Sepanjang perjalanan, Bang Rafi selalu sewot. Ia tak habis pikir dengan kakaknya satu itu. Niat hendak bicara baik-baik agar masalah nya selesai dengan cara kekeluargaan, malah buat ulah dan terus saja menyalahkan aku sebagai istrinya.Tentu saja suamiku itu marah besar. Ditolong agar cepat kelar, malah seperti dendam kesumat padaku. Benar-benar bikin emosi Mba Tia ini.“Ya sudahlah Bang, kita sudah bicara baik-baik pada Mba Tia kan? Urusan mau terima atau tidak, ya terserah dia lah … yang penting sebagai keluarga, kita sudah berusaha niat membantu,” kataku sedikit memberinya semangat, walau tidak begitu ngaruh dengan suasana emosi di hati Bang Rafi.Aku dan Bang Rafi tak jadi menikmati jalan-jalan. Dan akhirnya hanya pergi ke sebuah restoran khas Sunda. Karena rasa lapar telah memanggil-manggil ingin segera diisi. Bang Rafi menghentikan mobil ini ke jalur paling kiri parkiran rumah makan. Aku sedikit terfokus pada sebuah mobil yang tak asin
Farhan terlihat begitu terkejut. Tak menyangka aku akan kesini. Belum lagi Mba Tia yang tak kalah sama terkejutnya melihat adiknya pun hadir disini bersamaku.“Ini nih Bu, yang bikin anak Ibu kecelakaan! Mobil saya gak ada salah nya loh? Gara-gara Ibu ini membeli tisu nya Nana jadi Nana buru-buru pergi karena panik!” Mba Tia mulai mempengaruhi suasana, dan aku yakin itu karena dia sudah gugup duluan.“Apakah jika Nana panik boleh Mba Tia tabrak dengan mobil itu?” jawabku tajam pada matanya yang gelagapan.“Dan anda, Pak Farhan? Belum cukup kah urusannya dari soal saham hingga urusan Mba Tia yang memang jelas kesalahannya? Anda pria macam apa yang melindungi manusia yang telah menabrak anak kecil tanpa mau tanggung jawab?” ujarku pula bergantian menatap Farhan yang wajahnya panik.“Saham perusahaan kemarin yang mendadak anjlok itu Dek?” tanya Bang Rafi seolah baru ngeh dengan ucapanku.Aku mengangguk pada Bang Rafi.“Iya. Dia kerj
“Maksudnya Pak Rafi apa ya, Mba Fiza? Saya gak enak jadinya, apa mungkin Pak Rafi pusing dengan kehadiran Pak Farhan dan Bu Tia tadi ya?” kata Bu Nia yang terlihat bingung dengan ucapan suamiku barusan. Bahkan Bu Nia jadi merasa bersalah karena kejadian ini. Padahal sesungguhnya bukan itu semua alasan kalimat Bang Rafi tadi. Ya Tuhan, mengapa suamiku seperti itu ya jika nama Zach disebutkan dalam pembicaraan? Bahkan tadi Bu Nia baru menyebutkan dua huruf saja dari nama Zach? “Gak kok Bu Nia, tenang saja. Hehe, maksud suami saya, supaya Bu Nia dan Nana tidak lagi didatangi Pak Farhan, terutama Bu Tia yang melulu ngomel-ngomel bahkan mengajak Ibu dan Nana bekerjasama dengan beliau. Jadi, tenang saja ya,” balasku pada Bu Nia sambil nyengir tak jelas.Karena aku bingung dengan sikap suami ku itu kalau sudah menyangkut Zach. Pasti akan seperti itu terus. Padahal, Bu Nia tak mengerti apa-apa soal Zach yang namanya hampir sempurna disebutkan Bu Nia tadi.
“Pak Didin, saya mau masuk dulu. tolong dikondisikan ya Pak! Saya capek ngadepin orang yang gak bisa mendengar dengan baik, tapi bisanya nyalahin saja tanpa bukti. Gak taunya memang dia sendiri yang salah!” ucapku akhirnya sedikit emosi, lalu mulai pergi melangkah dari sini.“Hei Fiza! Apa-apaan kau, itu paket kiriman Mba Zara jangan kau ambil, kembalikan padaku!” teriak Mba Tia lagi sambil meronta minta dilepas tangannya oleh security.“Baca Mba, baca! Untuk Fiza Sucipto! Itu nama ku bukan nama Mba Tia!” kataku sambil menunjuk-nunjuk tulisan di paket itu.“Tapi dia kakak ku, gak mungkin dia berbuat baik padamu Fiza!” umpatnya lagi.“Ya ampun Mba! Kamu kok ngeyel deh? Itu jelas-jelas buat Fiza, gak ada tulisan Rafi atau tulisan Tia!” kata Bang Rafi tiba-tiba sudah berada dibelakangku.“Kamu sama aja! Zara itu kakak kandung kita berdua, jadi paket itu bisa jadi untuk kita berdua, iya kan?” lanjut Mba Tia masih mempengaruhi adiknya dan
Drrrrtt, drrrrt!Ponselku berdering. Sebuah panggilang dari nomor tak dikenal.“Halo, Assalamualaikum,” sapaku.“Waalaikumsalam. Fiza, kamu bisa datang ke kantor polisi tempat Tia ditahan? Ini Mba Zara,”Ternyata suara Mba Zara. Dari mana ia mendapatkan nomor kontak ku?“Mba disana? Ngapain Mba?” tanyaku penasaran.“Kebetulan Mba lagi nemenin atasan Mba melapor, eh, gak Taunya Tia disini. Kamu kesini ya, bantuin Mba, sebenarnya ada apa dengan Tia? Dari tadi dia minta Mba bantuin dia mulu,” “Oh yaudah, nanti kita ngobrol disana ya,”Panggilan akhirnya ditutup oleh Mba Zara. Aneh. Kira-kira atasan Mba Zara melapor apaan? Atau sekedar kebetulan ketemu saja di sana dengan Mba Tia? Batinku.“Siapa Fiza?” tanya Mama mertua yang dari tadi menunggu jawabanku ingin ikut atau tidak membesuk Mba Tia.“Mba Zara, Ma. Dia meminta Fiza ikut ke kantor polisi,”“Maksud kamu, Zara dikantor polisi
“Mba … apa kau juga ikut tega sama seperti yang Mama, Rafi dan Fiza lakukan? Aku adikmu Mba?!” dengan sesenggukan Mba Tia masih berusaha merayu kakaknya agar iba dengan semua cerita-ceritanya itu.“Harus tega, Tia! Sama dengan apa yang kau lakukan dulu pada Fiza dan Mama!”“Kau sudah berubah Mba … kau bukan kakak ku yang dulu,”“Iya! Aku sudah berubah! Ini semua berkat mereka bertiga! Mereka masih sayang padaku hingga ketika aku berada di titik paling terpuruk, mereka masih memberiku waktu untuk berubah. Jika tidak dengan begitu, aku tak tau mungkin saat ini aku masih menjadi manusia monster sepertimu, Tia! Dan aku masih punya setitik cahaya saat itu, aku ikuti cahaya itu dengan baik! Dan apa yang terjadi? Fiza dan Rafi bahkan Mama masih memberiku jalan untuk meraihnya! Makanya aku jadi seperti ini, aku ingin tenang, aku ingin anakku Kiya layak mendapatkan kasih sayang dari aku ibunya, aku ingin layaknya keluarga lain yang harmonis tanp
Entah mengapa, aku jadi begitu penasaran dengan cerita yang disampaikan Bu Nia, ibunya Nana yang bekerja sebagai kasir di supermarket tadi.Aku semakin yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi dimasa lalu antara Bang Rafi dan Zack. Tapi aku tak berani mengusik masa itu. Yang aku ingat hanyalah, ketika Zach menginginkan cinta dariku melalui Bang Rafi, namun aku malah lebih simpati pada sosok Bang Rafi yang lebih natural ketika mencari informasi tentangku untuk ia berikan pada Zach, sahabatnya.Saat itu, Zack diminta kedua orangtuanya untuk mencari calon istri. Dan kebetulan aku mengenal orang tua Zack dengan baik. Pun dengan Bang Rafi, juga sudah sangat akrab dengan mereka.Malam itu, Zack tumben berani mengirimku email meminta bertemu disebuah tempat. Aku sudah mengiyakan dengan membalas balik emailnya. Namun entah mengapa, aku tak bisa menemuinya malam itu. Bang Rafi memintaku segera menemui orangtua Zach karena ada hal penting yang ingin mereka sa
Ada apa ini? Batinku sedikit merasa pasti ada sesuatu dengan tindakan mendadak ini? Tapi apa?Aku buru-buru mengikuti Bang Rafi menuju kasir. Ia menyerahkan dua lembar uang merah kepada kasir. Tanpa minta kembaliannya, bergegas kembali menarik tanganku ke arah parkiran, agar segera masuk mobil.“Ya ampun, Bang. Kamu gak lagi demam kan, Bang? Adek bingung deh sama kamu …” ujarku sedikit bertanya dan sedikit pula bercampur kesal.“Ma-maafin Abang ya, Dek. Abang kepikir Mama tadi,” katanya lagi sedikit ragu. Tapi aku sangat tahu, bahwa itu sebuah kebohongan.Ah, bisa-bisa Bang Rafi saja ini. Mama mertua tidak kenapa-kenapa, sehat bahkan. Dan lagi pula, ada Bi Siti yang sigap dirumah melayani Mama. Aku makin penasaran dengan suamiku sendiri.*** Seminggu ini aku diskusi dengan Sisil terkait rencana kami yang akan pindah. Sisil agak kecewa, tapi tetap menghargai keputusan Bang Rafi. Sisil tetap berharap, aku bis
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a