"Kok bisa ketemu, Rafi? Ada apa ini ya?” lanjut Mama mertua bertanya. Sementara aku masih menguping dari sini.“Gak papa kok, Ma. Gak sengaja ketemu. A–Atika cuma ingin belanja. Iya kan, Tika?” Bang Rafi yang terbata-bata suaranya membuatku curiga. Sangat berbeda ucapannya barusan dengan apa yang mereka perbincangkan sebelumnya berdua sebelum Mama menghampiri. “Oh, i–iya, Tante. Ini gak sengaja ketemu. Aku lewat kebetulan ada super market baru opening. Ya, mampir deh …” balas wanita bernama Atika sedikit ragu, terdengar olehku dari suara tak nyamannya itu.Oh, aku baru ingat! Atika ini adalah wanita yang dulu Mama mertua jodohkan pada anaknya, Bang Rafi. Tapi Bang Rafi menolak perjodohan itu. Dan yang paling tidak enak diingat adalah, Mama mertua dulu pernah menerima sejumlah uang dari keluarga Atika. Yang pada akhirnya berbuntut meminjam uang pada Mba Zara. Dan Mba Zara dulu meminta rumah Mama sebagai ganti uang yang pernah ia pinjamkan untuk dikembalika
Brak!“Aduh, sakit …” Suara tak asing itu membuatku reflek segera berlari menuju sumber suara.“Dinda! Kamu kenapa, Sayang?!” Aku ikut panik karena posisi Dinda tertelungkup diatas lantai dengan keranjang tentengan merah yang juga berserakan berikut berisi dua buah kelapa muda kupas ala Thailand.Bang Rafi terlihat mendekati kami yang hanya berjarak enam meter dari posisi Dinda. Dan disusul pula oleh wanita bernama Atika tadi.“Lho? Kok Bunda sama Dinda kemari?!” tak kalah terkejutnya, wajah Bang Rafi melihat kami berdua sudah disini, seolah tak percaya antara khawatir dan penasaran. Aku hanya melirik sekilas wajah suamiku itu, yang hanya berselang beberapa detik, wanita bernama Atika sudah berdiri disampingnya seolah ikut penasaran dengan apa yang terjadi.“Dinda gak papa kan, Sayang? Ayo bangun dulu, duduk sini,” ujarku pada Dinda sambil membantunya yang berusaha bangkit dari lantai.“Dinda lari-lari tadi, Bund,
"Siapa yang mau makan makanan ini kalau kalian sudah makan duluan?!""Ya sudah, Raf, kamu makan aja sendiri. Lagian kalau memang mau membawa makanan ya bawa aja, gak ada yang melarang. Pake acara kesal segala muka kamu itu?" Mama mertua langsung menanggapi.Aku mengambilkan nasi dan menuangkannya dalam piring untuk Bang Rafi. Pasti dia lapar, baru pulang kerja melihat kami makan duluan jadi mungkin bawaannya kesal."Ini, Bang. Mau lauk apa?" Tanyaku dengan sesabar mungkin."Ya yang aku bawa tadi, lah! Dari pada mubazir!" tukasnya masih bernada kesal.Anak-anak telah selesai makan. Mereka membawa piring masing-masing ke belakang. Dan menyerahkannya ke Bi Siti. Lalu masuk ke kamar masing-masing.Mama mertua juga telah selesai makan. Ia pun juga berlalu dari meja makan ini. Tampak sekali Mama tak tertarik dengan perilaku putra semata wayangnya ini yang bikin seisi rumah tak paham akan kekesalan dirinya sendiri.Bang Ra
POV RafiAku seorang pria biasa yang hidup sederhana, bersama Mama, dan dua orang kakak perempuan. Ayahku telah lama tiada karena sakit jantung yang menyerangnya kala itu. Aku acapkali dijodohkan oleh keluargaku dengan wanita pilihan Mama dan kedua kakakku. Namun aku bersikeras menolak, karena tak ada satupun yang kurasakan cocok denganku.Tak ingin menjadi pemuda beban keluarga, ku putuskan untuk bekerja. Aku melamar kerja di sebuah perusahaan bonafit. Disana hanya sepuluh orang saja yang lulus dari ratusan pelamar. Kebetulan bagian yang aku kuasai dan paling handal adalah bidang promosi, mungkin karena itulah aku terpilih. Karena aku sangat menguasai bidang promosi barang dan jasa.Di perusahaan itu, aku mengenal sosok wanita cantik, ramah dan baik. Tentu pula cerdas. Ia mempunyai keahlian dibidang analisa produk, keuangan dan lain-lain. Wajar saja ia mendapat posisi yang bagus pula di perusahaan tempat kami sama-sama bekerja. Wanita itu bernama Fi
“Halo, Raf! kamu dimana sih? Kok gak datang-datang! Ini Mama kamu marah-marahin aku di ruangan kerja! Kamu kesini deh, beresin Mama kamu ini! Buruan! Halo? Halo!” Klik. Kuakhiri panggilannya.“Dek, panggilan dari siapa?” Bang Rafi tiba-tiba sudah berdiri depan pintu kamar tamu.“Dari kantormu,” kuletakkan kembali gawai suamiku itu diatas nakas.Aku lalu kembali ke ruang kerjaku. Entah apa yang akan kulakukan aku tak tahu. Hanya ingin menghindari Bang Rafi mengajak bicara.Tampak sesekali Bang Rafi menoleh kearah ruang kerjaku. Ia terlihat panik sambil memegang benda pipih itu. Terlihat olehku pula, ia sedang megirim pesan dengan tergesa-gesa. Lalu pergi kekamar mandi. Sudah kupastikan pasti ia tak nyaman dengan panggilan yang kuterima dari Atika barusan.Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk kegawaiku. Kuperiksa segera mana tahu dari Sisil soal kerjaan kemarin.“Fiza, setelah Rafi berangkat kerja, kamu ikut
KEMELUT HATI FIZASetelah sekian lama aku selalu sabar dan tak sekalipun melawan pada keluarga Bang Rafi yang suka seenaknya berbuat padaku dahulu, kali ini aku harus bisa bersikap. Bukan terhadap Mba Zara ataupun Mba Tia yang dulu aku lakukan, tetapi kepada Bang Rafi. Suamiku.Aku masih belum memahami secara utuh apa yang ada dalam hatiku. Sakit? Tentu. Hati istri mana yang tak sakit melihat suaminya bermain api di belakangnya? Berubah menjadi orang yang berbeda dari biasanya. Bang Rafi yang dulu tak pernah bermain-main api dibelakangku, kini ia sudah mulai berani menunjukkan sikapnya itu.Memang belum ada bukti valid akan dugaanku itu. Walau hanya sekedar sebatas rekan kerja, aku tau persis Atika itu pasti bakal berbuat macam-macam terhadap suamiku. “Kalau dulu kita jadi menikah, mungkin ceritanya tidak begini ya, Raf?”Kalimat Atika saat itu terngiang dibenakku. Apa benar, disaat seperti sekarang ini wanita itu mulai menyukai Ba
POV Mama MertuaSebagai orangtua, aku bisa dikatakan kurang mampu mendidik ketiga anak-anakku. Terutama Zara dan Tia. Mereka berdua ini, entahlah dari mana bisa berkelakuan sangat buruk. Aku sampai-sampai ikut arus dengan mereka berdua yang selalu mengatakan Fiza, mantuku, adalah sosok mantu yang tak mandiri. Bahkan kata Tia, Fiza hanya bisa menghabiskan uang anakku saja, yaitu Rafi.Jika untuk urusan makan anak istri, tak apalah Rafi harus mengeluarkan uang. Tapi jika meminta uang untuk berobat Putra cucuku yang sakit, hingga mencapai puluhan juta, aku tak terima. Karena kata Zara, Fiza hendak meminjam uangnya yang akan dipakai untuk acara ulang tahun cucuku Kiya. Makanya aku ikut tak menyukai Fiza saat itu. Bahkan sering tak kuanggap sebagai bagian dari keluarga.Ternyata aku salah, semua yang Zara dan Tia bilang adalah kepalsuan belaka. Aku baru tersadarkan ketika kedua anak perempuanku itu tak ada yang mau merawatku yang sering sakit-sakitan.
Aku tahu jika Bang Rafi pastinya kebingungan dengan sikapku, yang meminta ia untuk memilih. Aku melakukan itu adalah untuk memastikan semuanya memang tidak ada apa-apa. Tapi itu jika Bang Rafinya mau jujur dan terbuka padaku.Ketika ia memilih jujur untuk hal-hal aneh yang ia sembunyikan dariku, kurasa aku bisa legowo apapun kejadiannya. Namun jika Bang Rafi hanya memilih bungkam, itu artinya memang ada sesuatu yang tak ingin aku ketahui darinya.Aku memilih pergi dari sini bukan karena aku tak mencintai suamiku, justru itu adalah cara agar ia dengan hati lapang bercerita semuanya. Tapi jika malah ia tak melarangku pula pergi dari sini, hanya karena bisnis yang ia rintis baru seumur jagung, itu artinya suamiku itu rasa egonya memang masih tinggi.Tak mengapa, aku ingin lihat sejauh mana dia tanpaku. Bukannya aku sombong. Tapi setidaknya ia menghargai semua yang kulakukan selama ini bukan untuk saling tinggi-tinggian ego, tapi karena kami pasangan suam