Waktu berganti bulan dan tahun. Mama mertua makin sehat, anak-anak makin besar, Putra sudah masuk usia sekolah dasar. Dan Bang Rafi juga masih di perusahaan Sisil.
Sementara aku diminta seminggu sekali untuk hadir ke perusahaan, karena Sisil yang meminta. Hanya sekedar memastikan adanya item baru di perusahaan. Ia ingin aku yang mengendalikannya, karena masih belum punya karyawan yang ia percaya yang mampu untuk itu.Dan, Bang Rafi tak keberatan, apalagi hanya empat kali selama sebulan aku harus kesana.Pun dengan Mas Dika, ia sudah menikah dengan Mba Yulia anak pemilik kontrakan. Usaha nasi gorengnya makin pesat. Kami masih sering diundang mereka untuk datang ke outlet baru yang dibuka dekat kawasan mall terdekat.Mas David dan Diandra juga sama, mereka makin kompak bertiga dengan Kiya. Kiya tumbuh jadi anak yang periang, pintar dan penyayang. Tak jarang pula mereka mengajak kami semua termasuk keluarga baru Mas Dika untuk silaturahim kerumah“Kau yakin info dari Tia benar? Ini perusahaan punya adiknya?” lanjut rekannya bertanya pelan sambil terus melangkah.Kembali ku imbangi langkah mereka agar lebih mengetahui informasi dari mereka yang mencurigakan. Segera ku kirim pesan pada Sisil.[Kau mengundang Farhan? Aku sudah di dalam, tapi lagi nguping seseorang hal yang penting][Kau di mana? Nanti kita ketemu. Ada orang-orang Farhan bersamamu?][Ya, dan aku membuntuti mereka dibelakang. Tunggu di ruanganku, aku segera naik.]“Yakin sekali. Perusahaan ini harus jadi milik Bos. Jadi, yakinkan pemiliknya agar menjual sahamnya segera! Bila perlu semuanya,” rekan satunya lagi masih dengan tenang berbicara tanpa menoleh kearah lawan bicaranya. Tenang sekali.Baiklah, mari kita lihat siapa yang kuat! Batinku.Mereka berdua menoleh ke arahku yang dengan sigap pula aku pura-pura tak melihat karena segera masuk lift kantor. Sementara mereka masih bisa ku lihat sedang
Tatapan itu masih sama seperti dulu. Tampak garis senyum terukir disana, walau aku tahu pasti itu bukanlah senyuman. Pembawaan wajah yang proporsional sehingga walau tidak sedang senyum pun, ia akan tetap terlihat seperti sedang tersenyum. Tak heran, dulu banyak wanita cantik yang mengejarnya. Ah, sudahlah … tak ingin mengingat masa-masa itu.Segera ku alihkan pandangannya dengan segera. Pun dengannya. Segera mengalihkan netra nya ke langit-langit ruangan ini tepat pada lampu kristal yang menggantung dihadapannya.Sisil memandang ku sesaat, lalu bergantian menatap lelaki tadi. Aku hanya menundukkan wajah ku, seolah tak terjadi apa-apa. Memainkan benda pipih canggih ini menjadi pilihan tepat untuk mengurangi detak jantung yang berpacu sangat cepat.“Selamat siang juga! Baik Pak, tak masalah. Karena kita juga baru memulainya tujuh menit lalu,” Sisil memulai mengurai waktu yang sempat terhenti tadi. Aku menarik napas dengan lega, semoga
Mata Bang Rafi membulat. “Dek!” “Apalagi sih, Bang?” kataku sambil manyun ke arahnya.“Gak usah cari tau ke si Zach urusan proyek. Bukan kah sudah dia katakan kemaren?” ujarnya sedikit takut.“Hahahaha! Abang, Abang! Lucu deh! Memangnya mencari tau soal proyek itu kudu bicara sama Zach? Ya gak dong? Lagian kenapa emangnya Abang ngelarang?” kataku sambil tertawa.“Ya gak sih Dek. Khawatir aja ntar kamu …” lanjutnya dengan kata-kata menggantung.“Entar Adek suka sama Zach, gitu?” selidikku sambil nyengir. Karena aku hafal betul sama suamiku ini, setelah adanya proyek bareng Zach kemarin dia terlihat cemburu berat. Namun tak mau mengakui. Padahal yang ketemuan dia, yang ngobrol dia, dan yang nanganin proyek itu juga dia! Makanya aku suka sekali meledek suamiku ini. Cemburunya, itu tanda dia sangat mencintai dan menyayangiku.“Iya sih, Abang takut kamu jadi suka sama Zach,” akunya dengan suara datar padaku sambi
“Pak Amin? Jadi dari tadi, kok bapak gak tegur saya, Pak? Bapak sehat?” tanya ku pada sesosok orang tua yang baik dihadapanku ini.Beliau adalah pelayan dirumah Zach. Makanya aku kurang yakin dengannya tadi. Pak Amin jarang diminta Zach untuk menyupiri dirinya. Tapi sepertinya tidak untuk kali ini.“Ya ampun … jadi benar ini Mba Fiza? Saya tadi sudah memperhatikan Mba, cuma rada ragu, si Mba Fiza temennya Mas Zaky atau bukan? Maafin Bapak ya, kurang ngeh,” balas Pak Amin dengan antusias.“Dan … Zach? Mengapa bisa kesini?” tanyaku pula pada sosok pemilik senyum indah itu.“A-aku, aku dari tadi di mobil kok Za. Cuma minta Pak Amin aja yang ke sini,” ujar Zach sedikit kagok melihatku lagi, pun dengan ku yang rasanya tak mungkin akan bertemu dia lagi.Aku menatap Pak Amin dan Zach bergantian. Mengapa bisa?“Gini loh Mba, tadi kan waktu kecelakaan di lampu merah tadi itu, yang nyuruh Pak Amin anter ke rumah sakit ya Mas Zaky
Sepanjang perjalanan, Bang Rafi selalu sewot. Ia tak habis pikir dengan kakaknya satu itu. Niat hendak bicara baik-baik agar masalah nya selesai dengan cara kekeluargaan, malah buat ulah dan terus saja menyalahkan aku sebagai istrinya.Tentu saja suamiku itu marah besar. Ditolong agar cepat kelar, malah seperti dendam kesumat padaku. Benar-benar bikin emosi Mba Tia ini.“Ya sudahlah Bang, kita sudah bicara baik-baik pada Mba Tia kan? Urusan mau terima atau tidak, ya terserah dia lah … yang penting sebagai keluarga, kita sudah berusaha niat membantu,” kataku sedikit memberinya semangat, walau tidak begitu ngaruh dengan suasana emosi di hati Bang Rafi.Aku dan Bang Rafi tak jadi menikmati jalan-jalan. Dan akhirnya hanya pergi ke sebuah restoran khas Sunda. Karena rasa lapar telah memanggil-manggil ingin segera diisi. Bang Rafi menghentikan mobil ini ke jalur paling kiri parkiran rumah makan. Aku sedikit terfokus pada sebuah mobil yang tak asin
Farhan terlihat begitu terkejut. Tak menyangka aku akan kesini. Belum lagi Mba Tia yang tak kalah sama terkejutnya melihat adiknya pun hadir disini bersamaku.“Ini nih Bu, yang bikin anak Ibu kecelakaan! Mobil saya gak ada salah nya loh? Gara-gara Ibu ini membeli tisu nya Nana jadi Nana buru-buru pergi karena panik!” Mba Tia mulai mempengaruhi suasana, dan aku yakin itu karena dia sudah gugup duluan.“Apakah jika Nana panik boleh Mba Tia tabrak dengan mobil itu?” jawabku tajam pada matanya yang gelagapan.“Dan anda, Pak Farhan? Belum cukup kah urusannya dari soal saham hingga urusan Mba Tia yang memang jelas kesalahannya? Anda pria macam apa yang melindungi manusia yang telah menabrak anak kecil tanpa mau tanggung jawab?” ujarku pula bergantian menatap Farhan yang wajahnya panik.“Saham perusahaan kemarin yang mendadak anjlok itu Dek?” tanya Bang Rafi seolah baru ngeh dengan ucapanku.Aku mengangguk pada Bang Rafi.“Iya. Dia kerj
“Maksudnya Pak Rafi apa ya, Mba Fiza? Saya gak enak jadinya, apa mungkin Pak Rafi pusing dengan kehadiran Pak Farhan dan Bu Tia tadi ya?” kata Bu Nia yang terlihat bingung dengan ucapan suamiku barusan. Bahkan Bu Nia jadi merasa bersalah karena kejadian ini. Padahal sesungguhnya bukan itu semua alasan kalimat Bang Rafi tadi. Ya Tuhan, mengapa suamiku seperti itu ya jika nama Zach disebutkan dalam pembicaraan? Bahkan tadi Bu Nia baru menyebutkan dua huruf saja dari nama Zach? “Gak kok Bu Nia, tenang saja. Hehe, maksud suami saya, supaya Bu Nia dan Nana tidak lagi didatangi Pak Farhan, terutama Bu Tia yang melulu ngomel-ngomel bahkan mengajak Ibu dan Nana bekerjasama dengan beliau. Jadi, tenang saja ya,” balasku pada Bu Nia sambil nyengir tak jelas.Karena aku bingung dengan sikap suami ku itu kalau sudah menyangkut Zach. Pasti akan seperti itu terus. Padahal, Bu Nia tak mengerti apa-apa soal Zach yang namanya hampir sempurna disebutkan Bu Nia tadi.
“Pak Didin, saya mau masuk dulu. tolong dikondisikan ya Pak! Saya capek ngadepin orang yang gak bisa mendengar dengan baik, tapi bisanya nyalahin saja tanpa bukti. Gak taunya memang dia sendiri yang salah!” ucapku akhirnya sedikit emosi, lalu mulai pergi melangkah dari sini.“Hei Fiza! Apa-apaan kau, itu paket kiriman Mba Zara jangan kau ambil, kembalikan padaku!” teriak Mba Tia lagi sambil meronta minta dilepas tangannya oleh security.“Baca Mba, baca! Untuk Fiza Sucipto! Itu nama ku bukan nama Mba Tia!” kataku sambil menunjuk-nunjuk tulisan di paket itu.“Tapi dia kakak ku, gak mungkin dia berbuat baik padamu Fiza!” umpatnya lagi.“Ya ampun Mba! Kamu kok ngeyel deh? Itu jelas-jelas buat Fiza, gak ada tulisan Rafi atau tulisan Tia!” kata Bang Rafi tiba-tiba sudah berada dibelakangku.“Kamu sama aja! Zara itu kakak kandung kita berdua, jadi paket itu bisa jadi untuk kita berdua, iya kan?” lanjut Mba Tia masih mempengaruhi adiknya dan
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a