Helena melangkah lemah menuju kamarnya, kaki dan lengannya terasa seperti terikat timbal.
Baru hari kedua berlatih tubuh dan dia sudah merasa seperti telah melalui medan perang. “Dia pasti sengaja melakukannya itu, kan?” gumam Helena, kesal. Dengan setiap langkah yang dibuat, rasa sakit semakin terasa di seluruh tubuhnya, membuatnya meringis setiap kali berusaha menggerakkan anggota badannya. “Ayolah, aku pun tetap harus menjaga Rendy.” ucap Helena, menguatkan dirinya sendiri. Helena menjatuhkan diri di tepi tempat tidur, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasakan setiap otot yang tegang dan nyeri. Air mata perlahan menetes di antara jemarinya, bukan hanya karena sakit fisik, tapi juga karena rasa frustrasi yang menggebu. “Kenapa dia begitu keras padaku?” gumamnya dengan suara serak, mengutuk Alexander yang telah memberikan luka begitu dalam, namun sulit bagi Helena untuk membencinyaSiang hari yang terik, sama halnya seperti perasaan Helena. Dengan mengumpulkan tekad, gadis itu berjalan menuju ruang kerja Alexander. Toktok!“Masuk!” sahut Alexander dari dalam ruangan. Helena membuang napasnya, tangannya meraih kenop pintu, membukanya. Kriet...“Maaf mengganggu waktunya, Tuan Alexander.” ucap Helena. “Ada apa?” tanya Alexander. Pria itu memperhatikan Helena dengan seksama, menyadari mimik wajah wanita itu nampak tak baik. “Hari ini, aku benar-benar sangat merindukan Ibuku. Bolehkah aku menemuinya sebentar, Tuan?” tanyanya, memohon. Meletakkan ponsel yang saat itu telah dipegang, Alexander menatap lebih dalam kepada Helena lalu menjawab, “Kalau tidak salah, kau menggunakan alasan kerja di luar negeri kepada Ibumu, kan?”Helena cepat menganggukkan kepalanya, “Benar, Tuan.”“Jadi, apa sekarang kau memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya?” tanya Al
Helena kembali ke rumah Alexander, kala itu hari mulai sore. Suara tangis Rendy langsung menyapa telinganya, gegas Helena menuju ke arah sumber suara tersebut. Berada di dalam gendongan pelayan, Rendy sepertinya sudah menangis sejak tadi sampai wajahnya merah sekali. “Nak,” panggil Helena, panik. Langsung menggendong Rendy, memeluknya erat sambil mengusap punggung bocah itu. “Ssttt... Tenang ya, nak. Maaf Bibi meninggalkanmu cukup lama,” ucap Helena pelan. Membawa bocah itu ke sofa, memangkunya, dan menyusui. “Tuan muda Rendy sejak tadi terus menolak susu formula, kami benar-benar kesulitan membuatnya tenang, Nona Helena.” ujar pelayan rumah terlihat frustrasi dan kelelahan. Helena terpaksa menyusui di sana, dia pikir hanya ada pelayan yang mayoritas adalah perempuan. Namun, Helena tersentak kaget saat tiba-tiba saja Han lewat, dan untungnya belum sempat me
Alexander semakin meningkatkan tekanannya pada leher Helena, wajahnya merah padam seakan-akan darah mengalir lebih cepat karena kemarahannya. “Kau pikir, siapa dirimu hingga berani menanyakan pertanyaan seperti itu, hah?!” bentak Alexander. Mata Helena memandang Alexander dengan ketakutan, namun tidak bisa berkata apa-apa. “Kau terlalu banyak bicara, Helena! Sebuah mainan tidak seharusnya bersuara!” teriak Alexander dengan suara berat. Napas Helena semakin tersengal, dia mencoba menarik napas dalam-dalam tapi cengkeraman Alexander yang kuat membuatnya sulit bernapas. Dia batuk-batuk, mencoba membebaskan diri, namun gagal. Air mata mengalir deras dari sudut matanya, menandakan rasa sakit dan ketakutan yang mendalam. Helena merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dia kontrol, pasrah pada kebrutalan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.Alexander menjauhkan tangannya, membiarkan Helena bisa bernapas. “Aku tidak ingin membuatmu mati, santai saja, Helena...” ucapnya lalu men
Sore hari di rumah kediaman Wijaya. Sarah tersenyum sambil menatap Nyonya Wijaya yang tengah merapikan pakaian untuk Rendy, rencananya lusa ia akan menemui Rendy. “Bi, cobalah untuk lebih sering datang menui Rendy, dia pasti senang sekali bertemu Neneknya,” ujar Sarah, basa-basi semata. Nyonya Wijaya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Sudah satu bulan penuh tidak melihat Rendy, rasanya rindu sekali dengan wajah Rachel dalam bentuk anak laki-laki itu. “Bibi juga inginnya begitu, Sarah. Tapi, Berada di rumah itu terlalu lama sangat menyesakkan dada. Melihat Helena rasanya seperti sebuah hukuman, tangan Bibi rasanya ingin terulur memukulinya.” Nyonya Wijaya mengembuskan napas, “tapi, Alexander sepertinya tidak akan membiarkan hal itu.” Sarah tersenyum tipis, matanya jelas menunjukkan akal licik yang ia miliki.
Telinga Helena serasa berdengung, mendengar kalimat dari mulut Nyonya Wijaya bagaikan tersambar petir. “Bukan hanya sibuk mengurus Rendy, nyatanya kau juga sibuk melayani Alexander, kan?” Nyonya Wijaya menahan tangis, suaranya gemetar. Ada banyak luka yang harus ditanggung oleh hatinya, rasanya sulit kalau untuk menahan kata-katanya saat ini. Helena yang kini tidak mengatakan apapun untuk menyergah ucapannya, rasanya seperti mengkonfirmasi tuduhannya. “Aku pun sudah menjelaskan padanya untuk tahu diri, Bibi. Tapi, orang seperti Helena itu sulit untuk diberitahu, rela melakukan apapun supaya bisa mencapai tujuannya.” ucap Sarah. Helena pun hanya bisa sedikit tersenyum, malas sekali bicara. Niat Sarah sudah sangat jelas, sayangnya Nyonya Wijaya terlalu buta untuk b
Rona wajah kecewa jelas terlihat, tatapan mata yang seolah menyemburatkan kemarahan dan juga kekecewaan langsung ditunjukkan oleh Helena kepada Alexander. “Aku sudah berusaha semampuku, Tuan Alexander. Tapi, Nyonya Wijaya memaksa untuk menggendong Rendy yang menolak, Nona Sarah pun terus melarang ku untuk mengambil Rendy supaya berhenti menangis.” ucap Helena, tanpa sadar air matanya menetes. Gegas dia singkirkan air mata itu dengan mengusap, “ah, sepertinya percuma juga dijelaskan, apapun situasinya seorang Helena tidak akan pernah benar.” Nyonya Wijaya terdiam, namun matanya menatap Helena dengan tatapan marah. Sarah mengepalkan tangannya, tidak menyangka kalau ada masanya Helena akan menjadi berani berbicara panjang lebar seperti itu. Helena memundurkan langkahnya, menghadapkan wajahnya kepada tiga orang yang menurutnya paling tidak berperasaan. Menunduk seolah tengah memohon pengampunan, Helena berkat
Di dalam ruangan perawatan, Helena terus mengusap punggung tangan Rendy. Bocah itu masih nyenyak tidur, terlihat begitu kelelahan. “Kedepannya, pastikan untuk tidak membiarkan Rendy di gendong siapapun. Dia sangat penting bagiku, semuanya akan rumit kalau terjadi sesuatu dengannya.” peringat Alexander. Pria itu terus mengarahkan pandangannya terhadap Helena, menunggu dengan seksama tanggapan dari wanita itu. “Tuan,” panggil Helena, suaranya terdengar lemah. “Jika di mata kalian aku tidak pernah benar, kenapa aku harus ditahan seperti ini? Lelah, aku pun kesulitan menghadapi kalian semua.” Mendengar itu, Alexander pun kesal. “Apa kau sedang mengeluh sekarang?” Helena tersenyum pilu, mengeluh mungkin juga akan percuma, tidak ada kesempatan baginya. Lagi pula, mengeluh dengan siapa? Helena tahu hanya
Helena menggigit bibir bawahnya, menahan luka hati yang lagi-lagi diberikan Alexander padanya. Pria itu benar-benar tidak memiliki belas kasih, bahkan tega melecehkan Helena di dalam mobil, masih di tempat parkir. Dress rumahan yang digunakan Helena benar-benar memudahkan segalanya, hanya tinggal menyibakkan saja kain bawanya. Alexander memejamkan matanya, perasaan marah itu menggebu, tapi juga tidak bisa menahan rasa nikmat yang luar biasa itu. Tidak peduli Helena yang terlihat kesakitan, pria itu mengejar kupuasan untuk dirinya sendiri. “Helena, bagaimana kau akan merasakan semua ini jika kau di dalam penjara, hem? Bahkan, aku sudah memberikan banyak hal tanpa memberitahu mu, kau harusnya jangan banyak tingkah, jalani saja hidup mu di sisiku!” ucap Alexander, tapi pria itu tak menghentikan kegiatanny