Share

5 Pura-Pura Tidak Kenal

“Arla. Gimana? Udah dapet kabar dari supplier pastry-nya?"

Arla yang tengah mengecek laporan triwulanan yang dikirimkan dari cabang menatap bingung ke arah bosnya yang baru datang ke kantor sore itu.

"Loh kok Ibu masuk? Bukannya kata Ibu hari ini mau di rumah aja?"

Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya itu berdiri anggun di hadapan Arla. "Bosen saya di rumah." Wanita itu tergelak. Beberapa pegawai yang melewatinya mengangguk singkat. Kehadiran bos besar di sore hari, dekat dengan jam pulang kantor, biasanya menjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi bos mereka ini berbeda.  Work life balance-nya benar-benar dijaga. Jadi mereka tidak perlu khawatir kalau tetap ingin pulang tepat waktu selama pekerjaan mereka sudah selesai.

"Eh, jadi gimana, mereka sanggup buat jadi supplier pastry kita?"

Arla jadi mengingat Rista—yang merupakan perwakilan dari salah satu home catering cake dan pastry—yang saat itu ditemuinya di sebuah café, yang mengantarkannya bertemu dengan Ervin.

"Tim legal sedang menyiapkan perjanjiannya, Bu."

"Ok. Kamu nggak siap-siap pulang? Atau ngopi-ngopi dulu di bawah sana."

Gedung kantor tempatnya bekerja memang baru ditempati setahun belakangan. Sebelumnya, lima manager area bekerja tersebar di masing-masing kota (Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Pusat). Mereka tidak punya kantor tetap, mereka bisa singgah dan mengerjakan pekerjaan mereka di mana pun ada cabang coffee shop brand mereka.

Tapi setahun lalu, tiba-tiba saja salah satu dari pendiri bisnis coffee shop yang sudah memiliki lebih dari 30 cabang di Jakarta itu, membeli sebuah gedung empat lantai. Lantai 1 dan 2 untuk coffee shop, lantai 3 dan 4 untuk ruangan kerja semua manajer yang tadinya tidak memiliki kantor tetap.

Arla adalah manajer yang dulunya meng-handle daerah Jakarta Timur dan sekarang resmi diangkat sebagai asisten salah satu dari tiga pendiri bisnis coffee shop dengan brand Amigos.

Rhea, Leny, dan Amee adalah tiga pendiri bisnis coffee shop Amigos. Sejak pembukaan cabang yang keenam, mereka bertiga sepakat untuk fokus kepada bisnis itu dan resign dari kantor masing-masing. Rhea sebagai Direktur Utama, Leny sebagai Direktur Operasional, dan Amee sebagai Direktur Pemasaran.

"Eh? Saya pulang nanti, Bu. Ini masih ngecek laporan triwulanan."

Helaan napas berat keluar dari wanita itu. "Inilah kenapa saya milih kamu jadi asisten saya. Tapi saya juga nggak mau kamu keasikan kerja, lupa kencan. Nikmati masa muda kamu, La."

Suara cekikikan terdengar dari sudut ruangan. Desti—asisten dari Direktur Pemasaran—tidak  mampu lagi menahan tawanya. Diikuti dengan tawa terbahak Yusi—asisten Direktur Operasional.

"Kenapa, Des?" tanya Rhea bingung.

"Kalau masalah kencan, Arla nggak perlu diingatkan, Bu."

Arla menggeram pelan, kesal dengan teman satu ruangannya yang menjatuhkan harga dirinya di depan wanita yang dikaguminya.

Oh, she's so perfect. Atitude-nya, keluarganya, semuanya. Wanita itu adalah panutan untuk Arla. Di atas itu semua, memiliki suami dengan karakter seperti suami bosnya itu adalah impian Arla. Bukan berarti dia mengincar suami bosnya. Dia masih punya prinsip meskipun semua orang memanggilnya ‘playgirl’. Tapi Arla tidak akan pernah mendekati suami orang.

"Ya udah kalo gitu, saya ke ruangan dulu ya, nunggu anak saya jemput nih, jarang-jarang suami saya ngebiarin anak saya jemput.”

“Biasanya harus bapaknya ya Bu yang antar jemput?” goda Arla.

Rhea tersenyum salah tingkah, memang se-absurd itu suaminya. Kalau anak-anaknya sudah siap memegang Candra Group, mungkin ia akan pensiun detik itu juga untuk mengekori istrinya ke mana-mana.

Arla mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada ternyata lelaki di dunia ini yang bisa setia dengan satu wanita dan tidak menelantarkan keluarganya. Ada. Namun perbandingannya 1:100.

***

“Des, aku ke bawah ya, suntuk, ngantuk. Mau ngopi bentar.” Arla meregangkan otot-ototnya yang kaku karena seharian menekuri laporan coffee shop.

“Ok.”

“Kalo Bu Rhea nyari, langsung kasih tau aku ya.”

“Ok.” Desti mengiakan tanpa menoleh ke arah Arla karena kesibukannya sendiri. Baik dirinya maupun Arla setuju kalau pekerjaan sebagai asisten tiga bos besar itu rasanya lebih melelahkan dibanding saat menjadi manajer wilayah.

“Mau dibawain sesuatu kalo nanti aku balik?”

“Avocado coffee, less sugar, double shot.”

“Ok.” Arla kemudian benar-benar berlalu menuju lantai 1 coffee shop. Untungnya karena jam nanggung, suasana coffee shop itu tidak terlalu ramai. Dari sekitar dua puluh meja yang disediakan, hanya terisi lima meja. Keadaan itu akan berubah kalau jam pulang kantor tiba. Bisa dipastikan hampir semua meja terisi penuh.

Ia tadinya ingin memesan ice americano kepada Ardi—barista yang sudah dikenalnya, tapi Ardi menawarkan untuk mengajarinya membuat latte art demi meredakan stresnya.

“Boleh deh, Di. Udah lama nggak nyoba bikin latte art, ya selama ini belum pernah berhasil sih siapa pun barista yang ngajarin aku. Siapa tau kamu bisa berhasil, Di.”

Ardi, yang berusia beberapa tahun lebih muda dari Arla segera menyingkir, memberikan ruang lebih kepada Arla untuk mulai mengoperasikan mesin espresso di hadapannya sambil melakukan proses steam susu.

Mungkin Arla memang harus sering turun ke bawah dan menenggak segelas kopi kalau beban kerjanya sudah mulai menggila, terutama di akhir bulan.

***

“Ma. Aku udah sampe parkiran,” ucap Ervin melalui sambungan telepon.

Ervin sore itu harus menjemput mamanya karena sang Papa masih terjebak meeting penting. Selama ini, biasanya papanya sendiri atau sopir keluarga yang menjemput mamanya, tapi sore itu Ervin memang berada di cabang AB Department Store yang lokasinya hanya sepelemperan batu dengan kantor mamanya. Karena itu, dia lah yang bertugas menjemput mamanya.

“Bentar, Vin. Kerjaan Mama belum beres. Kamu naik sini ke kantor Mama, atau ngopi di bawah.”

Mempertimbangkan sesaat tawaran mamanya, akhirnya Ervin memutuskan untuk menunggu mamanya di bawah. “Aku ngopi aja deh ya, Ma. Tapi nanti kalo Mama udah kelar kerjaannya, langsung bilang ke aku, biar aku balik ke mobil duluan. Aku tunggu Mama di mobil.”

“Kenapa sih? Mama kan kesannya jadi kayak nyembunyiin brondong. Aneh-aneh aja kamu.”

Ervin tergelak di balik kemudinya. “Males Ma kalo pegawai Mama pada ngenalin aku.”

“Halah, bilang aja biar kamu bisa godain pegawai Mama yang cakep.”

“Kapan aku godain anak orang?”

Di dalam ruangannya, Rhea memutar kedua bola matanya dengan malas. Kenapa anaknya yang satu itu benar-benar mencontoh kelakuan suaminya? “Iya. Nggak pernah, Mama percaya kok.”

Ledakan tawa Ervin membuat Rhea kesal setengah mati. “Udah sana, Mama ngelarin kerjaan Mama dulu.”

Ervin masih terkekeh geli saat masuk ke dalam coffee shop. Ia sampai tidak memperhatikan Arla yang berdiri di balik mesin espresso dan menatapnya tanpa berkedip.

“Shit! Ardi, bilang ke anak-anak, pura-pura nggak kenal aku, selama aku ketemu temenku. Awas kalo ada yang nyapa aku!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status