Rona wajah kecewa jelas terlihat, tatapan mata yang seolah menyemburatkan kemarahan dan juga kekecewaan langsung ditunjukkan oleh Helena kepada Alexander.
“Aku sudah berusaha semampuku, Tuan Alexander. Tapi, Nyonya Wijaya memaksa untuk menggendong Rendy yang menolak, Nona Sarah pun terus melarang ku untuk mengambil Rendy supaya berhenti menangis.” ucap Helena, tanpa sadar air matanya menetes. Gegas dia singkirkan air mata itu dengan mengusap, “ah, sepertinya percuma juga dijelaskan, apapun situasinya seorang Helena tidak akan pernah benar.” Nyonya Wijaya terdiam, namun matanya menatap Helena dengan tatapan marah. Sarah mengepalkan tangannya, tidak menyangka kalau ada masanya Helena akan menjadi berani berbicara panjang lebar seperti itu. Helena memundurkan langkahnya, menghadapkan wajahnya kepada tiga orang yang menurutnya paling tidak berperasaan. Menunduk seolah tengah memohon pengampunan, Helena berkatDi dalam ruangan perawatan, Helena terus mengusap punggung tangan Rendy. Bocah itu masih nyenyak tidur, terlihat begitu kelelahan. “Kedepannya, pastikan untuk tidak membiarkan Rendy di gendong siapapun. Dia sangat penting bagiku, semuanya akan rumit kalau terjadi sesuatu dengannya.” peringat Alexander. Pria itu terus mengarahkan pandangannya terhadap Helena, menunggu dengan seksama tanggapan dari wanita itu. “Tuan,” panggil Helena, suaranya terdengar lemah. “Jika di mata kalian aku tidak pernah benar, kenapa aku harus ditahan seperti ini? Lelah, aku pun kesulitan menghadapi kalian semua.” Mendengar itu, Alexander pun kesal. “Apa kau sedang mengeluh sekarang?” Helena tersenyum pilu, mengeluh mungkin juga akan percuma, tidak ada kesempatan baginya. Lagi pula, mengeluh dengan siapa? Helena tahu hanya
Helena menggigit bibir bawahnya, menahan luka hati yang lagi-lagi diberikan Alexander padanya. Pria itu benar-benar tidak memiliki belas kasih, bahkan tega melecehkan Helena di dalam mobil, masih di tempat parkir. Dress rumahan yang digunakan Helena benar-benar memudahkan segalanya, hanya tinggal menyibakkan saja kain bawanya. Alexander memejamkan matanya, perasaan marah itu menggebu, tapi juga tidak bisa menahan rasa nikmat yang luar biasa itu. Tidak peduli Helena yang terlihat kesakitan, pria itu mengejar kupuasan untuk dirinya sendiri. “Helena, bagaimana kau akan merasakan semua ini jika kau di dalam penjara, hem? Bahkan, aku sudah memberikan banyak hal tanpa memberitahu mu, kau harusnya jangan banyak tingkah, jalani saja hidup mu di sisiku!” ucap Alexander, tapi pria itu tak menghentikan kegiatanny
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Alexander dengan begitu mudahnya, Helena pun tidak bisa menahan kemarahan yang mulai naik ke kepalanya. “Aku bisa bergabung saat selesai menjemput Ibuku, kan?” tanya Helena sambil menahan diri dengan mengepalkan tangannya. “Bahkan, setelah sekian lama Ibuku berjuang untuk mendapatkan kesembuhan, bagaimana bisa dengan mudahnya anda meminta untuk menunda?” Perasaan marah itu sukses tersampaikan kepada Alexander, namun pria itu tak bisa menyampaikan alasan yang sebenarnya. “Jangan berlebihan, kau hanya perlu-” “Tidak, aku tidak akan menuruti perintah anda kali ini, Tuan.” tegas Helena tanpa mendengar ucapan Alexander secara lengkap. Pada akhirnya, tersadar bahwa tidak bisa menghentikan Helena, Alexander pun pasrah. “Aku permisi, Tuan.” ucap Helena.
pesta perayaan ulang tahun Rendy masih berlangsung. Alexander yang terus membawa bocah itu kemanapun dia pergi. Han mendekat kepada Alexander, membisikkan sesuatu yang sukses membuat Alexander terkejut. “Seperti yang anda takutkan, Tuan. Ada orang yang akan beraksi hari ini. Orang itu menggunakan mobil, berniat menabrak Nona Helena dengan kecepatan tinggi. Orang kita sudah menghalau mobil itu agar tidak sampai kepada Nona Helena, tapi...” Kalimat yang terdengar ragu-ragu itu membuat Alexander menatap Han tajam. “Apa, tapi apa, Han?” Han menelan ludahnya, namun dia tetap harus menyampaikan yang sebenarnya. “Mobil orang yang ingin menabrak Nona Helena tergelincir, terpelanting dengan kuat mengenai Nyonya Ralin. Informasi terkini, Nyonya Ralin dinyatakan tewas, Tuan.” Alexander mengeraskan rahangnya, matanya menjadi begitu merah. Seketika keringat mulai bermunculan di wajahnya.
Alexander dengan kasar menyeret Helena ke dalam mobil, mendengarkan pintu terkunci di belakangnya dengan suara yang tajam. Helena tak bereaksi sama sekali, seperti boneka yang tanpa emosi. Mike, yang mencoba menghalangi, ditahan oleh Han yang dengan tegas menarik lengan Mike, menggumamkan peringatan keras. “Jangan coba-coba, Tuan Mike. Tuan Alexander itu bukan orang yang suka bermain-main.” Suara Han serius, mata tajamnya mencerminkan bahaya yang bisa terjadi jika Mike tidak menuruti. Mike tersenyum kesal, “Kau dan juga majikanmu itu sama saja! Kalian berdua adalah manusia gila!” Han tetap menahan Mike sampai Mike bisa lebih leluasa menahan diri. “Tuan Mike,” panggil Han. “Dengan anda mendengar ucapanku barusan adalah sebuah keputusan yang tepat. Jika Tuan Alexander terprovokasi, Nona Helena lah yang akan menanggungnya. Sudah
“Aku tidak bisa menebak lagi apa yang akan dilakukan oleh mereka yang menargetkan ku ataupun Helena.” ujar Alexander. Han tertunduk, menyadari benar seberapa seriusnya hal ini. “Semua akan berakhir seperti yang sudah kita rencanakan, harusnya begitu kan, Han?” timpal Alexander. Han mengangguk, “Kita akan berusaha agar semua itu terwujud, Tuan.” sahut Han. 1 Minggu sudah berlalu, namun Helena masih saja banyak diam. Meski begitu, Helena pun masih mau mengurus Rendy dan menemaninya bermain. Hanya saja, Helena akan tiba-tiba saja menangis mengingat Ralin yang telah tiada. Malam itu, Helena yang tidak kunjung bisa tidur memutuskan untuk duduk di sofa kamar, menatap kalung pemberian Ralin. “Bu, sebenarnya waktu itu Ibu ingin mengatak
Setelah membuka pintu kamar dengan pelan, Alexander mendapati Helena yang terlihat lesu, duduk termenung di pinggir tempat tidur. Pria itu menghampiri istrinya, tatapannya datar tidak menunjukkan emosi. “Apa yang dikatakan oleh Sarah dan Nyonya Wijaya tadi siang?” tanyanya dengan nada yang hampir tak terdengar perasaan. Helena mengangkat wajahnya, matanya masih saja terlihat hampa, seolah-olah kehilangan cahaya. “Tidak ada yang penting,” jawab Helena dengan suara yang serak, seakan kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. Alexander mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu, mengapa kau terlihat begitu... aneh? Apakah ada sesuatu yang mereka katakan yang membuatmu tidak nyaman?” desak Alexander, mencoba menembus dinding yang Helena bangun di sekelilingnya. Helena menatap pria itu, tatapannya semakin dalam. “Tuan Alexander, kau... kau benar-benar peduli padaku? Atau kau hanya ingin aku tetap di sini karena
Pagi hari di kediaman Alexander. Suasana rumah itu nampak tenang, tak ada aktivitas yang menyuguhkan keributan. Alexander tengah sarapan seorang diri di meja makan, sedangkan Helena memilih untuk menemani Rendy bermain di taman samping rumah. Seperti sudah menjadi kebiasaan, jelas karena Helena menolak untuk berinteraksi dengan Alexander. “Bi... Bi...” ucap Rendy. Helena tersentak kaget, tidak percaya kalau Rendy bahkan mengucapkan kata pertama adalah ‘Bibi’, padahal Helena sudah mengajarkan kata ‘mama dan papa’ supaya lebih mudah pengucapannya. Seketika Helena yang selalu saja melamun itu tersentak kaget. “Sayang, tadi bilang apa, Bi?” “Bi... Bi...” ucap lagi Rendy. Wajah bocah itu benar-benar polos, Helena pun bisa tersenyum sejenak. Bahagia, Helena seperti seorang Ibu yang mendapatkan panggilan pertama dari sang anak saat belajar berbicara. Sontak Helena membawa Rendy ke dalam pelukannya, memberikan kecupan sayang untuk bocah itu. Berniat membawa Rendy k