Malam itu, hujan turun dengan derasnya.
Udara menjadi tambah dingin, hanya saja Helena tak bisa menikmati malam yang harusnya nyaman untuk lelap. Kakinya tidak berhenti mondar mandir, mengabaikan tubuhnya yang butuh istirahat. Rendy ada di gendongannya, bayi itu menolak untuk diletakkan. “Nak, tidak bisakah kau tidur?” tanya Helena frustasi. Matanya tetap terjaga, hatinya terus bergumam agar Rendy cepat tertidur. Sudah pukul 2 malam, bayi itu akan menjerit seperti singa kelaparan kala diletakkan. Lelah, tak sanggup lagi berdiri sementara telapak kaki Helena seperti mati rasa. Perlahan membawa Rendy ke ranjang tidurnya, membiarkan bayi kecil itu berada di pelukannya sepanjang malam. “Wah, dia benar-benar tidak bangun,” ucap Helena pelan. Mungkin, bayi itu menginginkanAkhir pekan, di pagi hari. Helena membawa Rendy keluar dari kamar, membiarkan bayi itu bisa menghirup udara luar yang segar. Tidak jauh, Helena hanya membawa Rendy ke taman samping rumah. “Wah, bunganya bermekaran, indah sekali!” ungkap Helena senang. Selama beberapa hari pasca melahirkan terus terkurung di dalam kamar bersama dengan Rendy, akhirnya seperti keluar dari markas persembunyian selama bertahun-tahun. Lega, udara yang alami terasa lebih segar. Saat berbalik badan, tiba-tiba saja Helena dikejutkan dengan Alexander yang keluar dari ruangan belakang sambil menggosok tengkuk dengan handuk kecil. Penampilan Alexander yang hanya menggunakan celana pendek, bertelanjang dada hingga bagian otot pada dada serta perut terlihat jelas. Pria itu pasti baru selesai berolah raga. “Ya Tuhan....” buru-buru Helena berbalik badan. Tidak boleh melihat Alexander terlalu lama, sadar itu bukanlah
Kembali ke rumah membawa kekesalan, tidak menyangka kalau reaksi Alexander atas Helena terlalu keras. “Apa-apaan, dia?” protes Sarah. Banyak yang ada di ranjang tidurnya sudah melayang entah kemana akibat kemarahannya, sprei pun sudah tidak karuan posisinya. Ekspresi wajah Alexander saat memperingatkan Sarah tentang Helena, bagaimana mungkin akan dilupakannya? Gret.... Sarah mengepalkan tangannya, kebenciannya terhadap Helena semakin menjadi-jadi. “Aku tidak akan melepaskan mu, Helena. Sejak dulu kau selalu menjadi kerikil tajam yang mengganggu jalanku, maka aku akan menyingkirkan sejauh mungkin!” tekat Sarah semakin bulat. Gadis itu mulai berpikir akan cara yang digunakan untuk menyingkirkan Helena. Terlalu beresiko jika menyakiti Helena secara langsung, pengawasan terhadap wanita itu terlalu ketat. Sarah mendesah penat, “Aku akan sabar menunggu, aku pastikan tidak akan ada kecurigaan yang tertuju padaku.” Di kediaman Alexander, malam itu benar-benar sunyi.
Helena kembali ke kamar, sontak memegangi dadanya yang masih terus berdebar kencang. “Lupakan, aku mohon lupakan yang terjadi barusan, Helena...” ucapnya, memperingati dirinya sendiri. Malam itu, usaha Helena untuk melupakan apa yang terjadi dengan Alexander gagal. Wajah pria itu, semakin membekas di kepalanya. Sampai matahari menjembul keluar pun, Helena masih tidak bisa tidur. Alexander terbangun dari tidurnya, mengusap wajahnya dengan kasar agar kantuk yang tertinggal di matanya menghilang dengan sempurna. Sejenak melamun, mengingat semalam. Ditariknya nafas dalam-dalam, menghembuskan cepat. “Apa dia akan berpikir aneh-aneh?” Menggeleng kepala, Alexander pun tidak ingin terus memikirkannya. Gegas bangkit dari ranjangnya, menuju ke kamar mandi
“Ugh!” Mual Helena yang merasai asin berlebihan pada makanannya. Segelas air langsung Helena tenggak, coba menyingkirkan rasa asin itu dari mulutnya. Masih tidak bisa hilang sepenuhnya, Helena menggosoknya dengan tisu. “Kenapa makanannya asin sekali, sih?” gumam Helena tak habis pikir. Biasanya terlalu hambar, sekarang terlalu banyak garam. “Apa karena Tuan Alexander kesal sehingga dia jadi menambahkan banyak garam?” tanya Helena bingung. Semakin Helena memikirkannya, tuduhannya benar-benar hanya kepada Alexander. Hanya bisa menerima saja perlakuan buruk ini, Helena akan mencoba menahannya sekuat tenaga. “Mungkin, mereka juga pasti ingin sekali memberikan racun mematikan untukku. Garam ini cuma peringatan, seharusnya aku memang sada
“Ughhhhh......” Helena mual, tubuhnya mulai merasakan panas. Sejenak meninggalkan Rendy untuk pergi ke kamar mandi, tubuh Helena tengah bereaksi karena garam yang berlebihan masuk ke dalamnya. Apa yang dia makan tadi seperti memaksa untuk keluar. Makanan itu seperti menggumpal dan tersumbat di tenggorokannya hingga sulit bagi Helena untuk bisa bernafas dengan lega. “Akkkkkk....” Helena memegangi lehernya, nafasnya semakin sulit. Sarah tersenyum puas, bahagia luar biasa untuk kesakitan yang Helena rasakan. Mengambil Rendy dari tempat tidurnya, Sarah menatap tubuh mungil itu dengan seksama. “Kau adalah bayi yang mengancam posisiku, bagaimana mungkin aku akan menyayangimu? Rendy, seharusnya kau tidak usah lahir, dunia ini terlalu menyesakkan untukmu...” bisik Sarah. Bayi itu masih menangis di gendongannya, Mungkin dia merasakan jelas ketidaknyamanan karena Sarah yang membencinya. Kriet... Tiba-tib
Mencoba mengekspresikan wajahnya yang selaras, bagaimanapun tidak boleh terlihat salah, “Aku hanya meminta dia untuk memakan makanan yang sudah disiapkan oleh pelayan rumah, tidak ada maksud lain, Kak Alexander.” Terdengar begitu meyakinkan, bahkan jika tidak melihat bagaimana proses sebelumnya siapapun pasti akan percaya. Tidak ingin memicu permasalahan berkepanjangan, Rasanya energi Alexander pun sudah habis. Alexander mengalihkan tatapan matanya kepada Han, pria itu menganggukkan kepalanya, mengerti apa yang harus dilakukan. Melenggang meninggalkan tempat tersebut begitu saja, Alexander tengah menuju ke ruang kerjanya. Tertinggal Han dan Sarah di sana. Han mulai mengatakan sorot matanya kepada Sarah, namun wanita itu nampak kesal. Tidak ingin bergaul dengan kelas rendahan, Sarah beranggapan Han tergolong pada kelompok itu. Pria yang dipungut dari pinggir
“Jangan mendekati Rendy selama kau belum dinyatakan sembuh benar. Dokter akan datang setiap hari untuk memeriksa keadaanmu, pastikan kau pompa ASI setiap waktu, Dokter bilang ASI mu tidak akan mempengaruhi Rendy.” ucap Alexander, tegas. Helena mengangguk paham, tidak mengucapkan apapun. Siang nanti Alexander dan Han akan pergi ke luar negeri, proyek besar di sana haruslah membuat mereka turun tangan secara langsung. Sementara Ini, Kevin dan tim yang tinggal akan membantu jalannya perusahaan inti. “Dengar, penjaga gerbang tidak akan membukakan pintu untuk siapapun, kau juga harus mengikuti peraturan ini. Selama aku pergi, jangan berani membiarkan orang luar masuk apapun alasannya. Juga, kau dilarang keluar dari rumah, paham?” Kembali Helena menganggukkan kepalanya, “Baik, Tuan.” jawabnya. Siang itu, Alexander benar-benar berangkat
Helena bertepuk tangan, merasa senang. “Kerja bagus, Nak!” puji Helena kepada Rendy yang sukses menghabiskan makanannya. Bocah itu tak kalah riang, ikut bertepuk tangan meski tidak mengerti maksud itu. “Baiklah, karena anak pintar ini sudah selesai, biarkan Bibi bersihkan, ya,” ucap Helena, mulai bangkit untuk mengurus sisa makanan yang belepotan pada Rendy. Merapihkan hingga tuntas, barulah Helena kembali menurunkan Rendy di atas karpet khusus untuk bayi dan balita. Berniat ingin membawa perabotan makan ke dapur, Helena tersentak kaget melihat Alexander berdiri cukup jauh darinya. Tentu ada Han dibalik punggung pria itu. “Se-selamat datang, Tuan...” ucap Helena gugup, menyambut sebisanya. Alexander pun terkejut, sejak tadi terus mengamati tanpa sadar.
Emily berdiri di tengah situasi yang semakin panas. Clara terus melontarkan kata-kata tajam, menuduhnya sebagai perusak rumah tangga. Setiap kali Emily mencoba menjelaskan, Clara tidak memberinya kesempatan. Di sisi lain, Jarvis tak henti-hentinya membela Emily, membuat amarah dan kecemburuan Clara semakin memuncak.Akhirnya, mereka pun menjadi tontonan yang memalukan. “Jarvis, berhenti melindunginya!” teriak Clara histeris. ”Dia wanita tidak tahu malu yang menghancurkan keluarga kita! Dan kau, Emily, bagaimana bisa kau bersikap seolah-olah kau tidak bersalah?” Emily mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang memuncak. “Nyonya Clara, saya sudah mengatakan bahwa saya tidak memiliki perasaan apa pun terhadap suami Anda. Tidak pernah ada niat seperti itu dari saya.” Namun, Clara tidak mendengarkan. Dia terus menyerang Emily dengan kata-kata yang membuat suasana semakin tegang. Emily merasa seperti terperang
“Maaf, Tuan Jarvis. Saya akan menegaskan bahwa saya tidak mencintai siapapun, bahkan diri saya sendiri.” tegas Emily, langkahnya lepas meninggalkan Jarvis di sana. Jarvis menatap punggung Emily, jelas dia kecewa. Namun, dia tidak memiliki minat untuk menyerah. ****Siang itu, di sebuah restoran, sesuai Jarvis dan Emily melakukan pengecekan tahap produksi. “Jadi, untuk tahap finishing, Miss Helena sudah memastikan semuanya sesuai standar. Tinggal menunggu hasil pengecekan akhir sebelum masuk ke proses pemasaran,” kata Emily sambil menandai sesuatu di dokumen di depannya. Jarvis mengangguk pelan, matanya tertuju pada wajah Emily yang terlihat serius dan fokus. Ia kagum dengan dedikasi wanita itu, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam mengganggu pikirannya. Sudah empat hari ia berada di kota ini, memantau langsung proyek kerja sama antara perusahaannya dan perusahaan milik Helena. Empat hari pula ia terus berusaha men
Emily duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel dengan alis berkerut. Sebuah pesan baru saja masuk dari Jarvis, CEO tempatnya bekerja. Isi pesan itu membuat Emily bingung. “Aku sudah tiba di negara tempatmu berada. Mari kita diskusikan perkembangan kerja sama dengan AFG secara langsung.” Awalnya, Jarvis mempercayakan proyek penting ini sepenuhnya kepada Emily. Namun, tiba-tiba pria berusia 39 tahun itu memutuskan datang sendiri. Emily tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Jarvis sudah menikah dan memiliki anak. Mengapa ia harus datang langsung? Emily menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, ia tidak punya pilihan lain selain menyambut kedatangan atasannya itu. “Baiklah. Saya akan menemui anda di bandara,” balas Emily. Setelah membalas pesan dengan singkat, Emily segera mengambil kunci mobil dan menuju bandara. Di bandara, Emily memaksakan senyum saat
Emily berdiri di pinggir jalan, matanya terpaku pada lalu lintas yang padat. Tangannya terangkat, berusaha menghentikan taksi yang lewat, namun nihil. Jalanan tampak seperti lautan kendaraan yang tak bergerak. Ia memeluk tasnya erat-erat, melamun, memikirkan kejadian tadi di kafe. Rasanya absurd, pertemuan yang seharusnya sederhana malah berubah menjadi ajang memperdebatkan nilai hidup. Tapi ia tahu, tidak ada gunanya terus memikirkannya. Tidak semua hal butuh tempat di pikiranmu, Emily, gumamnya dalam hati, mencoba menyadarkan diri.“Bisa gila kalau memikirkan hal itu,” gumamnya. Namun, lamunannya terputus ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah seseorang yang tak asing. Han. Mata Emily terbelalak sesaat sebelum ia memalingkan wajahnya, seolah keberadaan Han adalah sesuatu yang ingin ia hindari. Ia mencoba untuk tetap fokus mencari t
Malam itu, di sebuah kafe. Emily menggenggam mini bag di pangkuannya erat-erat, seolah benda kecil itu adalah pelampiasan rasa frustrasi yang membuncah dalam hatinya. Duduk di sebuah kafe mewah di pusat kota, ia berhadapan dengan seorang pria bernama Arthur, pria yang dijodohkan oleh orang tuanya. “Jadi, Emily, kau kerja di mana sekarang?” tanya Arthur sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapan angkuh terpancar dari kedua matanya. Emily hanya mendengus pelan, mencoba menahan diri. Dalam hati, ia masih tidak percaya betapa absurd–nya situasi ini. Orang tuanya, yang sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi dengannya, tiba-tiba saja sibuk mencampuri urusan pribadinya begitu ia kembali ke negara asalnya. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada upaya membangun kembali hubungan yang rusak, hanya agenda perjodohan seperti ini. “Saya bekerja di bidang yang tidak terlalu menarik bagi orang-orang seperti Anda,”
“Ngomong-ngomong, apa wanita bernama Vera itu cantik?”“Apakah menurutmu yang namanya Vera itu cantik?” balas Alexander. Helena meletakkan cangkir teh yang tinggal separuh di atas meja. Matanya tertuju pada Alexander yang duduk di seberangnya, tangan laki-laki itu sibuk membolak-balik dokumen yang sejak tadi menemani istrinya itu. “Jadi, bagaimana menurutmu soal penampilan Vera?” tanya Helena lagi sambil menatap suaminya. Suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang memaksa Alexander untuk berhenti membaca. Alexander mendongak, seulas senyum kecil muncul di bibirnya. Ia meletakkan dokumen itu di sisi meja, lalu bergeser mendekat ke arah istrinya. Kedua tangannya meraih bahu Helena, menariknya hingga mereka saling bersentuhan. “Sayang kau serius dengan pertanyaan itu?” tanya Alexander, merasa heran. “Masalah kecantikan, jelas Helena milik Alexander Smith tidak ada duanya,” ucapnya dengan nada meng
Helena dan Alexander sudah mendengar kabar tentang Monica. Keduanya sepakat untuk tidak ikut campur dalam keputusan Tuan Smith. Itu adalah urusan keluarga Smith, dan mereka lebih memilih untuk tetap fokus pada kehidupan serta pekerjaan masing-masing. Alexander tengah berada di Smith Corporation, perusahaan keluarga Tuan Smith, untuk mengurus berbagai persiapan penting. Salah satu agendanya adalah merekrut asisten sekretaris baru untuk menggantikan posisi Han yang akan segera kosong. Rencananya, Han akan segera menduduki kursi CEO di perusahaan milik Alexander. Seusai rapat pagi dengan dewan direksi, Alexander memeriksa berkas seorang kandidat yang telah melalui tahapan seleksi terakhir. Namanya Vera, seorang kandidat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang impresif. Tanpa ragu, Alexander menyetujui jadwal wawancara langsung dengannya siang itu. Ketika Vera memasuki ruangan,
“Aku... aku...” Monica memaksakan senyum di wajahnya meski tubuhnya terasa gemetar hebat. Jantungnya berdegup cepat, sementara pikirannya kacau balau. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha tampil normal. Dengan suara yang dibuat lembut, ia menyapa Tuan Smith yang berdiri di hadapannya. “Selamat pagi, sayang. Kau... sudah bangun lebih pagi dari biasanya,” katanya sambil memaksakan senyum. Namun, bukannya jawaban hangat, Tuan Smith membalas dengan senyum sinis, senyum yang menusuk hati Monica seperti belati. Di sampingnya, Ken berdiri dengan tatapan dingin dan sikap acuh, seolah menikmati keadaan. “Bagaimana rasanya, Monica?” tanya Tuan Smith tiba-tiba. Suaranya rendah, penuh ironi. “Bagaimana perasaanmu setelah rencanamu gagal? Racun itu... sayangnya, tidak cukup untuk membunuhku.” Monica tersentak, meski ia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. “Racun? Aku... aku tidak mengerti apa yang kau maksud,” jawabnya deng
Monica melangkah perlahan ke dalam ruangan baca Tuan Smith. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan mempertegas bayangan tubuhnya yang mendekat. Di sana, di kursi favoritnya, Tuan Smith tertidur lelap, kepalanya bersandar miring. Monica berhenti sejenak, mengamati lelaki yang pernah ia panggil suami itu.“Dia sudah meminum teh itu, kan?” bisik Monica. Di meja kecil di samping kursi, cangkir teh herbal tampak setengah kosong. Monica menatap cairan dalam cangkir itu dengan penuh kepuasan. Racun yang ia campurkan sudah hampir habis. Ia tersenyum tipis, senyuman yang penuh arti, sembari membayangkan drama yang akan segera terjadi.“Bagus!” ucapnya, pelan. Monica mendekat, menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Tuan Smith untuk memastikan dia benar-benar tidak sadarkan diri. Napas pria itu terdengar teratur, dalam, dan lambat. Ia segera meninggalkan ruangan, memastikan langkahnya tidak menimbulkan