Share

6 Dinner

“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.

Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.

“Arla? Ngapain di sini?”

“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”

“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”

Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”

“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.

“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi karena ia melihat sendiri tadi dari balik mesin espresso, Ervin baru saja masuk ke dalam coffee shop.

“Belum, kamu? Mau kupesenin sekalian?”

“Aku udah pesen kok.”

“Duduk duluan aja kalo gitu, La. Nanti abis pesen aku nyusul.”

Arla mengangguk, kemudian mendekat ke arah Ardi. “Mas, pesenan saya tadi tolong dianter ke meja yang deket kaca ya.”

“Iya, Mbak, nanti saya antar.” Ardi berdecak pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seisi gedung itu sudah tahu siapa Arla dan bagaimana sepak terjangnya dalam hubungan asmara. Wajar menurutnya, penampilan Arla bisa membuat lelaki mana pun menempel padanya. Bahkan, kalau ia tidak tahu diri, ia juga ingin bisa memiliki hubungan dengan Arla kemudian memamerkannya kepada teman-temannya. Tapi ia masih tahu diri, lelaki seperti dirinya tidak akan dilirik oleh Arla, kecuali untuk menjadi rekan kerja.

“Silakan, Nona.” Ervin meletakkan secangkir cappuccino di hadapan Arla dan secangkir espresso di hadapannya sendiri. “Kayaknya baristanya belum terlatih bikin latte art ya.” Ervin menatap geli pada latte art yang ada di cangkir Arla, sekaligus mencoba membuat reminder di otaknya untuk memberitahukan mamanya masalah ini. Jangan sampai pelanggan kabur hanya karena latte art yang bentuknya tidak karuan.

Arla tersenyum kecut. Bukan baristanya yang tidak terlatih, tapi itu tadi memang buatannya, jelas saja bentuknya tidak karuan. “Thanks, kok kamu yang bawain?”

“Nggak apa-apa kan sekalian jalan ke sini. Mau pesen cemilan? Aku bingung tadi mau mesenin apa, jadi aku ke sini dulu buat nanya kamu.”

“Nggak, nggak usah, Vin.” Arla menautkan anak rambutnya ke daun telinga. Gesture seperti itu yang biasa disukai para lelaki karena rambutnya yang berwarna coklat gelap dan sering dikira hasil dari cat rambut, menjadi terlihat berkilau, apalagi diterpa cahaya sinar matahari sore dari balik kaca.

“Kamu kerja di mana sih, La? Kalau aku nggak boleh tau alamat kamu, senggaknya aku boleh tau dong di mana kamu kerja, atau di bidang apa.”

“Aku asisten. Bukan asisten pribadi sih. Lebih kayak bantuin bos ngurusin kerjaan yang nggak mungkin beliau handle sendiri.”

Harusnya Ervin tidak kaget mendengar Arla sebagai asisten. Dia pun mau punya asisten kalau seperti Arla, daripada punya sekretaris yang selalu menentangnya seperti Lily.

“Kamu?” Arla balik bertanya. Arla yakin pekerjaan Ervin tidak main-main kalau dilihat dari penampilannya. Dan itulah salah satu kriterianya mendekati seorang lelaki.

“Marketing.” Ervin tidak perlu membuka jabatannya sebagai Direktur Pemasaran, intinya toh sama, sama-sama marketing.

Arla menahan reaksi terkejutnya. Ok, marketing yang sukses memang berduit, tapi … rasanya Ervin bukan hanya sekadar marketing.

Mereka melanjutkan obrolan sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Arla yang pertama kali sadar kalau dirinya sudah terlalu lama berada di coffee shop, bisa jadi atasannya mencarinya. Tapi bagaimana caranya ia naik tangga ke lantai 3 kalau masih ada Ervin.

“La, aku … mesti cepet balik, masih ada urusan. Kalo ada waktu, mau makan malam sama gue nggak?” Ervin harus bertindak cepat karena mamanya baru saja memberitahunya kalau semua pekerjaannya telah selesai.

Arla menghela napas lega. Ia tidak perlu mencari-cari alasan untuk pergi lebih dulu dari hadapan Ervin, ditambah ajakan dinner dari Ervin. “Sure, kapan?”

“Besok malam? Kalau kamu ada waktu.”

“Ok.”

“Ok, aku chat atau telepon ya nanti.”

Arla mengangguk, membiarkan Ervin tergesa pergi keluar dari coffee shop itu dan ia pun berlari kecil menaiki anak tangga menuju lantai 3.

***

“Hai, La.”

Ervin yang pertama kali tiba di restoran yang bertema fine dinning itu. Sepanjang hari kemarin Ervin merayu Arla untuk memberitahukan alamatnya agar ia bisa menjemput Arla. Tapi Arla bersikeras untuk datang sendiri.

Sejujurnya harga diri Ervin agak jatuh karena hal ini. Masa iya seorang player seperti dirinya tidak bisa mendapatkan alamat wanita yang diincarnya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah kesulitan seperti ini.

“Sorry, lama ya, Vin.” Arla bergegas mengambil posisi duduk di hadapan Ervin. “Mobilku ada masalah tadi, tiba-tiba aja susah dinyalain. Daripada aku maksa bawa trus ada apa-apa di jalan kan, jadinya aku mesti nyari taksi dulu.”

“That’s why, kalo ada yang nawarin jemput, nurut aja.”

Arla terkekeh geli. ‘Ervin dan usahanya.’

“Perlu kupanggilin montir buat ngecek mobilmu?” tawar Ervin setelah mereka selesai memesan dan tiba-tiba Ervin teringat akan hal itu. Siapa tahu bisa jadi point plusnya di mata Arla.

“Aku ada montir langganan kok, santai aja.” Tidak ada yang salah dengan mobilnya, ia hanya sengaja ingin datang lebih lama daripada Ervin. Bertindak terlalu agresif untuk tipe player seperti Ervin sepertinya bukanlah hal yang tepat. Karena itu, alasan mobil mogok dan ketidakinginannya untuk dijemput, semua sudah ada dalam master plan Arla untuk mendekati Ervin.

“Harusnya ambil yang indoor aja ya.”

Saat itu Ervin memang memilih area outdoor untuk makan malam mereka. Suasana malam Jakarta yang bisa dilihat dari lantai 35 hotel itu bisa membuat suarana jadi lebih romantis. Sayangnya Ervin lupa, remangnya lampu di area outdoor itu membuat Ervin tidak bisa menatap dengan puas warna mata hazel milik Arla. Dari beberapa kali pertemuannya, warna mata wanita itu selalu sama. Kemungkinannya, itu benar-benar warna mata aslinya, atau … dia suka mengenakan soft lens berwarna hazel.

“Kenapa? Di sini enak juga kok. Apalagi tetep ada aturan nggak boleh merokok meskipun di outdoor, jadi nyaman banget.”

“Tapi aku nggak bisa lihat warna matamu dengan jelas.”

Arla terdiam. Ia menunggu kelanjutan ucapan Ervin. Tapi nihil, lelaki itu berhenti bicara, kemudian fokus pada appetizer yang baru saja diantarkan pramusaji.

Biasanya setiap lelaki yang mendekatinya pasti akan bertanya, apakah ia mengenakan soft lens, apakah ia keturunan asing, dan hal-hal semacam itu yang membuatnya terpaksa berbohong demi dirinya sendiri. Luka-luka lamanya akan terbuka kalau itu sudah menyangkut DNA siapa yang ada di dalam tubuhnya.

“Hei, kenapa malah bengong?” Ervin menegur Arla yang masih belum mulai menyentuh potato and porcini mushroom soup di hadapannya.

“Eh? Nggak kok.” Arla mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tapi otaknya masih terus memikirkan keanehan Ervin dibanding lelaki lainnya. ‘Serius? Nggak nanya lebih jauh tentang warna mata atau rambutku?’

Ervin yang melihat Arla lebih banyak diam setelah ia menyinggung tentang warna matanya, kini memilih untuk membicarakan hal lain. Dan untungnya Arla mulai ikut larut dalam obrolan yang diciptakannya.

Sampai …

Seorang lelaki menghampiri meja mereka dan melirik sebentar ke arah Ervin, sebelum beralih menatap Arla dan mengusapi puncak kepala Arla. “Kok kamu di sini, Yang?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status