Helena masih berdiri di depan jendela yang menghadap taman, kilat menyambar-nyambar di langit yang semakin gelap, menciptakan bayangan yang menari di wajahnya.
Nona tertua keluarga Smith masih menggunakan tatapan yang tajam mengamati Helena dengan skeptis. Suaranya yang biasanya tegas terdengar ragu, “Kenapa kau tidak memberikan tanggapan secara cepat, Helena? Apa kau tahu artinya imbalan yang bisa kau gunakan sampai kau renta seberapa banyak?” Helena menegakkan tubuhnya, menghadapi wanita itu dengan ekspresi tenang. “Nona Smith, aku menghargai kepercayaan yang telah Anda berikan kepada ku,” ujarnya, suaranya lembut namun tegas. “Namun, aku harus jujur bahwa dalam hal ini, aku sulit untuk dapat melanggar prinsip hidupku.” Kilat kembali menyala, memecah kesunyian yang mulai menyelimuti ruangan tersebut. Helena melanjutkan, “Aku tidak akan mengkhianati kepercayaan orang lain, meskipun itu mungkin membHujan mulai reda saat Alexander dan Helena tiba di rumah, sedangkan Rendy pun masih tertidur nyenyak. Gaun Helena yang agak menjuntai bagian belakangnya menjadi alasan Alexander untuk menggendong Rendy. Mengantarkan bocah kecil itu sampai ke kamar, di belakangnya Helena mengekor sambil menenteng heelsnya. Perlahan Alexander meletakkan Rendy, langkahnya berhenti melihat Helena berdiri tak jauh darinya. Glek! Alexander menelan ludah, rahangnya mengeras melihat penampilan wanita itu. “Ah, sial!” ucap Alexander memaki dengan pelan. Mendengar itu, Helena pun mengerutkan dahi sambil berpikir, ‘apakah Tuan Alexander kesal karena harus membawa Rendy sampai ke kamar?’ Berjalan cepat, tatapan matanya yang aneh, Alexander menuju Helena. Dugdug! Helena menelan ludah, merasa sangat gugup melihat tatapan Alexander sambil menuju ke arahnya den
Bruk! Helena terperosok ke sofa dengan terkejut ketika Alexander mendorongnya dengan kekuatan penuh. Tubuhnya terhempas, dan sebelum dia sempat menyadari, Alexander sudah menguasai posisinya, menindihnya dengan keberanian yang mencengkram. Tangannya yang kuat menyusup ke leher Helena, menekan tengkuknya dengan lembut namun pasti. “Helena, berani sekali kau bertingkah menggoda seperti ini, apa kau sengaja?” bisik Alexander di telinga Helena. Menggeleng kepala, yakin tak melakukan apa yang dituduhkan pria itu padanya. “Tuan aku sama sekali tidak,” “Kau berani membantah ucapan ku, hem?” Kehilangan kata, Helena benar-benar tidak mengerti apa maunya pria itu. Merasa dirinya tengah dipaksa untuk menerima tuduhan itu. Meski tidak adil, sialnya Helena merasa takut untuk banyak bicara. “Kau harus
Plak! Sarah yang merasa kesal melayangkan pukulan ke wajah Helena. Memalingkan wajah, menggigit bibir bawahnya, dan di saat itulah kemarahan terasa. Sebenarnya, kenapa semua orang begitu membenci dirinya? Benarkah darah pelayan begitu menjijikkan? Helena menegakkan posisinya berdiri, dia lebih tinggi ketimbang Sarah sehingga membuat wanita itu sedikit turun pandangannya. “Berani sekali, kau itu cuma anak pelayan. Cuma rahim yang dibutuhkan darimu untuk menghasilkan Rendy, tidak seharusnya kau menyodorkan organ intim mu, kan?!” Sarah berteriak kesal. Helena tersenyum kelu, menjelaskan apapun yang terjadi pun tidak akan pernah ada artinya. Sejak awal namanya seperti kotoran busuk, tidak mungkin akan menjadi tumpukan berlian. Sarah kesal melihat sen
Terbangun saat mendengar suara tangis Rendy, namun Helena seperti tidak memiliki energi. Tubuhnya lemas sekali, keringat dingin bahkan membuat dress tidurnya lembab. Namun, terlalu tidak tega dengan suara tangis Rendy membuatnya bangkit. Meski terasa begitu lemah, Helena berusaha sekuat tenaga untuk menyusui Rendy. Bayi itu sudah mulai tenang, tapi Rendy yang sudah sangat aktif bermain makin membuat Helena tak kuat lagi. “Lebih baik aku minta bantuan pelayan lain saja, deh. Aku takut tidak bisa menjaga Rendy dengan benar, nanti terjadi sesuatu yang membahayakan,” gumam Helena. Menyeret langkahnya menuju ke luar, Helena mendekati seorang pelayan yang kini tengah membawa vas bunga. “Permisi...” Pelayan itu menoleh, “boleh bantu aku menjaga Rendy? Maaf, aku benar-benar sedang demam sekarang,” ucap He
Helena terperangah tak percaya, menatap mangkuk bubur yang isinya sudah tidak ada sama sekali. Bagaimana bisa satu mangkuk bubur itu masuk ke dalam perutnya melalui mulut Alexander? ‘Itu sama artinya aku makan muntahan Tuan Alexander, kan?’ batin Helena yang tengah menyesalinya. Tak berani bereksperi secara jujur, Helena bahkan menghindari kontak mata langsung dengan Alexander. Entah mengapa juga pria itu terus duduk di ujung ruangan, matanya terarahkan pada Helena. “Ah, benar-benar mengerikan!” bisik Helena. Sudah menghabiskan semangkuk bubur, obat penurun panas juga sudah dia minum setelahnya. “Tu-Tuan, aku sudah akan tidur, apa Tuan akan di sana terus?” tanya Helena. Manalah nyaman untuk t
Pagi itu, Dokter datang untuk memasangkan alat kontrasepsi pada Helena. Hanya bisa pasrah, Helena berharap semua berjalan seperti yang seharusnya. Satu hari setelahnya, instruktur gym yang dimaksudkan oleh Alexander datang pagi hari sekitar pukul 08.00 pagi. “Selamat pagi, Nona Helena. Saya Luis, akan memandu Anda untuk menjalani olahraga.” ucapnya. Helena pun tersenyum meski hatinya tak mau. Sebenarnya, ada rasa tidak nyaman pada bagian bawahnya setelah pemasangan alat kontrasepsi, tapi karena takut akan menjadi masalah baru untuknya dan juga Alexander, Helena pun memaksakan diri. Pagi itu, Helena menjalani olah raga untuk pemula selama satu jam, dan kedepannya akan bertambah jamnya dan juga gantangannya. “Aku pikir saat Tuan Alexander pergi aku bisa merasa sedi
“Ah!!!” teriak Helena. Helena tersentak kaget saat membuka matanya pada pagi hari yang cerah itu dan menyadari ada tangan kekar yang memeluknya erat. Dengan segera, dia bangkit dari posisinya, tubuhnya terasa kaku. Rupanya pria yang memeluknya adalah Alexander, pria itu kini menatap Helena dengan tatapan tajam. “Masih sepagi ini, kenapa mulutmu berisik sekali?” protes Alexander. “Ma-maaf, aku tidak tahu Anda di sini,” ucap Helena dengan ekspresi kikuk dan suara yang gugup. Rasa tidak nyaman terpancar dari raut mukanya, matanya yang tadinya lebar kini menunduk, mencoba menghindari kontak mata dengan Alexander. Alexander hanya membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah lain dan berkata dengan suara yang masih serak karena baru bangun, “Jangan ribut, aku masih ingin tidur. Biarkan aku di sini.”
Helena melangkah lemah menuju kamarnya, kaki dan lengannya terasa seperti terikat timbal. Baru hari kedua berlatih tubuh dan dia sudah merasa seperti telah melalui medan perang. “Dia pasti sengaja melakukannya itu, kan?” gumam Helena, kesal. Dengan setiap langkah yang dibuat, rasa sakit semakin terasa di seluruh tubuhnya, membuatnya meringis setiap kali berusaha menggerakkan anggota badannya. “Ayolah, aku pun tetap harus menjaga Rendy.” ucap Helena, menguatkan dirinya sendiri. Helena menjatuhkan diri di tepi tempat tidur, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasakan setiap otot yang tegang dan nyeri. Air mata perlahan menetes di antara jemarinya, bukan hanya karena sakit fisik, tapi juga karena rasa frustrasi yang menggebu. “Kenapa dia begitu keras padaku?” gumamnya dengan suara serak, mengutuk Alexander yang telah memberikan luka begitu dalam, namun sulit bagi Helena untuk membencinya