“Oh … jadi, semua ini rencana kamu, Bang? Sengaja gitu, suruh kakak kamu tinggal disini tanpa sepengetahuan ku?” “Halah, sudahlah Fiza. Jangan tanyain soalan itu lagi! Pokoknya, Mba Tia seminggu disini, seminggu disitu, titik!”“Maaf Bang, kau tau sendiri kan kalau Mba Tia itu tak suka padaku? Jadi sebaiknya dia ikut Abang, bukan bersamaku!”Tut! Langsung aku matikan panggilan Bang Rafi. Benar-benar egois! Aku sudah tak bisa menolerir kemauan suamiku itu. Mengapa Bang Rafi jadi begini, sih? Apa yang dia inginkan sebenarnya?*** Hari ini aku akan ngantor. Karena Sisil sudah mulai menyuruhku untuk aktif kembali. Waktu tetap fleksibel, jadi anak-anak masih bisa aku jemput selepas pulang dari bekerja, atau Pak Didin yang menjemput jika aku ada kerjaan yang menyita waktu.“Welcome home!” Sisil menyambutku dengan pelukan hangat.“Makasih …” Aku tersenyum bahagia menyambut pelukan Sisil yang begitu hangat.
[Aneh kamu itu, Raf! Suka hati Mba, lah, mau kasih siapa aja. Bener kata Tia, jangan ngeribetin orang yang mau kirim makanan!] tulis Mba Zara pula, menanggapi.Memang secara tak langsung, chat Mba Tia ada benarnya. Mengapa juga harus menghalangi Mba Zara? Ini! Ini, yang menurutku aneh. Tapi Bang Rafi tak ingin dibilang dia itu ada masalah penyakit hati apa denganku jika minum kopi? Ah, sudahlah. Mungkin benar kata Sisil, suamiku itu kena syndrome paranoid kopi berlebihan.[Ya udah, Mba. Kirim ya? Kopi yang kayak Fiza ama cemilan! Oke Mba, aku tunggu!] balas Mba Tia yang benar-benar mengharapkan pemberian Mba Zara.[Kalo yang kayak Fiza ya gak bisa, Tia. Kedainya hanya ada disini. Kejauhan ngirim kesana. Aku kirim kopi yang lain, pesen yang dekat dengan rumah sana. Sekalian makanan buat Mama juga. Udah ya, jangan protes,] tulis Mba Zara lagi.[Makanya Mba Tia kerja lah! Biar bisa beli sendiri kalau mau apa-apa. Bikin repot kakak dan adeknya aj
“Mana liat sini potonya sih? Aku makin penasaran deh!” kataku lagi dengan sedikit memaksa, sambil mengguncang lengan Sisil.“Kau tak kan kenal sama dia, Sist. Dia itu jarang pulang ke Indonesia. Hanya adiknya saja yang udah pulang ke tanah air dalam tahun ini.”“Kok bisa? Jangan bilang gak cinta tanah air ya! Mana sini, coba liat potonya, warga pribumi gak mau balik itu tampangnya kek gimana sih!” cecarku makin penasaran.“Bentar. Dih nih anak kayak dia aja yang mau nikah! Aku aja biasa-biasa saja ngeliatnya. Cuma karena kata Mamaku, anaknya ini memang mau nyari orang Indo juga, baru deh balik tanah air. Dan Papanya langsung nawarin ke Papaku. Oke sih anaknya, baik, tapi usianya lebih tua dia empat tahun.”“Udah ah, mana sini liat potonya!” desakku lagi pada Sisil, yang pada akhirnya ia buka juga gallery di gawainya itu.Sisil memperlihatkan poto calon suaminya itu, aku memperhatikannya dengan seksama. Cakep, dan wajahnya sangat ber
“Lho? Ini perusahaannya Nak Putri?” Om Bram Muller tak kalah terkejut.Aku dan Fiza saling tatap. “Lha? Fiza Sucipto, kan? Disini juga sekarang?” lanjut Om Bram menatap kami bergantian.Ya benar. Om Bram adalah papanya Zachy Muller alias Zach. Beberapa tahun silam aku pernah bekerja di perusahaannya sebagai Analisa produk dan keuangan. Aku menjadi tim sepuluh bentukkan papanya Zach.Lalu, ternyata Om Bram juga mengenal Sisil? Tepatnya Sisil Putri Wijaya?“Om … kok … kok Putri gak sampai mengetahui kalo Om … haduh, maafkan ya Om. Maafkan Putri …” ujar Sisil yang dipanggil dengan nama kecilnya, Putri, oleh Om Bram.Om Bram langsung duduk sambil mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali. Lalu ia tersenyum, dan tertawa ringan. Pak Kris dan Pak Bambangpun ikut dibuat bingung pula. Sementara aku hanya bisa diam membeku, lebih nyaman tak bersuara. Jadi aku hanya diam. Karena jadi ingat perpisahan malam itu ketika dipanggil oleh ay
“Tapi aku tuh belum makan Ma dari pagi. Mana capek perjalanan dari sana kesini. Mama gimana sih …” rengek Mba Tia memelas.“Buruan kerjakan! Gak mau ya sudah, kamu pulang lagi aja kesana! Rapikan rumah disana, baru dapat uang lagi dari Rafi. Dan ingat, jangan makan kalau kamu gak kerja!” lanjut Mama benar-benar tegas.Aku terkikik sesaat, lalu langsung pamit berangkat jemput anak-anak. Mba Tia seakan ikut sebal melihat aku tertawa kecil barusan.Tak perlu lama menunggu dan menjemput anak-anak, aku telah sampai lagi dirumah. Masih kudengar ocehan Mama pada anak perempuannya itu yang tak sudah-sudah dari sejak aku belum berangkat. Mba Tia memohon pada Mamanya agar diberikan makan dahulu, baru ia kerjakan yang mamanya minta tadi. Aku hanya geleng-geleng kepala. Mungkin maksud Mama baik, agat Mba Tia merubah sifat malasnya itu.“Ma, kasih aja dulu Mba Tia makan, kasihan litanya …” bisikku pelan ke telinga Mama.“Kalo dia i
“Kau mirip sekali dengan wanita dalam poto yang dikirimnya padaku saat aku masih di Amerika. Katanya, malam itu dia akan melamar wanita yang ada dipoto tersebut. Tapi sayang … wanita dipoto itu tak kunjung datang.” Kata-kata itu seolah membuat waktu terhenti berbutar seketika.Dimana waktu mengajakku untuk memutar rekaman berdebu yang tersimpan lama. Aku kembali mencoba mengulang ucapan Daniyal barusan dalam pikiran. Sebuah peristiwa masa lalu yang kini baru kuketahui. Sebuah cerita yang tak pernah aku berusaha untuk tahu. Sebuah cerita yang entah mengapa harus kuketahui sekarang. Namun hari ini, aku mulai memahami semuanya. Memahami mengapa malam itu Bang Rafi memaksaku ikut dengannya ketimbang menyetujuiku bertemu dengan Zack.Tubuhku masih bergetar. Aku mencoba menenangkan diri. Menenangkan hati. Mencoba mencerna dengan baik semuanya. “Fiza?” panggil Sisil yang telah membuatku tersadar kembali dari hentian waktu yang terhenti tadi.
Tak ada yang menghabiskan makanan yang dihidangkan ini, kecuali Dinda dan Putra. Mungkin karena lidah mereka cocok saja menerima jenis makanan selalin khas Nusantara. Tak lama, Bang Rafi terlihat seperti menunggu kedatangan seseorang. Karena wajahnya sibuk menoleh kearah pintu utama restoran ini. Aku masih sibuk dengan gawai, mengirim beberapa poto ke chat pribadi Mba Zara. Walaupun kami berdua tak mengobrol secara langsung, Mba Zara malah mengirim chat pribadinya ke gawaiku. [Mba kesel liat suamimu!][Betewe, undangannya cantik banget. Thanks ya Fiza!] tulis Mba Zara lagi sambil menyematkan emoticon senyum dan love.[Iya Mba, Fiza juga suka banget liat hasilnya dipoto itu,] balasku.Kami chit-chat panjang lebar, terutama Mba Zara yang banyak mengomentari adiknya hari ini yang memang terkesan lebay. Mungkin sangking sudah tak sabar, jalur chat pribadi menjadi jalan ninja. Termasuk Mama, lebih memilih jalan-jalan ke semua
Aku memang tidak membawa kado dari Bang Rafi tadi, pun dengan Mama dan Mba Zara. Ah, aku tidak mau tahu soal urusan hilangnya barang-barang yang Bang Rafi sebut tadi.“Aku gak ngambil! Enak aja main tuduh kau Rafi!” Mba Tia menutup pintu dengan keras, tapi dicegah oleh tangan suamiku itu sehingga ia bisa ikut masuk.“Apaan sih! Aku gak ngambil! Jangan sembarangan bongkar lemari itu, Raf!” teriak Mba Tia dari dalam kamar.“Sudah, sudah! Sudah malam. Bisa besok kali, diselesaikan?” Mama yang tadi keluar kamar ikut masuk kemar Mba Tia.“Itu kado mahal Ma … hilang dalam kotaknya … siapa lagi yang mengambil kalau bukan Mba Tia!” teriak Bang Rafi lagi yang terdengar menjelaskan.“Tapi Tia gak ngambil, Ma! Sumpah!” “Emang isinya apa sih? Kan kamu katanya sukses, gak apalah hilang sekali. Sudah malam, Raf, istirahat!” Panjang lebar Mama mertua kasih argument, entah sindiran entah memang ingin masalah malam ini cepat selesai.