kebenaran yang ada! Ayo Dek, kita pulang saja! Percuma kita disini kalau tak dianggap!” Dengan secepat kilat, Bang Rafi merangkulku melangkah pulang meninggalkan Mama mertua yang masih terlihat syok dan lemas.Entah apa yang membuat suamiku itu sampai tak sempat pamit pada Mama nya, tan
"Ya, rumah ini milik Fiza ..." tegas Sisil lagi."Kalian semua bohong! Fiza ini tak punya uang! Dia lebih suka mengambil uang adikku, Rafi! Dasar tukang menyusahkan!" Mba Tia mulai tak percaya tapi berusaha mencari argumen sendiri."Benarkan, sayang? Sifatnya begitu memang ... mau seenaknya sendiri sama orang lain!" Mas David tiba-tiba bersuara lagi pada Diandra.Diandra hanya geleng-geleng kepala, miris melihat mantan istri Mas David itu seperti orang kepanasan mendengar sebuah kebenaran yang ia tak mau terima."Mba, sudahlah ... sebaiknya Mba pulang aja ... ini memang rumah Fiza, bukan rumah Rafi!""Kamu itu ya! Bukannya belain Mba, malah ikut-ikutan mereka! Mba sebel sama kamu!Dan kau Fiza, jangan harap bisa terus-terusan menguras dompet adikku!" Amarah Mba Zara makin menjadi, entah karena merasa dipermalukan atau karena memang tak percaya? Mba Zara segera angkat kaki dari rumah in
"Mba ngapain disitu?!" ketus Bang Rafi.Mba Tia ngapain pakai acara ngintip segala kesini? Apa dia mau memastikan kalau Mamanya sudah benar-benar berada dirumahku? "Mmm ... gak kok! Kebetulan lewat malah nyusruk nih motor!" kilah Mba Tia yang suaranya terdengar sedikit bergetar karena ketahuan mengintip.Aku ikut memeriksa kedepan, ternyata Mba Tia dan motornya jatuh ke aspal. Sepertinya ia lupa menurunkan standar motor, karena terburu-buru mengintip. Dasar kelakuan!"Alah, pinter memang Mba Tia kalo berkilah! Mau ada urusan apa?!" masih dengan nada tak suka, Bang Rafi menanyakan maksud kedatangan nya kesini."Beneran kok, orang kebetulan lewat malah jatuh!" tetap kekeh dengan alasannya yang tak masuk akal."Tutup aja Pak gerbangnya, biar aman!" Dengan cepat Pak Didin menutup pintu gerbang yang disuruh Bang Rafi. Mba Tia terlihat sedikit gelagapan karena
Mama terus sembunyi dibelakang tubuhku, sesekali memeluk lagi dengan erat manakala Mba Zara mencoba meraih tangannya. Aku terkejut, karena sebelumnya Mama hanya gemetar dan sesenggukan saja seperti semalam. Tapi kali ini malah terlihat lebih memperhatinkan. Ada apa dengan Mama? Sepertinya Mba Zara punya niatan tertentu pada ibu kandungnya sendiri.“Mba, sudah Mba! Biar Mama tenang dulu, jangan dipaksa,” ujarku mengingatkan Mba Zara agar berhenti melakukan hal aneh ini.“Mama! Sudah jangan bantah, ayo pulang!” “Gak Mau! Fiza Rafi! Tolongin Mama, Mama gak mau ikut dia lagi!” jerit Mama.“Mba, Fiza minta sudahi Mba! Mama belum mau!” aku sedikit kesal dengan ulah Mba Zara, belum lagi erat sekali rangkulan Mama padaku.Pak Didin langsung membantu melepaskan Mama dari badanku, lalu menyuruh Mama agar berada di belakang tubuh Pak Didin saja. Dengan sigap, Pak Didin menghalang Mba Zara yang ingin meraih M
Hatiku berkata kalaupun benar perkataan Mba Zara dan Mba Tia barusan, rasanya bukan menjadi wilayah kami untuk turut campur.Aku berharap, semoga Bang Rafi lebih waspada dan berhati-hati menyikapi masalah kedua kakaknya itu."Raf, biarkan Mba masuk dulu ..." ujar Mba Zara lagi."Mba Zara dan Mba Tia silahkan pulang dulu. Nanti Rafi yang akan tanya dan cari tau informasi tentang Kiya dan Mas Dika," "Ta–tapi Raf! Kamu harus segera cari keberadaan Mas Dika!" sela Mba Tia yang terlihat ingin cepat selesai urusannya."Mba kan punya nomor kontak Mas Dika? Hubungi aja dulu! Ayo Dek, masuk!" suamiku itu segera mengajakku masuk kedalam, tanpa menoleh lagi ke pintu gerbang."Rafi! Jangan gitu dong sama sodara!" teriak Mba Zara."Ck! Gitu tuh, kalo sudah kemakan omongan Fiza! Jadi gak mau bantu sodara kandungnya sendiri!" Mba Tia ikut protes.*** "Kalo soal Kiya, adek
Bang Rafi meminta penjelasan kepada Mas Dika soal kakaknya itu. "Ya udah Raf, sejam lagi jam istirahat. Mas Juga siang ini udah kelar shif nya. Kita ngobrol di kedai kopi lantai atas ya? Sekalian nanti Dika ambilkan ukuran dress ini. Rafi sama Fiza belanja aja dulu ..." seraya tersenyum, Mas Dika gegas mencari ukuran yang tadi kucari.Bang Rafi menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Lalu mengajakku mencari baju untuk Mama mertua, karena baju untuk Putra sudah Bang Rafi dapatkan.Berpindah ke area pakaian dewasa wanita, aku langsung memilih baju untuk Mama mertua. Alhamdulillah ada dua stel pakaian yang menurutku cocok untuk Mamanya Bang Rafi.Tak lama, Mas Dika menemui kami dekat area kasir. Lalu menyerahkan dress cantik yang kupesan untuk Dinda.Lengkap sudah semuanya, aku bergegas membayar barang belanjaan. Bang Rafi masih tampak ngobrol sebentar dengan Mas Dika, dan beberapa saat sebelum giliran
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a