Share

4 Prisc ... Something in Her Name?

“Do something, Lil!” bisik Ervin.

Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.

“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?

“Bastian—”

“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.

“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”

“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”

“Gue suka lihat matanya.”

Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.

Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lily menjauh, menghampiri Arla yang sedang menunggu di depan salah satu gerai crepes.

Ia memegang satu rahasia Lily yang membuatnya sering bisa bertindak semena-mena pada Lily. Dengan menyebut nama sahabatnya saja Lily bisa kalang kabut dan menurut untuk menjalankan perintahnya.

Begitulah nasib seorang Lily yang menyimpan perasaan pada lelaki bernama Bastian yang sialnya adalah sahabat Ervin.

***

“Siang, Mbak,” sapa Lily sambil tersenyum ramah.

Arla sempat terkesiap saat merasa seseorang memanggilnya. Setelah ia menoleh, ia mendapati seraut wajah yang tidak asing. “Mbak … yang kemaren kan? Sekretarisnya Ervin?”

Lily mengangguk. “Panggil Lily aja.”

“Kalau gitu panggil aku Arla juga aja, nggak usah pake embel-embel ‘Mbak’.”

“Kamu udah makan siang? Mau makan siang bareng?”

Arla mengernyitkan dahinya. Ok, ia memang kenal dengan Ervin, tapi itu hanya melalui dua kali pertemuan singkat. Mereka bahkan tidak bertukar pesan ataupun telepon meskipun Ervin sudah mendapatkan nomor ponselnya. Dan bukankah aneh kalau sekretaris Ervin yang hanya ditemuinya beberapa menit di pertemuan terakhir, kini malah mengajaknya makan siang bersama?

Mendapati raut kebingungan Arla, Lily kembali memutar otaknya untuk memberikan alasan yang membuat Arla tidak curiga.

“Aku mesti nungguin Ervin, daripada sendirian. Eh tapi kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa kok.”

“Ervin ada di sini?” tanya Arla penuh selidik.

“Lagi ketemu sama temennya sebentar.”

Menimbang-nimbang sesaat, akhirnya Arla memutuskan mengiakan ajakan Lily karena ada kemungkinan ia bisa bertemu Ervin siang itu.

“Kita mau makan di mana?” tanya Arla saat Lily menggiringnya naik ke eskalator. “Di lantai 4 cuma ada fast food loh,” ucap Arla memperingati.

“Hmm …. Kamu nggak makan fast food ya?” Sialan! Ervin benar-benar membuat Lily harus memutar otaknya, mengeluarkan kemampuan berbohongnya dan yang paling parah mengorbankan diet defisit kalorinya.

Padahal tadi ia mengiakan ajakan makan ramen karena berniat memesan ramen dengan kuah miso bening. Ia tinggal meminta mangkok tambahan kepada pramusaji, dan mengambil setengah porsi, sisanya akan ia berikan untuk Ervin. Dan bodohnya, ia baru sadar, kalau jadi melakukan hal itu, pasti Priscilia akan menatapnya penuh kebencian.

“I’m ok, aku makan apa aja. Makanya aku tanya kamu. Nggak mau di lantai 3 aja? Di lantai 3 banyak pilihan makanan,” jawab Arla. Ia memang pemakan segala.

“Aku lagi bayangin fried chicken yang crunchy.” Senyuman penuh dusta Lily lemparkan kepada Arla.

Arla tersenyum geli. “Ok kalo gitu.”

Lily menegarkan hatinya, sambil mengumpati Ervin di dalam hati, karena kemauan bosnya itu ia nanti tidak akan bisa makan malam dan harus melalui serangkain latihan di tempat gym demi mengikis habis kalori yang masuk ke dalam tubuhnya.

***

“Cil, aku ke toilet dulu ya,” pamit Ervin.

Ervin dan Priscilia pada akhirnya memilih restoran sushi karena Lily yang tidak jadi ikut makan bersama mereka. Priscilia sama sekali tidak menanyakan keberadaan Lily yang menurutnya cukup mengganggu. Ia justru terlihat senang bisa menghabiskan waktu berdua dengan Ervin.

“Nggak nanti aja abis makan sekalian?”

“Udah nggak tahan nih. Lagian kan sushi kamu belum habis, biar kamu nggak keburu-buru makannya.”

Priscilia akhirnya mengangguk, membiarkan Ervin berlalu dari hadapannya.

Ervin berjalan cepat, tergesa menuju gerai fast food yang berada satu lantai di atas tempat ia makan siang dengan Priscilia. Kemampuan Lily untuk satu ini patut ia acungi jempol, andai saja Lily tidak hanya magang di kantornya.

“Hai!” sapa Ervin ketika tiba di dekat meja yang ditempati Lily dan Arla.

Lily hanya menatap Ervin sekilas sambil menahan kekesalannya, sementara Arla tersenyum ramah kepada Ervin.

“Aku kaget loh waktu Lily bilang lagi sama kamu.” Ervin menarik satu kursi kosong dari meja sebelah dan menempatkannya di antara dua wanita itu.

“Iya, aku juga kaget waktu Lily nyamperin aku dan ngajak makan bareng.”

“Semalem aku mau wa kamu, tapi kayaknya udah kemaleman pas aku balik dari café, makanya aku belum sempet.”

Arla hanya mengangguk kecil sambil memperhatikan Lily yang sedang mencabik daging ayamnya seakan sedang melampiaskan kekesalan. Dan itu benar, karena Lily sedang membayangkan mencabik-cabik mulut Ervin.

“Kamu sebenernya tinggal daerah mana? Kemaren kita ketemu di Jakarta Barat, sekarang ada di Jakarta Selatan.”

“Aku ke sini karena kerjaan.” Arla senaja tidak memberikan jawaban pasti untuk membuat Ervin semakin penasaran dengannya.

“Berarti tinggal di Jakarta Barat?” Ervin masih belum mau menerima begitu saja jawaban Arla.

“Aku ke sana kemaren kan karena kerjaan juga, tapi pas malemnya ke sana karena suka sama makanan di café itu.”

“Jadi di mana kamu tinggal?”

Lily menginjak kaki Ervin dengan ujung heels-nya.

“Apaan sih, sakit Lil!”

“Ya kan Arla nggak mau ngasih tau, maksa amat sih.”

Kan, kan, inilah yang Ervin tidak suka jika Lily ikut makan dengannya. Pasti ia akan memorak-porandakan prosesi pendekatannya.

“Ngomong-ngomong, Lil, kamu katanya pengan fried chicken yang crispy, kenapa malah kulitnya nggak dimakan?” Arla menyadari ada sesuatu yang tidak beres tapi ia masih belum yakin.

“Save the best for the last, La.” Lily mengucapkannya dengan getir. ‘Damn you, Vin! Kulit ayam ditepungin itu berapa kalori? Gue bakal aduin ke Tante Rhea.’

Arla dan Lily masih melanjutkan makan siang mereka saat ponsel Ervin yang diletakkan di atas meja—dan sialnya di dekat piring Arla—bergetar.

Lagi-lagi Arla menangkap nama perempuan yang menghubungi Ervin di ponselnya. Entah itu Priska, Prisma, Priscila, yang jelas itu nama perempuan, Arla tidak sempat membaca lengkapnya karena Ervin tergesa meraih ponselnya, kemudian menjauh untuk mengangkat sambungan telepon itu.

“Aku … ke toilet dulu ya,” pamit Ervin kepada keduanya setelah menutup sambungan telepon.

Dari sudut matanya Arla bisa melihat Ervin yang hampir berlari keluar dari tempat makan fast food itu.

“Lil.”

“Hmm.”

Setengah jam yang mereka habiskan untuk mengobrol dan makan siang bersama cukup untuk membuat hubungan mereka dekat karena ternyata beberapa hobby mereka yang sama. Apa Lily akan menjawab jujur kalau Arla mengungkapkan pertanyaan yang ada di benaknya?

“Tadi katamu Ervin lagi nemuin temennya …, temennya itu cewek ya? Prisc … something in her name?”

Lily tersedak hebat begitu mendengar pertanyaan Arla. ‘Gimana dia bisa tau?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status