“Ughhhhh......” Helena mual, tubuhnya mulai merasakan panas.
Sejenak meninggalkan Rendy untuk pergi ke kamar mandi, tubuh Helena tengah bereaksi karena garam yang berlebihan masuk ke dalamnya.Apa yang dia makan tadi seperti memaksa untuk keluar. Makanan itu seperti menggumpal dan tersumbat di tenggorokannya hingga sulit bagi Helena untuk bisa bernafas dengan lega.“Akkkkkk....” Helena memegangi lehernya, nafasnya semakin sulit.Sarah tersenyum puas, bahagia luar biasa untuk kesakitan yang Helena rasakan.Mengambil Rendy dari tempat tidurnya, Sarah menatap tubuh mungil itu dengan seksama.“Kau adalah bayi yang mengancam posisiku, bagaimana mungkin aku akan menyayangimu? Rendy, seharusnya kau tidak usah lahir, dunia ini terlalu menyesakkan untukmu...” bisik Sarah.Bayi itu masih menangis di gendongannya, Mungkin dia merasakan jelas ketidaknyamanan karena Sarah yang membencinya.Kriet...Tiba-tibMencoba mengekspresikan wajahnya yang selaras, bagaimanapun tidak boleh terlihat salah, “Aku hanya meminta dia untuk memakan makanan yang sudah disiapkan oleh pelayan rumah, tidak ada maksud lain, Kak Alexander.” Terdengar begitu meyakinkan, bahkan jika tidak melihat bagaimana proses sebelumnya siapapun pasti akan percaya. Tidak ingin memicu permasalahan berkepanjangan, Rasanya energi Alexander pun sudah habis. Alexander mengalihkan tatapan matanya kepada Han, pria itu menganggukkan kepalanya, mengerti apa yang harus dilakukan. Melenggang meninggalkan tempat tersebut begitu saja, Alexander tengah menuju ke ruang kerjanya. Tertinggal Han dan Sarah di sana. Han mulai mengatakan sorot matanya kepada Sarah, namun wanita itu nampak kesal. Tidak ingin bergaul dengan kelas rendahan, Sarah beranggapan Han tergolong pada kelompok itu. Pria yang dipungut dari pinggir
“Jangan mendekati Rendy selama kau belum dinyatakan sembuh benar. Dokter akan datang setiap hari untuk memeriksa keadaanmu, pastikan kau pompa ASI setiap waktu, Dokter bilang ASI mu tidak akan mempengaruhi Rendy.” ucap Alexander, tegas. Helena mengangguk paham, tidak mengucapkan apapun. Siang nanti Alexander dan Han akan pergi ke luar negeri, proyek besar di sana haruslah membuat mereka turun tangan secara langsung. Sementara Ini, Kevin dan tim yang tinggal akan membantu jalannya perusahaan inti. “Dengar, penjaga gerbang tidak akan membukakan pintu untuk siapapun, kau juga harus mengikuti peraturan ini. Selama aku pergi, jangan berani membiarkan orang luar masuk apapun alasannya. Juga, kau dilarang keluar dari rumah, paham?” Kembali Helena menganggukkan kepalanya, “Baik, Tuan.” jawabnya. Siang itu, Alexander benar-benar berangkat
Helena bertepuk tangan, merasa senang. “Kerja bagus, Nak!” puji Helena kepada Rendy yang sukses menghabiskan makanannya. Bocah itu tak kalah riang, ikut bertepuk tangan meski tidak mengerti maksud itu. “Baiklah, karena anak pintar ini sudah selesai, biarkan Bibi bersihkan, ya,” ucap Helena, mulai bangkit untuk mengurus sisa makanan yang belepotan pada Rendy. Merapihkan hingga tuntas, barulah Helena kembali menurunkan Rendy di atas karpet khusus untuk bayi dan balita. Berniat ingin membawa perabotan makan ke dapur, Helena tersentak kaget melihat Alexander berdiri cukup jauh darinya. Tentu ada Han dibalik punggung pria itu. “Se-selamat datang, Tuan...” ucap Helena gugup, menyambut sebisanya. Alexander pun terkejut, sejak tadi terus mengamati tanpa sadar.
Helena berdiri di depan meja, menunduk tak berani menatap Alexander. Pria tinggi besar itu duduk dengan sedikit santai, namun matanya jelas menyorot Helena dengan tajam. Napas terasa berat, Helena pikir semua akan berakhir tidak baik. Saat bangun dari tidur, seorang pelayan rumah menyampaikan kepada Helena untuk segera datang ke ruang kerja Alexander, pria itu sudah menunggu di sana. “Apa kau tahu alasannya aku memintamu ke sini?” tanya Alexander, matanya masih mengamati gadis itu di sana. Menggigit bibir bawahnya sejenak, rasanya ingin mengatakan kepada pria itu bahwa, ‘tentu saja dia tidak tahu!’ tapi itu pasti akan membuat Alexander kesal, kan? “Ti-tidak, Tuan.” jawabnya. Entah seperti apa ekspresi wajah Alexander saat ini, Helena tidak memiliki keberanian sama
Helena kembali ke kamarnya, menjatuhkan tubuhnya duduk menyandar pada pintu. Memeluk erat kedua lututnya, air matanya tak berhenti jatuh. Benar, dia memiliki perasaan tersendiri terhadap Alexander. Namun, dia sudah bisa menahan perasaan itu sejak lama. Tidak terbayangkan akan bisa sampai sejauh ini, bahkan dinikahi Alexander pula. “Bagaimana ini, aku benar-benar tidak bisa bertahan kalau sikap Tuan Alexander seperti ini.” ucapnya, terisak-isak. Kalau saja pesan dari Rachel tidak pernah dia dengar, kalau saja tidak ada Rendy, mungkin sudah jauh kaki Helena berlari dari situasi ini. Rendy masih tidur di tempatnya, membuat Helena tak memiliki alasan untuk berhenti menangis. Terbesit dibenaknya, apakah dia bawa lari saja Ibunya sejauh mungkin?
“Apa yang kau katakan, Helena menikah dengan siapa maksud mu?” tanya Mike, tak percaya. Alexander tersenyum tipis, puas melihat wajah Mike yang menolak untuk percaya. “Sialan!” maki Mike, “kau sedang mempermainkan ku, ya?!” Dengan tatapan matanya yang selalu saja terkesan tajam dan dingin, singkat jawaban yang diberikan oleh Alexander, “Kau bukan siapa-siapa, bukan kewajibanku untuk menjelaskan apapun mengenai kehidupanku bersama Helena.” Bersama Helena, kalimat itu seperti begitu membingungkan, ada banyak hal yang terselubung. “Helena, kau dan dia sudah menikah?” Mike ogah mempercayainya, itu pasti bohong. Alexander membuang napas kasarnya, “Aku tidak mau menjelaskan apapun, jangan mencari Helena lagi, dia tidak akan bisa menemuimu!” tegasnya, memperingatkan. Tidak mau lagi mendengarkan perkataan Mike, Alexander pun meninggalkan pria itu di sana.
Alexander dengan kasarnya mendorong tubuh Helena kembali ke atas ranjang tidurnya. “Akhh!” pekik Helena saya tubuh Alexander menimpanya. Bibir pria itu mengecup tanpa belas kasihan, tangannya bergerak cepat dan kasar, mengelus dan mencengkeram dengan nafsu yang tak terkendali. Helena menangis, memohon dengan lembut, “Tuan Alexander, aku mohon jangan seperti ini...” Namun suaranya hanya tertelan oleh desah nafas mereka yang berbaur. Di sudut mata Helena yang berkaca-kaca, terpandang sebuah foto pernikahan Alexander bersama mendiang Rachel yang terbingkai rapi di dinding, sejajar dengan tempat tidur. Setiap tatapan yang terlempar pada foto itu membuat hati Helena semakin teriris, air matanya mengalir deras. ‘Nona Rachel, maaf...’ Dia merasa seolah-olah sedang mengkhianati Rachel, meski dalam hati kecilnya, perasaan cinta dalam diam kepada A
Hujan masih belum berada, bahkan terdengar petir yang menggelegar. Helena memegang erat dinding lorong saat berjalan menuju kamarnya. Langkahnya yang terhuyung-huyung menunjukkan betapa lelahnya dia, pakaian yang robek parah menambah penderitaannya. Tidak ada yang dia kenakan dari kamar Alexander, ketakutan telah mengunci keberaniannya untuk menyentuh apapun yang berkaitan dengan pria itu. “Apa bahkan semua para wanita akan merasakan yang seperti ini?” bisik Helena, ngeri. Mengingat kembali ucapan Alexander, pria itu memiliki niatan untuk menjadikan dirinya pemuas hasrat. Mendapatkan pil menunda kehamilan, apakah artinya harus terjadi terus menerus kedepannya? Helena bergidik ngeri memikirkan itu, tubuhnya jadi semakin gemetar. “Ahhhh” keluh Helena lagi, semakin erat mencengkram bagian perut bawah. Rasa perih yang menusuk di area bawahnya membua