“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.
Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.
“Arla? Ngapain di sini?”
“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”
“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”
Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”
“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.
“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi karena ia melihat sendiri tadi dari balik mesin espresso, Ervin baru saja masuk ke dalam coffee shop.
“Belum, kamu? Mau kupesenin sekalian?”
“Aku udah pesen kok.”
“Duduk duluan aja kalo gitu, La. Nanti abis pesen aku nyusul.”
Arla mengangguk, kemudian mendekat ke arah Ardi. “Mas, pesenan saya tadi tolong dianter ke meja yang deket kaca ya.”
“Iya, Mbak, nanti saya antar.” Ardi berdecak pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seisi gedung itu sudah tahu siapa Arla dan bagaimana sepak terjangnya dalam hubungan asmara. Wajar menurutnya, penampilan Arla bisa membuat lelaki mana pun menempel padanya. Bahkan, kalau ia tidak tahu diri, ia juga ingin bisa memiliki hubungan dengan Arla kemudian memamerkannya kepada teman-temannya. Tapi ia masih tahu diri, lelaki seperti dirinya tidak akan dilirik oleh Arla, kecuali untuk menjadi rekan kerja.
“Silakan, Nona.” Ervin meletakkan secangkir cappuccino di hadapan Arla dan secangkir espresso di hadapannya sendiri. “Kayaknya baristanya belum terlatih bikin latte art ya.” Ervin menatap geli pada latte art yang ada di cangkir Arla, sekaligus mencoba membuat reminder di otaknya untuk memberitahukan mamanya masalah ini. Jangan sampai pelanggan kabur hanya karena latte art yang bentuknya tidak karuan.
Arla tersenyum kecut. Bukan baristanya yang tidak terlatih, tapi itu tadi memang buatannya, jelas saja bentuknya tidak karuan. “Thanks, kok kamu yang bawain?”
“Nggak apa-apa kan sekalian jalan ke sini. Mau pesen cemilan? Aku bingung tadi mau mesenin apa, jadi aku ke sini dulu buat nanya kamu.”
“Nggak, nggak usah, Vin.” Arla menautkan anak rambutnya ke daun telinga. Gesture seperti itu yang biasa disukai para lelaki karena rambutnya yang berwarna coklat gelap dan sering dikira hasil dari cat rambut, menjadi terlihat berkilau, apalagi diterpa cahaya sinar matahari sore dari balik kaca.
“Kamu kerja di mana sih, La? Kalau aku nggak boleh tau alamat kamu, senggaknya aku boleh tau dong di mana kamu kerja, atau di bidang apa.”
“Aku asisten. Bukan asisten pribadi sih. Lebih kayak bantuin bos ngurusin kerjaan yang nggak mungkin beliau handle sendiri.”
Harusnya Ervin tidak kaget mendengar Arla sebagai asisten. Dia pun mau punya asisten kalau seperti Arla, daripada punya sekretaris yang selalu menentangnya seperti Lily.
“Kamu?” Arla balik bertanya. Arla yakin pekerjaan Ervin tidak main-main kalau dilihat dari penampilannya. Dan itulah salah satu kriterianya mendekati seorang lelaki.
“Marketing.” Ervin tidak perlu membuka jabatannya sebagai Direktur Pemasaran, intinya toh sama, sama-sama marketing.
Arla menahan reaksi terkejutnya. Ok, marketing yang sukses memang berduit, tapi … rasanya Ervin bukan hanya sekadar marketing.
Mereka melanjutkan obrolan sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Arla yang pertama kali sadar kalau dirinya sudah terlalu lama berada di coffee shop, bisa jadi atasannya mencarinya. Tapi bagaimana caranya ia naik tangga ke lantai 3 kalau masih ada Ervin.
“La, aku … mesti cepet balik, masih ada urusan. Kalo ada waktu, mau makan malam sama gue nggak?” Ervin harus bertindak cepat karena mamanya baru saja memberitahunya kalau semua pekerjaannya telah selesai.
Arla menghela napas lega. Ia tidak perlu mencari-cari alasan untuk pergi lebih dulu dari hadapan Ervin, ditambah ajakan dinner dari Ervin. “Sure, kapan?”
“Besok malam? Kalau kamu ada waktu.”
“Ok.”
“Ok, aku chat atau telepon ya nanti.”
Arla mengangguk, membiarkan Ervin tergesa pergi keluar dari coffee shop itu dan ia pun berlari kecil menaiki anak tangga menuju lantai 3.
***
“Hai, La.”
Ervin yang pertama kali tiba di restoran yang bertema fine dinning itu. Sepanjang hari kemarin Ervin merayu Arla untuk memberitahukan alamatnya agar ia bisa menjemput Arla. Tapi Arla bersikeras untuk datang sendiri.
Sejujurnya harga diri Ervin agak jatuh karena hal ini. Masa iya seorang player seperti dirinya tidak bisa mendapatkan alamat wanita yang diincarnya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah kesulitan seperti ini.
“Sorry, lama ya, Vin.” Arla bergegas mengambil posisi duduk di hadapan Ervin. “Mobilku ada masalah tadi, tiba-tiba aja susah dinyalain. Daripada aku maksa bawa trus ada apa-apa di jalan kan, jadinya aku mesti nyari taksi dulu.”
“That’s why, kalo ada yang nawarin jemput, nurut aja.”
Arla terkekeh geli. ‘Ervin dan usahanya.’
“Perlu kupanggilin montir buat ngecek mobilmu?” tawar Ervin setelah mereka selesai memesan dan tiba-tiba Ervin teringat akan hal itu. Siapa tahu bisa jadi point plusnya di mata Arla.
“Aku ada montir langganan kok, santai aja.” Tidak ada yang salah dengan mobilnya, ia hanya sengaja ingin datang lebih lama daripada Ervin. Bertindak terlalu agresif untuk tipe player seperti Ervin sepertinya bukanlah hal yang tepat. Karena itu, alasan mobil mogok dan ketidakinginannya untuk dijemput, semua sudah ada dalam master plan Arla untuk mendekati Ervin.
“Harusnya ambil yang indoor aja ya.”
Saat itu Ervin memang memilih area outdoor untuk makan malam mereka. Suasana malam Jakarta yang bisa dilihat dari lantai 35 hotel itu bisa membuat suarana jadi lebih romantis. Sayangnya Ervin lupa, remangnya lampu di area outdoor itu membuat Ervin tidak bisa menatap dengan puas warna mata hazel milik Arla. Dari beberapa kali pertemuannya, warna mata wanita itu selalu sama. Kemungkinannya, itu benar-benar warna mata aslinya, atau … dia suka mengenakan soft lens berwarna hazel.
“Kenapa? Di sini enak juga kok. Apalagi tetep ada aturan nggak boleh merokok meskipun di outdoor, jadi nyaman banget.”
“Tapi aku nggak bisa lihat warna matamu dengan jelas.”
Arla terdiam. Ia menunggu kelanjutan ucapan Ervin. Tapi nihil, lelaki itu berhenti bicara, kemudian fokus pada appetizer yang baru saja diantarkan pramusaji.
Biasanya setiap lelaki yang mendekatinya pasti akan bertanya, apakah ia mengenakan soft lens, apakah ia keturunan asing, dan hal-hal semacam itu yang membuatnya terpaksa berbohong demi dirinya sendiri. Luka-luka lamanya akan terbuka kalau itu sudah menyangkut DNA siapa yang ada di dalam tubuhnya.
“Hei, kenapa malah bengong?” Ervin menegur Arla yang masih belum mulai menyentuh potato and porcini mushroom soup di hadapannya.
“Eh? Nggak kok.” Arla mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tapi otaknya masih terus memikirkan keanehan Ervin dibanding lelaki lainnya. ‘Serius? Nggak nanya lebih jauh tentang warna mata atau rambutku?’
Ervin yang melihat Arla lebih banyak diam setelah ia menyinggung tentang warna matanya, kini memilih untuk membicarakan hal lain. Dan untungnya Arla mulai ikut larut dalam obrolan yang diciptakannya.
Sampai …
Seorang lelaki menghampiri meja mereka dan melirik sebentar ke arah Ervin, sebelum beralih menatap Arla dan mengusapi puncak kepala Arla. “Kok kamu di sini, Yang?”
Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.“Kamu
"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.“Hmm … terserah deh.”Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”“Boleh, aku ngikut aja.”Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.Ema sedikit mengernyi
0821 4545 xxxx: ArlaDahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.0821 4545 xxxx: It’s me0821 4545 xxxx: Raihan0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari AussieAh, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?Harus Arla akui,
Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.“Kamu nggak apa-apa, La?”Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.“Urus aja ur
Diam-diam Ervin mengedarkan pandangan ke arah unit apartemen yang baru saja dimasukinya.Unit apartemen itu memiliki dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang televisi, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur."Silakan duduk." Alice memilih duduk di ujung sofa dengan sisi lebih pendek, membiarkan Ervin dan Arla duduk di bagian sofa yang panjang karena sofa itu berbentuk letter L.Alice sengaja diam, sejak tadi ia belum mendengar nama lelaki yang duduk di samping adiknya itu.“Ca n'avait rien à voir avec lui.” (Ini semua nggak ada hubungannya sama dia).Ervin refleks menoleh ke arah Arla begitu mendengar Arla berbicara bahasa Perancis kepada kakaknya dengan lancar.“Kamu … bisa bahasa Perancis, La?”Alice menahan tawanya saat melihat ekspresi bingung lelaki itu.“Saya boleh tau nama kamu? Biar gampang saya manggilnya.”Ervin kemudian beralih menatap Alice dan tiba-tiba salah tingkah saat sadar ia belum memperkenalkan diri. “Saya Ervin, Kak.”“Panggil Alice
“La!” panggil Risma sambil mengetuk pintu kamar Arla.“Udah mau pergi?”“Iya. Anak-anak bentar lagi dateng. Nggak apa-apa kan kutinggal? Soalnya mbakku terlanjur booking jadwal buat check up.”“Nggak apa-apa. Astaga aku masih bisa jalan, nggak usah berlebihan ah.”“Ya udah, beneran paling bentar lagi anak-anak dateng. Alice mana?”“Udah balik pagi-pagi banget. Dia mesti ke kantor. Hotel kan weekend makin rame.”“Aku jalan ya. Nanti kalo ada apa-apa, pengen apa-apa, kabarin.”“Iyaaa.”Arla berjalan pelan menuju ruang tamu unitnya setelah Risma pergi. Daripada ia harus berjalan lebih jauh sampai ke pintu saat nanti sahabat-sahabatnya datang, lebih baik ia menghabiskan waktu sambil menonton series di saluran TV berbayar.Benar kata Risma, sesaat kemudian, pintu apartemennya diketuk, dan mendengar betapa berisiknya di depan pintu apartemennya, pastilah rombongan sahabatnya yang datang. Karena Alice juga mengenal teman-temannya, Alice pasti menitipkan kartu akses ke salah satu di antara me
“Mas Ervin, beberapa hari nggak kelihatan, Mas.”Tidak ada yang tidak kenal Ervin di café milik Bastian—saking seringnya kunjungan Ervin dan Adit ke café itu. Apalagi tampang anak-anak terawat dengan penampilan segar khas anak orang kaya seperti mereka, tidak perlu upaya banyak untuk menyadari keberadaan mereka.“Iya, ke luar kota. Bas di mana?”“Di ruangannya, Mas,” jawab wanita yang berdiri di balik meja kasir itu dengan ramah."Ke ruangan Bas dulu ya." Ervin pun pamit dengan sama ramahnya. Baginya, wanita adalah makhluk yang haus perlakuan lembut dan dia dengan senang hati akan memberikannya.Ervin baru saja menginjakkan kaki di anak tangga pertama, kasir itu masih menatap kepergian Ervin dengan gelisah. Ada yang ingin disampaikannya, tapi apa? Mendadak ia lupa ketika wajah Ervin membingkai senyum untuknya. “Mau ngomong apa sih tadi?”“Bas.” Ervin melongokkan kepala sebelum ia masuk ke dalam ruangan yang berada di ujung lantai 2 itu.“Hei, dari mana aja lo?”Ervin duduk di kursi k
“Kenapa, La?” Tidak biasanya Rhea melihat Arla gelisah, seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi juga seperti ragu untuk menyampaikannya. “Mau cuti? Atau mau naik gaji?” Rhea terkekeh geli. Biasanya dua hal itu kan yang selalu dengan takut-takut diminta seorang pegawai.“Nggak, Bu.” Arla menggeleng cepat.“Trus kamu ngapain gelisah gitu setiap ketemu saya? Ada masalah?”“Saya ….” Arla memang masih maju mundur untuk menyampaikan maksudnya.“Kalo belum siap ngomong ya udah, La. Dimantepin dulu hatinya baru ngomong.”Ok, Arla tidak bisa mundur lagi. Mungkin ia memang harus memberanikan diri. “Saya … sebenernya punya ide, tapi nggak yakin Ibu bakal setuju.”Melihat keseriusan Arla, Rhea bangkit dari kursi kerjanya dan mengajak asistennya itu untuk duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.“Saya nggak bisa bilang setuju atau nggak kalau kamu belum ngasih tau ide kamu. Bilang aja, La. Nggak akan saya pecat cuma karena kamu ngeluarin uneg-uneg kamu.”“Ibu nggak mau melebarkan coffee shop ini?