Helena terperangah tak percaya, menatap mangkuk bubur yang isinya sudah tidak ada sama sekali.
Bagaimana bisa satu mangkuk bubur itu masuk ke dalam perutnya melalui mulut Alexander? ‘Itu sama artinya aku makan muntahan Tuan Alexander, kan?’ batin Helena yang tengah menyesalinya. Tak berani bereksperi secara jujur, Helena bahkan menghindari kontak mata langsung dengan Alexander. Entah mengapa juga pria itu terus duduk di ujung ruangan, matanya terarahkan pada Helena. “Ah, benar-benar mengerikan!” bisik Helena. Sudah menghabiskan semangkuk bubur, obat penurun panas juga sudah dia minum setelahnya. “Tu-Tuan, aku sudah akan tidur, apa Tuan akan di sana terus?” tanya Helena. Manalah nyaman untuk tPagi itu, Dokter datang untuk memasangkan alat kontrasepsi pada Helena. Hanya bisa pasrah, Helena berharap semua berjalan seperti yang seharusnya. Satu hari setelahnya, instruktur gym yang dimaksudkan oleh Alexander datang pagi hari sekitar pukul 08.00 pagi. “Selamat pagi, Nona Helena. Saya Luis, akan memandu Anda untuk menjalani olahraga.” ucapnya. Helena pun tersenyum meski hatinya tak mau. Sebenarnya, ada rasa tidak nyaman pada bagian bawahnya setelah pemasangan alat kontrasepsi, tapi karena takut akan menjadi masalah baru untuknya dan juga Alexander, Helena pun memaksakan diri. Pagi itu, Helena menjalani olah raga untuk pemula selama satu jam, dan kedepannya akan bertambah jamnya dan juga gantangannya. “Aku pikir saat Tuan Alexander pergi aku bisa merasa sedi
“Ah!!!” teriak Helena. Helena tersentak kaget saat membuka matanya pada pagi hari yang cerah itu dan menyadari ada tangan kekar yang memeluknya erat. Dengan segera, dia bangkit dari posisinya, tubuhnya terasa kaku. Rupanya pria yang memeluknya adalah Alexander, pria itu kini menatap Helena dengan tatapan tajam. “Masih sepagi ini, kenapa mulutmu berisik sekali?” protes Alexander. “Ma-maaf, aku tidak tahu Anda di sini,” ucap Helena dengan ekspresi kikuk dan suara yang gugup. Rasa tidak nyaman terpancar dari raut mukanya, matanya yang tadinya lebar kini menunduk, mencoba menghindari kontak mata dengan Alexander. Alexander hanya membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah lain dan berkata dengan suara yang masih serak karena baru bangun, “Jangan ribut, aku masih ingin tidur. Biarkan aku di sini.”
Helena melangkah lemah menuju kamarnya, kaki dan lengannya terasa seperti terikat timbal. Baru hari kedua berlatih tubuh dan dia sudah merasa seperti telah melalui medan perang. “Dia pasti sengaja melakukannya itu, kan?” gumam Helena, kesal. Dengan setiap langkah yang dibuat, rasa sakit semakin terasa di seluruh tubuhnya, membuatnya meringis setiap kali berusaha menggerakkan anggota badannya. “Ayolah, aku pun tetap harus menjaga Rendy.” ucap Helena, menguatkan dirinya sendiri. Helena menjatuhkan diri di tepi tempat tidur, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasakan setiap otot yang tegang dan nyeri. Air mata perlahan menetes di antara jemarinya, bukan hanya karena sakit fisik, tapi juga karena rasa frustrasi yang menggebu. “Kenapa dia begitu keras padaku?” gumamnya dengan suara serak, mengutuk Alexander yang telah memberikan luka begitu dalam, namun sulit bagi Helena untuk membencinya
Siang hari yang terik, sama halnya seperti perasaan Helena. Dengan mengumpulkan tekad, gadis itu berjalan menuju ruang kerja Alexander. Toktok!“Masuk!” sahut Alexander dari dalam ruangan. Helena membuang napasnya, tangannya meraih kenop pintu, membukanya. Kriet...“Maaf mengganggu waktunya, Tuan Alexander.” ucap Helena. “Ada apa?” tanya Alexander. Pria itu memperhatikan Helena dengan seksama, menyadari mimik wajah wanita itu nampak tak baik. “Hari ini, aku benar-benar sangat merindukan Ibuku. Bolehkah aku menemuinya sebentar, Tuan?” tanyanya, memohon. Meletakkan ponsel yang saat itu telah dipegang, Alexander menatap lebih dalam kepada Helena lalu menjawab, “Kalau tidak salah, kau menggunakan alasan kerja di luar negeri kepada Ibumu, kan?”Helena cepat menganggukkan kepalanya, “Benar, Tuan.”“Jadi, apa sekarang kau memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya?” tanya Al
Helena kembali ke rumah Alexander, kala itu hari mulai sore. Suara tangis Rendy langsung menyapa telinganya, gegas Helena menuju ke arah sumber suara tersebut. Berada di dalam gendongan pelayan, Rendy sepertinya sudah menangis sejak tadi sampai wajahnya merah sekali. “Nak,” panggil Helena, panik. Langsung menggendong Rendy, memeluknya erat sambil mengusap punggung bocah itu. “Ssttt... Tenang ya, nak. Maaf Bibi meninggalkanmu cukup lama,” ucap Helena pelan. Membawa bocah itu ke sofa, memangkunya, dan menyusui. “Tuan muda Rendy sejak tadi terus menolak susu formula, kami benar-benar kesulitan membuatnya tenang, Nona Helena.” ujar pelayan rumah terlihat frustrasi dan kelelahan. Helena terpaksa menyusui di sana, dia pikir hanya ada pelayan yang mayoritas adalah perempuan. Namun, Helena tersentak kaget saat tiba-tiba saja Han lewat, dan untungnya belum sempat me
Alexander semakin meningkatkan tekanannya pada leher Helena, wajahnya merah padam seakan-akan darah mengalir lebih cepat karena kemarahannya. “Kau pikir, siapa dirimu hingga berani menanyakan pertanyaan seperti itu, hah?!” bentak Alexander. Mata Helena memandang Alexander dengan ketakutan, namun tidak bisa berkata apa-apa. “Kau terlalu banyak bicara, Helena! Sebuah mainan tidak seharusnya bersuara!” teriak Alexander dengan suara berat. Napas Helena semakin tersengal, dia mencoba menarik napas dalam-dalam tapi cengkeraman Alexander yang kuat membuatnya sulit bernapas. Dia batuk-batuk, mencoba membebaskan diri, namun gagal. Air mata mengalir deras dari sudut matanya, menandakan rasa sakit dan ketakutan yang mendalam. Helena merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dia kontrol, pasrah pada kebrutalan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.Alexander menjauhkan tangannya, membiarkan Helena bisa bernapas. “Aku tidak ingin membuatmu mati, santai saja, Helena...” ucapnya lalu men
Sore hari di rumah kediaman Wijaya. Sarah tersenyum sambil menatap Nyonya Wijaya yang tengah merapikan pakaian untuk Rendy, rencananya lusa ia akan menemui Rendy. “Bi, cobalah untuk lebih sering datang menui Rendy, dia pasti senang sekali bertemu Neneknya,” ujar Sarah, basa-basi semata. Nyonya Wijaya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Sudah satu bulan penuh tidak melihat Rendy, rasanya rindu sekali dengan wajah Rachel dalam bentuk anak laki-laki itu. “Bibi juga inginnya begitu, Sarah. Tapi, Berada di rumah itu terlalu lama sangat menyesakkan dada. Melihat Helena rasanya seperti sebuah hukuman, tangan Bibi rasanya ingin terulur memukulinya.” Nyonya Wijaya mengembuskan napas, “tapi, Alexander sepertinya tidak akan membiarkan hal itu.” Sarah tersenyum tipis, matanya jelas menunjukkan akal licik yang ia miliki.
Telinga Helena serasa berdengung, mendengar kalimat dari mulut Nyonya Wijaya bagaikan tersambar petir. “Bukan hanya sibuk mengurus Rendy, nyatanya kau juga sibuk melayani Alexander, kan?” Nyonya Wijaya menahan tangis, suaranya gemetar. Ada banyak luka yang harus ditanggung oleh hatinya, rasanya sulit kalau untuk menahan kata-katanya saat ini. Helena yang kini tidak mengatakan apapun untuk menyergah ucapannya, rasanya seperti mengkonfirmasi tuduhannya. “Aku pun sudah menjelaskan padanya untuk tahu diri, Bibi. Tapi, orang seperti Helena itu sulit untuk diberitahu, rela melakukan apapun supaya bisa mencapai tujuannya.” ucap Sarah. Helena pun hanya bisa sedikit tersenyum, malas sekali bicara. Niat Sarah sudah sangat jelas, sayangnya Nyonya Wijaya terlalu buta untuk b