pesta perayaan ulang tahun Rendy masih berlangsung. Alexander yang terus membawa bocah itu kemanapun dia pergi.
Han mendekat kepada Alexander, membisikkan sesuatu yang sukses membuat Alexander terkejut. “Seperti yang anda takutkan, Tuan. Ada orang yang akan beraksi hari ini. Orang itu menggunakan mobil, berniat menabrak Nona Helena dengan kecepatan tinggi. Orang kita sudah menghalau mobil itu agar tidak sampai kepada Nona Helena, tapi...” Kalimat yang terdengar ragu-ragu itu membuat Alexander menatap Han tajam. “Apa, tapi apa, Han?” Han menelan ludahnya, namun dia tetap harus menyampaikan yang sebenarnya. “Mobil orang yang ingin menabrak Nona Helena tergelincir, terpelanting dengan kuat mengenai Nyonya Ralin. Informasi terkini, Nyonya Ralin dinyatakan tewas, Tuan.” Alexander mengeraskan rahangnya, matanya menjadi begitu merah. Seketika keringat mulai bermunculan di wajahnya. <Alexander dengan kasar menyeret Helena ke dalam mobil, mendengarkan pintu terkunci di belakangnya dengan suara yang tajam. Helena tak bereaksi sama sekali, seperti boneka yang tanpa emosi. Mike, yang mencoba menghalangi, ditahan oleh Han yang dengan tegas menarik lengan Mike, menggumamkan peringatan keras. “Jangan coba-coba, Tuan Mike. Tuan Alexander itu bukan orang yang suka bermain-main.” Suara Han serius, mata tajamnya mencerminkan bahaya yang bisa terjadi jika Mike tidak menuruti. Mike tersenyum kesal, “Kau dan juga majikanmu itu sama saja! Kalian berdua adalah manusia gila!” Han tetap menahan Mike sampai Mike bisa lebih leluasa menahan diri. “Tuan Mike,” panggil Han. “Dengan anda mendengar ucapanku barusan adalah sebuah keputusan yang tepat. Jika Tuan Alexander terprovokasi, Nona Helena lah yang akan menanggungnya. Sudah
“Aku tidak bisa menebak lagi apa yang akan dilakukan oleh mereka yang menargetkan ku ataupun Helena.” ujar Alexander. Han tertunduk, menyadari benar seberapa seriusnya hal ini. “Semua akan berakhir seperti yang sudah kita rencanakan, harusnya begitu kan, Han?” timpal Alexander. Han mengangguk, “Kita akan berusaha agar semua itu terwujud, Tuan.” sahut Han. 1 Minggu sudah berlalu, namun Helena masih saja banyak diam. Meski begitu, Helena pun masih mau mengurus Rendy dan menemaninya bermain. Hanya saja, Helena akan tiba-tiba saja menangis mengingat Ralin yang telah tiada. Malam itu, Helena yang tidak kunjung bisa tidur memutuskan untuk duduk di sofa kamar, menatap kalung pemberian Ralin. “Bu, sebenarnya waktu itu Ibu ingin mengatak
Setelah membuka pintu kamar dengan pelan, Alexander mendapati Helena yang terlihat lesu, duduk termenung di pinggir tempat tidur. Pria itu menghampiri istrinya, tatapannya datar tidak menunjukkan emosi. “Apa yang dikatakan oleh Sarah dan Nyonya Wijaya tadi siang?” tanyanya dengan nada yang hampir tak terdengar perasaan. Helena mengangkat wajahnya, matanya masih saja terlihat hampa, seolah-olah kehilangan cahaya. “Tidak ada yang penting,” jawab Helena dengan suara yang serak, seakan kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. Alexander mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu, mengapa kau terlihat begitu... aneh? Apakah ada sesuatu yang mereka katakan yang membuatmu tidak nyaman?” desak Alexander, mencoba menembus dinding yang Helena bangun di sekelilingnya. Helena menatap pria itu, tatapannya semakin dalam. “Tuan Alexander, kau... kau benar-benar peduli padaku? Atau kau hanya ingin aku tetap di sini karena
Pagi hari di kediaman Alexander. Suasana rumah itu nampak tenang, tak ada aktivitas yang menyuguhkan keributan. Alexander tengah sarapan seorang diri di meja makan, sedangkan Helena memilih untuk menemani Rendy bermain di taman samping rumah. Seperti sudah menjadi kebiasaan, jelas karena Helena menolak untuk berinteraksi dengan Alexander. “Bi... Bi...” ucap Rendy. Helena tersentak kaget, tidak percaya kalau Rendy bahkan mengucapkan kata pertama adalah ‘Bibi’, padahal Helena sudah mengajarkan kata ‘mama dan papa’ supaya lebih mudah pengucapannya. Seketika Helena yang selalu saja melamun itu tersentak kaget. “Sayang, tadi bilang apa, Bi?” “Bi... Bi...” ucap lagi Rendy. Wajah bocah itu benar-benar polos, Helena pun bisa tersenyum sejenak. Bahagia, Helena seperti seorang Ibu yang mendapatkan panggilan pertama dari sang anak saat belajar berbicara. Sontak Helena membawa Rendy ke dalam pelukannya, memberikan kecupan sayang untuk bocah itu. Berniat membawa Rendy k
Pelayan itu berlari tergesa-gesa ke arah Helena yang tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri. “Nona Helena!” teriak salah satu pelayan rumah. Dengan tergopoh-gopoh, mereka mengangkat tubuh Helena yang lemas ke sofa terdekat, mencoba menenangkannya. Sarah hanya mengamati dengan tatapan sinis, bibirnya tersenyum penuh kekesalan, percaya bahwa Helena hanya sedang berpura-pura. “Dasar pengemis perhatian!” sarkas Sarah. Para pelayan mencoba menghubungi dokter keluarga, namun upaya itu sia-sia karena tak ada jawaban. “Sepertinya Dokter keluarga sedang di rumah sakit,” ujar pelayan rumah, panik. Kekhawatiran mulai muncul di wajah para pelayan saat Helena tak juga membuka mata. Akhirnya, sopir dan salah satu pelayan memutuskan untuk membawa Helena ke rumah sakit. Sarah, yang semula berdiri acuh tak acuh, tiba-tiba memutuskan untuk ikut. “Aku harap dia tiba-tiba saja sakit keras, usianya sudah tidak lama lagi,” Harap Sarah, suaranya pelan sekali. Di dalam mobil,
“Kenapa anda terus memaksa, Tuan Alexander?!” tanya Helena, marah. “Jelas-jelas anak ini adalah anakku, itu akan menjadi urusanku!” tegas Helena. Ini adalah kali pertama Helena menginginkan sesuatu, jika bahkan taruhannya nyawa, tidak gentar pilihannya itu akan dipertahankan. Alexander menatap Helena marah, wajahnya memerah dengan begitu jelas. Ada banyak hal yang ingin diserukannya, namun tertahan mengingat Helena masih dalam kondisi fisik serta hati yang lemah. Meski begitu, Alexander pun akan tetap memaksa agar anak itu segera digugurkan. Anak sudah tak dia inginkan, cukup Helena saja. Rendy bahkan sudah lebih dari pada cukup, Alexander pun tidak ingin menanggung beban yang lebih dari pada itu. “Terserah kau saja, Dokter tetap akan bekerja dengan seharusnya. Kalau aku bilang anak itu harus disingkirkan, kau pun hanya bisa memili
Pada akhirnya, Helena pun tidak bisa keluar dari ruangan tersebut. Selain Alexander melarang keras, pria itu juga mengancam akan mencongkel janin di perut Helena dengan tangannya sendiri jika Helena masih tidak berhenti memberontak. Depan ruang perawatnya Helena dijaga oleh seorang pria suruhan Alexander. Namun, entah bagaimana bisa Sarah masuk ke dalam ruangan itu seolah dengan begitu leluasa. “Wah, Cinderella sedang merenungkan kehamilannya, ya?” ucap Sarah begitu dia masuk ke dalam, melihat Helena yang sedang duduk melamun di sofa ujung ruangan. Enggan menanggapi ucapan Sarah, Helena pun bersikap seolah-olah tak mendengar apapun. Sarah berjalan mendekati Helena, menatap wanita itu dengan sorot matanya yang jelas Tengah mencemooh. “Ckckck....” Sarah menggelengkan kepalanya, “sangat miris sekali, sudah anak
“Berani sekali kau membohongiku, hah?!” ucap Alexander kepada Dokter yang memeriksa kandungan Helena. Saat ini, Alexander tengah mencengkram jubah Dokter, menatapnya dengan marah. Bahkan, sudah banyak luka yang ditorehkan Alexander ke wajah dan perut dokter itu. “Kalau saja aku tidak menyelidik lebih dalam lagi, kebodohan ini akan dengan mudahnya kalian nikmati!” Bugggg! Alexander kembali memukul wajah Dokter itu. “Akhhh!” Dokter itu mengangkat tangannya, tubuhnya gemetar sementara tak berani membalas Alexander. “Ampun, tolong ampuni, Tuan Alexander. Saya hanya menjalankan perintah dari atasan rumah sakit, Saya pun mendapatkan ancaman pemecatan jika tidak melakukan ini, mohon ampun, Tuan Alexander...” Alexander tak peduli, dia sudah mengangkat tinggi tangannya. Brak! P