Bang Rafi meminta penjelasan kepada Mas Dika soal kakaknya itu.
"Ya udah Raf, sejam lagi jam istirahat. Mas Juga siang ini udah kelar shif nya. Kita ngobrol di kedai kopi lantai atas ya? Sekalian nanti Dika ambilkan ukuran dress ini. Rafi sama Fiza belanja aja dulu ..." seraya tersenyum, Mas Dika gegas mencari ukuran yang tadi kucari.Bang Rafi menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Lalu mengajakku mencari baju untuk Mama mertua, karena baju untuk Putra sudah Bang Rafi dapatkan.Berpindah ke area pakaian dewasa wanita, aku langsung memilih baju untuk Mama mertua. Alhamdulillah ada dua stel pakaian yang menurutku cocok untuk Mamanya Bang Rafi.Tak lama, Mas Dika menemui kami dekat area kasir. Lalu menyerahkan dress cantik yang kupesan untuk Dinda.Lengkap sudah semuanya, aku bergegas membayar barang belanjaan.Bang Rafi masih tampak ngobrol sebentar dengan Mas Dika, dan beberapa saat sebelum giliran"Mba! Apa-apaan sih?! Malu-maluin!" hardik Bang Rafi dengan suara kesal dan dongkol serta matanya melototi Mba Tia."Ra–Rafi! Kok kamu disini?" suara gemetar itu jelas aku kenal.Ku intip dari balik gerobak bagian tengah, dan memastikan suara manja bin aneh barusan adalah suara Mba Tia.Dan dugaanku benar!Mas Dika tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap tajam manik hitam milik wanita yang masih berstatus sebagai istri sah nya."Mas Dika, kamu disini Mas?! Ngapain?"Mata Mba Tia naik turun kearah Mas Dika, lalu sekilas melirik ke gerobak nasi goreng.Mata nya menangkap kepala ku yang masih nyembul dibalik gerobak. Bibir dan kepalanya berbarengan mengangguk seolah mendapat sebuah kesimpulan."Ohh, aku tau sekarang! Kalian sekongkol ya selama ini! pantas saja tak ada yang bersuara tentang keberadaanmu Mas!" Mba Tia mulai kembali aneh dengan ocehannya.
"Raf, tolong Mba Raf! Bilangin Mas Dika, batalkan lamarannya!" rengek Mba Tia.Hari ini memang kami lagi sibuk persiapan acara lamaran Mas Dika. Mas Dika meminta kami turut hadir dalam acara lamarannya nanti.Bukannya apa-apa, Mas Dika masih menganggap Mama mertua sebagai ibunya. Waktu Mba Tia mau meminjam uang sama Bang Rafi untuk acara pulang kampung acara ibu mertuanya, ternyata itu hanya kedok belaka.Mas Dika sendirian pulang ke kampung halamannya karena sang nenek meninggal. Maka nya ia mendapat warisan saat itu untuk membangun rumah diatas tanah yang sudah ia beli. Ibunya Mas Dika hendak dibawa ke kota agar tinggal bersama Mas Dika, tapi ditolak oleh Mba Tia.Makin lama, sikap Mba Tia yang egois dan tak pernah mau mengikuti perintah suaminya makin menjadi-jadi.Mas Dika tak begitu perduli, sampai akhirnya ibu kandungnya itu meninggal di rumah saudaranya yang lain di kampung.
Mba Tia sudah berdiri didepan pintu pagar rumah Pak Harjo. Dengan gerakan yang terlihat ragu-ragu, Mba Tia sesekali menunduk kebawah dan sesekali menatap kearah kami yang bertanya-tanya sedang apa berdiri disitu?Bang Rafi mulai mengambil langkah seribu menuju kakaknya itu. Sementara aku dan Mama mertua bergegas pamit agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan disini.Setelah sedikit menjauh dari rumah Pak Harjo, aku masih bisa melihat Bang Rafi yang menarik kasar tangan Mba Tia menjauh lebih dulu dari rumah itu. Mama mertua memegang tangan Mas Dika sambil berjalan menuju kontrakannya.“Kamu jangan ambil pusing dengan sikap Tia ya, Nak Dika? Biar jadi urusan Mama dan Rafi!”“Iya, Ma. Makasih ya, Ma? Maafkan Dika soal Tia yang tak panjang jodohnya bersama Dika …” balas Mas Dika yang sering kali diucapkannya kalimat ini.Masih ku dengar dengan nada lirih ucapan Mama mertua dan Mas Dika. Dalam hati aku berdoa,
"Jangan sok suci, Fiza! Kau memang wanita licik!" lanjutnya terus memaki tak karuan."Bukan urusanku, Mba! Silahkan pergi dari sini!" bentak ku mulai kesal.Aku sudah malas menanggapinya. Saat itu, aku sudah memberinya kesempatan agar sertifikat yang ia curi itu biar dikembalikan ke Mas Dika.Tapi dia sendiri yang memaksa tetap dengan pendiriannya yang konyol itu. Bukankah konsekuensinya sudah pula ku ingatkan padanya saat itu?"Pak, jagain gerbangnya ya. Jangan sampai dia masuk!" ujarku pada Pak Didin."Baik, Bu!" Pak Didin mengangguk dengan perintahku barusan.Aku mulai beranjak dari depan gerbang karena mau mengajak anak-anak dan Mama mertua sarapan. Sementara Bang Rafi sudah berangkat lebih pagi, karena akan ada tamu dari perusahaan luar yang akan visit."Fiza, tunggu! Jangan kabur seenaknya! Kembalikan uang penjualan rumahku!" Mba Tia masih saja teriak disana.Ak
“Mas … kenapa kau berubah jadi kasar padaku? Mengapa kau jahat sekarang, Mas?” ujar Mba Tia sambil menangis dengan deraian air mata penuh amarah.“Aku kasar? Aku jahat? Hhhh! Lalu bagaimana dengan dirimu yang berkhianat padaku? Kau selingkuh dibelakang dan didepan ku, Tia? Kau curangi kesetiaan ku? Sekarang mengapa baru kau tanyakan kenapa aku berubah?!” “Seandainya kau bisa membuat ku senang dan bahagia, aku tak akan melakukannya! Tapi apa yang ku dapat? Uang bulanan ku kurang, rumah mengontrak, dan tiba-tiba kau dipecat dari kerjaan mu! Lantas aku tak mendapatkan apa-apa? Dan sekarang rumah ini pun kau jual! Itu semua harusnya yang kau pikirkan, Mas! Pikirkan bagaimana cara membahagiakan ku!” balas Mba Tia dengan kondisi yang masih kacau balau.“Aku tak peduli! Silahkan kau cari laki-laki yang mau dengan wanita macam dirimu! Menikah hanya ingin morotin harta suami tanpa mau berbuat baik layaknya tugas seorang istri yang selalu setia mend
“Zara? Kamu disini? Ngapain?” tanya Mama mertua keheranan, anak nya yang satu ini bisa-bisa nya berada di toko bunga.“Zara lagi nyusul Farah. Mama sama siapa?!” tanya Mba Zara pula dengan bingung.Suara Mba Zara berbincang dengan Mama nya masih bisa kudengar dari sini. “Oh begitu? Mba Zara kerja sama kamu sekarang?” kataku pada Farah.Farah hanya mengangguk sambil tersenyum meyeringai. “Oke, baiklah. Aku akan pulang. Kasihan Mama nya Bang Rafi kakinya sudah kena tanah bekas pot yang kau senggol tadi. Nanti deh, aku certain semua sama Bang Rafi kejadiannya,” lanjutku, lalu melangkah menuju Mama mertua.“Mama nya Rafi? I-itu Mama nya Rafi dan Zara?” suara Zara masih memintaku menjelaskan.Aku menoleh kebelakang, lalu melayangkan senyuman lebar pada Farah. Lalu mengangguk mengiyakan pertanyaannya.Farah terlihat bingung dengan wajah bersalahnya itu. Tentu saja, karean Farah telah mengulang kesalahan yang sama se
Uhuk! Uhuk!Batuk kali ini memang benar-benar alami, reflek keluar karena terkejut dengan bisikan pelan namun penuh penahanan volume suara yang berisi amarah Mba Zara. Ingin tertawa tapi takut dosa. “Kamu gak papa, Fiza?” tanya Diandra dengan suara lembut dan khas miliknya yang khatir dengan batuk ku tadi.Aku menggeleng, ingin rasanya tertawa keras tapi kutahan. Khawatir Mba Zara makin jadi saja tingkah nya yang konyol dan bo*oh itu, dan semakin ingin aku tertawa nanti nya.Aku juga baru sadar apa yang Kiya ucapkan tadi, Mba Zara sangat kacau penampilannya. Karena sibuk meladeninya ngomong, aku sampai lupa mau menanyakan soal penampilannya itu?Aku memberi kode menggunakan tangan agar Diandra dan Mas David segera masuk ke dalam saja. Biar Mba Zara menjadi urusan ku dan Bang Rafi.Dengan sedikit bingung, akhirnya Diandra dan Mas David mulai paham, lalu segera masuk ke dalam rumah.“Fiza!!! Kau sengaja meledek ku depan D
Waktu berganti bulan dan tahun. Mama mertua makin sehat, anak-anak makin besar, Putra sudah masuk usia sekolah dasar. Dan Bang Rafi juga masih di perusahaan Sisil. Sementara aku diminta seminggu sekali untuk hadir ke perusahaan, karena Sisil yang meminta. Hanya sekedar memastikan adanya item baru di perusahaan. Ia ingin aku yang mengendalikannya, karena masih belum punya karyawan yang ia percaya yang mampu untuk itu. Dan, Bang Rafi tak keberatan, apalagi hanya empat kali selama sebulan aku harus kesana. Pun dengan Mas Dika, ia sudah menikah dengan Mba Yulia anak pemilik kontrakan. Usaha nasi gorengnya makin pesat. Kami masih sering diundang mereka untuk datang ke outlet baru yang dibuka dekat kawasan mall terdekat.Mas David dan Diandra juga sama, mereka makin kompak bertiga dengan Kiya. Kiya tumbuh jadi anak yang periang, pintar dan penyayang. Tak jarang pula mereka mengajak kami semua termasuk keluarga baru Mas Dika untuk silaturahim kerumah
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a