Dengan jantungnya yang berdegup kencang, tubuhnya gemetaran, Alexander membuka penutup pada mayat wanita itu.
Dugdug! Alexander memegangi dadanya, teriris perih melihat kondisi mayat tersebut. Wajahnya rusak parah hingga tak dapat dikenali. “Tidak, dia bukan Helena!” ucap Alexander, tegas. Tubuh Alexander melemah, kehilangan energi dan kekuatan. Hampir saja dia terjatuh, namun keberadaan Han cukup membantunya. Menahan tubuh Alexander agar tak terjatuh, Han membantu pria itu untuk berdiri dengan benar. “Tuan, pakaian yang digunakan oleh mayat itu sama persis dengan pakaian Nona Helena. Dokter akan melakukan autopsi untuk lebih meyakinkan, sekaligus mengenali DNA-nya.” ucap Han. Alexander menggelengkan kepalanya, “Tidak, mana mungkinHelena melangkah cepat, hampir berlari, segera setelah kaki kanannya menyentuh trotoar rumah. Helios, yang sejak tadi mendampingi dari samping mobil, mengikuti dengan langkah besar, tangannya siap menyokong jika adiknya itu terpeleset atau tersandung. “Heceline, jangan seperti ini, nanti kau jatuh!” peringat Helios. Tak diindahkan, Helena benar-benar ingin segera sampai ke kamar Ayahnya. Di depan pintu kamar, Hendrick tampak lesu, pucat, seperti terbawa angin. “Kalian sudah pulang?” ujar Hendrick, memaksa tersenyum tapi itu tak mampu membuat Helena merasa tenang. Tanpa berbicara, Helena menerobos masuk ke dalam kamar. Ayah mereka terbaring lemah namun sadar, matanya terbuka saat Helena memasuki ruangan. Dengan langkah gontai, Helena mendekati ranjang dan langsung memeluk Ayahnya dengan erat, isak tangisnya pecah
“Tidak, aku tidak mau memiliki hubungan apapun. Pria itu hanya mencintai tahta dan uang. Tidak akan ada cinta untuk pasangan, atau bahkan sesama manusia. Jika menyodorkan diri, aku hanya akan menjadi yang kedua setelah tahta dan uangnya.” ucap Helena, pilu. Tuan besar Beauvoir mengembuskan napasnya, membawa Helena kembali kedalam pelukannya. Mengusap punggung Helena dengan lembut. “Baguslah. Ayah dan kedua kakakmu bisa memastikan pria itu tidak akan bisa menemuimu.” Helena terdiam, hatinya ngilu mendengar itu. Anehnya, meski mulut mengucapkan kata-kata kebencian terhadap Alexander, hatinya seolah turut mengkhianati dengan sukarela. Bagaimana bisa di saat seperti sekarang dan apa yang sudah terjadi, nyatanya Helena masih terus bertanya di dalam hatinya, bagaimana keadaan pria itu sekarang. ‘Sadarlah Helena, hanya ada kesakitan yang disodorkan pria itu, jangan pernah mengharapkan apapun bahkan jika itu terj
Alexander menatap Sarah tajam, ucapan sebelumnya seolah tak cukup untuk menggambarkan kekesalannya terhadap wanita itu. “Apa kau tahu betapa memuakannya wanita-wanita sepertimu, Sarah?” Mendengar itu, Sarah pun mengepalkan tangannya, ada rasa kecewa dan marah yang luar biasa dirasakannya. Padahal, dia sendiri enggan sekali merendahkan dirinya sampai seperti itu. Namun, Sarah harus menjadi unggul dalam segala hal. Menjadi pewaris utama keluarga Wijaya, menjadi desainer ternama, dan menjadi istri dari pria yang menonjol dalam segala aspek. Sarah mengepalkan tangannya, berusaha untuk tetap menguasai dirinya dalam ketenangan. “Kak Alexander, bukankah cukup menguntungkan jika menjadikan aku istrimu?” Senyum penuh rasa muak tergambar je
“Odette Angeline Beauvoir, bagaimana dengan nama itu?” tanya Tuan besar Beauvoir, meminta pendapat tentang nama yang diberikan untuk cucu pertamanya. Helena tersenyum lemah, nama Odette adalah milik Ibunya, tentu tidak ada rasa keberatan sama sekali. “Baiklah, mari kita panggil dia Angel!” seru Helena. Helios dan Hendrick menganggukkan kepalanya, setuju. Akhirnya, nama Angel digunakan untuk memanggil bayi kecil yang sangat cantik itu. Selama dua hari berada di rumah sakit, Tuan Beauvoir tidak pernah meninggalkan Helena. Helios dan Hendrick akan bergantian datang untuk bantu menjaga Helena dan Angel. Dengan cara itulah mereka pun tidak perlu mengabaikan pekerjaan mereka. Pulang dari rumah sakit, Helena dibuat terkejut, penuh kebahagiaan. Kepulangannya disambut oleh para pelayan rumah. Kamar khusus untuk Angel sudah didesain serba merah muda, dan sangat cantik
Alexander terpaksa menahan amarahnya, seperti yang diinginkan Han. Setelah memikirkannya kembali, semua rencana yang sudah dia susun bersama dengan Han selama bertahun-tahun jelas akan menjadi hancur jika Alexander kehilangan kesabaran dan juga konsentrasinya. Mencari keberadaan Helena akan terus ia lakukan tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan. Namun, tetap mempertahankan posisi dan juga menguasai keluarga Smith adalah tujuan yang juga sangat penting untuk Alexander. Seperti Helena yang sedang berjuang dengan caranya sendiri, melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan demi kebahagiaannya dan orang-orang yang dia sayangi. 2 tahun pun berlalu, keluarga Beauvoir kini tengah berbahagia karena ulang tahun Angel tengah di gelar. Helena dengan hati yang meluap-luap memperhatikan setiap detail untuk perayaan ulang tahun keduan
Makan malam keluarga Beauvoir tidak seperti biasanya, ada sosok baru yang datang khusus untuk Helena. “Hecel, pria ini namanya Benjamin.” ucap Tuan besar Beauvoir sambil memegang lengan pria itu. “Dia adalah anak dari teman baik Ayah, meskipun kami tidak sedekat itu, Ayah yakin dia pria yang berkomitmen dan setia.” Helena berusaha untuk tersenyum, menganggukkan kepalanya. “Hai, aku Heceline, senang bertemu dengan mu, Tuan Benjamin.” Pria itu pun tersenyum, mereka berjabat tangan. Makan malam dimulai, beberapa kali Benjamin mencuri pandang kepada Helena. Pria itu tersenyum, merasa senang karena ternyata Helena jauh lebih cantik dibanding foto yang ditunjukkan padanya. Helios dan Hendrick menatap dingin, merasa terancam karena bisa saja pria itu akan merebut Helena dari mereka. Denting sendok dan garpu sudah tak lagi terdengar, makan malam te
“Tuan, undangan untuk pesta besar sudah sampai. Acara lelang juga akan digelar seperti tahun sebelumnya.” ucap Han sambil menyodorkan undangan itu kepada Alexander. Sebentar melihat undangan dengan desain mewah itu, Alexander pun menganggukkan kepalanya. “Aku akan datang bersama denganmu, bilang saja kalau kita ini gay.” ucap Alexander, masa bodoh saja. Han memaksakan senyumnya, mendengar itu rasanya merinding sekali. Lima tahun yang lalu alasannya pun sama, sekarang alasan gila itu lagi? ‘Tuan Alexander, Saya yang belum menikah sampai detik ini apa alasannya sudah digambar jelas oleh anda,’ batin Han. “Saya akan mengkonfirmasi kepada pihak yang bertanggung jawab, Tuan.” jawab Han, pasrah. Alexander mengangguk, menggerakkan tangannya membuat Han meninggalkan tempatnya.
Grep! Benjamin menahan tangan Helena, menggenggam tangan itu.. Helena tersentak kaget, sadar kalau baru saja ia hampir melakukan sebuah kesalahan. Benjamin menunduk sopan kepada pria tersebut yang tidak lain adalah Alexander. “Maaf, bisakah lepaskan wanita Saya?” Alexander mengerutkan dahinya, jelas tak ada yang melihat itu. “Heceline,” panggil Benjamin. Helena sontak menjauhkan tubuhnya dari Alexander. “Permisi...” ucap Helena, mengambil posisi untuk lebih dekat dengan Benjamin. Benjamin membawa Helena pergi, namun Alexander mulai merasakan dirinya terbakar. “Suara indah itu, bagaimana mungkin bisa sangat mirip dengan Helena? Bahkan, jika pemilik suara itu bukan Helena, aku tetap menginginkannya!” ucap Alexander tegas. Tidak ada Helena, wanita yang mirip juga boleh. Entahlah, Alexander sudah semakin gila sekarang. Acara lelang di mulai. Helena dengan mata berbinar mengamati setiap barang yang dilelang. Bibirnya tersungging kecil saat menemukan seb
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece