"Eh, ada Mba Tia! Udah lama Mba?" tanyaku basa basi, karena pasti dia malas ngomong denganku.
Yang ditanya hanya diam sambil menaikan alisnya, tanda 'iya, sudah lama disini', Ya Allah, sabar!"Dek, udah sampe ya?" Bang Rafi yang malah gelagapan."Iya, aku dari tadi Bang, sampenya," biar pada penasaran kalau pembicaraan mereka tadi ngerasa jangan-jangan sudah terdengar olehku."Eh, mmm ... Fiza, itu kamu bawa apa!" tiba-tiba Mba Tia bersuara dengan raut jutek, tumben, pikirku."Oh, ini makan malam Mba. Tadi Bang Rafi sudah memesan sebelumnya. Mba Tia sudah makan?" tanyaku lagi-lagi basa-basi padanya."Yaudah, Dek. Siapin makan ya, buat Mba Tia sama kamu aja yang makan. Mas nanti aja," dengan cepat Bang Rafi mengutarakan lebih dulu, khawatir aku ngomong macam-macam depan kakaknya itu.Aku yang tahu bahwa memang sudah menjadi sifat Bang Rafi selalu mendahulukan saudaranya ketimbang diri sendiri. Akhirnya ku siapkan dua piring makan.Satu jelas untuk Bang Rafi, karena dia dari tadi sudah kelaparan. Dan satunya jelas bukan untukku. Biar mereka berdua saja yang makan, batinku.Aku bersiap menghidangkan makanan ini ke meja, lalu tiba-tiba Mba Tia malah nyeletuk."Harusnya kamu itu nanti makannya! Biar Rafi dulu yang makan. Gak kesian apa suami gak dikasih makan? Sementara kamu menghidangkan hanya untuk kamu saja!" Aku sedikit mencelos dihati rasanya, bisa-bisanya Mba Tia berkata begitu. Seolah-olah menjadi orang paling tahu disituasi ini."Owalah ... Mba Tia kayak gak tau aja sih? Orang memang cuma dua bungkus makanannya! Ya kalau Fiza tau dari tadi Mba mau datang kesini, pasti Fiza pesankan tiga porsi dong ..." sahutku dengan senyum penuh arti dihadapan muka Mba Tia langsung.Mba Tia langsung mencebik, lalu memalingkan pandangannya dariku. Terserah saja, kata ku dalam hati."Ini satu buat Abang. Ayo Bang, dimakan dulu," ujarku lagi."Nah, gitu dong Fiza! Sini yang satunya! Kamu entaran aja makannya!" sahut Mba Tia sambil hendak merebut piring yang satunya."Eits!" elak ku dengan sengaja, lalu ku sodorkan kembali ke Mba Tia. Terlihat sekali dia kesal dengan ulahku barusan."Nah, yang ini kan awalnya punya Fiza ya Mba ... tapi kayaknya Mba Tia udah kayak orang kelaperan seharian gak dikasih makan? Ini ambil buat Mba aja deh, kesian ..." kataku lagi pura-pura peduli.Dasar tamu tak tahu diri bukannya jenguk kesini bawa buah tangan, ini malah minta makan!Sudahlah, ikhlas. Yang penting sudah tahu motifnya kesini.Tanpa rasa malu, Mba Tia mengambil makanan jatahku itu.Tak apalah Fiza, sesekali ini. Eh, bukan sesekali, tapi sering kali kejadian seperti ini. Terpaksa aku menahan lapar dulu sementara.Ku perhatikan mereka berdua yang asik makan dengan lahapnya. Bahkan Mba Tia sesekali mengambil poto selfi saat lagi makan. Kuambil juga beberapa poto nya saat lagi makan dengan lapar dan lahap. Hihihi, ini pasti lucu nantinya!Setelah selesai memesan makanan via ojek online, karena aku sudah malas untuk keluar lagi, aku kembali fokus pada Putra yang terbangun minta minum.Sementara Bang Rafi dan Mba Tia sibuk melanjutkan pembicaraan mereka dengan suara yang pelan. Tapi telingaku masih bisa menangkap apa yang mereka bicarakan."Gimana, Raf? Besok harus sudah ada lho! Coba nanti kamu usahakan, ambil kartu ATM mu di Fiza," "Iya ..." Bang Rafi tampak pasrah dengan keinginan kakaknya itu.Bang Rafi berdiri dan memberanikan diri bertanya kearahku. Tapi langsung dicegah Mba Tia."Nanti Rafi! Nanti! Jangan tanya ke Fiza nya didepan kakak!" bisiknya sedikit kesal.Aku masih pura-pura tak melihat kelakuan mereka. Namun sudut ekor mataku tetap melihat aksi tarik menarik tangan Mba Tia pada Bang Rafi."Oh! I–iya!" makin terlihat bingung Bang Rafi dengan kelakuan kakaknya."Fiza ... Mba pamit! Semoga lekas sehat ya anakmu!" "Aamiin, makasih Mba!" jawabku sekenanya.Padahal tadi berharap tantenya Putra ini menghampiri Putra walau hanya sedetik melihat kearahnya. Ternyata tidak, sekedar nyebut nama Putra saja dia enggan.Ah sudahlah Fiza, jangan lebay apalagi baper! Berpikir positif saja! Batinku bergemuruh.Mba Tia langsung berjalan menuju pintu keluar dan diikuti oleh Bang Rafi yang ikut mengantarnya.Tiba-tiba driver ojek online makanan yang kupesan juga sudah tiba depan pintu kamar ini."Ruang VIP anggrek tiga, dengan Ibu Fiza?" kata sang Driver."Benar, saya suaminya." Ujar Bang Rafi."Saya mau mengantar makanan pesanan Bu Fiza ya Pak. Ini mohon diterima," driver ojek online itu menyodorkan satu bungkus makanan pesanku.Aku mengekor menuju pintu kamar."Fiza apa-apaan sih! Tadi Mba dikasih nasi bungkus, dia malah pesan makanan enak!" celetuk Mba Tia."Sini Raf, buat Mba aja! Kamu pesankan lagi buat dia nanti!" Mba Tia merebut pesanan ku dari tangan Bang Rafi."Eh, ada bapak Driver online! Mana Pak pesanan saya?" Sengaja ku tekankan kalimat itu."Sudah sama ibu ini, Bu," katanya."Lho, kok bisa?""Sudah Dek, nanti pesan lagi ya?" lagi-lagi Bang Rafi membela kakaknya itu."Yasudah Pak, saya ga terima ya pesanannya! Langsung ke ibu itu aja," lanjutku."Ini Bu, tagihannya!" si Driver memberikan nota pembayaran pada Mba Tia."Lho, kok saya yang bayar? Kan dia yang pesan Pak!" Mba Tia kaget karena harus mengeluarkan uang."Tapi kan Ibu nya yang ngambil makanannya?" Driver nya ternyata polos.Aku terkekeh dalam hati."Ini uangnya, Pak." Bang Rafi menyodorkan uang selembar dua puluh ribuan."Kurang, pak. Maaf," sanggah si Driver."Kurang? kan itu tulisannya lima belas ribu tujuh ratus," sahut Bang Rafi."Ini Pak. Seratus lima puluh tujuh ribu," si Driver memperlihatkan aplikasi total pesananku pada Bang Rafi "Kamu gimana sih Raf! Ini makanan enak kok cuma lima belas ribu! Ini Mba tambahin sepuluh ribu, cepet bayar sana, Mba mo pulang!" Mba Tia akhirnya pulang tanpa pamit lagi pada adiknya yang masih merogoh kantong mencari uang."Dek, pinjem uangnya dulu ya, besok tak ganti! Abang belum sempet ambil ke ATM tadi," ujar Bang Rafi."Ini uangnya!" dengan kesal kukasih juga uang senilai yang tertera dan telah kuoersiapkan dari tadi pada Bang Rafi."Makasih Bu Fiza, saya pamit," ujar driver langsung berjalan meninggalkan ruangan ini."Terus adek makan apa, Bang? Makan angin?" "Pesen lagi aja ya?" sahut Bang Rafi dengan entengnya.Aku yang sudah malas rasanya berdebat dengan Bang Rafi soal kelakuan saudara-saudaranya itu. Lebih memilih memesan kembali makan malam yang tertunda untuk kedua kalinya."Yah, abis nih menu nya!" gerutu ku saat melihat layar pada gawaiku."Emang pesan apa sih dek, ampe mahal begitu?""Aku kan lagi nerapin pola hidup sehat, Bang. Ya wajarlah agak mahal dikit," "Pesan apa?" tanya nya lagi."Tanya aja sama Mba Tia, semoga dia suka!" jawabku.Malam ini akhirnya aku hanya makan buah naga dan anggur, pengganti salad tadi yang diembat Mba Tia. Kopi yang ku beli tadi langsung kusuguhkan pula pada Bang Rafi. Tak lama, gawai Bang Rafi berdering."Dek, Mba Tia telpon nih," kata Bang Rafi."Yaudah angkat Bang. Loud speaker sekalian, mana tau mau ucapin makasih udah dikasih makan malam kedua punyaku!" kataku dengan sedikit kesal, tapi penasaran."Halo, Mba Tia," Bang Rafi benar-benar me-loud speaker panggilan kakaknya itu."Besok kembaliin uang sepuluh ribu yang tadi! Apa-apaan si Fiza pesan makan beginian! Ga enak! Nyesel udah kasih sepuluh ribu tadi!""Emang isinya apaan, Mba?!" Bang Rafi masih penasaran."Salad sayuran pake minyak gada rasa gitu! Hiihh!"Tut! Tut!Sambungan diputus oleh Mba Tia."Hahahaha! Maka nya Bang, bilang sama kakaknya, jangan asal ambil makanan orang!" Ledek ku."Ya ampun dek, Dek ..." Bang Rafi malah narik napas lalu geleng-geleng kepala di hadapanku. "Lha? kenapa Bang?!" tanyaku heran."Kan bisa dibilang dari awal kalo itu adalah salad sayuran, jadi Mba Tia gak bakal mau. Dan kamu bisa makan malam," ujarnya dengan begitu enteng."What? Maaf ya Bang, adek selama hidup gak pernah diajarin ngambil barang tanpa izin. Yang main ambil tadi siapa? Yang bilang ambil aja nanti Fiza pesen lagi, siapa? Kok jadi nyalahin menunya sih. Apa sekalian Abang mau nyalahin Adek juga, karena menu itu gak sesuai harapan Mba Tia?"Ku tinggalkan dia yang terlihat baru menyadari perkataan ku barusan. Aku kesal bukan main rasanya pada Bang Rafi. "Abang gak nyalahin kamu, Dek. Gak sama sekali kok! Yaudah, abang yang minta maaf ya ..." ujarnya merasa bersalah.Aku hanya mengangguk sekali, karena masih kesal. Lalu kubuka aplikasi hijauku pada gawai, untuk meredam rasa kesal ini. Mataku tertuju pada satu status.'Jagain keponakan yang sakit ampe kelaparan! Ibunya gak tau kemana, lama amat!'Status Mba Tia lengkap dengan poto selfi nya sedang makan dengan background Putra yang terbaring.'Sesekali makan ini gak papa lah, enak juga walau mahal!' Status Mba Tia selanjutnya dengan poto Salad Sayuran yang dia bilang tak suka tadi.Langsung ku sodorkan gawaiku pada Bang Rafi agar membaca dan melihat langsung status kakaknya itu!Bang Rafi kaget, dan terlihat marah serta agak malu padaku setelah membacanya.Terkadang bukti-bukti kecil yang ada harus segera dibeberkan pada Bang Rafi agar pikirannya terbuka lebar."Dek ..."Bersambung ...☘️☘️☘️☘️☘️☘️"Dek ..."Bang Rafi geleng-geleng kepala tanda ia menyesal karena telah salah berucap soal makan malam ku tadi yang diambil Mba Tia."Adek hanya ingin Abang itu objektif, Bang. Selama ini Adek selalu sabar ngadepin keluarga Abang! Adek gak bakal juga Bang mengumbar aib ipar sendiri jika suami Adek tak banyak tau kejadian sebenarnya! Menurut Abang, apa adek salah?" kutanya balik dia."Gak Dek, kamu gak salah! Abang yang salah. Selama ini terlalu memihak pada sodara Abang. Maafin Abang ya, Dek? Abang janji bakal lebih percaya sama kamu," Bang Rafi memegang erat kedua tanganku, tampak dimata nya ia begitu menyesal."Gak papa, Bang. Adek maafin kok? Tapi tolong Bang, buka lebar-lebar mata Abang!" lanjutku sembari menahan amarah yang terpendam selama ini. Aku memang harus banyak bersabar mengahadapi sikap Bang Rafi yang memang terlalu polos. Ya Tuhan ..."Sungguh Dek, Abang ... Abang ..." ujarnya bingun
Aku benar-benar sudah tak tahan dengan sikap Mba Tia. Seenaknya saja buat aturan demi kepentingan hidupnya sendiri."Maaf ya, Bang. Adek gak bermaksud tak sopan, tapi adek kesal dengar mulut Mba Tia barusan.""Iya Dek, Abang juga ga nyangka ... Abang jadi paham sekarang .... Semoga saja Mba Tia gak bakalan berani minta-minta sama Abang lagi. Dek ... maafin Abang ya? Abang benar-benar baru terbuka pikirannya. Selama ini memang tak pernah Abang lihat Mba Tia seperti itu.Mungkin karena dulu semua keinginannya Abang turuti, jadi Mba Tia terlihat baik-baik saja depan kamu.Ingatkan Abang ya Dek, jika Abang nantinya ada kelupaan lagi ..."Aku mengangguk, berharap ucapan Bang Rafi memang benar-benar sebuah penyesalan. Karena aku paham sekali tabiat suamiku ini. Tak tega-an. Jadi gampang dimanfaatkan orang.Hari ini Putra sudah boleh pulang kata dokternya. Aku merasa sangat lega. Setidaknya,
"Cukup Mba!" bentak Bang Rafi."Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama ak
"Cukup Mba!" bentak Bang Rafi."Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama ak
"Ma ... kenapa ngomong begitu? Fiza itu istri Rafi, Ma. Menantu Mama!" Bang Rafi agak meninggi nada suaranya."Mama tau! Tapi benar kan perkataan Mama? Ga perlu persetujuan dia kalau mama akan tinggal disini! Sudah, Mama mau istirahat dulu!" Tanpa rasa bersalah, Mama mertua menyuruh kami berdua keluar dari kamar yang telah ku rapi kan dari tadi.Bang Rafi langsung mengajakku ke kamar. Ia menatap lekat kesedihan dimataku."Maafin Mama ya Dek? Sungguh, Abang malu sama kamu ... Mama tak tau apa-apa soal kamu, malah bicaranya tidak mengenakkan hati begitu. Jangan diambil hati ya, Dek?" hibur Bang Rafi.Aku hanya bisa menahan gejolak dalam dada. Yang terasa begitu menyakitkan.Bagaimana bisa mertuaku itu berbicara dengan seenak mulutnya saja? Aku menahan diri agar tak berbicara dengan kasar pada Mama mertua. Walau sangat ingin membalas semua ucapan kata-katanya itu dengan kebenaran yang ad
Pagi hari saat sebelum Bang Rafi berangkat kerja, ia sempat mengajak Mamanya untuk berbicara mengenai rumah yang dikatakan oleh Mba Tia. Bang Rafi sudah sangat hati-hati menanyakan hal ini, khawatir Mama masih belum siap bahkan melakukan tindakan aneh-aneh lagi seperti kemarin.“Ma … Rafi ingin sekali berbakti pada Mama. Rafi mohon, jika Mama memang lagi ada masalah, beritahu Rafi. Rafi akan berusaha bantu Mama,”Mama hanya mengehela napasnya perlahan. Terlihat sekali dadanya seperti ada himpitan yang membuatnya tak mampu bicara. Aku kasihan sebenarnya dengan Mama mertua, tapi apa daya diriku yang memang jarang sekali dianggap. Aku jadi mengingat, pernah dulu ketika Putra baru lahir, Mama mertua sama sekali tidak mengunjungiku. Karena yang kudengar dari Bang Rafi, Mama mertua saat itu sibuk mengurus Kiya, anak Mba Zara yang dirawat di rumah sakit. Awalnya aku berfikir biasa saja, tapi Lamat kau mulai menyadarinya. Mama sama
Aku harus tahan dengan tuduhan Mba Tia. Karena aku tahu sekali tabiatnya seperti apa, tak beda jauh dengan Mba Zara. “Apa-apaan Mba! Hentikan! Rafi tau kalian tidak ada yang menganggap Fiza layaknya seorang adik ipar! Jadi cukup sudah Mba membuat Rafi marah dengan kata-kata Mba Tia barusan ke Fiza!” ujar Bang Rafi sambil menarik tangan kakaknya itu, karena memang sangat keras sekali tadi ia menarik tanganku hingga tersungkur ke lantai.“Mba heran sama kamu ya, Raf? Istri kamu itu mengusir Mama! Paham?!” sahut Mba Tia tak kalah amarahnya.“Memang percuma saja bicara pada kalian, sama saja! Selalu berat sebelah dan tak mau menerima kebenaran yang ada! Ayo Dek, kita pulang saja! Percuma kita disini kalau tak dianggap!” Dengan secepat kilat, Bang Rafi merangkulku melangkah pulang meninggalkan Mama mertua yang masih terlihat syok dan lemas.Entah apa yang membuat suamiku itu sampai tak sempat pamit pada Mama nya, tan
"Ya, rumah ini milik Fiza ..." tegas Sisil lagi."Kalian semua bohong! Fiza ini tak punya uang! Dia lebih suka mengambil uang adikku, Rafi! Dasar tukang menyusahkan!" Mba Tia mulai tak percaya tapi berusaha mencari argumen sendiri."Benarkan, sayang? Sifatnya begitu memang ... mau seenaknya sendiri sama orang lain!" Mas David tiba-tiba bersuara lagi pada Diandra.Diandra hanya geleng-geleng kepala, miris melihat mantan istri Mas David itu seperti orang kepanasan mendengar sebuah kebenaran yang ia tak mau terima."Mba, sudahlah ... sebaiknya Mba pulang aja ... ini memang rumah Fiza, bukan rumah Rafi!""Kamu itu ya! Bukannya belain Mba, malah ikut-ikutan mereka! Mba sebel sama kamu!Dan kau Fiza, jangan harap bisa terus-terusan menguras dompet adikku!" Amarah Mba Zara makin menjadi, entah karena merasa dipermalukan atau karena memang tak percaya? Mba Zara segera angkat kaki dari rumah in
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a