Hujan masih belum berada, bahkan terdengar petir yang menggelegar.
Helena memegang erat dinding lorong saat berjalan menuju kamarnya. Langkahnya yang terhuyung-huyung menunjukkan betapa lelahnya dia, pakaian yang robek parah menambah penderitaannya. Tidak ada yang dia kenakan dari kamar Alexander, ketakutan telah mengunci keberaniannya untuk menyentuh apapun yang berkaitan dengan pria itu. “Apa bahkan semua para wanita akan merasakan yang seperti ini?” bisik Helena, ngeri. Mengingat kembali ucapan Alexander, pria itu memiliki niatan untuk menjadikan dirinya pemuas hasrat. Mendapatkan pil menunda kehamilan, apakah artinya harus terjadi terus menerus kedepannya? Helena bergidik ngeri memikirkan itu, tubuhnya jadi semakin gemetar. “Ahhhh” keluh Helena lagi, semakin erat mencengkram bagian perut bawah. Rasa perih yang menusuk di area bawahnya membuaWanita itu mendekati Alexander yang sedang duduk di kursi kerjanya, dan dengan penuh keberanian, duduk tepat di pinggiran meja di depannya. “Tuan Alexander....” panggil wanita itu dengan nada menggoda. Monica mulai menggerakkan tangannya secara perlahan, menyusuri dada Alexander dengan sentuhan nakal, berharap dapat memancing reaksi darinya. Namun, Alexander yang memperhatikan setiap gerakan Monica hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Mata dinginnya seolah-olah membekukan udara di sekitar mereka. Monica, yang masih berusaha memikat, semakin meningkatkan keberaniannya dengan mengusap lebih dekat ke arah wajah Alexander. “Tuan, sudah cukup lama sejak istri anda meninggal, biarkan Saya memberikan sedikit penghiburan, ya....” Dengan tenang dan tegas, Alexander menangkap tangan Monica, menghentikan gerakannya. “Monica, biarpun kau berte
Setelah meminta bodyguard untuk melumpuhkan penjaga gerbang, akhirnya Nyonya Wijaya dan Sarah bisa masuk ke rumah Alexander. Begitu masuk ke rumah itu, para pelayan yang melihat kedatangan Nyonya Wijaya dan juga Sarah benar-benar terlihat sangat terkejut. Tidak berani mengusir kedua orang itu, para pelayan yang melihat pun hanya bisa menyapa dengan sopan seperti yang seharusnya mereka lakukan. “Di mana Helena?” tanya Nyonya Wijaya kepada pelayan yang ada di sana. “Se-sedang berada di taman samping rumah, bersama dengan Tuan muda Rendy, Nyonya.” jawab salah satu pelayan. Nyonya Wijaya langsung menuju ke taman samping rumah, Sarah mengekor di belakangnya. Gadis itu benar-benar menyembunyikan senyum tipis penuh kepuasan, yakin benarnya Nyonya Wijaya akan memberikan sebuah pelajaran yang berharga kepada Helena. Begitu melihat Helena se
Alexander meletakkan amplop coklat di atas meja, di dalamnya terdapat bukti valid yang menyatakan tidak terlibatnya Helena dengan kematiannya Rachel. “Aku dan Han kembali mengusut tentang kecelakaan Rachel, ini adalah hasil yang lebih meyakinkan,” ucap Alexander. Alat rekam dari ponsel Rachel juga diaktifkan, memainkan rekaman suara yang menjadi salah satu bukti kunci. Suasana di ruang tengah itu menegang, Nyonya Wijaya menatap tajam ke arah Helena, wajahnya penuh dengan ketidakpercayaan dan amarah.“Kau sengaja menciptakan bukti-bukti baru, kau ingin membuat Helena tidak terlihat salah, dan dengan itu aku bisa membenarkan pernikahan kalian, apa itu tujuanmu, Alexander?” ungkap Nyonya Wijaya. “Tidak. Aku bukanlah orang yang picik, Ibu mertua. Akan aku sodorkan sesuatu yang ada, aku tidak berniat menipu siapapun.” jawab Alexander. Nyonya Wijaya tersenyum kesal, “Jawabanmu barusan sudah mengkonfirmasi tentang pernikahan yang
Pagi itu begitu cerah, Helena membawa Rendy yang sudah mandi untuk keluar dari kamarnya. “Sekarang Bibi akan buat bubur untukmu, ya,” ucap Helena . “.... Pastikan komposisinya lebih teliti lagi, Tuan Alexander pasti akan marah kalau tidak sesuai maunya!” ucap Han di ruang tengah. Helena berhenti mendadak, tangan yang gemetar menahan Rendy lebih erat. Matanya memicing mendengarkan pembicaraan itu. Entah mengapa dia merasa penasaran, Han nampak diam-diam, tidak ingin ada yang mendengarnya. “Tuan muda Rendy sudah tidak terlalu kuat meminum ASI, itulah kenapa kurangi saja karbohidrat di makanan Nona Helena, namun tambahkan makanan yang tinggi nutrisi.” ucap lagi Han. Helena mengerutkan kening, jadi pembicaraan itu tentang dirinya? “Ingat juga, kadar garamnya jangan sampai lebih, bagus seperti biasanya, tidak terlalu
Glek! Alexander menelan ludah, tidak menyangka kalau penampilan Helena benar-benar sangat luar biasa. Tidak akan ada yang menyangka gadis itu adalah anak pelayan, wajah Helena terlalu cocok untuk gadis dari kalangan atas. “Maaf membuat anda menunggu lama, Tuan. Butuh sedikit waktu untuk membangunkan Tuan muda Rendy,” ujar Helena. Tidak menanggapi, Alexander sontak memalingkan wajahnya. “Permisi, Tuan...” Helena melangkah masuk, duduk di sebelah Alexander. Sungguh sangat tidak nyaman, padahal harusnya Helena duduk di sebelah Han. Han masuk ke dalam mobil, gegas menyalakan mesin mobil, meninggalkan kediaman Alexander. Sekitar 1 jam menempuh perjalanan dalam diam, tidak ada obrolan sama sekali, akhirnya mereka sampai. Rumah megah milik keluarga Smith nampak begitu jelas. Ornamen yang menghiasi
“Kau harusnya tahu benar membawa wanita itu ke tempat ini sama halnya dengan penghinaan untukku, bukan?” ujar Kevin. Kevin berbicara di hadapan semua orang, Helena pun bisa mendengar kalimat itu dengan sangat jelas. Diperlakukan semacam ini rasanya Dia sudah terlalu terbiasa, utamanya karena Sarah. Untunglah Helena sering sekali mendengar kata cacian dan juga hinaan dari mulut wanita itu, hal seperti ini rasanya sudah tak lagi asing meski sakitnya tak terelakkan. Anak pelayan yang menjijikan, padahal nyatanya sama-sama manusia. Alexander tersenyum, dia duduk berjegang seolah tak peduli bagaimana pikiran dan pendapat orang lain tentang sikapnya itu. Rendy berada di gendongan Helena, bayi itu kini tengah tertidur nyenyak. “Ayah, sekarang aku justru lebih merasa malu lagi karena anak seorang pelayan bahkan memiliki kecerdasan yang bisa
Helena masih berdiri di depan jendela yang menghadap taman, kilat menyambar-nyambar di langit yang semakin gelap, menciptakan bayangan yang menari di wajahnya. Nona tertua keluarga Smith masih menggunakan tatapan yang tajam mengamati Helena dengan skeptis. Suaranya yang biasanya tegas terdengar ragu, “Kenapa kau tidak memberikan tanggapan secara cepat, Helena? Apa kau tahu artinya imbalan yang bisa kau gunakan sampai kau renta seberapa banyak?” Helena menegakkan tubuhnya, menghadapi wanita itu dengan ekspresi tenang. “Nona Smith, aku menghargai kepercayaan yang telah Anda berikan kepada ku,” ujarnya, suaranya lembut namun tegas. “Namun, aku harus jujur bahwa dalam hal ini, aku sulit untuk dapat melanggar prinsip hidupku.” Kilat kembali menyala, memecah kesunyian yang mulai menyelimuti ruangan tersebut. Helena melanjutkan, “Aku tidak akan mengkhianati kepercayaan orang lain, meskipun itu mungkin memb
Hujan mulai reda saat Alexander dan Helena tiba di rumah, sedangkan Rendy pun masih tertidur nyenyak. Gaun Helena yang agak menjuntai bagian belakangnya menjadi alasan Alexander untuk menggendong Rendy. Mengantarkan bocah kecil itu sampai ke kamar, di belakangnya Helena mengekor sambil menenteng heelsnya. Perlahan Alexander meletakkan Rendy, langkahnya berhenti melihat Helena berdiri tak jauh darinya. Glek! Alexander menelan ludah, rahangnya mengeras melihat penampilan wanita itu. “Ah, sial!” ucap Alexander memaki dengan pelan. Mendengar itu, Helena pun mengerutkan dahi sambil berpikir, ‘apakah Tuan Alexander kesal karena harus membawa Rendy sampai ke kamar?’ Berjalan cepat, tatapan matanya yang aneh, Alexander menuju Helena. Dugdug! Helena menelan ludah, merasa sangat gugup melihat tatapan Alexander sambil menuju ke arahnya den
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece