Ting!
Berbunyi lagi notifikasi di aplikasi chat milik keluarga Bang Rafi. [Udah tidur kayaknya si Rafi! Ga dibalas-balas!] [Sudahlah, besok subuh aku yang telpon dia. Keenakan si Putra, apa-apa serba ada dari keluarganya itu!][Iya nih, mana Rafi belum deal soal kemarin. Jadi gak sabar!]Aku semakin penasaran, apa maksud dari Mba Tia bahwa Bang Rafi belum deal? Sampai-sampai semuanya seperti tak sabar?Ya Tuhan, ada apa ini? Mengapa hati ku merasa ada yang aneh. Mengapa rasanya banyak hal yang Bang Rafi tutupi dari ku?Aku letakkan kembali gawai milik Bang Rafi pada tempatnya. Ia masih tertidur sangat pulas. Sejenak ku pandangi wajah lelaki yang telah menjadi imam ku itu. Wajah tulusnya masih terpancar, bahkan rasa kasih dan cinta darinya masih ada di wajah yang sedang terlelap itu.Aku mulai memejamkan mata ini. Mencoba untuk lebih tenang dari hal-hal yang kutemui barusan di gawai Bang Rafi.Dalam hati dan pikiranku yang hendak mulai menjemput mimpi, tersirat rasa ingin segera pagi. Agar bisa mencari tahu tentang semua yang ada dibenak ini.Keesokan pagi, setelah rutinitas ibadah subuh telah selesai, aku pamit pada Bang Rafi untuk mencari sarapan pagi diluar."Adek kedepan ya, Bang. Biasanya masih banyak pilihan sarapan disana. Kalau Putra terbangun, bantu ia berwudhu untuk solat subuh," "Iya Dek. Abang pesan lontong sayur aja, ya. Lagi pengen," ujar Bang Rafi dengan senyumnya yang khas itu.Aku segera berjalan menuju kantin, agar tetap kebagian membeli sarapan. Alhamdulillah, ternyata masih kebagian dua porsi lontong sayur dan beberapa gorengan. Bergegas ku bayar belanjaan ku, karena pengunjung kantin Rumah Sakit ini sudah mulai berdatangan.Ketika sampai depan ruangan rawat inap Putra, ada suara Bang Rafi yang sedang berbincang via telpon."Tapi, Mba... Rafi tetap harus meminta persetujuan dari Fiza. Mau bagaimanapun, Fiza itu istriku, Mba,""...""Ta–tapi, tapi Mba! Rafi gak bisa! Maaf ...""...""Kalau hanya sekedarnya saja, bukan rutin tiap bulan, Rafi rasa Fiza gak kan masalah,""...""Baiklah ... nanti Rafi coba,""...""Iya, iya ... kalau gak dimakan, Rafi kirim kesana. Assalamualaikum,"Panggilan itu ditutup sepihak sepertinya oleh Bang Rafi. Pasti perkara chat di grup keluarga nya semalam. Aku mengetuk pintu yang dari tadi memang tidak begitu rapat tertutup.Setelah mengucap salam, dan masuk kedalam ruangan ini, Bang Rafi tampak sedang memindahkan beberapa bingkisan dari atas meja kedalam bag paper."Kok, di taroh disitu, Bang? Biarin aja dulu disana, siapa tau nanti Putra pengen makannya nanti siang," kataku pura-pura tak tahu apa-apa."Mmm, gak papa Dek. Mau Abang bawa sedikit ya, ke kantor? Buat cemilan siang nanti, hehe!" jawab Bang Rafi sedikit gugup.Padahal yang kutahu, Bang Rafi itu tak suka coklat, permen susu, ataupun biscuit. Karena dia doyannya cemilan asin seperti keripik pisang, atau keripik singkong.Ya Allah, apa yang sedang suamiku ini tutupi? "Oh, yasudah Bang. Itu coklatnya titip buat Sisil ya! Bilang dapat salam dari aku. Udah lama gak ketemu, nanti aku telpon Sisil kalo aku nitipin coklat buat dia," kataku sambil senyum lebar.Walau dalam hati aku kecewa sama Bang Rafi. Jelas tadi dia menerima telpon dari kakaknya yang cuma sayang pada adiknya saja, tapi tidak dengan ku.Wajah Bang Rafi makin terlihat bingung. Pasti masih berpikir keras bagaimana caranya agar coklat besar itu beralih ke keponakannya, bukan ke Sisil.Sisil adalah teman sekaligus sahabatku. Ia pemilik perusahaan tempat Bang Rafi bekerja.Sisil merasa berhutang Budi padaku. Karena saat merintis perusahaan itu, akulah orang yang mendampinginya mulai dari nol hingga besar seperti sekarang. Sisil sudah bagaikan saudara kandung bagiku, pun dengannya. Menganggap aku juga adalah saudara kandungnya. Saat itu aku memutuskan tidak lanjut bekerja disana. Tapi tetap sesekali memberikan masukan bahkan terkadang Sisil memintaku yang memonitoring dan evaluasi semua kegiatan perusahaan. Tetap aku bantu, karena perusahaan itu juga ada bagian ku. Sisil yang meletakkan namaku sebagai salah satu daftar pemegang investasi disana. Aku meminta Sisil menerima Bang Rafi saja sebagai pengganti ku. Awalnya Sisil menolak. Tapi karena aku lebih kasihan pada Bang Rafi yang kehilangan pekerjaannya saat itu. Dikarenakan sering datang terlambat ke kantornya, kerap disuruh kakak-kakaknya itu membantu apa saja yang mereka inginkan.Aneh memang. Tapi begitulah yang ku ketahui. Semenjak menikah denganku, Bang Rafi jadi lebih memahami arti dirinya memperistri anak gadis orang. Kalau dulu, semua gaji yang ia miliki pasti akan habis hanya untuk keluarganya itu. Tapi kali ini, tidak.Kehadiranku saat itu awalnya baik-baik saja dimata saudara Bang Rafi. Tapi lama kelamaan, sifat asli mereka ku ketahui dengan sendirinya.Gaji Bang Rafi lumayan besar. Sisil memberikannya karena merasa harusnya aku yang menerima, bukan Bang Rafi. Walau sebenarnya sudah cukup bagiku nilai bagi hasil yang Sisil beri padaku tiap bulan. Jika dibandingkan dengan nilai pendapatan perusahaan itu, bagi hasil ini sangatlah kecil kata Sisil.Makanya, saat ku tolak, Sisil marah besar. Akhirnya aku setuju. Tapi masuk ke rekening gaji Bang Rafi saja. Karena aku juga sudah menjelaskan semuanya pada Bang Rafi soal gaji besar ini. Tapi tidak soal uang bagi hasil investasi.Sisil setuju, namun jika ingin ditinjau lagi, aku boleh mengajukannya untuk ke rekening pribadiku.Aku percaya penuh sama Bang Rafi. Dan ia juga memahami. Bahkan ATM gaji Bang Rafi ia berikan padaku. Lalu memintaku terserah mau di transfer berapa ke rekening miliknya yang satu lagi.💐💐💐Benar saja, siang ini Sisil mengirim ucapan terimakasihnya ke gawaiku. Coklatnya sudah ia terima.Aku lega sekali. Ternyata Bang Rafi masih mikir ulang untuk membohongi ataupun berlaku yang aneh-aneh dibelakang ku.Tak lama, aku memeriksa status di aplikasi warna hijauku. Sedikit penasaran dengan status milik kakaknya Bang Rafi.'Walaupun pengennya coklat yang besar itu, tapi gak papa dapet yang ini juga! Makasih adik manis ku yang baik!'Itu artinya Bang Rafi membeli coklat lain untuk kakaknya itu. Aku hanya terkekeh dalam hati.'Untung suami beristrikan diriku! Coba kayak dia, diatur semua duit ama istrinya!'Wah, secara tak langsung, artinya Mba Tia tidak mendapat kepercayaan mengelola uang suaminya sendiri. Pantas saja statusnya begitu. Kembali, kakak Bang Rafi menuliskan status baru. Aku tak mau ambil pusing maksud dan tujuan Mba Tia itu ditujukan untuk siapa. 'Eh, udah baca, gak ngerasa dia! Kesian adek gue!'Aku hanya narik napas. Lalu berpikir, biarkan saja Fiza, biarkan! Jangan terpancing!Sore hari, Bang Rafi kembali ke rumah sakit. Aku pamit pulang untuk melihat kondisi si kecil. Sekalian membawakannya makanan kesukaannya. Tentu juga beberapa makanan milik Putra dari Paman dan Bibi nya kemarin.Ku sisakan sedikit di rumah sakit, buat cemilan malam saat menjaga Putra. Sisanya kubawa pulang.Mending di berikan pada Bi Ratna dan ponakan dari pihak sepupuku yang memang rajin membantu dan menolong keluarga kami. "Nanti abis Magrib, Adek balik lagi ya Bang. Titip Putra ya? Dia suka nanyain bunda kalo terbangun,""Iya, Dek. Hati-hati ya!""Iya Bang. Oh iya, mau dibawain makan malam apa nanti?" "Apa aja Dek. Yang penting berkuah dan ada sambel nya ya," jawab Bang Rafi sambil tersenyum.Setelah mencium tangan Bang Rafi, aku pamit pulang.Setiba di rumah, Dinda lagi bermain sama Bi Ratna. Ketika melihatku, ia langsung berlari dan memelukku.Bi Ratna bilang, Dinda tidak rewel. Hanya sering menanyakan abangnya kapan pulang. Syukurlah, jadi Bi Ratna tidak terlalu repot jadinya.Selepas sholat magrib, aku pamit pada Bi Ratna untuk kembali ke rumah sakit. Semoga besok Putra sudah bisa pulang. Jadi, Bi Ratna tidak perlu berlama-lama aku repotkan. 💐💐💐Setiba di rumah sakit, aku lupa membeli minuman. Segera mampir dulu ke minimarket samping rumah sakit ini.Beberapa pack buah anggur dan buah naga potong, beberapa cup mie instan siap seduh, dua cup es kopi kekinian, dan beberapa bungkus snack keripik dan kentang kesukaan Bang Rafi.Ketika hendak masuk ke kamar Putra, aku kembali mendengar suara orang didalam. Sepertinya Bang Rafi tidak sendiri didalam sana."Sudahlah Mba, itu memang gak banyak sudah dimakan juga, dibawa kantor juga tadi siang," suara Bang Rafi terdengar. Aku masih menguping."Ck! Bukannya langsung dipisah! Yaudah, sini tiga juta, Mba ada keperluan Minggu depan! Mumpung istrimu belum datang!" Suara itu milik Mba Tia."Mba ... Coba Mba minta sama yang lain dulu ya? Biaya rumah sakit ini besar. Rafi khawatir nanti uangnya malah kurang,""Kamu minta dong sama keluarganya Fiza, jangan mau keluar uang sendiri! Kan Putra ponakan mereka juga, sementara kamu itu bantu-bantu nya ya ponakan kamu sendiri!""Ehem. Assalamualaikum," Tanpa ragu, sengaja suara deheman tadi ku besarkan. "Fi–Fiza!"Bang Rafi dan Mba Tia salah tingkah.Bersambung ...☘️☘️☘️☘️☘️☘️"Eh, ada Mba Tia! Udah lama Mba?" tanyaku basa basi, karena pasti dia malas ngomong denganku.Yang ditanya hanya diam sambil menaikan alisnya, tanda 'iya, sudah lama disini', Ya Allah, sabar!"Dek, udah sampe ya?" Bang Rafi yang malah gelagapan."Iya, aku dari tadi Bang, sampenya," biar pada penasaran kalau pembicaraan mereka tadi ngerasa jangan-jangan sudah terdengar olehku."Eh, mmm ... Fiza, itu kamu bawa apa!" tiba-tiba Mba Tia bersuara dengan raut jutek, tumben, pikirku."Oh, ini makan malam Mba. Tadi Bang Rafi sudah memesan sebelumnya. Mba Tia sudah makan?" tanyaku lagi-lagi basa-basi padanya."Yaudah, Dek. Siapin makan ya, buat Mba Tia sama kamu aja yang makan. Mas nanti aja," dengan cepat Bang Rafi mengutarakan lebih dulu, khawatir aku ngomong macam-macam depan kakaknya itu.Aku yang tahu bahwa memang sudah menjadi sifat Bang Rafi selalu mendahulukan saudaranya ketimbang diri se
"Dek ..."Bang Rafi geleng-geleng kepala tanda ia menyesal karena telah salah berucap soal makan malam ku tadi yang diambil Mba Tia."Adek hanya ingin Abang itu objektif, Bang. Selama ini Adek selalu sabar ngadepin keluarga Abang! Adek gak bakal juga Bang mengumbar aib ipar sendiri jika suami Adek tak banyak tau kejadian sebenarnya! Menurut Abang, apa adek salah?" kutanya balik dia."Gak Dek, kamu gak salah! Abang yang salah. Selama ini terlalu memihak pada sodara Abang. Maafin Abang ya, Dek? Abang janji bakal lebih percaya sama kamu," Bang Rafi memegang erat kedua tanganku, tampak dimata nya ia begitu menyesal."Gak papa, Bang. Adek maafin kok? Tapi tolong Bang, buka lebar-lebar mata Abang!" lanjutku sembari menahan amarah yang terpendam selama ini. Aku memang harus banyak bersabar mengahadapi sikap Bang Rafi yang memang terlalu polos. Ya Tuhan ..."Sungguh Dek, Abang ... Abang ..." ujarnya bingun
Aku benar-benar sudah tak tahan dengan sikap Mba Tia. Seenaknya saja buat aturan demi kepentingan hidupnya sendiri."Maaf ya, Bang. Adek gak bermaksud tak sopan, tapi adek kesal dengar mulut Mba Tia barusan.""Iya Dek, Abang juga ga nyangka ... Abang jadi paham sekarang .... Semoga saja Mba Tia gak bakalan berani minta-minta sama Abang lagi. Dek ... maafin Abang ya? Abang benar-benar baru terbuka pikirannya. Selama ini memang tak pernah Abang lihat Mba Tia seperti itu.Mungkin karena dulu semua keinginannya Abang turuti, jadi Mba Tia terlihat baik-baik saja depan kamu.Ingatkan Abang ya Dek, jika Abang nantinya ada kelupaan lagi ..."Aku mengangguk, berharap ucapan Bang Rafi memang benar-benar sebuah penyesalan. Karena aku paham sekali tabiat suamiku ini. Tak tega-an. Jadi gampang dimanfaatkan orang.Hari ini Putra sudah boleh pulang kata dokternya. Aku merasa sangat lega. Setidaknya,
"Cukup Mba!" bentak Bang Rafi."Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama ak
"Cukup Mba!" bentak Bang Rafi."Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot."Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya."Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah."Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi."Kau ... berani sama ak
"Ma ... kenapa ngomong begitu? Fiza itu istri Rafi, Ma. Menantu Mama!" Bang Rafi agak meninggi nada suaranya."Mama tau! Tapi benar kan perkataan Mama? Ga perlu persetujuan dia kalau mama akan tinggal disini! Sudah, Mama mau istirahat dulu!" Tanpa rasa bersalah, Mama mertua menyuruh kami berdua keluar dari kamar yang telah ku rapi kan dari tadi.Bang Rafi langsung mengajakku ke kamar. Ia menatap lekat kesedihan dimataku."Maafin Mama ya Dek? Sungguh, Abang malu sama kamu ... Mama tak tau apa-apa soal kamu, malah bicaranya tidak mengenakkan hati begitu. Jangan diambil hati ya, Dek?" hibur Bang Rafi.Aku hanya bisa menahan gejolak dalam dada. Yang terasa begitu menyakitkan.Bagaimana bisa mertuaku itu berbicara dengan seenak mulutnya saja? Aku menahan diri agar tak berbicara dengan kasar pada Mama mertua. Walau sangat ingin membalas semua ucapan kata-katanya itu dengan kebenaran yang ad
Pagi hari saat sebelum Bang Rafi berangkat kerja, ia sempat mengajak Mamanya untuk berbicara mengenai rumah yang dikatakan oleh Mba Tia. Bang Rafi sudah sangat hati-hati menanyakan hal ini, khawatir Mama masih belum siap bahkan melakukan tindakan aneh-aneh lagi seperti kemarin.“Ma … Rafi ingin sekali berbakti pada Mama. Rafi mohon, jika Mama memang lagi ada masalah, beritahu Rafi. Rafi akan berusaha bantu Mama,”Mama hanya mengehela napasnya perlahan. Terlihat sekali dadanya seperti ada himpitan yang membuatnya tak mampu bicara. Aku kasihan sebenarnya dengan Mama mertua, tapi apa daya diriku yang memang jarang sekali dianggap. Aku jadi mengingat, pernah dulu ketika Putra baru lahir, Mama mertua sama sekali tidak mengunjungiku. Karena yang kudengar dari Bang Rafi, Mama mertua saat itu sibuk mengurus Kiya, anak Mba Zara yang dirawat di rumah sakit. Awalnya aku berfikir biasa saja, tapi Lamat kau mulai menyadarinya. Mama sama
Aku harus tahan dengan tuduhan Mba Tia. Karena aku tahu sekali tabiatnya seperti apa, tak beda jauh dengan Mba Zara. “Apa-apaan Mba! Hentikan! Rafi tau kalian tidak ada yang menganggap Fiza layaknya seorang adik ipar! Jadi cukup sudah Mba membuat Rafi marah dengan kata-kata Mba Tia barusan ke Fiza!” ujar Bang Rafi sambil menarik tangan kakaknya itu, karena memang sangat keras sekali tadi ia menarik tanganku hingga tersungkur ke lantai.“Mba heran sama kamu ya, Raf? Istri kamu itu mengusir Mama! Paham?!” sahut Mba Tia tak kalah amarahnya.“Memang percuma saja bicara pada kalian, sama saja! Selalu berat sebelah dan tak mau menerima kebenaran yang ada! Ayo Dek, kita pulang saja! Percuma kita disini kalau tak dianggap!” Dengan secepat kilat, Bang Rafi merangkulku melangkah pulang meninggalkan Mama mertua yang masih terlihat syok dan lemas.Entah apa yang membuat suamiku itu sampai tak sempat pamit pada Mama nya, tan
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a