Helena berdiri di depan meja, menunduk tak berani menatap Alexander.
Pria tinggi besar itu duduk dengan sedikit santai, namun matanya jelas menyorot Helena dengan tajam. Napas terasa berat, Helena pikir semua akan berakhir tidak baik. Saat bangun dari tidur, seorang pelayan rumah menyampaikan kepada Helena untuk segera datang ke ruang kerja Alexander, pria itu sudah menunggu di sana. “Apa kau tahu alasannya aku memintamu ke sini?” tanya Alexander, matanya masih mengamati gadis itu di sana. Menggigit bibir bawahnya sejenak, rasanya ingin mengatakan kepada pria itu bahwa, ‘tentu saja dia tidak tahu!’ tapi itu pasti akan membuat Alexander kesal, kan? “Ti-tidak, Tuan.” jawabnya. Entah seperti apa ekspresi wajah Alexander saat ini, Helena tidak memiliki keberanian samaHelena kembali ke kamarnya, menjatuhkan tubuhnya duduk menyandar pada pintu. Memeluk erat kedua lututnya, air matanya tak berhenti jatuh. Benar, dia memiliki perasaan tersendiri terhadap Alexander. Namun, dia sudah bisa menahan perasaan itu sejak lama. Tidak terbayangkan akan bisa sampai sejauh ini, bahkan dinikahi Alexander pula. “Bagaimana ini, aku benar-benar tidak bisa bertahan kalau sikap Tuan Alexander seperti ini.” ucapnya, terisak-isak. Kalau saja pesan dari Rachel tidak pernah dia dengar, kalau saja tidak ada Rendy, mungkin sudah jauh kaki Helena berlari dari situasi ini. Rendy masih tidur di tempatnya, membuat Helena tak memiliki alasan untuk berhenti menangis. Terbesit dibenaknya, apakah dia bawa lari saja Ibunya sejauh mungkin?
“Apa yang kau katakan, Helena menikah dengan siapa maksud mu?” tanya Mike, tak percaya. Alexander tersenyum tipis, puas melihat wajah Mike yang menolak untuk percaya. “Sialan!” maki Mike, “kau sedang mempermainkan ku, ya?!” Dengan tatapan matanya yang selalu saja terkesan tajam dan dingin, singkat jawaban yang diberikan oleh Alexander, “Kau bukan siapa-siapa, bukan kewajibanku untuk menjelaskan apapun mengenai kehidupanku bersama Helena.” Bersama Helena, kalimat itu seperti begitu membingungkan, ada banyak hal yang terselubung. “Helena, kau dan dia sudah menikah?” Mike ogah mempercayainya, itu pasti bohong. Alexander membuang napas kasarnya, “Aku tidak mau menjelaskan apapun, jangan mencari Helena lagi, dia tidak akan bisa menemuimu!” tegasnya, memperingatkan. Tidak mau lagi mendengarkan perkataan Mike, Alexander pun meninggalkan pria itu di sana.
Alexander dengan kasarnya mendorong tubuh Helena kembali ke atas ranjang tidurnya. “Akhh!” pekik Helena saya tubuh Alexander menimpanya. Bibir pria itu mengecup tanpa belas kasihan, tangannya bergerak cepat dan kasar, mengelus dan mencengkeram dengan nafsu yang tak terkendali. Helena menangis, memohon dengan lembut, “Tuan Alexander, aku mohon jangan seperti ini...” Namun suaranya hanya tertelan oleh desah nafas mereka yang berbaur. Di sudut mata Helena yang berkaca-kaca, terpandang sebuah foto pernikahan Alexander bersama mendiang Rachel yang terbingkai rapi di dinding, sejajar dengan tempat tidur. Setiap tatapan yang terlempar pada foto itu membuat hati Helena semakin teriris, air matanya mengalir deras. ‘Nona Rachel, maaf...’ Dia merasa seolah-olah sedang mengkhianati Rachel, meski dalam hati kecilnya, perasaan cinta dalam diam kepada A
Hujan masih belum berada, bahkan terdengar petir yang menggelegar. Helena memegang erat dinding lorong saat berjalan menuju kamarnya. Langkahnya yang terhuyung-huyung menunjukkan betapa lelahnya dia, pakaian yang robek parah menambah penderitaannya. Tidak ada yang dia kenakan dari kamar Alexander, ketakutan telah mengunci keberaniannya untuk menyentuh apapun yang berkaitan dengan pria itu. “Apa bahkan semua para wanita akan merasakan yang seperti ini?” bisik Helena, ngeri. Mengingat kembali ucapan Alexander, pria itu memiliki niatan untuk menjadikan dirinya pemuas hasrat. Mendapatkan pil menunda kehamilan, apakah artinya harus terjadi terus menerus kedepannya? Helena bergidik ngeri memikirkan itu, tubuhnya jadi semakin gemetar. “Ahhhh” keluh Helena lagi, semakin erat mencengkram bagian perut bawah. Rasa perih yang menusuk di area bawahnya membua
Wanita itu mendekati Alexander yang sedang duduk di kursi kerjanya, dan dengan penuh keberanian, duduk tepat di pinggiran meja di depannya. “Tuan Alexander....” panggil wanita itu dengan nada menggoda. Monica mulai menggerakkan tangannya secara perlahan, menyusuri dada Alexander dengan sentuhan nakal, berharap dapat memancing reaksi darinya. Namun, Alexander yang memperhatikan setiap gerakan Monica hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Mata dinginnya seolah-olah membekukan udara di sekitar mereka. Monica, yang masih berusaha memikat, semakin meningkatkan keberaniannya dengan mengusap lebih dekat ke arah wajah Alexander. “Tuan, sudah cukup lama sejak istri anda meninggal, biarkan Saya memberikan sedikit penghiburan, ya....” Dengan tenang dan tegas, Alexander menangkap tangan Monica, menghentikan gerakannya. “Monica, biarpun kau berte
Setelah meminta bodyguard untuk melumpuhkan penjaga gerbang, akhirnya Nyonya Wijaya dan Sarah bisa masuk ke rumah Alexander. Begitu masuk ke rumah itu, para pelayan yang melihat kedatangan Nyonya Wijaya dan juga Sarah benar-benar terlihat sangat terkejut. Tidak berani mengusir kedua orang itu, para pelayan yang melihat pun hanya bisa menyapa dengan sopan seperti yang seharusnya mereka lakukan. “Di mana Helena?” tanya Nyonya Wijaya kepada pelayan yang ada di sana. “Se-sedang berada di taman samping rumah, bersama dengan Tuan muda Rendy, Nyonya.” jawab salah satu pelayan. Nyonya Wijaya langsung menuju ke taman samping rumah, Sarah mengekor di belakangnya. Gadis itu benar-benar menyembunyikan senyum tipis penuh kepuasan, yakin benarnya Nyonya Wijaya akan memberikan sebuah pelajaran yang berharga kepada Helena. Begitu melihat Helena se
Alexander meletakkan amplop coklat di atas meja, di dalamnya terdapat bukti valid yang menyatakan tidak terlibatnya Helena dengan kematiannya Rachel. “Aku dan Han kembali mengusut tentang kecelakaan Rachel, ini adalah hasil yang lebih meyakinkan,” ucap Alexander. Alat rekam dari ponsel Rachel juga diaktifkan, memainkan rekaman suara yang menjadi salah satu bukti kunci. Suasana di ruang tengah itu menegang, Nyonya Wijaya menatap tajam ke arah Helena, wajahnya penuh dengan ketidakpercayaan dan amarah.“Kau sengaja menciptakan bukti-bukti baru, kau ingin membuat Helena tidak terlihat salah, dan dengan itu aku bisa membenarkan pernikahan kalian, apa itu tujuanmu, Alexander?” ungkap Nyonya Wijaya. “Tidak. Aku bukanlah orang yang picik, Ibu mertua. Akan aku sodorkan sesuatu yang ada, aku tidak berniat menipu siapapun.” jawab Alexander. Nyonya Wijaya tersenyum kesal, “Jawabanmu barusan sudah mengkonfirmasi tentang pernikahan yang
Pagi itu begitu cerah, Helena membawa Rendy yang sudah mandi untuk keluar dari kamarnya. “Sekarang Bibi akan buat bubur untukmu, ya,” ucap Helena . “.... Pastikan komposisinya lebih teliti lagi, Tuan Alexander pasti akan marah kalau tidak sesuai maunya!” ucap Han di ruang tengah. Helena berhenti mendadak, tangan yang gemetar menahan Rendy lebih erat. Matanya memicing mendengarkan pembicaraan itu. Entah mengapa dia merasa penasaran, Han nampak diam-diam, tidak ingin ada yang mendengarnya. “Tuan muda Rendy sudah tidak terlalu kuat meminum ASI, itulah kenapa kurangi saja karbohidrat di makanan Nona Helena, namun tambahkan makanan yang tinggi nutrisi.” ucap lagi Han. Helena mengerutkan kening, jadi pembicaraan itu tentang dirinya? “Ingat juga, kadar garamnya jangan sampai lebih, bagus seperti biasanya, tidak terlalu