“Kenapa anda terus memaksa, Tuan Alexander?!” tanya Helena, marah. “Jelas-jelas anak ini adalah anakku, itu akan menjadi urusanku!” tegas Helena. Ini adalah kali pertama Helena menginginkan sesuatu, jika bahkan taruhannya nyawa, tidak gentar pilihannya itu akan dipertahankan. Alexander menatap Helena marah, wajahnya memerah dengan begitu jelas. Ada banyak hal yang ingin diserukannya, namun tertahan mengingat Helena masih dalam kondisi fisik serta hati yang lemah. Meski begitu, Alexander pun akan tetap memaksa agar anak itu segera digugurkan. Anak sudah tak dia inginkan, cukup Helena saja. Rendy bahkan sudah lebih dari pada cukup, Alexander pun tidak ingin menanggung beban yang lebih dari pada itu. “Terserah kau saja, Dokter tetap akan bekerja dengan seharusnya. Kalau aku bilang anak itu harus disingkirkan, kau pun hanya bisa memili
Pada akhirnya, Helena pun tidak bisa keluar dari ruangan tersebut. Selain Alexander melarang keras, pria itu juga mengancam akan mencongkel janin di perut Helena dengan tangannya sendiri jika Helena masih tidak berhenti memberontak. Depan ruang perawatnya Helena dijaga oleh seorang pria suruhan Alexander. Namun, entah bagaimana bisa Sarah masuk ke dalam ruangan itu seolah dengan begitu leluasa. “Wah, Cinderella sedang merenungkan kehamilannya, ya?” ucap Sarah begitu dia masuk ke dalam, melihat Helena yang sedang duduk melamun di sofa ujung ruangan. Enggan menanggapi ucapan Sarah, Helena pun bersikap seolah-olah tak mendengar apapun. Sarah berjalan mendekati Helena, menatap wanita itu dengan sorot matanya yang jelas Tengah mencemooh. “Ckckck....” Sarah menggelengkan kepalanya, “sangat miris sekali, sudah anak
“Berani sekali kau membohongiku, hah?!” ucap Alexander kepada Dokter yang memeriksa kandungan Helena. Saat ini, Alexander tengah mencengkram jubah Dokter, menatapnya dengan marah. Bahkan, sudah banyak luka yang ditorehkan Alexander ke wajah dan perut dokter itu. “Kalau saja aku tidak menyelidik lebih dalam lagi, kebodohan ini akan dengan mudahnya kalian nikmati!” Bugggg! Alexander kembali memukul wajah Dokter itu. “Akhhh!” Dokter itu mengangkat tangannya, tubuhnya gemetar sementara tak berani membalas Alexander. “Ampun, tolong ampuni, Tuan Alexander. Saya hanya menjalankan perintah dari atasan rumah sakit, Saya pun mendapatkan ancaman pemecatan jika tidak melakukan ini, mohon ampun, Tuan Alexander...” Alexander tak peduli, dia sudah mengangkat tinggi tangannya. Brak! P
Brak!!! Helena yang sudah dalam keadaan frustrasi dan pasrah menoleh ke pintu yang didobrak dengan kasar. Sinar matahari masuk dengan cahaya yang menyengat membuat dahi Helena mengernyit menahan silau. Dua orang pria masuk ke dalam, ada senjata di tangan mereka. “Brengsek! Dari mana mereka datang?” tanya salah satu dari penjahat yang menculik Helena. Akhirnya bisa tersenyum, Helena merasa lega karena akhirnya ada yang menolong. ‘Mungkinkah itu Tuan Alexander?’ batin Helena. Memicingkan matanya, Helena mencoba menatap orang yang mulai masuk dan mencari keberadaan Alexander. “Cepat!” ucap penjahat itu. Kedua pria itu mengambil posisi, ingin segera mendapatkan senjata mereka. Tapi, gerakannya tidak bisa mengimbangi kecepatan senjata yang merasa cepa
Dengan hati-hati Helios membopong Helena, Hendrick berjaga di dekat mereka berdua seolah takut kalau nanti Helena jatuh. Mereka berdua tersenyum bahagia, namun Helena masih dalam keadaan bingung. Tercengang, ternyata mereka datang dengan helikopter. Mengingat kembali saat mendengar suara berisik, Helena pikir itu adalah kendaraan yang lewat. Tidak ingin menanyakan apa-apa, dia akan mencoba tenang apapun yang terjadi sekarang. “Duduklah dengan nyaman, Heceline.” ucap Helios memperingatkan. Helena terpaku, ini kali pertama dia duduk di helikopter. “Ampun! Akhh!” pekik dua pria itu, kesakitan. Helena sempat lupa dengan dua penjahat yang sebelumnya, ternyata mereka sedang dipukuli oleh orang-orangnya Helios dan Hendrick. “Kami hanya mengikuti perintah.... Kami, Tuan Alexander, Akhhh ugh!”
Helena dan anggota keluarga Beauvoir lainnya tengah berada di ruang keluarga. Mereka kompak berdiri sambil menatap foto keluarga lengkap mereka saat Helena masih bayi. Tuan besar Beauvoir itu menghela napas beratnya. “Setelah melihat wajah Ibu kandungmu, kau tidak akan meragukan lagi siapa dirimu kan, Heceline?” Hanya bisa terus memandangi foto Ibu kandungnya, rupa wanita itu benar-benar mirip sekali dengan Helena. Sebelumya, Helena juga sudah melihat foto saat ia bayi bersama dengan Ralin atau Freya yang bekerja sebagai pengasuh untuk Helena. Helios merangkul Helena. “Ibu kita meninggal 4 tahun yang lalu. Sejak keberadaan mu tidak dapat dilacak, Ibu selalu menangis dan menyebut namamu disepanjang waktu. Ayah dan Ibu kita sudah berusaha dengan keras, tapi Bibi Freya menyembunyikan mu dengan sangat hebat karena dia mengkhawatir
Dengan jantungnya yang berdegup kencang, tubuhnya gemetaran, Alexander membuka penutup pada mayat wanita itu. Dugdug! Alexander memegangi dadanya, teriris perih melihat kondisi mayat tersebut. Wajahnya rusak parah hingga tak dapat dikenali. “Tidak, dia bukan Helena!” ucap Alexander, tegas. Tubuh Alexander melemah, kehilangan energi dan kekuatan. Hampir saja dia terjatuh, namun keberadaan Han cukup membantunya. Menahan tubuh Alexander agar tak terjatuh, Han membantu pria itu untuk berdiri dengan benar. “Tuan, pakaian yang digunakan oleh mayat itu sama persis dengan pakaian Nona Helena. Dokter akan melakukan autopsi untuk lebih meyakinkan, sekaligus mengenali DNA-nya.” ucap Han. Alexander menggelengkan kepalanya, “Tidak, mana mungkin
Helena melangkah cepat, hampir berlari, segera setelah kaki kanannya menyentuh trotoar rumah. Helios, yang sejak tadi mendampingi dari samping mobil, mengikuti dengan langkah besar, tangannya siap menyokong jika adiknya itu terpeleset atau tersandung. “Heceline, jangan seperti ini, nanti kau jatuh!” peringat Helios. Tak diindahkan, Helena benar-benar ingin segera sampai ke kamar Ayahnya. Di depan pintu kamar, Hendrick tampak lesu, pucat, seperti terbawa angin. “Kalian sudah pulang?” ujar Hendrick, memaksa tersenyum tapi itu tak mampu membuat Helena merasa tenang. Tanpa berbicara, Helena menerobos masuk ke dalam kamar. Ayah mereka terbaring lemah namun sadar, matanya terbuka saat Helena memasuki ruangan. Dengan langkah gontai, Helena mendekati ranjang dan langsung memeluk Ayahnya dengan erat, isak tangisnya pecah