Kata orang, “Jodohmu adalah cerminan dirimu.” Ervin menikmati masa mudanya dengan mengadakan ‘sayembara cinta’, mendekati secara bersamaan beberapa wanita, lalu memilih salah satunya untuk jadi kekasih, dan mengakhiri hubungannya secepat biang es mencair. Arla menikmati masa mudanya dengan memacari lelaki berkelas dan berkantong tebal. Tidak masalah bila ia harus berganti setiap bulannya. Menyakiti lelaki dengan tipe seperti itu adalah kebahagiaan untuknya. Takdir mempertemukan dua orang player Ibukota dengan ego setinggi langit. Siapa yang akan menurunkan egonya lebih dulu?
View MoreBerjalan tergesa, Arla memasuki Artco café yang siang itu tampak cukup ramai karena mendekati jam makan siang. Hampir semua meja telah terisi, tapi ia menemukan sebuah meja kosong yang berada di sudut café.
Arla hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapati pesan dari calon rekanan tempatnya bekerja yang menyampaikan kalau mereka akan sedikit telat karena terjebak kemacetan.
Setelah memesan minum, Arla mengedarkan pandangan ke sekitar. Menemukan hampir semua meja diisi oleh orang-orang kantoran yang menyempatkan diri untuk me-refresh otak dengan makan siang di café. Matanya kemudian tanpa sengaja bertatapan dengan seorang pria yang juga memandang ke arahnya.
Beberapa detik kemudian ia mengalihkan pandangannya. Sudah biasa bukan dirinya ditatap penasaran oleh orang lain karena sepintas lewat ia terlihat berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Darah Prancis yang masih ada di dalam dirinya adalah penyebab utama. Tanpa menggunakan soft lens, manik matanya sudah berwarna hazel alami. Tanpa perlu cat rambut, rambutnya sudah berwarna coklat gelap.
***
"Vin, arah jam lima dari tempat lo."
Dengan radar yang dimilikinya, Ervin tahu siapa yang dimaksud Bastian dengan 'arah jam lima'.
Ervin terkekeh geli, menertawakan temannya yang sepertinya sudah hapal dengan seleranya. Bahkan kini temannya itu yang lebih antusias menjaring mangsa untuknya, sementara dirinya tinggal melaksanakan eksekusi.
"She's so damn hot, Bro. Lo kenal gue banget ya."
"Kenal selera lo lebih tepatnya."
Ervin melirik ke arah sasarannya. But holy shit, wanita itu juga sedang menatapnya.
Wanita itu bertubuh ramping proporsional. Dari posisi duduknya, terlihat kalau tingginya lebih dari normalnya wanita Indonesia. Rambut coklat gelap sebahu membuatnya sekilas tampak seperti orang asing, warna kulitnya pun bukan putih ala wanita Indonesia, lebih seperti kulit wanita Eropa. Tapi Ervin yakin dia orang Indonesia ketika wanita itu tadi tersenyum kepada seorang pramusaji.
Ervin terbahak sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekati mangsanya. Ia berjalan dengan langkah tegap menuju meja yang ditempati perempuan itu, dan ketika ia sudah mencapai sisi meja, tangannya diayunkan 'seolah-olah' tak sengaja menyenggol gelas minuman yang ada di atas meja perempuan itu.
Klasik!
Namun caranya terbukti berhasil menjebak puluhan wanita.
Ervin Adinata Candra, si playboy cap kadal buntung, tidak pernah gagal mendapatkan wanita yang diinginkannya. Dengan fisik rupawan, otak cerdas, dan kekayaan keluarganya, rasanya hampir semua wanita rela menjadi mangsanya.
Tak terkecuali yang satu ini.
Wanita yang bagian bawah roknya basah akibat terkena tumpahan dari jus yang disenggol Ervin itu bergegas berdiri. Kemarahannya lenyap saat melihat sosok Ervin yang berdiri dengan rasa bersalah di depannya sambil mengulurkan saputangan branded dari sakunya.
Wanita itu mengucapkan terima kasih, lalu dengan sungkan menerima saputangan yang disodorkan kepadanya. Dia bukannya tidak tahu merk. Selembar saputangan itu ditaksirnya berharga tiga jutaan.
"Kamu setelah ini ada acara?" tanya Ervin sambil tetap menunjukkan raut bersalah.
"Ada sih. Nggak apa-apa kok, kayaknya bentar lagi juga kering."
"Aduh, gimana ya? Kamu di sini masih lama nggak?"
"Mungkin. Soalnya aku lagi nunggu seseorang dan orang yang aku tunggu sampai sekarang belum dateng."
Ervin menahan seringainya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padanya.
"Kalo gitu tunggu sebentar ya." Ervin menyingkir sedikit ke samping, menghubungi sekretarisnya. Usai memutus panggilan teleponnya, dia kembali ke meja perempuan itu. "Boleh aku duduk di sini? Anggep aja nemenin kamu sampai temanmu datang. Sekalian ada yang harus aku pertanggungjawabkan."
Meskipun bingung, wanita itu mengangguk, membiarkan lelaki yang baru ditemuinya duduk satu meja dengannya. Ia tidak perlu khawatir kan? Saat ini ia berada di tempat umum dan rasanya lelaki seganteng itu tidak akan melakukan hal buruk padanya.
"Kita belum kenalan." Lugas Ervin mangatakannya. Entah berapa lusin wanita yang sudah mendengar ucapan semacam ini darinya. "Aku Ervin."
Wanita itu menyambut tangan Ervin, "Arla."
"Arla." Ervin mengulang memanggil nama Arla. "Namamu bagus. Boleh tau nama panjangmu?"
Arla tak tahan lagi dan kelepasan menertawakan permintaan Ervin. "Buat apa? Aku khawatir dipelet. Meskipun jaman udah semaju ini, tapi masih ada loh yang begitu."
Ervin hampir menampar mulutnya sendiri. Untuk apa ia menanyakan nama lengkap wanita itu. Toh Mawar, Sari, Dina, atau siapa pun itu hanya akan menambah daftar kontak di ponselnya. Kalau bertemu orangnya lagi, Ervin pasti tidak ingat. Untuk yang satu ini, ia benar-benar mirip papanya, tidak ingat deretan mantan pacarnya.
"Sorry, aku cuma ngerasa namamu unik."
"Oh ya?" Arla mengernyit tidak percaya.
"Hmm. Aku belum pernah punya cew ... eh maksudku temen dengan nama Arla."
"Then now you have one."
"Nggak ada temen yang nggak saling nyimpen nomor hp."
Sial! Arla terjebak. Ingin rasanya Arla memberikan standing ovation untuk Ervin yang bisa dengan mulusnya melancarkan trik. Padahal saat Ervin menumpahkan minuman di atas mejanya, seribu persen Arla yakin bahwa hal itu adalah sebuah kesengajaan. Trik klasik untuk mengajak berkenalan lawan jenis.
Tapi Ervin salah kalau mengira bisa mendapatkan nomor ponsel Arla semudah itu.
Hey! Ini seorang Arla, yang jumlah pacarnya bisa untuk diajak melakukan demo massa.
"Let's make a deal!" tawar Arla. "Kalau di pertemuan kita berikutnya, kamu bisa tau nama lengkapku, aku bakal ngasih nomor hpku."
"Dari mana kamu tau kita bakal ketemu lagi?"
"Justru itu. Serahkan ke takdir. Mungkin kita bisa ketemu lagi, mungkin juga nggak."
Ervin mengangkat satu sudut bibirnya. ‘Takdir mungkin untuk masalah jodoh, Babe. Tapi masalah pertemuan, aku bisa menjadikannya takdir.’
"Aku pesenin minum lagi ya. Mau yang sama atau ganti?"
"Nggak usah repot-repot."
"Nggak repot kok, kan cuma manggil pramusaji."
Ok, kali ini harus Arla akui kalau Ervin menarik. Point plus untuknya karena Ervin menyebut istilah yang biasa disebut orang 'pelayan' dengan 'pramusaji'. Itu menunjukkan kalau Ervin menghargai orang lain.
Keduanya mengobrol santai selama beberapa saat. Acara mengobrol santai itu berubah menjadi makan siang bersama manakala orang yang ditunggu Arla dan sekretaris yang ditunggu Ervin belum juga tiba.
“Setelah ini kamu ada acara, La?”
Arla mengecek jam di layar ponselnya. “Karena aku bukan bos besar … ya aku harus balik ke kantor.”
Ervin terkekeh mendengarnya. “Bos besar bahkan biasanya nggak sempet keluar makan siang,” timpal Ervin.
“Oh ya? Emang kamu nggak biasa keluar makan siang?”
“Aku? Aku kan bukan bos besar. Jelas aku masih sempet keluar makan siang.”
“But your style—"
Ervin menggeleng cepat. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Arla itu, seorang wanita yang mengenakan wrap dress berwarna beige datang tergopoh dan berhenti tepat di samping Ervin.
Wanita itu membenarkan letak kacamatanya sebelum berbicara kepada bosnya yang juga adalah anak sahabat papanya. “Siang, Pak Ervin. Ini yang tadi Pak Ervin minta,” tukas Lily sambil menyerahkan sebuah paper bag ke arah Ervin.
“Thanks, Lil.”
Lily hanya bisa menahan geraman kesalnya. Andai tidak ada orang lain di tempat itu, ia pasti sudah menoyor kepala Ervin yang sudah dikenalnya sejak kecil itu. Tapi salahnya juga yang memilih untuk magang di kantor Ervin, walaupun sebenarnya ia bisa magang di kantor mamanya.
“Pak Ervin kembali ke kantor? Saya bawa mobil sendiri, barangkali Bapak mau nebeng sama saya.”
Harusnya Ervin sadar tatapan Lily menyiratkan sebuah ancaman, ‘Balik ke kantor sekarang, atau kulaporkan ke papamu!’
Namun, bukannya takut, Ervin justru tergelak. “Aku bawa mobil sendiri, Lil. Lagian aku masih ada urusan bentar. Nggak perlu lapor Papa, ok? Sebelum jam dua aku pastiin aku udah sampe kantor.”
“Ok.” Lily lantas berlalu setelah mengangguk dan tersenyum singkat pada wanita yang duduk di seberang Ervin. ‘Erviiin, bener-bener nggak ada kapoknya. Mangsa yang ke berapa ini? Perasaan tadi pagi udah dapet mangsa di coffee shop deket kantor.’
“Sorry, La. Itu tadi sekretarisku, anak sahabatnya papaku. Dia cuma sok formal aja karena lagi magang di kantorku. Padahal keluarganya punya perusahaan sendiri. Oh ya, ini, kamu ganti baju dulu ya. Kan nggak enak kamu pakai baju basah untuk ketemu orang.” Ervin menggeser paper bag di depannya ke arah Arla.
“Aku jadi nggak enak banget kalo gini, Vin. Beneran nggak apa-apa padahal. Bentar lagi juga kering.”
“Jangan nolak, please. Senggaknya, kamu kasihan sama Lily yang udah kuminta nyariin baju ganti buat kamu.”
Menghela napas pasrah, Arla meraih paper bag di hadapannya, melongok sebentar ke dalam paper bag dan berakhir dengan menahan napasnya ketika melihat merk yang ada di dalamnya. “Aku … ganti baju sebentar kalau gitu,” pamit Arla yang kini melangkah ke toilet dengan senyum mengembang.
“It’s easy!” Ervin mengangkat satu sudut bibirnya. Satu lagi perempuan berhasil ia jerat.
***
Sesaat kemudian Arla kembali dengan penampilan barunya. Square G check tweed dress dari salah satu brand ternama menempel pas di tubuhnya.
Ervin terkesiap beberapa detik. Mata hazel dan rambut coklat tua milik Arla benar-benar serasi dengan pakaiannya saat ini.
“You look good.”
“Thank you.” Arla baru akan menggeser kursi untuk didudukinya saat layar ponsel Ervin yang diletakkan di tengah-tengah meja tiba-tiba saja menyala, dan terkutuklah matanya yang menangkap pop up notification di layar ponsel lelaki itu.
-Mia-
-Sandra-
-Rena-
Semua pesan berisikan hal serupa, ucapan kangen dan ajakan bertemu. For the God’s sake, Arla baru sadar kalau lelaki di dekatnya itu memang luar biasa tampan dan terlihat kaya, pantas saja laris manis.
Ervin membalik ponselnya setelah Arla duduk dengan nyaman di kursi, mencoba untuk tidak salah tingkah karena ia yakin Arla menangkap pop up notification di ponselnya. “Kayaknya udah waktunya aku balik. Next time, aku jamin bisa dapat nomor hpmu.”
Arla tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin sekarang giliran Ervin menemui wanitanya yang lain. ‘He’s a player, indeed.’
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments