“Do something, Lil!” bisik Ervin.
Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.
“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?
“Bastian—”
“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.
“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”
“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”
“Gue suka lihat matanya.”
Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.
Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lily menjauh, menghampiri Arla yang sedang menunggu di depan salah satu gerai crepes.
Ia memegang satu rahasia Lily yang membuatnya sering bisa bertindak semena-mena pada Lily. Dengan menyebut nama sahabatnya saja Lily bisa kalang kabut dan menurut untuk menjalankan perintahnya.
Begitulah nasib seorang Lily yang menyimpan perasaan pada lelaki bernama Bastian yang sialnya adalah sahabat Ervin.
***
“Siang, Mbak,” sapa Lily sambil tersenyum ramah.
Arla sempat terkesiap saat merasa seseorang memanggilnya. Setelah ia menoleh, ia mendapati seraut wajah yang tidak asing. “Mbak … yang kemaren kan? Sekretarisnya Ervin?”
Lily mengangguk. “Panggil Lily aja.”
“Kalau gitu panggil aku Arla juga aja, nggak usah pake embel-embel ‘Mbak’.”
“Kamu udah makan siang? Mau makan siang bareng?”
Arla mengernyitkan dahinya. Ok, ia memang kenal dengan Ervin, tapi itu hanya melalui dua kali pertemuan singkat. Mereka bahkan tidak bertukar pesan ataupun telepon meskipun Ervin sudah mendapatkan nomor ponselnya. Dan bukankah aneh kalau sekretaris Ervin yang hanya ditemuinya beberapa menit di pertemuan terakhir, kini malah mengajaknya makan siang bersama?
Mendapati raut kebingungan Arla, Lily kembali memutar otaknya untuk memberikan alasan yang membuat Arla tidak curiga.
“Aku mesti nungguin Ervin, daripada sendirian. Eh tapi kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa kok.”
“Ervin ada di sini?” tanya Arla penuh selidik.
“Lagi ketemu sama temennya sebentar.”
Menimbang-nimbang sesaat, akhirnya Arla memutuskan mengiakan ajakan Lily karena ada kemungkinan ia bisa bertemu Ervin siang itu.
“Kita mau makan di mana?” tanya Arla saat Lily menggiringnya naik ke eskalator. “Di lantai 4 cuma ada fast food loh,” ucap Arla memperingati.
“Hmm …. Kamu nggak makan fast food ya?” Sialan! Ervin benar-benar membuat Lily harus memutar otaknya, mengeluarkan kemampuan berbohongnya dan yang paling parah mengorbankan diet defisit kalorinya.
Padahal tadi ia mengiakan ajakan makan ramen karena berniat memesan ramen dengan kuah miso bening. Ia tinggal meminta mangkok tambahan kepada pramusaji, dan mengambil setengah porsi, sisanya akan ia berikan untuk Ervin. Dan bodohnya, ia baru sadar, kalau jadi melakukan hal itu, pasti Priscilia akan menatapnya penuh kebencian.
“I’m ok, aku makan apa aja. Makanya aku tanya kamu. Nggak mau di lantai 3 aja? Di lantai 3 banyak pilihan makanan,” jawab Arla. Ia memang pemakan segala.
“Aku lagi bayangin fried chicken yang crunchy.” Senyuman penuh dusta Lily lemparkan kepada Arla.
Arla tersenyum geli. “Ok kalo gitu.”
Lily menegarkan hatinya, sambil mengumpati Ervin di dalam hati, karena kemauan bosnya itu ia nanti tidak akan bisa makan malam dan harus melalui serangkain latihan di tempat gym demi mengikis habis kalori yang masuk ke dalam tubuhnya.
***
“Cil, aku ke toilet dulu ya,” pamit Ervin.
Ervin dan Priscilia pada akhirnya memilih restoran sushi karena Lily yang tidak jadi ikut makan bersama mereka. Priscilia sama sekali tidak menanyakan keberadaan Lily yang menurutnya cukup mengganggu. Ia justru terlihat senang bisa menghabiskan waktu berdua dengan Ervin.
“Nggak nanti aja abis makan sekalian?”
“Udah nggak tahan nih. Lagian kan sushi kamu belum habis, biar kamu nggak keburu-buru makannya.”
Priscilia akhirnya mengangguk, membiarkan Ervin berlalu dari hadapannya.
Ervin berjalan cepat, tergesa menuju gerai fast food yang berada satu lantai di atas tempat ia makan siang dengan Priscilia. Kemampuan Lily untuk satu ini patut ia acungi jempol, andai saja Lily tidak hanya magang di kantornya.
“Hai!” sapa Ervin ketika tiba di dekat meja yang ditempati Lily dan Arla.
Lily hanya menatap Ervin sekilas sambil menahan kekesalannya, sementara Arla tersenyum ramah kepada Ervin.
“Aku kaget loh waktu Lily bilang lagi sama kamu.” Ervin menarik satu kursi kosong dari meja sebelah dan menempatkannya di antara dua wanita itu.
“Iya, aku juga kaget waktu Lily nyamperin aku dan ngajak makan bareng.”
“Semalem aku mau wa kamu, tapi kayaknya udah kemaleman pas aku balik dari café, makanya aku belum sempet.”
Arla hanya mengangguk kecil sambil memperhatikan Lily yang sedang mencabik daging ayamnya seakan sedang melampiaskan kekesalan. Dan itu benar, karena Lily sedang membayangkan mencabik-cabik mulut Ervin.
“Kamu sebenernya tinggal daerah mana? Kemaren kita ketemu di Jakarta Barat, sekarang ada di Jakarta Selatan.”
“Aku ke sini karena kerjaan.” Arla senaja tidak memberikan jawaban pasti untuk membuat Ervin semakin penasaran dengannya.
“Berarti tinggal di Jakarta Barat?” Ervin masih belum mau menerima begitu saja jawaban Arla.
“Aku ke sana kemaren kan karena kerjaan juga, tapi pas malemnya ke sana karena suka sama makanan di café itu.”
“Jadi di mana kamu tinggal?”
Lily menginjak kaki Ervin dengan ujung heels-nya.
“Apaan sih, sakit Lil!”
“Ya kan Arla nggak mau ngasih tau, maksa amat sih.”
Kan, kan, inilah yang Ervin tidak suka jika Lily ikut makan dengannya. Pasti ia akan memorak-porandakan prosesi pendekatannya.
“Ngomong-ngomong, Lil, kamu katanya pengan fried chicken yang crispy, kenapa malah kulitnya nggak dimakan?” Arla menyadari ada sesuatu yang tidak beres tapi ia masih belum yakin.
“Save the best for the last, La.” Lily mengucapkannya dengan getir. ‘Damn you, Vin! Kulit ayam ditepungin itu berapa kalori? Gue bakal aduin ke Tante Rhea.’
Arla dan Lily masih melanjutkan makan siang mereka saat ponsel Ervin yang diletakkan di atas meja—dan sialnya di dekat piring Arla—bergetar.
Lagi-lagi Arla menangkap nama perempuan yang menghubungi Ervin di ponselnya. Entah itu Priska, Prisma, Priscila, yang jelas itu nama perempuan, Arla tidak sempat membaca lengkapnya karena Ervin tergesa meraih ponselnya, kemudian menjauh untuk mengangkat sambungan telepon itu.
“Aku … ke toilet dulu ya,” pamit Ervin kepada keduanya setelah menutup sambungan telepon.
Dari sudut matanya Arla bisa melihat Ervin yang hampir berlari keluar dari tempat makan fast food itu.
“Lil.”
“Hmm.”
Setengah jam yang mereka habiskan untuk mengobrol dan makan siang bersama cukup untuk membuat hubungan mereka dekat karena ternyata beberapa hobby mereka yang sama. Apa Lily akan menjawab jujur kalau Arla mengungkapkan pertanyaan yang ada di benaknya?
“Tadi katamu Ervin lagi nemuin temennya …, temennya itu cewek ya? Prisc … something in her name?”
Lily tersedak hebat begitu mendengar pertanyaan Arla. ‘Gimana dia bisa tau?’
“Arla. Gimana? Udah dapet kabar dari supplier pastry-nya?"Arla yang tengah mengecek laporan triwulanan yang dikirimkan dari cabang menatap bingung ke arah bosnya yang baru datang ke kantor sore itu."Loh kok Ibu masuk? Bukannya kata Ibu hari ini mau di rumah aja?"Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya itu berdiri anggun di hadapan Arla. "Bosen saya di rumah." Wanita itu tergelak. Beberapa pegawai yang melewatinya mengangguk singkat. Kehadiran bos besar di sore hari, dekat dengan jam pulang kantor, biasanya menjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi bos mereka ini berbeda. Work life balance-nya benar-benar dijaga. Jadi mereka tidak perlu khawatir kalau tetap ingin pulang tepat waktu selama pekerjaan mereka sudah selesai."Eh, jadi gimana, mereka sanggup buat jadi supplier pastry kita?"Arla jadi mengingat Rista—yang merupakan perwakilan dari salah satu home catering cake dan pastry—yang saat itu ditemuinya di sebuah café, yang mengantark
“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.“Arla? Ngapain di sini?”“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi
Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.“Kamu
"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.“Hmm … terserah deh.”Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”“Boleh, aku ngikut aja.”Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.Ema sedikit mengernyi
0821 4545 xxxx: ArlaDahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.0821 4545 xxxx: It’s me0821 4545 xxxx: Raihan0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari AussieAh, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?Harus Arla akui,
Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.“Kamu nggak apa-apa, La?”Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.“Urus aja ur
Diam-diam Ervin mengedarkan pandangan ke arah unit apartemen yang baru saja dimasukinya.Unit apartemen itu memiliki dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang televisi, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur."Silakan duduk." Alice memilih duduk di ujung sofa dengan sisi lebih pendek, membiarkan Ervin dan Arla duduk di bagian sofa yang panjang karena sofa itu berbentuk letter L.Alice sengaja diam, sejak tadi ia belum mendengar nama lelaki yang duduk di samping adiknya itu.“Ca n'avait rien à voir avec lui.” (Ini semua nggak ada hubungannya sama dia).Ervin refleks menoleh ke arah Arla begitu mendengar Arla berbicara bahasa Perancis kepada kakaknya dengan lancar.“Kamu … bisa bahasa Perancis, La?”Alice menahan tawanya saat melihat ekspresi bingung lelaki itu.“Saya boleh tau nama kamu? Biar gampang saya manggilnya.”Ervin kemudian beralih menatap Alice dan tiba-tiba salah tingkah saat sadar ia belum memperkenalkan diri. “Saya Ervin, Kak.”“Panggil Alice
“La!” panggil Risma sambil mengetuk pintu kamar Arla.“Udah mau pergi?”“Iya. Anak-anak bentar lagi dateng. Nggak apa-apa kan kutinggal? Soalnya mbakku terlanjur booking jadwal buat check up.”“Nggak apa-apa. Astaga aku masih bisa jalan, nggak usah berlebihan ah.”“Ya udah, beneran paling bentar lagi anak-anak dateng. Alice mana?”“Udah balik pagi-pagi banget. Dia mesti ke kantor. Hotel kan weekend makin rame.”“Aku jalan ya. Nanti kalo ada apa-apa, pengen apa-apa, kabarin.”“Iyaaa.”Arla berjalan pelan menuju ruang tamu unitnya setelah Risma pergi. Daripada ia harus berjalan lebih jauh sampai ke pintu saat nanti sahabat-sahabatnya datang, lebih baik ia menghabiskan waktu sambil menonton series di saluran TV berbayar.Benar kata Risma, sesaat kemudian, pintu apartemennya diketuk, dan mendengar betapa berisiknya di depan pintu apartemennya, pastilah rombongan sahabatnya yang datang. Karena Alice juga mengenal teman-temannya, Alice pasti menitipkan kartu akses ke salah satu di antara me